Contoh Flyer kegiatan diskusi yg sudah berlangsung:
Contoh input & apresiasi saat berlangsungnya Diskusi Jangan Lupa Selasa:
I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?
Semoga kegiatan rutin ini bermanfaat untuk memperkaya wawasan pengetahuan (filsafat) bagi masyarakat Indonesia (scr umum) dan pencinta kajian filosofis (scr khusus).
cheers,
Hendar Putranto
One of the Founders of MFI, currently appointed as Treasurer
Videos (recording) yang tayang di Akun YouTube Masyarakat Filsafat Indoneisa:
https://youtu.be/0FrE8-5LpEw (Persahabatan Menurut Aristoteles)
https://youtu.be/uXhODRRvWfI (Filsafat Kematian)
https://youtu.be/VzSbBHSCnj8 (Cinta dalam Teks Simposium Platon)
https://youtu.be/cepunFveENc (Signifikansi Nalar Publik Bagi Daya Tahan Demokrasi)
https://youtu.be/mUAgnQTVH48 (Melampaui Kapitalisme dan Komunisme – 01)
https://youtu.be/GOJzb9AQA74 (Melampaui Kapitalisme dan Komunisme – 02)
https://youtu.be/OPadVbLuoMk (Perkenalan MFI)
Contoh2 Flyer Kolokium:
Pandangan Hegel tentang “Polisi dan Korporasi” (par. 230 – 256)
Source of the text: https://www.marxists.org/reference/archive/hegel/works/pr/prcivils.htm (see the translated work of Grundlinien der Philosophie des Rechts)
Beberapa komentar dan catatan untuk bahan diskusi di Komunitas Hegel STF Driyarkara
Kamis, 5 Februari 2009, jam 17.00 WIB
oleh Hendar Putranto (c) 2009
Dalam presentasi sebelumnya, sudah dipaparkan tentang konsep Hegel mengenai sistem kebutuhan (the system of needs) dan sistem perundangan yang menunjang keberlakuan serta pelaksanaan keadilan (administration of justice), par. 182 – 229. Karena pembahasan tentang “Polisi dan Korporasi” termasuk ke dalam pembahasan tentang “Masyarakat Sipil” (disingkat MS), tepatnya bagian ketiga setelah sistem kebutuhan dan pelaksanaan ke- (per-) adilan, maka ada baiknya kita ulangi lagi beberapa pokok yang menjadi prinsip dari MS tersebut, yaitu:
1) MS adalah periode / tahapan dan bentuk kehidupan politis transisional, antara kehidupan berkeluarga dan Negara politis. Titik tolak antropologis dari MS adalah ‘orang yang konkret’ artinya seorang dewasa awal yang mengejar kebutuhan2nya, dan sekaligus berupaya merealisasikan kebutuhan2 keluarganya dalam dunia sosial yang juga berisi orang2 lain yg kurang lebih mempunyai tujuan serupa. Pemenuhan kebutuhan2 dan hasrat2 privat dari si lelaki dewasa awal ini tidak bisa terpenuhi jika tidak ada struktur yang menopang pemenuhan kebutuhan+hasrat yang sama secara simultan dari yang lainnya. Kata kunci di sini adalah: interdependensi antar subjek yang ditopang oleh suatu system dan struktur social yang memadai. Partikularitas kepentingan si subjek dalam arti ‘contingent arbitrariness and subjective caprice’ (#185) serta ‘the right of the subject to find its satisfaction in the action’ (#121) tidak bisa menjadi prinsip yang memadai dalam MS karena pemenuhan kepuasan dari tujuan2 yang partikular harus selalu dilakukan dalam upaya gabungan (kerjasama/aliansi) dengan orang lain dengan cara yang universal[1].
2) Dalam bagian “pelaksanaan keadilan”, titik tolak Hegel adalah pribadi yang memunyai hak-hak (bearer of rights); dan pribadi yg memunyai hak2 tersebut diakui dijamin keberadaannya (juga hak-haknya) dalam sebuah sistem hukum yang positif, dan pengakuan ini berlaku serta dikehendaki secara universal[2].
