Categories
Uncategorized

[film analysis & interpretation] La Bête AKA The Beast (2023) [02]

Pembacaan Nietzschean Beyond Good and Evil dari film La Bête (2023) karya sutradara Bertrand Bonello
Bagian 02 dari 02

Sebuah contoh membaca dan menafsirkan film La Bête (The Beast, 2023) dengan menggunakan lensa filosofis Jenseits von Gut und Böse (Beyond Good and Evil) dari Friedrich Nietzsche (1886).


image source: https://www.gutenberg.org/ebooks/7204

Pertama-tama kita perlu memahami kritik Nietzsche terhadap moralitas tradisional, eksplorasi filosofisnya tentang sifat dasar manusia, dan ide utamanya mengenai kehendak untuk berkuasa, keberulangan yang abadi, dan Übermensch (Manusia Adi). Konsep-konsep Nietzschean ini dapat diterapkan pada unsur-unsur simbolis yang terdapat dalam The Beast, seperti merpati, api dan banjir, boneka-boneka, lagu Evergreen, klub, AI, dan pemurnian, serta hubungan antara Gabrielle dan Louis (dua karakter utama dalam The Beast).

Berikut uraian ringkas bagaimana pembacaan atas filsafat Nietzsche dalam Jenseits von Gut und Böse dapat menerangi simbolisme dalam The Beast.

Nietzsche’s Jenseits von Gut und Böse dan Simbolisme The Beast

1. Melampaui Moralitas Tradisional: Merpati dan Boneka

Dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche menantang kategorisasi oposisi biner yang baik dan jahat, dengan menyatakan bahwa moralitas tradisional adalah sebuah konstruksi yang justru menekan potensi manusia.

Dalam The Beast, merpati dan boneka dapat ditafsirkan sebagai simbol dualitas moral sekaligus keterbatasannya. Merpati cukup sering diasosiasikan dengan kedamaian dan kepolosan. Ia mewakili sisi “baik” yang diidealkan dari manusia yang juga didambakan masyarakat. Namun, Nietzsche berpendapat bahwa idealisasi ini adalah sebentuk kontrol, cara untuk menekan aspek yang lebih gelap dan lebih kompleks dari sifat manusia. Hubungan Gabrielle dengan merpati bisa jadi melambangkan perjuangannya untuk menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat akan kemurnian dan kebaikan, bahkan ketika emosi dan keinginannya yang lebih dalam menolak penyederhanaan ini.

Sebaliknya, boneka mewakili kepura-puraan konstruksi moral. Boneka (dan ada banyak boneka dalam film ini, khususnya pada setting di Paris, 1910; boneka teknologi media sosial dan industri kosmetik/modelling pada 2014, serta boneka AI pada 2044) itu tidak bernyawa, gampang dikendalikan, dan tidak memiliki emosi yang tulus, sama seperti norma-norma masyarakat ‘tradisional’ yang dikritik Nietzsche. Interaksi Gabrielle dengan boneka-boneka tersebut melambangkan konfrontasinya dengan artifisialitas dunia yang berusaha mereduksi manusia menjadi bentuk-bentuk yang dapat diprediksi dan dikendalikan, semacam reifikasi idealitas moral menjadi instrumen kontrol.

Baik merpati maupun boneka menyimbolkan gagasan Nietzsche bahwa kemanusiaan yang sejati meletak di luar dua pilihan yang sederhana dan cenderung dikotomis (binary opposition) antara baik dan buruk; Ia meletak jauh di lubuk kehendak dan keinginan individu yang serba kacau dan tak terduga, juga meskipun ujung dari kemanusiaan yang sejati itu adalah kematian tragis (terendam banjir dan mengapung di kolam renang setelah ditembak).

2. Kehendak untuk Berkuasa: Api dan Banjir
Konsep Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) – kekuatan pendorong di balik perilaku manusia – dapat dilihat dalam simbol “api dan banjir.” Kedua unsur alam ini mewakili kehancuran dan pembaruan, kekacauan dan penciptaan, yang mencerminkan sifat dinamis dan sering kali kejam dari kehendak untuk berkuasa.

Api melambangkan gairah, kehancuran, dan transformasi; kekuatan yang tidak dapat dikendalikan, seperti halnya kehendak manusia. Dalam The Beast, api dapat mewakili gejolak batin Gabrielle dan penolakannya untuk dimurnikan atau dikendalikan oleh teknologi. Emosinya, seperti api, bersifat destruktif tapi juga memurnikan dalam arti membakar batasan-batasan artifisial yang dipaksakan masyarakat aristokratik (1910), masyarakat yang serba terhubung secara digital lewat media sosial tapi mengalami kesepian akut (2014), dan masyarakat yang dingin serba terkendali algoritma Akal Imitasi (2044).

Banjir, di sisi lain, melambangkan kekuatan yang luar biasa dan keniscayaan perubahan. Air dalam jumlah yang besar dan tidak terkendali (banjir) mewakili aspek-aspek tak terkendali dari sifat manusia yang tidak dapat dibendung baik oleh rasionalitas maupun teknologi. Banjir juga dapat melambangkan kembalinya emosi yang tertekan yang menyapu bersih ilusi kontrol dan keteraturan.

Melalui simbol api dan air (banjir), The Beast mengeksplorasi gagasan Nietzsche bahwa sifat alami manusia didorong oleh kehendak untuk berkuasa yang menentang rasionalisasi dan kontrol. Kegagalan Gabrielle untuk dimurnikan adalah bukti dari kekuatan yang tak tergoyahkan dalam dirinya yang berasal dari kehendak buta sebagai panglimanya dan emosi kesedihan sebagai bala tentaranya.

