Reading, understanding and overcoming algorithm. Hey, 1% is quite original, right?
Hendar
here’s the real deal, afterwards.
I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?
Narasumber utama: Dr. Francisco Budi Hardiman, Dosen Filsafat di Fakultas Liberal Arts, Universitas Pelita Harapan, Banten. Alumnus Hochschule für Philosophie München, Jerman; meraih gelar Magister der Philosophie (1997) dengan tesis berjudul “Demokratie als Diskurs. Zu Jürgen Habermas Diskurstheorie der demokratischen Rechtsstaates” dan gelar Doktor der Philosophie dari perguruan tinggi yang sama pada 2001 dengan disertasi berjudul “Die Herschaft der Gleichen. Masse und totale Herrschaft. Eine kritische Ûberprüfung der Texte von Georg Simmel, Hermann Broch, Elias Canetti und Hannah Arendt.”
Moderator: Budhy-Munawar Rachman, tokoh pemikir Islam progresif dan dosen di Universitas Paramadina, salah satu pendiri INSPECTUS (Perkumpulan Para Penggiat Isu Etika Politik dan Keadaban Publik)
Diskusi Buku (Komunitas) Esoterika, Seri 2
Minggu, 26 Juli 2020, pukul 19.00-21.00
Berikut screenshot yg dianggap representatif dari sesi Webinar tersebut yg berhasil saya himpun (sebagian saya catat sendiri sejauh tertangkap, mungkin tidak semuanya lengkap. Saya punya power points lengkap dari paparan pak Franky, tapi tentu saya tidak berwenang untuk share di blog saya ini tanpa sepengetahuan dan seizin beliau).
ada 3 hal yang menarik perhatian saya dari Webinar (berbayar) yg saya ikuti malam ini.
1. Jumlah artikel ilmiah dan artikel Proceeding terindeks Scopus yang dihasilkan para ilmuwan Indonesia akhirnya untuk pertama kalinya melampaui negara-negara tetangga Se-ASEAN, terutama “musuh bebuyutan” selama ini yaitu Malaysia. Dari segi kuantitas, ini prestasi yg pantas diacungi jempol (two thumbs up). DIKTI sdh berupaya keras menggenjot produktivitas para peneliti yang didanai HIBAH untuk mengirimkan (submit) paper original research report mereka ke jurnal2 bereputasi internasional, terutama yang terindeks Scopus dan Web of Science. Terimakasih banyak kepada Bapak Prof. Dr. Ocky Karna Radjasa, M.Sc. Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat DIKTI, yang sudah dengan intensif menyosialisasikan kebijakan-kebijakan DIKTI terkait publikasi hasil riset serta pencapaian2 positif yang sudah kami rasakan.
#prideofnation #research&dev @researchgrant
2. Untuk sitasi, masih perlu ditingkatkan lagi jumlahnya supaya kualitas keterbacaan dan impact dari tulisan2 yg sdh terpublikasi di jurnal2 bereputasi internasional tersebut dapat menjadi rujukan utk pengembangan riset2 berikutnya dan syukur2 menjadi salah satu sumber rujukan bagi pejabat pemerintah negara2 utk pengambilan keputusan (kebijakan) di tingkat nasional, regional maupun internasional (research-based policies)
#researchbasedpolicy
3. Jangan lupa, seperti diingatkan Prof. Julian dalam paparannya, “the best way to write a good paper is to read plenty of good papers.” Saran Prof. Julian ini sudah saya lakukan sejak kuliah S2 dulu (start tahun 2005) dan dengan konsisten masih terus saya lakukan sampai sekarang. Syukur Alhamdullilah, ada hasilnya yang menggembirakan..hehe… Adapun yg masih sulit saya lakukan dari sejumlah tips dan saran dari Prof. Julian adalah “Less can be more: shorter paper can be a lot more impactful + think about whether you have been too wordy.” Self-assessment yang saya lakukan, saya cenderung too wordy dan cenderung menulis paper yang lebih panjang daripada ukuran standar “15-20 halaman” untuk tulisan ke jurnal. Mungkin dengan belajar membuat review dari paper2 yg saya baca, saya dapat lebih melatih diri untuk menulis paper dengan lebih ringkas tapi more impactful. Semoga.
Sekali lagi, terimakasih Prof. Julian Griffin sebagai Narasumber Kunci, Dr. Sastia Prama Putri*) sebagai Moderator dan DIKTI berkolaborasi dengan ForTI.
*) Tentang profil ilmuwan perempuan dengan prestasi yang luar biasa mengagumkan, berikut kutipan kisah hidup Dr. Sastia Prama Putri yang sangat inspiratif, yang sebagiannya saya kutip dari sumber kredibel berikut ini: https://www.itb.ac.id/news/5213.xhtml [“Kiprah Dr. Sastia Prama Putri: Dosen Luar Biasa ITB, Peneliti Aplikasi Metabolomik” ditulis oleh Mega Liani Putri; Sabtu, 18 Juni 2016, 14:03:43 WIB]
[start quote] Dr. Sastia memiliki kiat khusus dalam mengatur waktunya, menyeimbangkan karir dan urusan keluarga. “Saya punya annual target, monthly target, weekly target dan daily target dan saya bagi tugas berdasarkan skala prioritas dan atur timeline pekerjaan saya. Setiap hari saya pasti meluangkan waktu untuk keluarga di rumah, makan malam pasti bersama-sama dan bermain bersama anak saya sampai dia tidur baru saya melanjutkan pekerjaan saya lagi,” ungkapnya. “Saya selalu ingat kata-kata bapak saya apapun profesi yang saya pilih, saya harus jadi orang yang berguna. Saya melihat profesi dosen dan peneliti itu bisa berguna untuk orang banyak,” Dr. Sastia bercerita, “Membagi ilmu sebagai dosen dan memanfaatkan ilmu sebagai peneliti membuat saya terus menemukan hal hal yang baru dan hidup jadi tidak membosankan. Saya senang mengulik misteri kehidupan dan setiap discovery yang saya temukan lewat dunia riset menurut saya sangat menyenangkan.” Sebagai seorang dosen, Dr. Sastia memiliki misi untuk memotivasi mahasiswa dan generasi muda Indonesia untuk tidak melupakan riset. “Bumi Indonesia sangat kaya jadi saya harap generasi muda Indonesia lebih banyak lagi termotivasi untuk menggali potensi alam kita dan mengembangkan industri tanah air dimanapun berada,” pesannya. [end of quote]
Salam!
Hendar
Semoga bermanfaat!
PANDEMI punya CERITA: Jumpalitan Industri Film Indonesia
BiNar 22 Juli 2020 jam 20-22.00 WIB
Pertanyaan Hendar:
Kalau dulu pas zaman Kapitalisme Industru para buruh (klas proletar) berjuang mengatasi nasib dieksploitasi tenaganya oleh klas borjuis (para pemilik modal dan mesin2 produksi), apakah pada zaman Kapitalisme Digital ini, teman2 seniman film sebagai bagian dari digital creative workers. Ada ahli yg menyebutnya sebagai kelas baru yaitu Precariat (Michael Hardt dan Tony Negri, 2000, Empire; Guy Standing, 2011, The Precariat: The New Dangerous Class, London dan New york: Bloomsbury Academic) punya/berniat/mengkonsolidasi diri dlm Serikat Pekerja Media utk meyuarakan kepentingan2 klas Precariat yg selama ini cenderung (maaf kalau saya keliru) diabaikan baik oleh para investor maupun negara?
*) Kutipan: “Symbols matter. They help unite groups into something more than a multitude of strangers. They help in forging a class and building identity, fostering an awareness of commonality and a basis for solidarity or fraternité. Moving from symbols to a political programme is what this book is about. The evolution of the precariat as the agency of a politics of paradise is still to pass from theatre and visual ideas of emancipation to a set of demands that will engage the state rather than merely puzzle or irritate it” (Standing, 2011: 3).
[Jawaban dari mas Tito]
Standar kompetensi film (sertifikasi) dalam Industri Film, ada 160-170 bidang profesi yg berbeda, ada beberapa klp besar/departemen, misalnya:
*) Kamera
*) Suara
*) Editing
*) Art
*) Produksi, Produser + anak buah
*) Sutradara
*) Penulis Naskah
*) Special Effects, Animator
*) Dokumenter
msg2 klp ini punya asosiasi (sutradara, kamera, penulis naskah, art, casting, dst)
yg tdk ada asosiasi adalah krew yg di bawah2, ini yg plg kasihan.
dlm usaha tambal sulam penanggulangan dampak Covid-19 ini, disalurkan dana bantuan lewat asosiasi2 ini kpd krew bawah yg tdk punya asosiasi.
BPI (Badan Perfilman Indonesia), pengurus dibentuk lewat Kongres dari sejumlah asosiasi ini, ada yg campuran bbrp profesi, aktor pny bbrp asosiasi, ada empat atau lima.
Asosiasi ini bisa jadi kayak Serikat Buruh? Ya lumayan mereka bisa membuat standar harga, posisi tawar yg lebih baik, tapi sayangnya krn ada berbagai asosiasi, kameramen yg ikut asosiasi Indonesian Cinematographer Society, ada juga yg kameramen yg jd anggota di Asosiasi lain. Tapi Asosiasi2 ini msg2 punya program memberdayakan anggotanya dan memastikan di dlm sertifikasi kompetensi ini ada level berapa2, dibekali dlm asosiasi msg2.
Ketika dlm kongres BPI, ada juga Asosiasi Produser, Perusahaan Film, Pengusaha Bioskop termasuk juga dari yg diundang dalam BPI.
Produser ini ada yg punya perusahaan film, punya slot di bioskop setahun 10 film,
ada produser yg setahun belum tentu sekali.
Mira Lesmana dkk, produser butik, bikin film terbatas, tapi mereka berusaha kualitasnya baik bs masuk festival di mana2.
Ada juga produser yg fokus dpt investor biar filmnya bs jalan, ekonomi sdh muter klo udh dapet investor.
hubungan bisa saling ngobrol dan saling tawar-menawar; di satu sisi kita melihat orang film yg plg sering berantem dari zaman BT2N, Dewan Film Nasional, dll. di bidang seni yg lain jarang dengar ada yg berantem.
film dianggap penting shg diberikan institusi khusus utk atur dan kendalikan mereka, lalu orang2 banyak ini kuenya kecil sekali, laporan Bekraf, 1% dari Ekonomi Kreatif itu.
tapi kita sibuk diskusi shg kita butuh sertifikasi kompetensi yg baik dan berguna utk industri, itu relatif cepat, dalam satu tahun proses berjalan, relatif cepat. yg Musik lebih lama (mental lagi), UU yg lain msh susah, kita udh punya UU Film, skrg lg persiapan ada UU baru.
bukan bidang yg sgt ideal negosiasinya, tapi bisa berjalan, semua org bs utarakan uneg2 dgn lancar dan ada yg menjawab. terjadi dialog misalnya antara pengusaha bioskop dgn produser film.
bioskop yg dulu sgt monopolistik, skrg dgn bangga ikut mengumumkan jumlah penonton bioskop tahun 2018 49 juta, tahun 2019 ada 51 juta dst. [Jadi, ada kebanggaan dan kordinasi antara para pelaku Industri Film dari hulu/tahap produksi sampai hilir/tayang di bioskop]
[Tambahan jawaban dari mas Sugeng]
BLT tdk spesifik utk pekerja film, Kementerian Pendidikan & Kebudayaan merilis bulan April 2020 lalu form utk mendata pelaku budaya yg terpapar Covid-19, sampai td malam dicek ada 27 ribu atau 29 ribu, yg sdh isi form ini. Borang ini isinya spt BLT tadi, dibagi dua tahap, prioritas pertama dan kedua, msg2 akan terima uang cash lewat rekening. Apresiasi Pekerja Budaya (APB), sampai detik ini pengaturannya msh nunggu konfirmasi. verifikasi hrs lewat karya, ke website tsb. Nominal yg akan diterima Satu Juta Rupiah untuk setiap pekerja yg terverifikasi.
Refleksi Moral-Etis berdasarkan pandangan filsuf dan sastrawan, Iris Murdoch, dalam bukunya The Sovereignty of Good (1970)
Refleksi ini dituangkan dalam bentuk surat terbuka yang ditujukan untuk menggugah kesadaran Gubernur DKI Jakarta tentang problem warga miskin kota, urbaan poor workers, atau PMKS dalam istilah Perda DKI Jakarta [yg menjabat waktu itu saat tulisan ini dirilis, tahun 2004, adalah Sutiyoso]
Semoga tulisan ini menggugah compassion kita.
Tabik!
Hendar Putranto