Categories
Uncategorized

Down to Earth: Latour and his involvement in criticizing Climate Change Political Regime (2018)

Saya kok merasa tertarik ya dengan cara sosiolog kontemporer dari Perancis, Bruno Latour (atau penerjemahnya?), merumuskan judul sub-sub bab dalam bukunya yang terbaru berjudul Down to Earth: Politics in the New Climatic Regime (terjemahan dari versi aslinya berbahasa Perancis, Où atterir? Comment s’orienter en politique) (penerjemah: Catherine Porter)
© Éditions La Découverte, Paris, 2017; This English edition copyright © Bruno Latour, 2018
Cambridge (UK) & Medford, MA (USA): Polity Press


Berikut judul dari sub-sub bab tersebut (dipertahankan dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, sengaja tidak di-Indonesia-kan):

1. A hypothesis as political fiction: the explosion of inequalities and the denial of climate change are one and the same phenomenon
2. Thanks to America’s abandonment of the climate agreement, we now know clearly what war has been declared
3. The question of migrations now concerns everyone, offering a new and very wicked universality: finding oneself deprived of ground
4. One must take care not to confuse globalization-plus with globalization-minus
5. How the globalist ruling classes have decided to abandon all the burdens of solidarity, little by little
6. The abandonment of a common world leads to epistemological delirium
7. The appearance of a third pole undoes the classical organization of modernity torn between the first two poles, the Local and the Global
8. The invention of “Trumpism” makes it possible to identify a fourth attractor, the Out-of-This-World
9. In identifying the attractor we can call Terrestrial, we identify a new geopolitical organization
10. Why the successes of political ecology have never been commensurate with the stakes
11. Why political ecology has had so much trouble breaking away from the Right/Left opposition
12. How to ensure the relay between social struggles and ecological struggles
13. The class struggle becomes a struggle among geo-social positions
14. The detour by way of history makes it possible to understand how a certain notion of “nature” has immobilized political positions
15. We must succeed in breaking the spell of “nature” as it has been pinned down by the modern vision of the Left/Right opposition
16. A world composed of objects does not have the same type of resistance as a world composed of agents
17. The sciences of the Critical Zone do not have the same political functions as those of the other natural sciences
18. The contradiction between the system of production and the system of engendering is heating up
19. A new attempt at describing dwelling places – France’s ledgers of complaints as a possible model
20. A personal defense of the Old Continent

Tesis yang diusung Latour dalam buku ini berbunyi kurleb:
The hypothesis is that we can understand nothing about the politics of the last 50 years if we do not put the question of climate change and its denial front and center. Without the idea that we have entered into a New Climatic Regime, we cannot understand the explosion of inequalities, the scope of deregulation, the critique of globalization, or, most importantly, the panicky desire to return to the old protections of the nation-state – a desire that is identified, quite inaccurately, with the “rise of populism.”

To resist this loss of a common orientation, we shall have to come down to earth; we shall have to land somewhere. So, we shall have to learn how to get our bearings, how to orient ourselves. And to do this we need something like a map of the positions imposed by the new landscape within which not only the affects of public life but also its stakes are being redefined.

Secara jenaka (ironis), Latour menggarami lautan dengan berseru,
“Here is something that adds an unexpected meaning to the term “postcolonial,” as though there were a family resemblance between two feelings of loss: “You have lost your territory? We have taken it from you? Well, you should know that we are in the process of losing it in turn …” And thus, bizarrely, in the absence of a sense of fraternity that would be indecent, something like a new bond is displacing the classic conflict: “How have you managed to resist and survive? It would be good if we too could learn this from you.” Following the questions comes a muffled, ironic response: “Welcome to the club!””

Okey, ntar ya habis selesai sidang proposal disertasi kita garap bab per bab dari buku yg menarik ini (please respond in comments section if that would be “our case” to enlighten the avid readers 😀 )

Acknowledgment:
The image of the book is retrieved from
https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcR2b6MEZO1JV_dTL1cNwXb8ehvJmmpfInlVqIsQiTDKSQbsYD_P

Categories
Uncategorized

Mensyukuri minor & major achievements in publication/grammar/similarity test (2021)

More than I can say,

Hope these images will speak for themselves and exemplify the hard works I’ve put into for the last ten++ years or in pursuing this academic career, in becoming a more professional lecturer-researcher (scholar).

Vamos! がんばって (頑張ってください!)

regards,

Hendar

Categories
Uncategorized

Dari Teori menjadi ber-Teori (belajar dari Swedberg, 2014, 2016)

Secarik nukilan dari Theorizing in Social Science: The Context of Discovery yg disunting oleh Richard Swedberg (2014).
Penerbit: Stanford University Press.

Book cover-nya seperti ini (sumber gambar: https://www.sup.org/img/covers/large/pid_23078.jpg)

Konteks pentingnya apa sih kok “ujug2” Swedberg mengajukan usulan judul Antologi yg diawali dgn bab “dari Teori menjadi ber-Teori”?

(1) Munculnya sains kognitif, khususnya psikologi kognitif dan neuroscience, yang mengulik soal “kesadaran manusia” dengan cara meneliti proses-proses (internal) berpikir, yg berbeda dengan pendekatan logika (tradisional) yg selama ini dijadikan acuan membangun teori (ber-Teori).

(2) Semakin diakui fakta keragaman cara2 berpikir selain penalaran formal, misalnya, dengan gambar, analogi, metafor, juga, intuisi. Kreativitas berpikir (& berteori) ternyata melampaui ruang2 kaku “formal logic.”

(3) “a virtual standstill of theory in social science.” >> berbeda dengan ‘ledakan’ publikasi soal “metode penelitian ilmu2 sosial,” baik itu kuantitatif maupun kualitatif. Swedberg (2016) mengatakan, “Methods – qualitative as well as quantitative methods – have proven to be very useful in practical research (as opposed to theory); and as a result they dominate modern social science.” Apalagi dengan menguatnya rezim “Big Data” dan teknologisasi piranti pengukuran.

Bab pertama berjudul “From Theory to Theorizing.”
Pada bab ini dipaparkan bagaimana ber-teori itu berbeda dari teori; ber-teori seperti apa yg dibutuhkan agar menghasilkan inovasi; serta identifikasi unsur2 berbeda (sbg) penyusun ber-teori.

Ada dua tema besar yg disampaikan Swedberg pada bab 1 ini:
(1) hal2 apa saja yg membuat sejumlah tipe berteori disebut “kreatif” (sementara yg lainnya tidak/kurang kreatif), dan
(2) bagaimana mengendalikan dan menyetir-arahkan imajinasi si penahu secara kreatif ketika ber-Teori.

(to be continued)

Categories
Uncategorized

[KuliahDaring] [Hermeneutika 01] Eksistensialisme Kierkegaard

Jangan Berkerumun dan Jadilah Otentik!

Kuliah daring ini terselenggara berkat jasa CIRCLES (Christian Institute of Politics, Philosophy, and Society) Indonesia, sebuah kelompok kajian Kristiani bidang politik, filsafat, dan kemasyarakatan yg didirikan oleh Michael Dhimas Anugrah (Micky), seorang intelektual muda Indonesia, pendiri dan Direktur Eksekutif CIRCLES sekaligus anggota Oxford Center for Religion and Public Life (https://www.ocrpl.org/), Inggris.

Seri Kuliah Hermeneutika 1 s/d 5 yg berlangsung selama bulan Juni 2021 ini dibawakan oleh Dr. Francisco Budi Hardiman, dosen filsafat di Universitas Pelita Harapan, alumnus S2 dan S3 di Hochschule für Philosophie, München, Jerman, dengan disertasi berjudul “Die Herschaft der Gleichen. Masse und totale Herrschaft. Eine kritische Ûberprüfung der Texte von Georg Simmel, Hermann Broch, Elias Canetti und Hannah Arendt.”

Berikut jadwal kuliahnya:

Berikut oleh2 kecil dari Kuliah Perdana tersebut:

dan screenshot dari paparan (power points) yg dibuat pak Franky (slides 1 s/d 3)

Konsep Kunci Eksistensialisme Kierkegaard adalah “bentuk2 kehidupan (forms of life)” yaitu tahap Estetis, ke tahap Etis dan berujung pada Tahap Religius.

Lihat penjelasannya di sini:
https://plato.stanford.edu/entries/kierkegaard/

atau di sini:

Kierkegaard: The Aesthetic, Ethical, and Religious Forms of Life

dan di sini

Ziolkowski, E. J. (1992). Kierkegaard’s Concept of the Aesthetic: A Semantic Leap from Baumgarten. Literature and Theology, 6(1), (March 1992), 33-46. Oxford University Press. Stable url = https://www.jstor.org/stable/23925235

Categories
Uncategorized

Webinar SDI ttg Cara2 Tembus SCOPUS (22 Mei 2021)

Publikasi Manuskrip ke jurnal bereputasi internasional (terindeks Scopus Q1) guna Memuluskan Karir Akademis dan Meningkatkan Kredibilitas Profesi Dosen-Peneliti
Diselenggarakan oleh Serikat Dosen Indonesia.
Narasumber Utama: Hendar Putranto (Ketua Pengurus Harian Serikat Dosen Indonesia, 2014-2021).
ORCID ID = https://orcid.org/0000-0003-2555-8214
Scopus Author ID: 57210854287

Liputan kegiatan di atas dimuat di AN1MAGINE VOLUME 6 NOMOR 5 MEI 2021
https://www.an1mage.org/2021/05/an1magine-volume-6-nomor-5-mei-2021.html

Bukti penghargaan yg diberikan SDI kepada Narasumber Webinar berupa sertifikat elektronik.

Categories
Uncategorized

[Jangan Lupa Selasa] Diskusi Filsafat Dua Mingguan Persembahan Alumni Program S2 STF Driyarkara

Contoh Flyer kegiatan diskusi yg sudah berlangsung:

Contoh input & apresiasi saat berlangsungnya Diskusi Jangan Lupa Selasa:

Categories
Uncategorized

Masyarakat Filsafat Indonesia: Kolokium Dua Mingguan

Semoga kegiatan rutin ini bermanfaat untuk memperkaya wawasan pengetahuan (filsafat) bagi masyarakat Indonesia (scr umum) dan pencinta kajian filosofis (scr khusus).

cheers,

Hendar Putranto
One of the Founders of MFI, currently appointed as Treasurer

Videos (recording) yang tayang di Akun YouTube Masyarakat Filsafat Indoneisa:

https://youtu.be/0FrE8-5LpEw (Persahabatan Menurut Aristoteles)
https://youtu.be/uXhODRRvWfI (Filsafat Kematian)
https://youtu.be/VzSbBHSCnj8 (Cinta dalam Teks Simposium Platon)
https://youtu.be/cepunFveENc (Signifikansi Nalar Publik Bagi Daya Tahan Demokrasi)
https://youtu.be/mUAgnQTVH48 (Melampaui Kapitalisme dan Komunisme – 01)
https://youtu.be/GOJzb9AQA74 (Melampaui Kapitalisme dan Komunisme – 02)
https://youtu.be/OPadVbLuoMk (Perkenalan MFI)

Contoh2 Flyer Kolokium:

Upcoming Event, 24 Mei 2021

Categories
Uncategorized

[re-post] [NapakTilas] Membaca Teks Hegel ttg Polisi dan Korporasi

Pandangan Hegel tentang “Polisi dan Korporasi” (par. 230 – 256)
Source of the text: https://www.marxists.org/reference/archive/hegel/works/pr/prcivils.htm (see the translated work of Grundlinien der Philosophie des Rechts)

Beberapa komentar dan catatan untuk bahan diskusi di Komunitas Hegel STF Driyarkara

Kamis, 5 Februari 2009, jam 17.00 WIB

oleh Hendar Putranto (c) 2009

Dalam presentasi sebelumnya, sudah dipaparkan tentang konsep Hegel mengenai sistem kebutuhan (the system of needs) dan sistem perundangan yang menunjang keberlakuan serta pelaksanaan keadilan (administration of justice), par. 182 – 229. Karena pembahasan tentang “Polisi dan Korporasi” termasuk ke dalam pembahasan tentang “Masyarakat Sipil” (disingkat MS), tepatnya bagian ketiga setelah sistem kebutuhan dan pelaksanaan ke- (per-) adilan, maka ada baiknya kita ulangi lagi beberapa pokok yang menjadi prinsip dari MS tersebut, yaitu:

1) MS adalah periode / tahapan dan bentuk kehidupan politis transisional, antara kehidupan berkeluarga dan Negara politis. Titik tolak antropologis dari MS adalah ‘orang yang konkret’ artinya seorang dewasa awal yang mengejar kebutuhan2nya, dan sekaligus berupaya merealisasikan kebutuhan2 keluarganya dalam dunia sosial yang juga berisi orang2 lain yg kurang lebih mempunyai tujuan serupa. Pemenuhan kebutuhan2 dan hasrat2 privat dari si lelaki dewasa awal ini tidak bisa terpenuhi jika tidak ada struktur yang menopang pemenuhan kebutuhan+hasrat yang sama secara simultan dari yang lainnya. Kata kunci di sini adalah: interdependensi antar subjek yang ditopang oleh suatu system dan struktur social yang memadai. Partikularitas kepentingan si subjek dalam arti ‘contingent arbitrariness and subjective caprice’ (#185) serta ‘the right of the subject to find its satisfaction in the action’ (#121) tidak bisa menjadi prinsip yang memadai dalam MS karena pemenuhan kepuasan dari tujuan2 yang partikular harus selalu dilakukan dalam upaya gabungan (kerjasama/aliansi) dengan orang lain dengan cara yang universal[1].

2) Dalam bagian “pelaksanaan keadilan”, titik tolak Hegel adalah pribadi yang memunyai hak-hak (bearer of rights); dan pribadi yg memunyai hak2 tersebut diakui dijamin keberadaannya (juga hak-haknya) dalam sebuah sistem hukum yang positif, dan pengakuan ini berlaku serta dikehendaki secara universal[2].

3) Hegel memandang penting ihwal pendidikan dan institusinya. Berbeda dari Rousseau yang melihat bahwa pendidikan tidak membuat manusia menjadi lebih manusia (bahkan mengorupsi kodrat manusia itu sendiri hingga manusia tidak lagi menjadi ‘polos’), sehingga harus ditempatkan di bawah kultivasi passion, Hegel melihat bahwa pendidikan haruslah menjadi bagian dari kebijakan pokok dalam MS, tidak hanya diserahkan pada keluarga saja. Alasannya adalah untuk menanamkan nilai2 universal dalam diri pribadi sehingga mereka tidak sekedar menjadi sosok pribadi yang digerakkan melulu oleh “the immediacy of desire as well as the subjective vanity of feeling and the arbitrariness of caprice” (#187) melainkan dapat menjadi reflective agent yang mampu mengarahkan daya upaya serta kehendak subjektif mereka menuju perwujudan kebebasan yang lebih besar dan luas lagi (di dalam MS dan berikutnya, negara).

Ada empat butir uraian dan penafsiran atas par 230 – 256 Phil. of Right yang mau saya sampaikan, yaitu:

Di paragraf paling awal dari bagian Polisi dan Korporasi (#230), Hegel mengatakan bahwa “dalam sistem hasrat, pemenuhan dan kebahagiaan setiap individu adalah suatu kemungkinan, dan kemungkinan ini dibuat menjadi nyata dalam system hasrat yang bersifat objektif.” Setelah itu Hegel melanjutkan bahwa realisasi hak yang terwujud dalam setiap individu partikular, sudah selalu menyertakan dua faktor berikut ini, yaitu (a) pribadi dan properti harus ‘dijamin’ (secured) dengan cara menghilangkan hal-hal penghambatnya, dan (b) kesejahteraan dan rasa aman tiap-tiap individu haruslah dipandang dan diaktualisasikan sebagai hak. Dua faktor yang disebut di atas itulah yang dibahas oleh Hegel dalam bagian (a) Polisi dan (b) Korporasi.

Berbicara tentang polisi, Hegel ‘mendefinisikan’ tugas polisi sebagai pencegah kejahatan dan pembawa tindak kejahatan ke hadapan pengadilan (#232). Namun, tugas itu hanya berlaku untuk hal-hal yang aksidental atau kasus per kasus saja. Hegel tidak menggeneralisasi tugas polisi menjadi detil-detil yang harus diindahkan, karena, menurutnya “tidak ada garis batas yang bisa ditetapkan … menyangkut hal mana yang dianggap berbahaya, mana yang tidak, mana yang mencurigakan, mana yang tidak, mana yang dilarang, mana yang cukup diawasi saja, dan seterusnya.” (#234). Karenanya, intervensi polisi dalam praktik dan tindak kehidupan sehari-hari warga (dalam MS) juga tidak bisa ditarik secara apriori. Mengingat sifat kontingensi dan sewenang-wenang dari intervensi tindakan polisi ini, tidak mengherankan kalau mereka lalu cenderung dipandang sebagai musuh masyarakat. Di par. 236, Hegel mengakui adanya kemungkinan konflik kepentingan antara produser dan konsumer sehingga haruslah untuk dibuat aturan (regulasi) yang standing above both sides and put into operation consciously… in order that (private interest) may be led back to the universal. Tugas polisi dan otoritas publik yang kompetenlah untuk membuat dan menegakkan regulasi semacam ini.

Apa saja hal-hal yang bisa menghambat rasa kedirian (personhood) dan sense of property seseorang? Harus dikatakan di sini bahwa kemiskinan adalah salah satunya. Mengapa seseorang menjadi miskin? Apakah itu karena kesalahannya sendiri (malas bekerja, tidak kompeten, dst) atau karena faktor-faktor eksternal yang berada di luar kendalinya? Posisi Hegel dalam hal ini tecermin di par. 241. Menurutnya, “Yang membuat seseorang menjadi miskin, bukan hanya dikarenakan kehendak sewenang-wenang saja / Willkür, namun juga sirkumstansi2 yang sifatnya aksidental, entah itu fisik maupun eksternal (#200).” Apa akibatnya bagi MS jika muncul kelas “orang miskin”[3]? Disparitas dan gap yang makin besar antara segelintir orang kaya dan segepok orang miskin bisa menurunkan standar kualitas kehidupan dari MS itu sendiri. Hegel mengatakan “Ketika sejumlah besar orang hidup di bawah standar kehidupan yang dianggap hakiki bagi warga masyarakat, dan kehilangan sense of right, rectitude, and honour yang berasal dari kemampuan untuk menunjang diri sendiri, maka akan muncullah kelas orang melarat, dan kekayaan akan terakumulasi secara tidak seimbang di tangan segelintir orang saja.” (#244) Apa solusi yang ditawarkan Hegel? Menurutnya, polisilah (sebagai otoritas publik yang mengurusi soal keadilan) yang harus mencarikan jalan keluar untuk menyembuhkan borok kemiskinan ini. Bagaimana caranya? Apakah menjadi sinterklas (act of charity) cukup? Hegel sendiri nampaknya ‘kebingungan’ mengatasi problem pelik kemiskinan dan orang melarat (rabble atau pauper class) ini (lih. #245). Di satu sisi, bisa saja kepada orang kaya atau lembaga-lembaga kaya dibebankan ‘kewajiban’ untuk menolong orang melarat secara langsung sehingga orang melarat “tidak usah bekerja apapun lagi untuk memenuhi kebutuhan dasariahnya”. Namun, di sisi lain, policy semacam ini justru akan bertabrakan dengan prinsip dasariah MS itu sendiri yaitu hormat dan martabat yang melekat pada person berdasarkan upaya mengejar dan merealisasikan kepentingan kehendak partikular masing-masing individu. Solusi lain yang ditawarkan Hegel untuk menyelesaikan problem kemiskinan adalah dengan melebarkan sayap-sayap perdagangan (trade) di luar batasan teritori dari MS. Di sinilah cikal bakal kolonisasi yang merupakan keniscayaan dari dialektika MS itu sendiri (the full-grown civic community finds itself impelled). (lih. #246 – 248). Di bagian tambahan par. 248, Hegel menjustifikasi kolonisasi dengan alasan sebagai berikut: “The civic society is forced to found colonies, owing to the increase of population, but more especially because production oversteps the needs of consumption, and the growing numbers cannot satisfy their needs by their work.” (cetak miring ditambahkan penulis). Hegel berbicara secara spesifik tentang korporasi di par. 250 – 256.

Ada beberapa sumbangan pemikirannya yang mau saya garis-bawahi di sini, yaitu (a) #255 yang berbunyi “sebagaimana keluarga adalah yang pertama, maka korporasi, yang tertanam dalam MS, menjadi akar penyusun atau basis yang kedua dari Negara.” ; (b) #253 yang berbunyi “Jika individu bukan anggota dari korporasi yang sah, dan tidak ada perkumpulan yang bisa menjadi korporasi kecuali ia sudah diotorisasi, maka ia tidak mempunyai kehormatan-klas / class-honour” ; (c) #252 yang berbunyi “di bawah pengawasan otoritas publik, korporasi mempunyai hak untuk menjaga kepentingan2nya yang sudah didefinisikan secara jelas, seturut kualifikasi2 objektif yang memang diperlukan untuk merekrut anggota baru, yang jumlahnya ditentukan oleh sistem umum, untuk menyediakan bagi para anggotanya hal-hal yang diperlukan agar tidak jatuh menjadi miskin / sewaktu-waktu kehilangan pekerjaan dan juga untuk menumbuhkan kapasitas yang dipandang perlu bagi setiap orang yang memang mau menjadi anggota korporasi tersebut.”

Tanggapan:
*) setelah membaca sendiri par. 230 – 256 dan komentar Dudley Knowles tentang bagian ini[4], saya menangkap kesan yang cukup meyakinkan bahwa posisi Hegel adalah posisi status-quo yang cenderung menjustifikasi adanya kemiskinan sebagai keniscayaan dari over-produksi dan kegagalan distribusi kekayaan yang timbul dalam MS maju. Tidak hanya itu, Hegel juga nampaknya terjebak dalam dilema yang sulit dipecahkan untuk mengatasi problem kemiskinan yang akut, baik dari segi dilema moral maupun dilema politis-ekonomis yang, sekiranya diambil solusi langsung untuk menyelesaikannya (misal: pembagian kekayaan dari orang kaya ke orang miskin), tidak bisa tidak akan melanggar prinsip dasar MS yaitu hormat (as a person) dan martabat (pengakuan dari yang lain) yang melekat dalam tindak kerja dan berkumpul atau berasosiasi (misal, dalam korporasi).

*) Jika solusi ke dalam dari problem kemiskinan tidak bisa dilakukan (tanpa melanggar prinsip dasariah dari MS itu sendiri), maka solusi keluar dari kemiskinan juga, jika dievaluasi dari perspektif kesadaran historis yang menyejarah (Gadamer), tidak juga nampak sebagai solusi yang memuaskan karena justru akan melahirkan problem-problem baru, yaitu ekspansi kapital dan kolonisasi daerah-daerah yang nota bene masih baru dan terbelakang, yang berujung pada hegemoni Barat atas ‘indigenous’ dan juga pengajegan pola-pola ‘westernisasi’ budaya.

*) Di bagian akhir dari tulisannya[5], secara reflektif Kenneth Westphal menanyakan seberapa jauh lembaga2 politik yang ada sekarang dapat menjamin dan mempromosikan kebebasan yang sejati dan otonomi politik sekaligus sampai batas mana lembaga2 tersebut dapat atau harus direformasi untuk bisa mengegolkan cita-cita ini. Pertanyaan reflektif dari Westphal tersebut, jika direformulasikan khusus untuk pembahasan bagian ini mungkin akan berbunyi sebagai berikut: “seberapa jauh lembaga polisi dan korporasi kontemporer dapat memainkan peranannya yang positif dan rasional sebagai lembaga intermediate yang menjembatani hasrat2 mengejar keuntungan sendiri dari individu sekaligus tekanan dari negara agar mereka menjadi lembaga yang bisa menjadi suri tauladan dalam hal ketaatan hukum dan imparsialitas”? Fakta-fakta menyedihkan seperti membiaknya korupsi, ngemplang pajak, polisi memalak warga, para CEO yang tak tahu diuntung dengan menghambur-hamburkan uang “penyelamatan dari terpaan krisis finansial” untuk senang-senang badaniah, tentu jauh dari model dan cita-cita “aktualisasi kebebasan” yang lebih penuh sebagaimana diidam-idamkan Hegel.

Catatan Kaki:
[1] Versi “Philosophy of Right” yang saya rujuk di sini adalah versi terjemahan S.W Dyde (Kitchener: Batoche Books, 2001). Lih. # 182 “The concrete person, who as particular is an end to himself, is a totality of wants and a mixture of necessity and caprice. As such he is one of the principles of the civic community. But the particular person is essentially connected with others. Hence each establishes and satisfies himself by means of others, and so must call in the assistance of the form of universality. This universality is the other principle of the civic community.” Bdk, # 186, di mana Hegel mengatakan bahwa “the principles of particularity and universality are independent, their unity is not an ethical identity. It does not exist as freedom, but as a necessity. That is to say the particular has to raise itself to the form of universality, and in it it has to seek and find its subsistence.”

[2] Lih. #209 “something universally acknowledged, known, and willed”

[3] Hegel menggunakan istilah Pöbel. Lihat uraian yang menarik dari Knowles tentang istilah ini dalam Knowles, Dudley, Hegel and the Philosophy of Right, London: Routledge, 2002, hlm. 289.

[4] Lih. Knowles, Dudley, Hegel and the Philosophy of Right, London: Routledge, 2002, hlm. 283 – 301

[5] Lih. Westphal, Kenneth, “The Basic context and structure of Hegel’s Philosophy of Right” dalam Beiser, Frederick C. (editor), The Cambridge Companion to Hegel, Cambridge: Cambridge University Press, 1993, hlm. 234 – 269

Categories
Uncategorized

Mengulik Apps: “Receh” yang (semakin) Menandai Hidup Digital kita

Dalam APPIFIED: Culture in the Age of Apps, antologi tulisan yang disunting Jeremy Wade Morris dan Sarah Murray (2018), disampaikan bahwa diskursus tentang piranti lunak (software)—beberapa di antaranya: Snapchat, Whisper, Yik Yak, Electric Razor Simulator, Vibrator Secret for Women, IAmAMan, I am Important, Candy Crush, Spotify, Evernote, Uber, Boom Boom Soccer, Emoji Keyboard, Is It Vegan? Is It Dark Outside? Is It Tuesday? Is It Love? MapMyFitness, MapMyDogWalk, MyPill Birth Control Reminder and Menstrual Cycle Calendar Tracker, SmartMom, Waiting for Birth, Waiting for Birth Pro–Father’s Version, Baby Shaker, Gay-O-Meter Full Version, Tinder, Grindr, AgingBooth, Black People Mingle, iGun Pro–TheOriginal Gun Application—tidak dapat dilepaskan dari ketertanamannya dalam rutinitas, kontak, komunikasi dan terutama, orang-orang yang membuat, memainkan, menjual & membeli, serta menggunakannya.

Apps merupakan sub-sektor industri piranti lunak yang paling pesat perkembangannya dan bernilai ekonomis sangat tinggi. Para peneliti kajian media sah-sah saja menghamburkan seribu-satu teori untuk memahami bagaimana orang membuat dan memberi makna pada objek-objek budaya seperti film, lagu, video games dan acara/program TV, tapi keberadaan apps yang jumlahnya sedemikian banyak masih belum sungguh-sungguh dipelajari dan signifikansi budayanya belum cukup diakui (Morris dan Murray, 2018: 2).