3) Hegel memandang penting ihwal pendidikan dan institusinya. Berbeda dari Rousseau yang melihat bahwa pendidikan tidak membuat manusia menjadi lebih manusia (bahkan mengorupsi kodrat manusia itu sendiri hingga manusia tidak lagi menjadi ‘polos’), sehingga harus ditempatkan di bawah kultivasi passion, Hegel melihat bahwa pendidikan haruslah menjadi bagian dari kebijakan pokok dalam MS, tidak hanya diserahkan pada keluarga saja. Alasannya adalah untuk menanamkan nilai2 universal dalam diri pribadi sehingga mereka tidak sekedar menjadi sosok pribadi yang digerakkan melulu oleh “the immediacy of desire as well as the subjective vanity of feeling and the arbitrariness of caprice” (#187) melainkan dapat menjadi reflective agent yang mampu mengarahkan daya upaya serta kehendak subjektif mereka menuju perwujudan kebebasan yang lebih besar dan luas lagi (di dalam MS dan berikutnya, negara).
Ada empat butir uraian dan penafsiran atas par 230 – 256 Phil. of Right yang mau saya sampaikan, yaitu:
Di paragraf paling awal dari bagian Polisi dan Korporasi (#230), Hegel mengatakan bahwa “dalam sistem hasrat, pemenuhan dan kebahagiaan setiap individu adalah suatu kemungkinan, dan kemungkinan ini dibuat menjadi nyata dalam system hasrat yang bersifat objektif.” Setelah itu Hegel melanjutkan bahwa realisasi hak yang terwujud dalam setiap individu partikular, sudah selalu menyertakan dua faktor berikut ini, yaitu (a) pribadi dan properti harus ‘dijamin’ (secured) dengan cara menghilangkan hal-hal penghambatnya, dan (b) kesejahteraan dan rasa aman tiap-tiap individu haruslah dipandang dan diaktualisasikan sebagai hak. Dua faktor yang disebut di atas itulah yang dibahas oleh Hegel dalam bagian (a) Polisi dan (b) Korporasi.
Berbicara tentang polisi, Hegel ‘mendefinisikan’ tugas polisi sebagai pencegah kejahatan dan pembawa tindak kejahatan ke hadapan pengadilan (#232). Namun, tugas itu hanya berlaku untuk hal-hal yang aksidental atau kasus per kasus saja. Hegel tidak menggeneralisasi tugas polisi menjadi detil-detil yang harus diindahkan, karena, menurutnya “tidak ada garis batas yang bisa ditetapkan … menyangkut hal mana yang dianggap berbahaya, mana yang tidak, mana yang mencurigakan, mana yang tidak, mana yang dilarang, mana yang cukup diawasi saja, dan seterusnya.” (#234). Karenanya, intervensi polisi dalam praktik dan tindak kehidupan sehari-hari warga (dalam MS) juga tidak bisa ditarik secara apriori. Mengingat sifat kontingensi dan sewenang-wenang dari intervensi tindakan polisi ini, tidak mengherankan kalau mereka lalu cenderung dipandang sebagai musuh masyarakat. Di par. 236, Hegel mengakui adanya kemungkinan konflik kepentingan antara produser dan konsumer sehingga haruslah untuk dibuat aturan (regulasi) yang standing above both sides and put into operation consciously… in order that (private interest) may be led back to the universal. Tugas polisi dan otoritas publik yang kompetenlah untuk membuat dan menegakkan regulasi semacam ini.
Apa saja hal-hal yang bisa menghambat rasa kedirian (personhood) dan sense of property seseorang? Harus dikatakan di sini bahwa kemiskinan adalah salah satunya. Mengapa seseorang menjadi miskin? Apakah itu karena kesalahannya sendiri (malas bekerja, tidak kompeten, dst) atau karena faktor-faktor eksternal yang berada di luar kendalinya? Posisi Hegel dalam hal ini tecermin di par. 241. Menurutnya, “Yang membuat seseorang menjadi miskin, bukan hanya dikarenakan kehendak sewenang-wenang saja / Willkür, namun juga sirkumstansi2 yang sifatnya aksidental, entah itu fisik maupun eksternal (#200).” Apa akibatnya bagi MS jika muncul kelas “orang miskin”[3]? Disparitas dan gap yang makin besar antara segelintir orang kaya dan segepok orang miskin bisa menurunkan standar kualitas kehidupan dari MS itu sendiri. Hegel mengatakan “Ketika sejumlah besar orang hidup di bawah standar kehidupan yang dianggap hakiki bagi warga masyarakat, dan kehilangan sense of right, rectitude, and honour yang berasal dari kemampuan untuk menunjang diri sendiri, maka akan muncullah kelas orang melarat, dan kekayaan akan terakumulasi secara tidak seimbang di tangan segelintir orang saja.” (#244) Apa solusi yang ditawarkan Hegel? Menurutnya, polisilah (sebagai otoritas publik yang mengurusi soal keadilan) yang harus mencarikan jalan keluar untuk menyembuhkan borok kemiskinan ini. Bagaimana caranya? Apakah menjadi sinterklas (act of charity) cukup? Hegel sendiri nampaknya ‘kebingungan’ mengatasi problem pelik kemiskinan dan orang melarat (rabble atau pauper class) ini (lih. #245). Di satu sisi, bisa saja kepada orang kaya atau lembaga-lembaga kaya dibebankan ‘kewajiban’ untuk menolong orang melarat secara langsung sehingga orang melarat “tidak usah bekerja apapun lagi untuk memenuhi kebutuhan dasariahnya”. Namun, di sisi lain, policy semacam ini justru akan bertabrakan dengan prinsip dasariah MS itu sendiri yaitu hormat dan martabat yang melekat pada person berdasarkan upaya mengejar dan merealisasikan kepentingan kehendak partikular masing-masing individu. Solusi lain yang ditawarkan Hegel untuk menyelesaikan problem kemiskinan adalah dengan melebarkan sayap-sayap perdagangan (trade) di luar batasan teritori dari MS. Di sinilah cikal bakal kolonisasi yang merupakan keniscayaan dari dialektika MS itu sendiri (the full-grown civic community finds itself impelled). (lih. #246 – 248). Di bagian tambahan par. 248, Hegel menjustifikasi kolonisasi dengan alasan sebagai berikut: “The civic society is forced to found colonies, owing to the increase of population, but more especially because production oversteps the needs of consumption, and the growing numbers cannot satisfy their needs by their work.” (cetak miring ditambahkan penulis). Hegel berbicara secara spesifik tentang korporasi di par. 250 – 256.
Ada beberapa sumbangan pemikirannya yang mau saya garis-bawahi di sini, yaitu (a) #255 yang berbunyi “sebagaimana keluarga adalah yang pertama, maka korporasi, yang tertanam dalam MS, menjadi akar penyusun atau basis yang kedua dari Negara.” ; (b) #253 yang berbunyi “Jika individu bukan anggota dari korporasi yang sah, dan tidak ada perkumpulan yang bisa menjadi korporasi kecuali ia sudah diotorisasi, maka ia tidak mempunyai kehormatan-klas / class-honour” ; (c) #252 yang berbunyi “di bawah pengawasan otoritas publik, korporasi mempunyai hak untuk menjaga kepentingan2nya yang sudah didefinisikan secara jelas, seturut kualifikasi2 objektif yang memang diperlukan untuk merekrut anggota baru, yang jumlahnya ditentukan oleh sistem umum, untuk menyediakan bagi para anggotanya hal-hal yang diperlukan agar tidak jatuh menjadi miskin / sewaktu-waktu kehilangan pekerjaan dan juga untuk menumbuhkan kapasitas yang dipandang perlu bagi setiap orang yang memang mau menjadi anggota korporasi tersebut.”
Tanggapan:
*) setelah membaca sendiri par. 230 – 256 dan komentar Dudley Knowles tentang bagian ini[4], saya menangkap kesan yang cukup meyakinkan bahwa posisi Hegel adalah posisi status-quo yang cenderung menjustifikasi adanya kemiskinan sebagai keniscayaan dari over-produksi dan kegagalan distribusi kekayaan yang timbul dalam MS maju. Tidak hanya itu, Hegel juga nampaknya terjebak dalam dilema yang sulit dipecahkan untuk mengatasi problem kemiskinan yang akut, baik dari segi dilema moral maupun dilema politis-ekonomis yang, sekiranya diambil solusi langsung untuk menyelesaikannya (misal: pembagian kekayaan dari orang kaya ke orang miskin), tidak bisa tidak akan melanggar prinsip dasar MS yaitu hormat (as a person) dan martabat (pengakuan dari yang lain) yang melekat dalam tindak kerja dan berkumpul atau berasosiasi (misal, dalam korporasi).
*) Jika solusi ke dalam dari problem kemiskinan tidak bisa dilakukan (tanpa melanggar prinsip dasariah dari MS itu sendiri), maka solusi keluar dari kemiskinan juga, jika dievaluasi dari perspektif kesadaran historis yang menyejarah (Gadamer), tidak juga nampak sebagai solusi yang memuaskan karena justru akan melahirkan problem-problem baru, yaitu ekspansi kapital dan kolonisasi daerah-daerah yang nota bene masih baru dan terbelakang, yang berujung pada hegemoni Barat atas ‘indigenous’ dan juga pengajegan pola-pola ‘westernisasi’ budaya.
*) Di bagian akhir dari tulisannya[5], secara reflektif Kenneth Westphal menanyakan seberapa jauh lembaga2 politik yang ada sekarang dapat menjamin dan mempromosikan kebebasan yang sejati dan otonomi politik sekaligus sampai batas mana lembaga2 tersebut dapat atau harus direformasi untuk bisa mengegolkan cita-cita ini. Pertanyaan reflektif dari Westphal tersebut, jika direformulasikan khusus untuk pembahasan bagian ini mungkin akan berbunyi sebagai berikut: “seberapa jauh lembaga polisi dan korporasi kontemporer dapat memainkan peranannya yang positif dan rasional sebagai lembaga intermediate yang menjembatani hasrat2 mengejar keuntungan sendiri dari individu sekaligus tekanan dari negara agar mereka menjadi lembaga yang bisa menjadi suri tauladan dalam hal ketaatan hukum dan imparsialitas”? Fakta-fakta menyedihkan seperti membiaknya korupsi, ngemplang pajak, polisi memalak warga, para CEO yang tak tahu diuntung dengan menghambur-hamburkan uang “penyelamatan dari terpaan krisis finansial” untuk senang-senang badaniah, tentu jauh dari model dan cita-cita “aktualisasi kebebasan” yang lebih penuh sebagaimana diidam-idamkan Hegel.
Catatan Kaki:
[1] Versi “Philosophy of Right” yang saya rujuk di sini adalah versi terjemahan S.W Dyde (Kitchener: Batoche Books, 2001). Lih. # 182 “The concrete person, who as particular is an end to himself, is a totality of wants and a mixture of necessity and caprice. As such he is one of the principles of the civic community. But the particular person is essentially connected with others. Hence each establishes and satisfies himself by means of others, and so must call in the assistance of the form of universality. This universality is the other principle of the civic community.” Bdk, # 186, di mana Hegel mengatakan bahwa “the principles of particularity and universality are independent, their unity is not an ethical identity. It does not exist as freedom, but as a necessity. That is to say the particular has to raise itself to the form of universality, and in it it has to seek and find its subsistence.”
[2] Lih. #209 “something universally acknowledged, known, and willed”
[3] Hegel menggunakan istilah Pöbel. Lihat uraian yang menarik dari Knowles tentang istilah ini dalam Knowles, Dudley, Hegel and the Philosophy of Right, London: Routledge, 2002, hlm. 289.
[4] Lih. Knowles, Dudley, Hegel and the Philosophy of Right, London: Routledge, 2002, hlm. 283 – 301
[5] Lih. Westphal, Kenneth, “The Basic context and structure of Hegel’s Philosophy of Right” dalam Beiser, Frederick C. (editor), The Cambridge Companion to Hegel, Cambridge: Cambridge University Press, 1993, hlm. 234 – 269
Dalam APPIFIED: Culture in the Age of Apps, antologi tulisan yang disunting Jeremy Wade Morris dan Sarah Murray (2018), disampaikan bahwa diskursus tentang piranti lunak (software)—beberapa di antaranya: Snapchat, Whisper, Yik Yak, Electric Razor Simulator, Vibrator Secret for Women, IAmAMan, I am Important, Candy Crush, Spotify, Evernote, Uber, Boom Boom Soccer, Emoji Keyboard, Is It Vegan? Is It Dark Outside? Is It Tuesday? Is It Love? MapMyFitness, MapMyDogWalk, MyPill Birth Control Reminder and Menstrual Cycle Calendar Tracker, SmartMom, Waiting for Birth, Waiting for Birth Pro–Father’s Version, Baby Shaker, Gay-O-Meter Full Version, Tinder, Grindr, AgingBooth, Black People Mingle, iGun Pro–TheOriginal Gun Application—tidak dapat dilepaskan dari ketertanamannya dalam rutinitas, kontak, komunikasi dan terutama, orang-orang yang membuat, memainkan, menjual & membeli, serta menggunakannya.
Apps merupakan sub-sektor industri piranti lunak yang paling pesat perkembangannya dan bernilai ekonomis sangat tinggi. Para peneliti kajian media sah-sah saja menghamburkan seribu-satu teori untuk memahami bagaimana orang membuat dan memberi makna pada objek-objek budaya seperti film, lagu, video games dan acara/program TV, tapi keberadaan apps yang jumlahnya sedemikian banyak masih belum sungguh-sungguh dipelajari dan signifikansi budayanya belum cukup diakui (Morris dan Murray, 2018: 2).
Sebagian besar apps dibuat untuk membantu pengguna memecahkan masalah sehari-hari mereka: mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, mencatat rencana kegiatan harian sampai jadwal olahraga rutin. Receh? Tidak juga.
Apps berfungsi untuk, di antaranya, menghubungkan kita dengan teman lama (dan kenalan baru), berbagi ingatan bersama (dan mengidentifikasi informasi pribadi), menciptakan karya seni (dan juga sampah digital) serta membantu sebagai petunjuk arah (dan menandai tempat-tempat yang sudah pernah dikunjungi). Ini semua tidak bisa dikatakan “receh.”
Jadi, seberapa “serius” keberadaan apps untuk menandai diri dengan segala kompleksitasnya dalam ‘kehidupan digital’ ini?
Dalam konteks pertanyaan inilah Appified menjadi suatu kajian media baru yang membahas pengalaman interaksi dan komunikasi manusia dengan beragam apps dalam hidup digitalnya.
Apps yang dipahami sebagai “produk budaya sekaligus praktik berkomunikasi” semakin lama semakin intensif digunakan, dan karenanya, menjadi objek studi yang amat menarik, aktual dan relevan.
Rujukan:
Morris, J. W. dan Murray, S., Editor. (2018). APPIFIED: Culture in the Age of Apps. Ann Arbor: University of Michigan Press.
Dikutip dari Schutz, A. (2013). Collected Papers IV. Springer, h. xyz.
Terjemahan oleh Hendar Putranto
Sebagai manusia, baik dalam konteks hidup sehari-hari maupun dalam konteks pekerjaan ilmiah yang kita lakukan, kita memiliki kecenderungan untuk berasumsi secara naif, artinya, apa yang pernah kita anggap benar sekarang akan kita anggap valid terus sampai besok-besok dan apa yang kita terima tanpa mempertanyakan di masa lalu, tidak akan kita pertanyakan lagi di masa depan. Sebenarnya hal ini lumrah saja, tidak membahayakan, asalkan yang kita asumsikan secara naif tersebut memiliki sifat yang murni logis, atau pernyataan empiris yang memiliki kadar generalisasi yang tinggi, meskipun juga tidak menutup kemungkinan bahwa proposisi-proposisi semacam ini pun memiliki ruang keterbatasan penerapannya juga.
Pada sisi yang lain, yang biasa kita sebut ‘level yang konkrit,’ kita terpaksa mengakui adanya sejumlah anggapan tanpa mempertanyakan mereka. Bahkan dalam riset aktual yang kita kerjakan, tidak jarang kita mengandaikan sejumlah pra-anggapan yang tidak dipertanyakan yang dalam bayangan kita dianggap sudah jelas menghubungkan sejumlah persoalan dan aspek-aspek yang mau diteliti.
Melompat dari sisi yang satu ke sisi yang lain berarti mempertanyakan apa yang tadinya sudah kita andaikan dan dianggap jelas dengan sendirinya, yang tadinya kita anggap hal terberi (given datum) bagi persoalan kita, sekarang menjadi problematis.
Dengan pergeseran sudut pandang kita, problem-problem baru dan aspek-aspek faktual mentas sementara yang lainnya menghilang meskipun tadinya mereka ada di jantung persoalan kita. Fakta ini saja sudah mencukupi untuk kita mulai melakukan modifikasi menyeluruh atas makna dari semua terma yang tadinya kita gunakan pada level (penelitian) sebelumnya.
Karenanya, kita perlu berhati-hati sekali mengendalikan modifikasi-modifikasi makna tersebut agar terhindar dari bahaya memindahkan begitu saja secara naif terma-terma dan proposisi-proposisi dari level yang satu ke level yang lain meskipun validitas terma dan proposisi sebelumnya itu secara relatif terbatas pada level yang ada sebelumnya juga anggapan-anggapan yang mengikutinya.
Dalam tulisannya, Muntaner (2018) mengatakan bahwa kapitalisme platform dijital, seperti tampak contohnya dalam perusahaan Über atau Lyft, berpotensi mengubah pekerjaan dan kondisi kerja bagi segmen lapangan kerja tertentu yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya.
Para pekerja yang ‘mencangkul’ di ladang dijital ini terpapar sejumlah kondisi pekerjaan yang sifatnya rentan sekaligus merusak kesehatan, yang menjadi ciri khas dari klas pekerja di negara-negara dengan penghasilan tinggi.
Sejalan dengan gagasan ‘precariat’ dari Guy Standing atau Mike Savage, tampaknya para pekerja platform dijital membentuk klas sosial yang baru yang tidak terafiliasi dengan klas-klas sosial yang sudah ada sebelumnya.
Meskipun dianggap sebagai klas sosial baru, namun gesekan-gesekan kepentingan dari suatu klas sosial seperti besaran upah, aneka ragam manfaat pekerjaan (seperti tunjangan kesehatan, dan lainnya), kondisi-kondisi perekrutan tenaga kerja dan dalam melakukan pekerjaan itu sendiri, juga tindakan kolektif, dari para pekerja platform dijital relatif sama dengan klas pekerja yang sudah ada sebelumnya.
Pertanyaan kritisnya:
Bagaimana memperbaiki kondisi-kondisi pekerjaan bagi klas pekerja platform dijital ini sehingga mereka tidak menjadi korban sistemik kapitalisme platform dijital yang tidak kenal ampun secara terus-menerus?
Referensi
Muntaner, C. (2018). Digital Platforms, Gig Economy, Precarious Employment, and the Invisible Hand of Social Class. International Journal of Health Services, 48(4), h. 597–600. DOI: 10.1177/0020731418801413
This article has beem published in ResponS, Jurnal Etika Sosial Unika Atmajaya Jakarta, Vol. 25(2), pp. 9-48.
DOI: https://doi.org/10.25170/respons.v25i02.2461
KEYWORDS: Covid-19, Creative Industries, Political Economy of the Media, Structural Theory of Galtung’s Cultural Imperialism, Digital Capitalism, Data as Capital and Data as Labor, Commodification of Digital Media Workers, Big Data
ABSTRACT
Entering 2020, the Covid-19 epidemic struck the lives of all people across borders of nation-states mercilessly and this triggered a global economic recession. Pandemic brought various unforeseen crises, including for Creative Industry workers. Although the last two decades show a positive trend of Creative Industry’s financial contribution to Indonesia’s GDP long before the outbreak of the Pandemic, the seeds of the crisis of the Creative Industries have been around for a long time, starting from the transition phase of the era of Industrial Capitalism to Digital Capitalism. Using the approach of the Analysis of Political Economy of the Media, the author will show the genealogy of the crisis by outlining the conceptual dimension of ‘structural violence’ referring to the Structural Theory of Galtung’s Cultural Imperialism (1971). A brief history of the term Digital Capitalism is also discussed in order to obtain a more comprehensive understanding of the crisis. Furthermore, a number of political economy issues that emerged in Digital Capitalism were identified to indicate the locus problematicus of the ongoing crisis. The core argument of this paper will show why the problems of political economy concerning the dualism of Data as Capital and Data as Labor are serious problems in Digital Capitalism, which escapes the attention of the public. The author offers a solution by combining a more equitable pro-Structural input from Galtung analysis, Marxist perspectives, and the collective pro-agency approach from Arrieta-Ibarra, et al. (2018). Analysis of the problem of commodification of Digital Media Workers in the framework of Data as Labor is expected to increase the reader’s awareness that the relationship of inequality and exploitation of workers in the era of Industrial Capitalism actually continues in Digital Capitalism when Big Data becomes the logic of new capital accumulation (within the framework of Data as Capital) with The Big Five Internet Corporations as the responsible actors. When Covid-19 hit, material conditions and the survival of creative industry workers as free labor were made even worse.
Kuy kalau mau baca langsung artikelnya bisa klik link ini ya:
http://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/respons/article/view/2461
Saya: Kereen jd narahubung buat (sebuah lembaga pendidikan terkemuka di Jakarta) ?
Dia: Becanda itu pak hehehe ???
Saya: Pernah baca buku ini, bang?
“In Search of Lost Cheekiness” 101
Greek Philosophy of Cheekiness: Kynicism 101
Pissing against the Idealist Wind 103
Bourgeois Neokynicism: The Arts 107
Cynicism as Cheekiness That Has Changed Sides 110
Theory of the Double Agent 113
Cheeky Social History 115
Embodiment or Splitting 118
Psychopolitics of Schizoid Society 120
Unashamed Happiness 124
Meditation on the Bomb 128
Dikutip dari Kritik der zynischen Vernunft karya filsuf Jerman, Peter Sloterdijk (1983, 2 volumes)
*Becanda* itu sudah didalami scr filosofis oleh skurang2nya dua orang filsuf Eropa: yg pertama Henri Bergson dgn karyanya Le Rire : essai sur la signification du comique (1900) dan yg kedua, oleh Peter Sloterdijk dengan karya seperti saya tuliskan di atas.
Jadi, ? becanda itu cheekiness dan itu yg hilang dari kajian Filsafat Eropa modern. Kajian Filsafat Eropa Modern menjadi terlalu serius dan terkesan knowing it all. Philosophy is no longer fun & experienced as katharsis.
Bagaimana dgn “cheekiness” dalam kajian jelajah Filsafat Nusantara?
PR buat kita.
cheers!