Our New Social Life: Science-Backed Strategies for Creating Meaningful Connection
Penulis: Natalie Kerr & Jaime Kurtz
Penerbit: Oxford University Press (November 2024)
Dunia digital menguatkan koneksi sosial: benarkah?
Pernahkah Anda merasa berbicara dengan anak, tetapi perhatian mereka justru ke layar ponsel? Atau, saat Anda ingin bertemu sahabat lama, tapi waktu seolah tidak pernah cukup? Fenomena seperti ini bukan kebetulan semata. Buku Our New Social Life (Kerr & Kurtz, 2024) menyajikan hasil riset ilmiah terbaru yang menunjukkan bahwa kehidupan sosial kita—baik sebagai orang tua maupun sebagai individu—sedang mengalami krisis yang pelan tapi pasti menggerus kualitas hubungan manusia.
Dengan gaya hidup serba cepat, tuntutan pengasuhan modern, dan kehadiran teknologi yang “selalu aktif”, banyak dari kita justru merasa semakin kesepian. Buku ini bukan litani ratapan, juga tidak sekadar mengkritik, tapi menawarkan solusi praktis berbasis sains agar kita dapat membangun kembali koneksi yang lebih bermakna, baik dalam keluarga maupun pergaulan sosial.
Banyak interaksi tapi minim koneksi
Ada empat persoalan utama yang diulas dalam buku ini, yaitu:
1. Phubbing: kebiasaan memeriksa ponsel saat sedang berinteraksi, misalnya saat makan bersama anak. Ini menurunkan kualitas kelekatan emosional, bahkan bisa berdampak jangka panjang pada kepercayaan diri anak.
2. Budaya Kesibukan: Banyak orang tua merasa bangga menjadi “super sibuk”, padahal hal ini menyisakan sangat sedikit waktu untuk pertemanan atau komunikasi berkualitas dengan keluarga.
3. Pengasuhan Intensif: Orang tua zaman sekarang sering merasa harus selalu hadir dalam semua aspek kehidupan anak. Akibatnya, mereka mengorbankan hubungan sosial dewasa yang sebenarnya penting untuk keseimbangan mental.
4. Media Sosial: Meskipun terasa “terhubung”, interaksi digital tidak memicu respons otak yang sama dengan interaksi langsung. Ini menyebabkan relasi yang rapuh dan dangkal.
Lalu kita harus bagaimana?
Para penulis menyampaikan bahwa meskipun kita hidup dalam era yang serba terhubung, secara neurologis otak kita tetap membutuhkan interaksi fisik. Penelitian menunjukkan bahwa interaksi tatap muka mengaktifkan jalur saraf khusus yang membuat kita merasa “terhubung secara emosional.”
Selain itu, kita perlu memberi waktu untuk orang lain, meskipun hanya 15 menit. Secara psikologis, memberi waktu menciptakan perasaan punya waktu lebih banyak (time abundance). Pengasuhan yang terlalu intens justru membuat anak kurang mandiri secara sosial jika orang tua mengabaikan kehidupan sosial mereka sendiri. Bias kognitif seperti spotlight effect (merasa terus diperhatikan orang lain) dan loneliness-induced threat response (kesepian membuat kita mudah salah paham dalam berkomunikasi) justru semakin memperkeruh keadaan. Karenanya, bias kognitif perlu diatasi agar hubungan sosial jadi semakin jernih.
Semua pokok amatan di atas menggarisbawahi keyakinan berbasis fakta bahwa tantangan membangun hubungan bukan sekadar soal kurangnya waktu atau minimnya teknologi komunikasi, tapi lebih pada soal bagaimana kita memahami dan mengelola pikiran serta perasaan dalam bersosialisasi.
Baby steps, giant impact
Buku ini menawarkan berbagai solusi konkret, antara lain:
A. Batasi gangguan teknologi
*) Terapkan phone-free meals saat makan bersama keluarga.
*) Biasakan menyimpan ponsel ketika sedang bersama orang lain agar lebih hadir secara emosional.
B. Lawan budaya sibuk dan sok-sibuk
*) Coba delegasikan tugas rumah tangga kepada ART untuk membuka waktu bersosialisasi.
*) Menolong orang lain secara rutin dapat memunculkan rasa lega dan bahagia.
C. Seimbangkan waktu dan perhatian antara pengasuhan dan kehidupan sosial
*) Buat sistem “playdate bersama” agar orang tua bisa bersosialisasi saat anak bermain.
*) Bergabung dengan komunitas atau grup orang tua untuk memperluas jaringan sosial secara alami.
D. Latih kesadaran sosial (social mindfulness)
*) Gunakan teknik social mindfulness: tanyakan “apa bukti bahwa saya diabaikan?” sebelum menyimpulkan sesuatu yang negatif.
*) Reframing: ubah cara berpikir dari asumsi negatif ke positif (contoh: “mungkin teman saya sibuk, bukan sengaja menghindar”).
E. Bangun hubungan yang lebih solid dengan menerapkan prinsip psikologi dasar
*) Manfaatkan proximity dan similarity: sering bertemu dan membicarakan kesamaan (asal daerah, hobi, dsb.) meningkatkan keakraban.
*) Latih deep listening: dengarkan secara penuh, bukan sekadar menunggu giliran bicara.
Sudah saatnya menyirami taman hubungan di tengah himpitan kesibukan
Kesimpulan utama buku ini sangat relevan untuk para orang tua masa kini: koneksi sosial yang bermakna tidak terbentuk dari intensitas notifikasi, melainkan dari kehadiran, perhatian, dan keberanian membuka diri secara wajar. Hubungan yang sehat dimulai dari kesadaran kecil: menyimpan ponsel, mendengarkan anak tanpa terdistraksi, meluangkan waktu untuk teman, dan tidak takut membuka diri (self-disclosure).
Tiga saran praktis bagi orang tua
Pertama, jadwalkan minimal satu sesi tatap muka per minggu dengan teman atau keluarga di luar rutinitas rumah tangga.
Kedua, gunakan grup WhatsApp orang tua murid sebagai pintu masuk ke pertemanan nyata—bukan sekadar forum informasi sekolah.
Ketiga, ajarkan dan beri contoh pada anak tentang pentingnya “bertemu dan hadir” sebagai meaningful connection, bukan hanya “mengirim pesan”.
Dengan memahami dan menerapkan strategi berbasis penelitian ilmiah terbaru ini, kita tidak hanya membantu diri sendiri menjadi lebih bahagia, terhubung & bermakna, tetapi juga memberi teladan kepada anak-anak tentang cara menjalani hidup sosial yang sehat di era digital.
[Untuk versi kritik atas asumsi teoritis yang digunakan dalam buku ini, surati saya di hendarputranto@gmail.com]