3. Pengulangan Abadi dan Lagu Abadi
Konsep Nietzsche tentang pengulangan abadi (Ewige Wiederkunft), gagasan bahwa kehidupan berulang tanpa batas, beresonansi kuat dengan penggambaran film ini tentang hubungan Gabrielle dan Louis pada berbagai periode waktu yang berbeda. Lagu Evergreen, sebuah motif yang berulang, melambangkan sifat abadi dari hubungan mereka dan sifat siklus pengalaman manusia.

Lagu ini mewakili kegigihan emosi dan ingatan melintasi waktu, menggemakan gagasan Nietzsche bahwa pengalaman dan hubungan tertentu bersifat abadi. Ikatan Gabrielle dan Louis, yang berulang di era yang berbeda, menunjukkan bahwa cinta mereka tidak terikat oleh waktu linier tetapi ada dalam keadaan berulang yang abadi.

Sifat siklis ini juga mencerminkan tantangan Nietzsche untuk merangkul kehidupan dalam semua pengulangannya, untuk menemukan makna dalam kembalinya hal yang sama secara abadi. Perjuangan Gabrielle untuk mendamaikan emosinya dengan tuntutan masa depan yang dystopian dapat dilihat sebagai perjuangan untuk mengafirmasi kehidupan dalam menghadapi pengulangan yang tak terelakkan.

4. Sang Übermensch dan Akal Imitasi (AI)
Konsep Nietzsche tentang Übermensch (Manusia Adi atau manusia super)-makhluk yang melampaui norma-norma masyarakat dan menciptakan nilai-nilai mereka sendiri-dapat diterapkan pada eksplorasi film ini tentang Akal Imitasi dan pemurnian.

AI mewakili ekspresi tertinggi dari kontrol masyarakat dan penindasan individualitas. AI berusaha menggantikan emosi manusia dengan rasionalitas dan algoritma, yang merupakan antitesis dari Übermensch. Proses pemurnian, yang bertujuan untuk menghapus rasa takut dan emosi, merupakan bentuk pengkondisian masyarakat yang dikritik oleh Nietzsche sebagai pengingkaran terhadap kehidupan.

Kegagalan Gabrielle untuk dimurnikan memposisikannya sebagai sosok Übermensch yang potensial menjadi. Penolakannya untuk menyesuaikan diri, pelukan emosinya, dan perlawanannya terhadap kontrol teknologi selaras dengan visi Nietzsche tentang makhluk yang menciptakan nilai-nilai mereka sendiri dan menegaskan kehidupan dengan segala kerumitannya.

5. Amor Fati dan Tragedi Gabrielle
Konsep Nietzsche tentang amor fati (cinta takdir) merupakan hal yang penting untuk memahami kisah tragis Gabrielle. Terlepas dari penderitaan dan kehilangan yang dialaminya, hubungannya yang abadi dengan Louis dan penolakannya untuk dimurnikan menunjukkan penerimaan yang mendalam terhadap nasibnya.

Emosi Gabrielle, meskipun menyakitkan, merupakan bagian integral dari identitasnya. Dengan merangkul mereka, dia mewujudkan gagasan Nietzsche tentang amor fati, menemukan makna dan keindahan dalam penderitaannya daripada berusaha melarikan diri darinya.

Kegagalannya untuk lulus ujian pemurnian bukanlah sebuah kekalahan, melainkan sebuah kemenangan, sebuah penegasan akan kemanusiaannya dan keinginannya untuk berkuasa. Dalam istilah Nietzsche, ia menjadi pahlawan tragis yang menegaskan kehidupan dalam menghadapi penderitaan yang melekat.

Kesimpulan: Wawasan Nietzschean untuk membaca dan memahami The Beast

Melalui lensa Beyond Good and Evil karya Nietzsche, The Beast hadir sebagai eksplorasi mendalam tentang sifat, emosi, dan perlawanan manusia terhadap kontrol. Simbol-simbol dalam film ini-merpati, api dan banjir, boneka, lagu evergreen, kecerdasan buatan, dan pemurnian-mencerminkan kritik Nietzsche terhadap moralitas tradisional, perayaannya terhadap kehendak untuk berkuasa, dan visinya tentang Übermensch. Hubungan Gabrielle dan Louis, yang berulang melintasi ruang dan waktu, mewujudkan perulangan abadi pengalaman manusia dan kekuatan cinta dan emosi yang abadi.

Pada akhirnya, The Beast menantang pembaca dan pemirsa untuk merangkul kekacauan dan kompleksitas sifat manusia, untuk melawan kekuatan yang berusaha mengendalikan atau menghapusnya, dan untuk menegaskan kehidupan dalam semua keindahan dan tragedi. Dengan demikian, hal ini sejalan dengan seruan Nietzsche untuk melampaui kebaikan dan kejahatan, untuk menciptakan nilai-nilai kita sendiri, dan untuk hidup secara otentik di dunia yang sering kali berusaha menyangkal kemanusiaan kita.

Pembacaan Nietzschean terhadap The Beast tidak hanya memperdalam pemahaman kita tentang simbolisme film ini, tetapi juga menyoroti resonansi filosofisnya dengan pertanyaan-pertanyaan abadi tentang identitas, kebebasan, dan kondisi manusia.

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *