Categories
Uncategorized

[Day_NINE] Konsep emik dan etik dalam Penelitian Kualitatif

Semoga bermanfaat telaah 1500 kata ini!

Categories
Uncategorized

[Day_EIGHT] Kritik terhadap Kritik Pemikir Post-Mo terhadap (Kuasa) Media

Harms dan Dickens (1996) menyampaikan tiga buah kritik terhadap kritik para pemikir post-mo terhadap media:

1) Masihkah analisis media berperspektif Marxis (dengan tokohnya seperti, untuk menyebut beberapa saja yang cukup terkenal, Douglas Kellner, Fredric Jameson, Herbert Schiller, dan, to a lesser degree than those three figures already mentioned, Colin Sparks, lihat di Dapus) relevan untuk memeriksa bias-bias media? Bagaimana dengan perspektif post-modern, sanggupkah ia membongkar bias-bias media juga? Altheide dan Snow (1991, h. 11) menunjukkan bahwa baik perspektif Marxis maupun post-mo yang terlalu “mediacentric” sama-sama “cupet” (one-sided) untuk mengkritik bias media. Mengapa demikian? Teknologi informasi yang meletak di jantung kondisi pasca-modern ternyata sami mawon. Ia BU (butuh uang), ia berkembang (dan dapat dikembangkan) dalam kerangka logika kapitalisme, dan ia diproduksi oleh perusahaan2 yang kepentingan utamanya ya akumulasi kapital. Jadi, sami mawon tho?

2) Betul diakui bahwa kaum post-mo menyediakan sejumlah pencerahan yang penting menyangkut gugus format, kode, dan struktur dari media-massa dan komunikasi kontemporer. Tapi disadari bahwa komunikasi itu melibatkan lebih dari sekadar bentuk atau format belaka. Konten dan intensi serta kepentingan yang ada di balik konten itu juga tidak kalah penting dibandingkan unsur-unsur proses komunikasi. Dalam arti ini, kritik ekonomi-politik, entah yang berparadigmakan Marxis/Neo-Marxis maupun post-strukturalis, sudah paling pas untuk menyingkapkan borok2 intensi dan kepentingan kapitalistik di balik pilihan produksi dan distribusi konten media, betapapun dari luar “tampak” beragam.

3) Kombinasi palsu dari idealisme linguistik dan determinisme teknologi membuat kajian media beraliran post-mo keteteran karena tidak lagi ada basis yang kokoh dan memadai untuk mengkritik juga mengevaluasi bentuk+konten media kontemporer sekaligus praktik-praktik komunikasi.

Tambahan kritik dari Hendar dengan melihat historisitas kondisi maupun power interplay dari media pada waktu itu:
Perlu disadari bahwa pada tahun 1996, meskipun Internet sudah mulai digunakan secara massal oleh pelaku bisnis, akademisi dan pelaku media, namun media sosial belum ada bentuknya. Jadi, kritik post-mo berhaluan Foucauldian, katakanlah, yang mengatakan (kurang lebih) bahwa “power is dispersed, thus, critique of power should also be dispersed,” belum sangat berlaku, karena kekuasaan media (baik media massa jurnalistik maupun media entertainment) masih terlalu memusat pada beberapa nama media companies saja (sebagai misal: Time, CNN, Walt Disney, Viacom, Gannett, ITV, JCDecaux, Hearst, Warner). Waktu itu belum dikenal yang namanya kekuasaan selebgram atau selebriti internet yang dapat “sway the public opinion on certain things/issues,” sehingga belum begitu kentara resistensi dari budaya populer ‘arus bawah’ (user-centric) terhadap ‘budaya populer’ yang dikampanyekan media massa maupun media entertainment arus (modal) utama.

Rujukan utama:
Harms, J. B. dan Dickens, D. R. (1996). Postmodern media studies: Analysis or symptom? Critical Studies in Mass Communication, 13(3), 210-227. DOI: 10.1080/15295039609366976

Rujukan penyerta:
Altheide, D. L. dan Snow, R. P. (1991). Media Worlds in the Postjournalism Era. Aldine de Gruyter.
Sparks, C., Scannell, P., Schlesinger, P. dan Garnham, N. (1992). Culture and Power: A Second Critical Reader from Media, Culture and Society. London: Sage.
Dahlgren, P. dan Sparks, C. (1993). Communication and Citizenship: Journalism and the Public Sphere (Communication and Society). London dan New York: Routledge.
Sparks, C. dan Reading, A. (1997). Communism, Capitalism and the Media in Eastern Europe. London: Sage.

Categories
Uncategorized

[Day_SEVEN] Dalam Masyarakat Pengetahuan, apakah Dosen itu Academic Labor?

Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer

Abstract

“Guru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasa”, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen. Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi.

Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan yang kuat antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa.

Section of the published paper

“Nasib” Agen Pengetahuan dalam Tatanan Masyarakat Pengetahuan: Kontekstualisasi Gagasan

Di manakah kontribusi guru dan dosen sebagai agen pengetahuan dalam konstelasi masyarakat pengetahuan sebagaimana digagas Nico Stehr?

Apakah secara umum pasca rezim otoriter Orde Baru 1998, terjadi penguatan dan perluasan kapasitas serta kapabilitas mereka atau justru para guru dan dosen malah terhisap dalam hegemoni kekuasaan (baru) dan domestifikasi kekuatan?

Jika diletakkan dalam konteks sosial politik ke-Indonesiaan pasca Gerakan Reformasi, maka apakah dosen-dosen di Indonesia sudah menubuhkan prinsip-prinsip masyarakat pengetahuan seperti diuraikan oleh Stehr di atas? Atau justru sebaliknya, semakin tergilas dan terlibas oleh kapitalisasi dan privatisasi pengetahuan?

Pertama-tama perlu dipahami bahwa pembentukan Serikat Dosen Indonesia (SDI) merupakan bagian dari Gerakan Sosial Baru (GSB) yang tidak ketat terafiliasi pada entitas kolektif Marxis seperti kelas, ataupun nasionalisme.

Meskipun secara objektif profesi guru dan dosen sudah selalu meletak dalam ‘posisi kelas’ (class position) tertentu, tegasnya, kelas menengah ke bawah, akan tetapi tidak serta merta kehadiran dalam posisi kelas itu bereskalasi menjadi “kesadaran kelas” yang merupakan jalan penting bagi terwujudnya solidaritas kelas.

Kesadaran palsu (false consciousness) tentang guru dan dosen yang diproduksi, direproduksi, dan dilembagakan oleh the ruling class yaitu negara dengan aparatnya selama era Orde Baru.

Adagium “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” sudah sedemikian mengakar dalam lubuk kesadaran para guru
dan (calon) guru di seluruh negeri, sehingga penguasaan pengetahuan yang dianggap dimiliki oleh para guru dan dosen tidak serta merta selaras dengan terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, peningkatan kesejahteraan secara bertahap, apalagi kemakmuran material.

Jika bukan guru dan dosen itu sendiri yang berjuang untuk mengafirmasi relasi pengetahuan dan kekuasaan, untuk mengemansipasi diri dari situasi ketertindasan yang sistematis, dari bentuk-bentuk ketidaksetaraan sosial yang berlindung di balik alasan saleh nan manipulatif, lantas siapa yang akan memperjuangkan mereka?

“Guru (dosen) adalah pengabdi masyarakat tanpa tanda jasa”, maka tidak perlu berharap terlalu banyak bahwa ada pihak lain yang akan memerhatikan, apalagi memperjuangkannya secara konkret, dalam bentuk pelbagai kebijakan (politis, ekonomis) yang tujuannya
untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan para guru dan dosen.

Oleh karena itu, dalam Pembukaan Anggaran Dasar Serikat Dosen Indonesia *) yang sudah disahkan oleh Notaris pada 28 Oktober 2014 yang lalu, kristalisasi dari kesadaran kelas dan solidaritas kelas para dosen yang sudah ‘tercerahkan’ ini dinyatakan sebagai berikut: “Bahwa sesungguhnya dosen merupakan salah satu pilar utama eksistensi lembaga pendidikan tinggi dalam menjalankan proses penciptaan, penyebaran, dan pembaruan pengetahuan yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi terkait dengan amanah UUD 1945
yaitu ‘pencerdasan kehidupan bangsa.’ Serikat Dosen Indonesia, disingkat SDI, merupakan bagian integral dari civitas academica nasional yang mendukung terlaksananya pembangunan nasional serta tercapainya kesejahteraan sosial yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selain itu, sebenarnyalah dosen merupakan sumber daya manusia yang diadakan untuk menjalankan sistem kerja lembaga pendidikan tinggi, yang meliputi universitas, institut, akademi dan sekolah tinggi.

Dosen merupakan pelaksana kerja yang harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas kerjanya, moralitas, kedisiplinan serta tingkat kesejahteraannya, yang kelak menciptakan kondisi dan situasi yang nyaman dalam bekerja, sehingga pada gilirannya setiap dosen mempunyai rasa memiliki, menyayangi dan persaudaraan antar sesama dosen, dengan menyadari betapa pentingnya proses produksi pengetahuan yang diharapkan mampu mewujudkan lembaga pendidikan tinggi tingkat dunia (world-class university) berdasarkan kebijakan kualitas (quality policy) sebagai salah satu pendukung pencerdasan kehidupan bangsa.

Bahwa untuk menerapkan kebijakan kualitas dan meningkatkan produktivitas pengetahuan yang dihasilkan lembaga pendidikan tinggi secara optimal, para dosen memerlukan wadah perkumpulan berupa serikat pekerja, beserta sarana dan prasarana yang memadai sebagai media untuk berkomunikasi, berperan serta, juga menggalang solidaritas agar mampu melindungi, mendidik dan meningkatkan harkat dan penghidupan yang layak dari dosen.

Keberadaan wadah tersebut ikut mendorong terciptanya kondisi dan situasi bekerja yang harmonis dan seimbang antara manajemen (direksi) perguruan tinggi dan himpunan dosen. Wadah yang dibentuk para dosen ini bercirikan mandiri, kuat, berwibawa, dibangun dan didirikan oleh, dari, dan untuk dosen secara kolektif, bebas dan demokratis.

Selain itu, keberadaan SDI diharapkan mampu berperan aktif mengelola aspirasi dan keluhan yang berangkat dari persoalan nyata yang dihadapi para dosen, yang timbul dalam situasi dan kondisi saat ini dan masa depan, dengan berpegang pada ketentuan Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21/2000, Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13/2003, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005, Undang-undang Pendidikan Tinggi No. 12/2012, dan Undang-Undang lainnya yang
relevan serta prinsip keadilan sosial dan kepentingan nasional.

Maka dengan rahmat Yang Mahakuasa, kami para dosen yang mengabdikan diri sesuai keilmuan kami dalam batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyatakan diri untuk bersatu dalam SDI dengan Anggaran Dasar sebagai berikut…”

Nasib para agen pengetahuan (di antaranya: para guru dan dosen) dalam masyarakat pengetahuan tidak boleh berhenti pada pepatah ‘bak tikus mati di lumbung padi’. Karakter emansipatoris pengetahuan yang dianggap dimiliki secara cukup oleh para guru dan dosen, sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing dan jenjang pengajaran spesifik yang diampunya, perlu memberdayakan bukan hanya para peserta didik yang dipercayakan kepadanya, melainkan juga untuk menguasakan dirinya (guru dan dosen) dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tanpa harus mengemis dan hutang sana-sini.

Dalam arti inilah karakter sosiologis pengetahuan yang emansipatoris bertemu dengan nilai etis self-respect
(kemanusiaan dalam arti yang konkret) dan self-empowerment.

*) Serikat Dosen Indonesia. (2014). Anggaran Dasar Serikat Dosen Indonesia.

SEKIAN

Untuk makalah lengkapnya, dapat dibaca di link berikut ini:

Putranto, H. (2017, January 2). Menyoal Risiko dan Kontingensi Pengetahuan dalam Masyarakat Pengetahuan Kontemporer. An1mage Jurnal Studi Kultural, 2(1), 55-69. Retrieved from https://journals.an1mage.net/index.php/ajsk/article/view/79

Catatan tambahan:
Makalah yang sudah terpublikasi di atas akan saya lengkapi dengan update pembacaan berperspektif Ekonomi Politik soal Labor dari sejumlah rujukan berikut ini [sabaaaar ditunggu yaaah, lagi bener2 rempong nih:)]

Allmer, T. (2017). Academic Labour, Digital Media and Capitalism. Critical Sociology, 1–17. DOI: 10.1177/0896920517735669

Brundage, L., Gregory, K. dan Sherwood, E. (2018). Working Nine to Five: What a Way to Make an Academic Living? Dalam Losh, E. dan Wernimont, J. Tim Penyunting. Bodies of Information: Intersectional Feminism and the Digital Humanities (h. 305-319). Minnesota: University of Minnesota Press. https://www.jstor.org/stable/10.5749/j.ctv9hj9r9.20

Glaros, M. (2004). The Academy in the Age of Digital Labor. Academe, 90(1), 42-46. https://www.jstor.org/stable/40252589

Scholz, T. (2013). Why Does Digital Labor Matter Now? Dalam Scholz, T. Editor. Digital Labor: The Internet as Playground and Factory (h. 1-9). New York dan London: Routledge.

Categories
Uncategorized

[Day_SIX] Jenakanya ruang Budaya Digital dalam bentuk memes yang viral

oleh: Hendar Putranto

Buku yang ditulis Limor Shifman (2014) berjudul Memes in Digital Culture (diterbitkan oleh penerbit terkemuka dunia, MIT Press) menarik untuk dibaca, dibahas & ‘diviralkan’ karena tiga hal berikut ini:

1) memes dilihat bukan hanya sebagai teks budaya tapi juga gugus praktik sosio-budaya yang terkait dengan penciptaan (kreasi) dan berbagi (sharing),
2) memes juga cocok untuk dimasukkan sebagai contoh artefak dari budaya viral: memes itu unik karena tidak sama dengan sekadar berbagi konten begitu saja yang lalu jadi viral (viral content), memes juga berfungsi sebagai bagian penting dari budaya partisipatoris dan daur-ulang (remix). Di dalam budaya ini, para pengguna “add-to, appropriate, mimic, parody, remix, editorialize, and transform the original content in some way.” (Vickery, 2015). Di sinilah letak kreativitas produksi yang melebur dengan aktivitas konsumsi.
3) memes dianggap sebagai contoh terbaik dari Internet (secara umum) dan budaya Web 2.0 (secara khusus). Mengapa? Meskipun secara peristilahan meme bukan hal baru—ahli Ethologi dari Inggris, Richard Dawkins, mencetuskan dan memopulerkan istilah ini dalam bukunya The Selfish Gene, terbit perdana tahun 1976. Dalam bukunya ini, meme dipandang sebagai unit terkecil dari evolusi budaya yang berupa (atau “berwujud”) ide, perilaku, atau gaya (style) yang menyebar (seperti virus) dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya, atau lintas budaya—namun dengan munculnya Internet dan berkembangnya komunikasi serta informasi digital, penyebaran meme menjadi sedemikian “ubiquitous and highly visible routine” (Shifman, 2014, 17).

Menurut analisis Dawkins dalam The Selfish Gene, kesuksesan memes untuk menyebar/tersebar/viral ditentukan kemampuannya menyertakan tiga fitur berikut ini sekaligus: longevity (awetnya), fecundity (kemampuannya untuk bertambah atau berkembang-biak secara cepat), dan copy fidelity (kemiripan kopinya). Nah, ketiga fitur ini semakin “menggila” karena adanya internet. Pertama, Digitisasi membuat transfer informasi (bahan dasar memes) menjadi semakin persis sama dengan aslinya. Fekunditas juga meningkat dengan pesat karena Internet memfasilitasi penyebaran pesan secara cepat ke sejumlah simpul jaringannya (nodes). Keawetannya juga meningkat pesat karena informasi dapat disimpan sampai batas waktu tak berhingga dalam beragam jenis penyimpanan (archives).

Shifman mencermati ada tiga atribut penting yang membuat memes menjadi ‘mainan kekinian’ yang layak dianalisis dalam kerangka budaya digital kontemporer (2014, 18). Pertama, adanya perambatan secara gradual dari unit analisis individu menjadi masyarakat. Kedua, semakin dimudahkannya reproduksi dengan cara kopi dan imitasi, dan Ketiga, difusi lewat kompetisi dan seleksi.

Buku ini amat menarik dan menghibur, sarat dengan anekdot dan contoh-contoh konkret (visual) memes yang jenaka (lih. misalnya gambar yang ada di h. 21, 25, 27, 29, 52, 115, dan 116), juga catch-phrase yang didesain satu halaman penuh sehingga memorable, seperti “In an era marked by “network individualism,” people use memes to simultaneously express both their uniqueness and their connectivity.” (h. 31) dan “While all parody includes some kind of imitation, it is important to note that not all imitations are parodies.” (h. 47), juga menyebutkan contoh-contoh video yang viral dan menjadi trend-setter memes yang sukses (seperti lagu “Chocolate Rain” yang dibawakan Tay Zonday pada April 2007, lagu anak the “Peanut Butter Jelly Time” yang menggambarkan pisang yang melompat naik dan turun, dan selebriti internet Chris Crocker yang dengan heboh menghiba pemirsa videonya agar “Leave Britney Alone.” (h. 82).

Saya ternganga-cum-terpesona dengan cara Shifman bertutur dengan jenaka dan (tetap) mencerahkan dalam bukunya. Namun, disayangkan bahwa si penulis kurang/tidak menyertakan pembahasan tentang:
1) Bagaimana memes menantang perdebatan terkini soal hak cipta, ekonomi berbagi, kepengarangan /anonimitas, dan terma penggunaan yang adil.
2) Pembahasan soal literasi digital dan, secara lebih khusus, ‘literasi meme.’ Meskipun pada bab 7 (Meme genres) hal ini sudah disinggungnya (h. 99-118), tetapi Shifman kurang melengkapi analisisnya dengan detil soal ‘keterampilan digital, budaya dan sosial’ apa saja yang diperlukan agar pengguna dapat berpartisipasi secara lebih penuh di dalam menciptakan & mereproduksi budaya meme. (Vickery,2015)
3) Dalam konteks sosio-budaya pengguna yang berbahasa Indonesia atau mereka yang bermukim di ruang hidup berbahasa Indonesia, penggunaan istilah ‘meme’ dengan mudah dapat diplesetkan menjadi meme* (sebutan kasar untuk alat kelamin perempuan) dan sebutan (yang diplesetkan tentu saja!) ini berpotensi besar menimbulkan olok-olok tersendiri yang derogatif terhadap subjek yang diolok-olok. Meskipun olok-olok tidak jarang menjadi bahan untuk di-meme-kan (tuh kan!), tapi jika olok-olok ini dipraktikkan secara luas dan dilepaskan dari konteks humornya, maka pemlesetan meme* dalam arti tertentu melecehkan martabat kaum perempuan—sesuatu yang kontradiktif dan bahkan, kontra-produktif(!) dengan misi awal meme sebagai artefak emansipatoris yang resisten terhadap kekakuan kuasa birokratis dan kemuakan terhadap politik sebagai bancakan dan perebutan kekuasaan (formal).

Sebagai penutup, akan lebih kaya bagi imajinasi kita jika memahami memes dalam pengertian contagious media seperti dipikirkan dan dituliskan Peretti (2007, 160). Jika “meme” dipahami sebagai sebuah ide yang mereplikasi dirinya sendiri (Dawkins, 1990), media yang menular (contagious media) adalah “meme” yang berdarah-daging: sebuah ide yang menubuh dalam media yang orang dapat bagikan.

Rujukan Utama:
Shifman, L. (2014). Memes in digital culture. Cambridge, MA: The MIT Press.

Rujukan Penyerta:
Peretti, J. (2007). Notes on Contagious Media. Dalam Karaganis, J. Penyunting. (2007). Structures of Participation in Digital Culture (h. 158-163). New York: Social Science Research Council.
Vickery, J. R. (2015). Book review of Memes in digital culture. Information, Communication & Society, 18(12), 1450-1451. DOI: 10.1080/1369118X.2014.979217

Biografi singkat tentang penulis buku ini, yang dikutip dari situs webnya (https://limorshifman.huji.ac.il/):
Limor Shifman adalah seorang Dosen Senior ‘Lektor Kepala’ (Associate Professor) di Departemen Komunikasi dan Jurnalisme, The Hebrew University yang ada di kota Yerusalem, Israel sekaligus Wakil Dekan di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial. Minat risetnya meletak pada media digital dan budaya populer, dan secara lebih khusus lagi, ia tertarik meneliti dua ranah yang (dianggapnya) saling bersinggungan yaitu memahami makna besar di balik teks yang kecil (seperti humor, anekdot, lelucon) dan sekaligus mengidentifikasi adanya pola-pola yang beraturan dan bermakna di semesta konten-produksi-pengguna yang kelihatan serba kacau ini. Tulisan-tulisannya dimuat di sejumlah jurnal bergengsi (Q1 terindeks Scopus) seperti Journal of Communication, American Sociological Review, New Media and Society dan Journal of Computer-Mediated Communication.

Categories
Uncategorized

[Day_FOUR] Fenomenologi TIK: Sebuah Terobosan Berpikir Mengatasi Kebuntuan Determinisme Sosial dan Teknologi (1 of 3)

[Bagian Pertama dari Tiga Uraian] Ragam Pandangan tentang Hakikat TIK

Categories
Uncategorized

[Day_THREE] Menulis daring: Sebuah tinjauan Fenomenologi

Semoga bermanfaat dan mencerahkan!

Categories
Uncategorized

[Day_TWO] Memahami dengan lebih ringkas soal Teori Aktor-Jaringan (ANT)

Sejumlah pertanyaan pemandu yang tidak semua tersedia jawabannya di sini (rumusan akan di-update minggu depan, awal Mei 2020):

1) Kapan ANT lahir? Dalam konteks sosio-budaya-akademis yang seperti apa ‘kelahiran’ ANT? (menyusul, minggu depan)

2) Siapa saja tokoh-tokoh pemikir yang mengembangkan pendekatan ini? (di sana dan di sini akan muncul dalam jawaban di bawah ini)

3) Apa saja seminal case studies yang membuat ANT jadi semakin solid sebagai “teori” sosial baru? (lihat dalam penjelasan di bawah ini, khususnya sebagai jawaban atas pertanyaan No. 8)

4) Pandangan atau asumsi teoritis apa yg dilawan atau dikritik ANT? (menyusul, minggu depan)

5) Siapa saja tokoh-tokoh yang biasanya dirujuk pada fase awal perkembangan ANT? (lihat dalam penjelasan di bawah ini, khususnya sebagai jawaban atas pertanyaan No. 9)

6) Adakah sejumlah definisi operasional yang memadai untuk ANT?
6.1) “Actor-network theory declares that the world is full of hybrid entities (Latour, 1993) containing both human and non-human elements, and was developed to analyse situations where separation of these elements is difficult (Callon, 1997, 3)”
6.2) “an approach to the processes of social ordering that focuses on how associations between entities are created and sustained (“sociology of associations”) whose distinguishing feature is that it takes into account the roles of nonhuman as well as human entities in the production of social orders.” (Michael, 2017)
6.3) “ANT studies look for ways of revealing the generative intricacies that constitute and stabilize technical and social reality. One common strategy, for instance, is to focus on moments of sociotechnical controversy, when networks are interrupted and when their composition becomes problematic again.” (Bencherki, 2017)

7) Sebutkan dan jelaskan 3-5 ‘konsep kunci’ atau prinsip utama dari ANT!
ANT didasarkan pada tiga prinsip utama berikut ini (Callon, 1986b):
1) agnosticism (bukan ‘agama’)
2) generalised symmetry (between human and non-human agency): ANT operates through symmetrical accounts of reality by employing the same analytical terms to describe human and nonhuman agency. (Holmes, 2014, h. 422)
3) free association.
Selain tiga prinsip di atas, ANT juga didasarkan pada asumsi teoritis-cum-metodologis berikut ini:
1) The use of heterogeneous entities (Bijker, Hughes et al. 1987) avoiding questions of: ‘is it social?’ or ‘is it technical?’ as missing the point, which should be: “is this association stronger or weaker than that one?” (Latour 1988b :27).
2) Socio-technical account of phenomenon: ANT tidak terjebak dalam salah satu dari dua determinisme berikut ini: determinisme sosial <-- --> determinisme technical. “ANT proposes instead a socio-technical account (Latour 1986; Law and Callon 1988) in which neither social nor technical positions are privileged.”
3) Metode: bukan positivistik. “ANT is not a “positive” method that produces explanatory frameworks but an anti- or “negative” method that teaches students and scholars ‘how not to study [things]’ (Latour, 1993, 142).”

8) Tuliskan sejumlah kutipan/case-studies yang menguatkan “betapa konkretnya actant” dalam jejaring benda-dan-barang (artefak teknologi) dan gugus subjek pelaku:
8.1) Trans-fat yg ada dalam kripik kentang merk Lay: “Food is an actant in an agentic assemblage that includes among its members my metabolism, cognition, and moral sensibility. Human intentionality is surely an important element of the public that is emerging around the idea of diet, obesity, and food security, but it is not the only actor or necessarily the key operator in it” (Bennett, 2010, h. 51). [Lih. Bennett, J. (2010). Vibrant Matter: A Political Ecology of Things. Durham, NC: Duke UP.]
8.2) door-closer (Johnson, 1988)
8.3) drawing pencil: “Latour illustrates the process of description—writing a network—by differentiating the act of drawing with a pencil from drawing the shape of a pencil (Reassembling 142). He means that we cannot confuse the object of description (the pencil) with the method of explanation (the drawing of the shape of the pencil). Much in writing pedagogy seeks to explain and interpret or, in Latour’s terms, to offer one drawing of the shape of a pencil (poststructuralism) to classify the singular networks constructed by many different actual pencils (cultural texts) across time and space. Simply stated, it is one thing to provide students with a drawing of a pencil (for example, an assignment prompt directing them to document nonhuman actors in a certain fashion) that becomes their own pencil (descriptive tool). It is a different point of emphasis entirely to help them understand the difference between the pencil and the drawing of the pencil, and negotiating this gap even at a basic level is a necessary and crucial step if we are to think of applying ANT as a way to raise students’ political consciousness.” (Holmes, 2014)
8.4) germs and yeasts: the case of L. Pasteur (Latour, 1994)
8.5) actant-pedagogy: “ANT is a tool that I can only use after the activity of teaching to describe my efforts to employ actant-pedagogy within a contingent set of alliances, mediators, students, technologies, and networks of associations through which my intentional (and unintentional) pedagogical aims unfold. I suggest that actant-pedagogy is better understood as a strategic pedagogical effort to simulate ANT’s descriptive antimethodology to teach them how not to represent rhetorical situations through explanation and heuristic-driven critique alone.” (Holmes, 2014, 423)

9) Sebutkan duabelas karya yang paling sering dirujuk sebagai “kanon”-nya ANT?
1. Latour, Bruno. 2005. Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network Theory. Oxford: Clarendon Press.
2. Latour, Bruno. 1993. We Have Never Been Modern. Hemel Hempstead, UK: Harvester Wheatsheaf.
3. Latour, Bruno. 1987. Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Cambridge, MA: Harvard University Press.
4. Latour, Bruno dan Woolgar, Steve. 1979. Laboratory Life: The Social Construction of Scientific Facts. London: SAGE.
5. Law, John. 2004. After Method: Mess in Social Science Research. London: Routledge.
6. Law, John dan Hassard, John. Tim Penyunting. 1999. Actor Network Theory and After. Oxford: Blackwell.
7. Callon, Michel. 1986a. Some Elements in a Sociology of Translation: Domestication of the Scallops and Fishermen of St. Brieuc Bay. Dalam Power, Action and Belief, John Law, Penyunting, 196–233. London: Routledge and Kegan Paul.
8. Callon, Michel. 1986b. The Sociology of an Actor-Network:The Case of the Electric Vehicle. Dalam Mapping the Dynamics of Science and Technology, disunting oleh Michel Callon, John Law, dan Arie Rip, 19–34. London: Macmillan.
9. Callon, Michel. Penyunting. 1998. Laws of the Markets. Malden, MA: Blackwell.
10. Law, J. (1987). ‘Technology and Heterogeneous Engineering: The Case of Portuguese Expansion’. The Social Construction of Technological Systems: New Directions in the Sociology and History of Technology. Bijker, W. E., Hughes, T. P. dan Pinch, T. J. Tim Penyunting. MIT Press, Cambridge, Ma: 111-134.
11. Law, J. (1991). ‘Introduction: monsters, machines and sociotechnical relations’. A Sociology of Monsters: Essays on Power, Technology and Domination. Law, J. Penyunting. Routledge, London.
12. Law, J. (1992). ‘Notes on the Theory of the Actor-Network: Ordering, Strategy and Heterogeneity’. Systems Practice 5(4): 379-393

Rujukan Pustaka
Cole, K. L. & Littlejohn, S. W. (2018). Translating moral orders: putting moral conflict theory in conversation with actor–network theory. Review of Communication, 1-18. DOI: 10.1080/15358593.2018.1516798
Holmes, S. (2014). Multiple Bodies, Actants, and a Composition Classroom: Actor-Network Theory in Practice. Rhetoric Review, 33(4), 421–438. DOI: 10.1080/07350198.2014.947232
Sheehan, R. (2011). Actor-network theory as a reflexive tool: (inter)personal relations and relationships in the research process. Area, 43(3), 336–342. doi: 10.1111/j.1475-4762.2011.01000.x
Tatnall, A. dan Gilding, A. (1999). Actor-Network Theory and Information Systems Research. Proceeding 10th Australasian Conference on Information Systems, h. 955-966.

Categories
Uncategorized

[Day_ONE]Apakah McLuhan seorang pemikir postmodernist?

Dalam tulisannya, Havers (2003) membangun argumen untuk menegaskan ‘pemahaman yang tidak biasa’ tentang haluan politik dari tokoh besar Teori Media dan Komunikasi, Marshall McLuhan. Meskipun McLuhan dalam tulisan2nya tidak terang-terangan menunjukkan posisi dan keberpihakan politiknya, namun Havers berhasil menyingkapkan letak sikap dan pandangan politik dari McLuhan. Tulisan Havers menyoroti pentingnya memahami makna pascamodern dalam pandangan politik McLuhan yang implisit. Berbeda dengan sebagian besar kritikus Kiri yang menganggap kritik McLuhan terhadap Kapitalisme sebagai ciri haluan-Kiri dalam politiknya, Havers justru melihat (dan menamai) politik McLuhan sebagai pasca-modern sayap kanan (right-wing postmodern).

Apa metode yang digunakan Havers untuk sampai pada kesimpulan ini?
Hermeneutika teks (“a close hermeneutical reading of McLuhan’s major writings reveals a type of conservatism“, dst)

Penjelasannya:
Sudah cukup luas diketahui (lih. Cooper, 2006; Wolfe, 2014; Feuerherd, 2017) bahwa dalam hidup pribadinya McLuhan, seorang cendekia Komunikasi beragama Katolik, cenderung pro pandangan politik yg sangat konservatif bahkan, dalam arti tertentu, Katolik versi pra-Vatican II. Tentu saja kekatolikan McLuhan ini tidak secara eksplisit ia nyatakan (integrasikan) dalam tulisan-tulisan akademisnya, tentang komunikasi dan media.

Pembacaan hermeneutis yg cermat atas karya-karya besar McLuhan menyingkapkan sebuah tipe konservatisme yang mengantisipasi munculnya sebuah era (postmodern) yang lebih tribalistik, berhaluan moralistik ketat dan canggih secara teknologi yang menggantikan era modernitas yang bercirikan liberal, modernis, dan individualis. Inilah yg disebut Havers sebagai “mitologi pasca-modernis sayap kanan.”

Jika McLuhan bukan seorang pemikir kiri, lalu apa peran dari pandangan politik sayap-kanannya dalam karya2nya?
Sudah sejak 1960-an McLuhan mengantisipasi berkembangnya masyarakat konservatif baru (sayap-kanan) yang dibangun di atas puing2 era cetak dan individualisme modern. Disebut dengan istilah konservatisme sayap-kanan karena pandangan ini bertumpu pada kekuatan paguyuban (tribalis), yang dikonstruksi secara teknologi, mengingatkan pada model Eropa lama atau rasa Amerika Serikat bagian Selatan karena pandangan ini menolak atau berupaya melampaui nilai2 individualistik-liberal lama yang, misalnya, hadir dalam bentuk era cetak.

Jika dibaca secara cermat tulisan2 McLuhan, ia mengasosiasikan mentalitas budaya cetak dengan keberjarakan dan objektivitas; hasil (budaya) cetak tidak mendorong orang untuk terlibat mendekat seperti pada ‘menonton TV.’ Budaya cetak mendorong majunya pikiran objektif yang lalu menggiring orang pada perilaku yang lebih privat dan terfragmentasi. Inilah topik yang dibahas McLuhan dalam bukunya The Gutenberg Galaxy (1962) yaitu bahwa budaya cetak (ditudingnya) menghancurkan rasa-dan-ikatan komunitas pra-modern dengan memuja keberjarakan dan ketidakterlibatan (pembaca pada dunia sekitarnya). Tidak heran bahwa McLuhan menyamakan pikiran-cetak (the print mind) dengan liberalisme.

Seperti dibela Holmes (1994: 190–7), yang dilakukan McLuhan ini tipikal strategi anti-liberalisme sayap-kanan untuk mengambinghitamkan liberalisme sebagai penyebab matinya keterlibatan psikis dan politis dari individu di dalam dan bersama komunitasnya (Havers, 2003, h. 517-518)

Kesimpulan (Havers, 2003, h. 523-524):

Menurut salah satu pendukungnya, McLuhan senang menegaskan pandangannya bahwa ‘dampak paling ultim dari media baru adalah membuat kita semua jadi konservatif’ (Nevitt dan McLuhan, 1994: 196).

Namun, letak paradoks dari pandangan politik sayap-kanannya justru karena (pandangan politik) ‘konservatif’-nya itu bukan dipahami dalam pengertian teori politik klasik. Konservatisme yang diusung McLuhan justru menjangkau jauh ke depan, bukan nostalgia, tapi antisipatif terhadap datangnya era kemajuan teknologi berbasis listrik yang pertama-tama akan menggoyang kemapanan era cetak bersendikan nilai liberal-individualis, kemudian menggantikan itu dengan komunitas yang retribalized.

McLuhan sadar bahwa tradisi lawas anti-liberal (seperti diwakili pandangan Lewis dan Selatan) harus diperbarui (reinvented) supaya tetap bertahan. Keyakinannya bersandarkan pada perubahan zaman di tahun 1960-an yaitu radikalisme perubahan teknologi sebagai proses yang menghidupkan ruang ini. Teknologi dipandang sebagai kekuatan yang paling kurang konservatif untuk mewujudkan mitologi lawas ‘sayap-kanan.’

Entah valid atau tidaknya mitologisasi ini, yang jelas visi semacam ini bukan pertama-tama untuk mengemansipasi manusia dari ‘Pencerahan sebagai Penipuan Massal’ (seperti yang dilakukan para pemikir dari Mazhab Frankfurt), tetapi seruan untuk berduyun-duyun membela panji-panji moralitas tribalistik yang ketat dan jejak individualisme.

Karena alasan-alasan di ataslah Havers menyebut McLuhan sebagai pemikir pascamodernis sayap-kanan.

Acuan Utama
Havers, G. (2003). The right-wing postmodernism of Marshall McLuhan. Media, Culture & Society, 25(4), 511–525. [0163-4437(200307)25:4;511–525;033787]

Acuan tambahan:

Cooper, T. W. (2006). The Medium Is the Mass: Marshall McLuhan’s Catholicism and catholicism. Journal of Media and Religion, 5(3), 161-173. Dipublikasi daring pada 13 November 2009 di https://doi.org/10.1207/s15328415jmr0503_3

Feuerherd, P. (2017, 15 Juni). The Mystical Side of Marshall McLuhan. JSTOR Daily. Diakses pada 25 April 2020, dari https://daily.jstor.org/the-mystical-side-of-marshall-mcluhan/

Wolfe, T. (2014). McLuhan’s New World. The Wilson Quarterly (1976-), 28(2), 18-25.

Categories
Uncategorized

Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya: Sebuah Tanggapan

Menurut Armando (2020), ada “Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya.” Empat faktor tersebut saling terkait-menopang dan terdiri dari:

1. Faktor kekuatan Pemodal (terutama mereka, para pemilik studio film majors di USA, yang sebagian besarnya merupakan para pedagang keturunan Yahudi)
2. Faktor kekuatan Sutradara sebagai kreator (sehingga dari tangan mereka lahirlah karya-karya artistik yang sebagian melandaskan diri pada karya-karya sastra bermutu yang membahas isu-isu sosial. Para sutradara, atau biasa disebut The Intellectuals ini tidak ‘tunduk’ pada selera pasar dan resep film yang standardized dengan pesan yang homogen. Contohnya adalah film-film besutan sutradara Elia Kazan, Frank Capra, Stanley Kubrick, Oliver Stone, Martin Scorsese, dll.)
3. Faktor Taste Culture sebagai diversifikasi selera berbasis kelas sosio-ekonomi (yang merupakan inti dari kritik Gans terhadap gagasan Adorno tentang Industri Budaya)
4. Faktor kekuatan Teknologi (logika Long Tail, industri film berbasis Digital, layanan Streaming seperti Netflix, dst.)
Armando (2020, menit 34, detik 10) mengatakan bahwa “kombinasi dari berbagai faktor di atas itu menyebabkan kondisi industri perfilman (dan juga industri budaya lainnya) di AS tidak se-gloomy seperti yang dibayangkan Adorno.” Lantas, pertanyaan Armando (2020, menit 34, detik 25): “Apakah hal serupa bisa terjadi di Indonesia?” menarik dan mendesak untuk dijawab.

Berikut tanggapan singkat saya untuk poin faktor nomor 1 dan 2 di atas. Untuk poin faktor no. 1, jika di Hollywood kekuatan pemodal diwakili/direpresentasikan oleh para pedagang Yahudi, maka di dalam industri perfilman Indonesia kekuatan pemodal ini didominasi siapa? Keturunan Tionghoa (Barker, 2010), juga India (Raam Punjabi, dkk). Untuk poin faktor No. 2: kekuatan sutradara asli Indonesia yang membuat film-film dengan tidak ‘melulu’ mengikuti logika pasar itu dieksemplifikasikan siapa saja? Data yang berhasil dihimpun dari sejumlah sumber menunjukkan bahwa pertama-tama, tentu saja nama Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail, tokoh sineas kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat (dengan film-film seperti Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1956), Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962)), kemudian Sjumandjaja (Lewat Tengah Malam, Pengantin Remadja, Flambojan, Si Doel Anak Betawi Si Mamad, Pinangan, Laila Majenun, Yang Muda Yang Bercinta, dst.), lalu Misbach Jusa Biran [Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966)], Nya’ Abbas Acub, Asrul Sani, Teguh Karya, MT Risyaf [(Naga Bonar, 1986)], Chaerul Umam dan N. Riantiarno. Merekalah sosok sutradara yang bukan hanya menghasilkan karya-karya film artistik (estetis), yang berhasil menuai penghargaan piala Citra dalam ajang FFI, misalnya, tetapi juga karena sebagian besar film yang mereka ciptakan mendapat respon pasar yang positif (dalam arti ditonton banyak pemirsa) serta lolos dari gunting sensor Badan Sensor Film (BSF).

Saya juga mau menambahkan empat faktor penting yang menurut hemat saya perlu dimasukkan sebagai konsideran tambahan dari “Pembatal Pemiskinan dalam Industri Budaya.”

Pertama, peran pemerintah sebagai regulator industri perfilman (dan secara lebih luas lagi: Industri Budaya, Media dan Informasi). Perlu dibedakan antara peran pemerintah USA yang cenderung lebih liberal tapi tetap fair mendukung tumbuh-kembangnya industri film dengan pemerintah Indonesia, terutama pemerintah era Orde Baru yang cenderung lebih otoriter membatasi kebebasan berekspresi para sineas. Contoh film Si Mamad (1973) yang awalnya berjudul Matinya Seorang Pagawai Negeri, film Nyoman dan Presiden (1989), yang akhirnya bersalin judul menjadi Nyoman Cinta Merah Putih, dan film genre komedi yang awalnya berjudul Kiri Kanan OK (1989) pun terpaksa mengubah judulnya menjadi Kanan Kiri OK.

Kedua, analisis ekonomi-politik terhadap industri perfilman menunjukkan adanya logika luwes kapitalisme berbasis industri budaya yang tidak hanya terbatas spasio-temporal pada Hollywood (USA) tapi juga sudah berkembang di dan diikuti negara-negara lain. Penelitian Crane (2014) menunjukkan bahwa wajah pasar film global merupakan situs strategis untuk memeriksa pengaruh global dari budaya media Amerika (USA). Industri film merupakan bagian dari budaya media yang lebih besar (bdk. Wasko, 2005). Untuk menghasilkan analisis sosiologis yang berbasis data empiris yang kredibel, Crane menggunakan database yang dikompilasi lembaga bernama the European Audiovisual Observatory . Data menunjukkan bahwa pasar film global terdiri dari 34 negara yang memproduksi lebih dari 25 film per tahunnya, yang dikategorikan menjadi empat kriteria: Super Producers (empat negara), Major Producers (tujuh negara), Medium Producers (11 negara), dan Minor Producers (12 negara). Dari sejumlah daftar top 10 films yang ada di 34 negara ini, tampak bahwa film-film Amerika mendominasi, kemudian baru diikuti film-film produksi lokal. Meskipun ada sejumlah kebijakan budaya nasional yang diambil terkait dengan kebijakan perfilman, yang berkontribusi pada majunya industri film nasional (masing-masing negara), namun hal ini belum mampu membendung (mengimbangi) dominasi film-film produksi USA. Kebutuhan Hollywood agar filmnya sukses diterima (ditonton) di banyak negara (jadi, increasing revenues) telah mengubah resep box office global yang pada gilirannya mendorong sejumlah perubahan dalam konten film Hollywood menjadi lebih deculturized dan transnational, sebuah tren yang juga diikuti konten film produksi negara lain yang masuk daftar 34 negara produsen >25 film per tahun.

Ketiga, jika salah satu tolok ukur suksesnya industri film adalah pemasukan (revenue, profit), kita tentu perlu memberi perhatian pada seberapa berpengaruh faktor lingkungan finansial ekonomi berskala nasional, regional dan global terhadap sukses tidaknya (flop) suatu film. Dalam buku yang ditulis De Vany (2014), dimunculkan pertanyaan berikut: Bagaimana sebaiknya para investor dan pembuat film berbisnis dalam lingkungan yang sedemikian penuh dengan ketidakpastian dan dinamika yang rumit yang dapat berujung pada sukses dan/atau kegagalan yang ekstrem? De Vany menjawab pertanyaan ini dengan menunjukkan bukti bahwa distribusi keuntungan dengan menggunakan hukum Pareto menggambarkan bukan hanya “revenue distributions, but profit distributions as well.” Selain itu, De Vany menyingkapkan fakta penelitian yang menarik tentang nilai finansial dari bintang film. Meskipun kehadiran seorang bintang film tidak selalu menjamin kesuksesan finansial sebuah film, tetapi kehadirannya dapat menjadi tiang pancang (prop) pada “the lower end of revenues and shift mass from the lower tail to the upper tail of the profit probability distribution” (De Vany dalam Chisholm, 2005, h. 235-236).

Keempat, kekuatan pemodal itu tidak seragam satu-wajah, artinya hanya terbatas pada satu golongan (etnis) pedagang tertentu, atau klas sosio-ekonomis tertentu saja, melainkan aglomerasi atau usaha patungan dari berbagai sumber pendanaan, bahkan, lintas negara. Ada peneliti yang menyebutnya dengan istilah Co-financing arrangements (Hofmann, 2013) . Tulisan Barker (2018) menyoroti aspek ini secara lebih mendetil.
Menurutnya, “Baik Marlina dan Aruna juga menandai tumbuhnya bentuk kolaborasi antarnegara yang bertujuan memasarkan film Indonesia ke luar negeri. Marlina adalah film yang diproduksi melibatkan banyak negara termasuk AstroShaw (Malaysia), HOOQ (Singapore), Purin Pictures (Thailand) dan Shasha & Co Production (France). Sementara itu, Aruna adalah film keenam yang diproduksi oleh perusahaan Korea Selatan, CJ Entertainment. Investasi tahap pertama CJ Entertainment di industri film nasional muncul dalam bentuk hibah sebesar US$10.000 yang diberikan kepada Joko Anwar untuk memproduksi A Copy of My Mind pada 2015. Lalu pada 2017, film horor Pengabdi Setan diproduksi oleh CJ bekerja sama dengan rumah produksi lokal Rapi Film. Melalui kerja sama tersebut, Pengabdi Setan yang tergolong sukses telah didistribusikan ke 40 negara.”

Bibliografi
Armando, A. (2020). Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya. Materi Kuliah PJJ Seminar Industri Budaya yang disampaikan pada Senin, 20 April 2020.
Barker, T. (2010). Historical Inheritance and Film Nasional in Post-Reformasi Indonesian Cinema. Asian Cinema, 21(2), 7-24. DOI: https://doi.org/10.1386/ac.21.2.7_1
Barker, T. (2018). “Mengukur potensi perfilman Indonesia setelah FFI 2018.” The Conversation. Diakses pada 22 April 2020, dari https://theconversation.com/mengukur-potensi-perfilman-indonesia-setelah-ffi-2018-108676
Chisholm, D. C. (2005). Book Review. Arthur De Vany: 2004, Hollywood Economics: How Extreme Uncertainty Shapes the Film Industry, Routledge, London, 448 pp., ISBN 0415312612. Journal of Cultural Economics, 29, 233–237.
Crane, D. (2014). Cultural globalization and the dominance of the American film industry: cultural policies, national film industries, and transnational film. International Journal of Cultural Policy, 20(4), 365-382. https://doi.org/10.1080/10286632.2013.832233
De Vany, A. (2004). Hollywood Economics: How Extreme Uncertainty Shapes the Film Industry, London: Routledge.
Hofmann, K. H. (2013). Co-Financing Hollywood Film Productions with Outside Investors: An Economic Analysis of Principal Agent Relationships in the U.S. Motion Picture Industry. Springer.
Wasko, J. (2005). Critiquing Hollywood: The Political Economy of Motion Pictures. Dalam C. Moul (Ed.), A Concise Handbook of Movie Industry Economics (h. 5-31). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9780511614422.002

Categories
Uncategorized

Apakah Pandemi Covid-19 membuat kita jadi lebih bijaksana? Berpikir bersama ŽIŽEK (2020)

Hegel pernah menulis bahwa hal satu-satunya yang dapat kita pelajari dari sejarah adalah kita tidak belajar apa-apa darinya, jadi saya, Žizek, ragu bahwa epidemi yang ada sekarang ini akan membuat kita jadi lebih bijaksana. Satu-satunya hal yang jelas terjadi sekarang adalah bahwa virus ini akan menghancurkan bongkah-bongkah pondasi hidup kita, menyebabkan bukan hanya penderitaan tak terperi namun juga kehancuran ekonomi yang lebih buruk daripada era Resesi Besar (1930-an). Tidak ada lagi namanya kembali ke hidup yang normal, ‘kenormalan’ yang baru haruslah dibangun dari reruntuhan dari hidup kita yang lawas, atau kita akan menemukan diri kita berada di dalam epos barbarisme baru yang tanda-tandanya sudah sedemikian mencolok mata.

Dikutip dari buku terbaru ŽIŽEK (2020). PAN(DEM)IC! COVID-19 Shakes the World. New York dan London: O/R Books, h. 3.