Categories
Uncategorized

Covid-19 and the Crisis of Creative Industries in Digital Capitalism

This article has beem published in ResponS, Jurnal Etika Sosial Unika Atmajaya Jakarta, Vol. 25(2), pp. 9-48.
DOI: https://doi.org/10.25170/respons.v25i02.2461

KEYWORDS: Covid-19, Creative Industries, Political Economy of the Media, Structural Theory of Galtung’s Cultural Imperialism, Digital Capitalism, Data as Capital and Data as Labor, Commodification of Digital Media Workers, Big Data

ABSTRACT
Entering 2020, the Covid-19 epidemic struck the lives of all people across borders of nation-states mercilessly and this triggered a global economic recession. Pandemic brought various unforeseen crises, including for Creative Industry workers. Although the last two decades show a positive trend of Creative Industry’s financial contribution to Indonesia’s GDP long before the outbreak of the Pandemic, the seeds of the crisis of the Creative Industries have been around for a long time, starting from the transition phase of the era of Industrial Capitalism to Digital Capitalism. Using the approach of the Analysis of Political Economy of the Media, the author will show the genealogy of the crisis by outlining the conceptual dimension of ‘structural violence’ referring to the Structural Theory of Galtung’s Cultural Imperialism (1971). A brief history of the term Digital Capitalism is also discussed in order to obtain a more comprehensive understanding of the crisis. Furthermore, a number of political economy issues that emerged in Digital Capitalism were identified to indicate the locus problematicus of the ongoing crisis. The core argument of this paper will show why the problems of political economy concerning the dualism of Data as Capital and Data as Labor are serious problems in Digital Capitalism, which escapes the attention of the public. The author offers a solution by combining a more equitable pro-Structural input from Galtung analysis, Marxist perspectives, and the collective pro-agency approach from Arrieta-Ibarra, et al. (2018). Analysis of the problem of commodification of Digital Media Workers in the framework of Data as Labor is expected to increase the reader’s awareness that the relationship of inequality and exploitation of workers in the era of Industrial Capitalism actually continues in Digital Capitalism when Big Data becomes the logic of new capital accumulation (within the framework of Data as Capital) with The Big Five Internet Corporations as the responsible actors. When Covid-19 hit, material conditions and the survival of creative industry workers as free labor were made even worse.

Kuy kalau mau baca langsung artikelnya bisa klik link ini ya:

http://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/respons/article/view/2461

Categories
Uncategorized

Filsafat Gaul: On Cheekiness

Saya: Kereen jd narahubung buat (sebuah lembaga pendidikan terkemuka di Jakarta) ?

Dia: Becanda itu pak hehehe ???

Saya: Pernah baca buku ini, bang?

“In Search of Lost Cheekiness” 101
Greek Philosophy of Cheekiness: Kynicism 101
Pissing against the Idealist Wind 103
Bourgeois Neokynicism: The Arts 107
Cynicism as Cheekiness That Has Changed Sides 110
Theory of the Double Agent 113
Cheeky Social History 115
Embodiment or Splitting 118
Psychopolitics of Schizoid Society 120
Unashamed Happiness 124
Meditation on the Bomb 128

Dikutip dari Kritik der zynischen Vernunft karya filsuf Jerman, Peter Sloterdijk (1983, 2 volumes)

*Becanda* itu sudah didalami scr filosofis oleh skurang2nya dua orang filsuf Eropa: yg pertama Henri Bergson dgn karyanya Le Rire : essai sur la signification du comique (1900) dan yg kedua, oleh Peter Sloterdijk dengan karya seperti saya tuliskan di atas.

Jadi, ? becanda itu cheekiness dan itu yg hilang dari kajian Filsafat Eropa modern. Kajian Filsafat Eropa Modern menjadi terlalu serius dan terkesan knowing it all. Philosophy is no longer fun & experienced as katharsis.

Bagaimana dgn “cheekiness” dalam kajian jelajah Filsafat Nusantara?

PR buat kita.
cheers!

Categories
Uncategorized

[Webinar MFI] Monday, April 26, 2021 (On Martha Nussbaum & Imagination)

Presented by Dr. Cicilia Damayanti (Lia) from STF Driyarkara, graduated from Doctoral Program (2021)
Moderated by Dr. Sunaryo

Monthly webinar by Masyarakat Filsafat Indonesia (MFI)

Join us at Whatsapp group and keep updated on the upcomng Webinars

Hendar Putranto
Co-Founder & Treasurer

Categories
Uncategorized

[WEBINAR] Deconstructing Neoliberalism in Higher Education

What a timely research and sharing from you all, Sirs & Madame.
Thanks for the insight.

Hendar

Categories
Uncategorized

Gamification and Game Culture

to the fun end and spcio-linguistic, cognitive-kinesthetic, exploratory nature of games and game cultures,
here’s to Angry Birds’ players out there 🙂

Categories
Uncategorized

Kartini’s Day Commemoration can be fun, not always moralizing

Here’s to our recent Kartini’s Day Commemoration, facilitated by KAPAL Perempuan.
Hope the message(s) will be delivered to Millenial Kartinis 🙂

cheers,

Hendar

Categories
Uncategorized

The Long and Winding Road to Publication

For my fellow colleagues who struggle to write & publish his/her/their research findings, I feel you all.
Let’s do this together in the spirit of collaboration more than the competition.

regards,

Hendar

Categories
Uncategorized

Elegi untuk Edi: Mengenang 1 tahun berpulangmu

Pribadi yang meng-enigma, sahabat bagi kita, Cinta yang mluber paripurna

Edisius Riyadi Terre adalah pribadi yang meng-enigma

bukan hanya karena ia senang bertanya, seringnya kritis, tidak jarang dengan jenaka,
tapi karena dengan relanya ia meletakkan diri dalam tegangan antara Idealita dan Realita.

Ziarah raganya di dunia yang fana mengakar pada ketekunannya menggulati Ada dan menelusuri Menjadi.

“Ada” sejauh keyakinannya pada Tanda yg menjadi Fakta, “Menjadi” sedekat itu juga keterlibatannya akan Tanya yang menjura pada Apa, Siapa, Bagaimana, Bilamana dan Mengapa.

Ksatria Cahaya, demikian ia senang mengutip karya Paulo Coelho salah satu pengarang favoritnya, “tahu bahwa dia punya macam-macam kewajiban dan tanggungjawab…kalau ada sesuatu yang tidak baik tumbuh di dalam jiwa saya, saya minta pada Tuhan supaya memberi saya kekuatan yg sama untuk mencabut dan membuangnya tanpa ampun.”

Edisius Riyadi Terre adalah sahabat bagi kita.

Bukan karena tanda yang dicerna semiotika, atau ditafsir hermeneutika, apalagi dikalkulasi statistika, namun karena ia ada bagi kita, justru ketika kita paling membutuhkannya.

Saya mengalaminya sebagai sahabat dalam beragam ruang perjumpaan: bukan hanya sebagai kolega dosen di UMN, namun juga dalam perjumpaan yang lebih awal di STF Driyarkara, di Agora, di rumahnya, di Serikat Dosen Indonesia, di INSPECTUS yg diwarisinya, dan di dalam beraneka macam ruangwaktu perjumpaan lainnya, yang sama maupun yang berbeda.

Edi menjadi sahabat justru karena ia memberi dirinya melebihi apa yang dapat saya, Anda dan mungkin kita pikirkan dan harapkan. Ia bukan teman biasa karena prinsip Etika Keutamaan melandasi adanya, melampaui prinsip kesamaan minat, utilitas, kesenangan dan kewajiban. Edi sahabat yang terus menginspirasi, meski kadang kesehatan diri tidak mengizinkannya melangkah satu mil lagi.

Edisius Riyadi Terre adalah cinta yang mluber paripurna.

Karena dorongan menuju cinta adalah inti dari nilai-nilai keutamaan, sebagai antitesa dari benci sesama dan terlalu sayang-diri. Cinta baginya adalah Aletheia (Heidegger) yang meletak inter-esse (Arendt) karena ia hadir dan bermukim di tengah2 kita (Immanuel). Cinta yang menjadi daging, seperti inkarnasi Yesus ke dunia, adalah inspirasi cinta Edi pada istrinya tercinta Eti, keluarga, sahabat2nya, handai taulan, kolega dan siapapun yang dikenalnya, bahkan juga musuh2nya.

Ia konsisten kritis mencela ketidakadilan yang disaksikannya menghampar di mana2, relasi kuasa yang timpang, sikap korup dari penguasa zolim, dan sepak-terjang para pelanggar HAM, Nunca mas la injusticia, namun itu dilakukannya dengan penuh cinta, dengan tatapan yang mengarah pada Sang Kebaikan, το ἀγαθὸς (Murdoch).

Pada Edi, saya, Anda dan mungkin sebagian besar dari kita merasakan cinta yang mluber paripurna, karena ia sungguh menghayati kedalaman Cinta itu, dengan canda tawa dan sapanya, dengan renungan-renungannya, dengan ujarannya, dengan ajarannya, dengan laku-hidupnya.

Semoga pengalaman akan Edisius Riyadi Terre terus hidup dan mengalir dalam diri kita, juga meskipun saya, Anda dan mungkin sebagian dari kita setahun yang lalu tidak sempat menghantar raga jasmaniahnya ke peristirahatan terakhirnya, pusara yang membelenggu jenazahnya, tertatih masih meratapi kehilangannya, tapi biarlah kita undang jiwa dan semangatnya menepi mengendap dalam lubuk kenangan kita.

Pada Edi, terwujud aktualitas yang menyemangati dan menunjuk pada tujuan (ενέργεια ἐντελέχεια): Cinta yang bersemayam, contemplatio ad amorem.

Vaya con Dios, amigos. Amigos para siempre.
Dona eis requiem, Domine. Sempiternam.

Hendar Putranto © 2021

Categories
Uncategorized

[2021,postingan ke-3] Dalam Balutan Globalisasi, Memori Sosial, dan Korupsi: Sebuah Memoir tentang dan untuk Romo Herry-Priyono

Requiem aeternam dona eis, Domine, et lux perpetua luceat eis.

Categories
Uncategorized

[2021, Post 02] Buku Ajar Komunikasi Antarbudaya terbaru karya tim peneliti FIKOM UMN penerima hibah DIKTI Skema PDUPT, 2018-2020

Selamaat yaaaah atas prestasinya menerbitkan buku ajar (lagi) setelah terakhir kalinya pada 2016 yg lalu (penulis tunggal).

Buku ajar yang ini, bertajuk “Mengembangkan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Berbasis Kearifan Lokal Untuk Membangun Keharmonisan Relasi Antar Etnis Dan Agama” dihasilkan berkat kolaborasi ciamik Tim Peneliti FIKOM UMN, bu Bertha sebagai Komandan dan mbak Vika sebagai Kamerad.

Terbitnya buku ini tidak dapat dilepaskan dari pendanaan Hibah Penelitian dari Kemenristekdikti, Skema PDUPT, Tahun Anggaran 2018-2020.

Kata Pengantar untuk buku ini dituliskan oleh Prof. Deddy Mulyana, Guru Besar Ilmu Komunikasi dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Bandung.

Berikut link utk membeli bukunya (langsung ke Penerbit WADE):
https://www.buatbuku.com/book/mengembangkankompetensikomunikasiantarbudaya

Tentang buku ini, mengutip ucapan seorang teman baik yg skrg berprofesi sbg jurnalis kawakan di sebuah surat kabar regional berbahasa Inggris,

“Semoga bukunya memperkaya kajian komunikasi dan jg berkontribusi thdp kerukunan umat beragama dan masyarakat kita yg begitu majemuk.”

Semogaaaaa?