Sebagian besar apps dibuat untuk membantu pengguna memecahkan masalah sehari-hari mereka: mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, mencatat rencana kegiatan harian sampai jadwal olahraga rutin. Receh? Tidak juga.

Apps berfungsi untuk, di antaranya, menghubungkan kita dengan teman lama (dan kenalan baru), berbagi ingatan bersama (dan mengidentifikasi informasi pribadi), menciptakan karya seni (dan juga sampah digital) serta membantu sebagai petunjuk arah (dan menandai tempat-tempat yang sudah pernah dikunjungi). Ini semua tidak bisa dikatakan “receh.”

Jadi, seberapa “serius” keberadaan apps untuk menandai diri dengan segala kompleksitasnya dalam ‘kehidupan digital’ ini?

Dalam konteks pertanyaan inilah Appified menjadi suatu kajian media baru yang membahas pengalaman interaksi dan komunikasi manusia dengan beragam apps dalam hidup digitalnya.

Apps yang dipahami sebagai “produk budaya sekaligus praktik berkomunikasi” semakin lama semakin intensif digunakan, dan karenanya, menjadi objek studi yang amat menarik, aktual dan relevan.

Rujukan:
Morris, J. W. dan Murray, S., Editor. (2018). APPIFIED: Culture in the Age of Apps. Ann Arbor: University of Michigan Press.

Categories
Uncategorized

[Fenomenologi Sosial Alfred Schütz] Asumsi-asumsi Naif yang membahayakan Aktualitas Penelitian

Dikutip dari Schutz, A. (2013). Collected Papers IV. Springer, h. xyz.
Terjemahan oleh Hendar Putranto

Sebagai manusia, baik dalam konteks hidup sehari-hari maupun dalam konteks pekerjaan ilmiah yang kita lakukan, kita memiliki kecenderungan untuk berasumsi secara naif, artinya, apa yang pernah kita anggap benar sekarang akan kita anggap valid terus sampai besok-besok dan apa yang kita terima tanpa mempertanyakan di masa lalu, tidak akan kita pertanyakan lagi di masa depan. Sebenarnya hal ini lumrah saja, tidak membahayakan, asalkan yang kita asumsikan secara naif tersebut memiliki sifat yang murni logis, atau pernyataan empiris yang memiliki kadar generalisasi yang tinggi, meskipun juga tidak menutup kemungkinan bahwa proposisi-proposisi semacam ini pun memiliki ruang keterbatasan penerapannya juga.

Pada sisi yang lain, yang biasa kita sebut ‘level yang konkrit,’ kita terpaksa mengakui adanya sejumlah anggapan tanpa mempertanyakan mereka. Bahkan dalam riset aktual yang kita kerjakan, tidak jarang kita mengandaikan sejumlah pra-anggapan yang tidak dipertanyakan yang dalam bayangan kita dianggap sudah jelas menghubungkan sejumlah persoalan dan aspek-aspek yang mau diteliti.

Melompat dari sisi yang satu ke sisi yang lain berarti mempertanyakan apa yang tadinya sudah kita andaikan dan dianggap jelas dengan sendirinya, yang tadinya kita anggap hal terberi (given datum) bagi persoalan kita, sekarang menjadi problematis.

Dengan pergeseran sudut pandang kita, problem-problem baru dan aspek-aspek faktual mentas sementara yang lainnya menghilang meskipun tadinya mereka ada di jantung persoalan kita. Fakta ini saja sudah mencukupi untuk kita mulai melakukan modifikasi menyeluruh atas makna dari semua terma yang tadinya kita gunakan pada level (penelitian) sebelumnya.

Karenanya, kita perlu berhati-hati sekali mengendalikan modifikasi-modifikasi makna tersebut agar terhindar dari bahaya memindahkan begitu saja secara naif terma-terma dan proposisi-proposisi dari level yang satu ke level yang lain meskipun validitas terma dan proposisi sebelumnya itu secara relatif terbatas pada level yang ada sebelumnya juga anggapan-anggapan yang mengikutinya.