Categories
Uncategorized

Menjadi cendekia sekaligus aktivis sosial: Oxymoron-kah?

Beberapa hari yang lalu saya menerima link di surel kantor untuk membaca artikel yang ditulis oleh Katy Barnett. Judul artikel tersebut, Activist scholarship risks turning the academy into an echo chamber, langsung menarik perhatian saya seketika, sehingga saya sempatkan untuk membacanya sampai selesai.

Bagi sidang pembaca yang tertarik untuk membaca secara langsung dan lengkap artikelnya bisa klik di sini:
https://www.timeshighereducation.com/blog/activist-scholarship-risks-turning-academy-echo-chamber. Yang semakin membuat saya tertarik setelah membaca judulnya adalah membaca mini caption di bawah judul yang berbunyi sbb.: Scholarship that does not acknowledge the legitimacy of alternative views is inimical to knowledge generation, says Katy Barnett.

Belakangan saya baru tahu bahwa Katy Barnett adalah seorang Profesor Ilmu Hukum yang disegani di Australia. Beliau bekerja di Melbourne Law School, yang merupakan sekolah hukum tertua di negara Australia.
Berikut profil singkat beliau: https://law.unimelb.edu.au/about/staff/katy-barnett.
Beliau juga cukup aktif di Twitter, dengan akun @DrKatyBarnett.

Setelah membaca satu artikel tulisannya tersebut, kemudian menemukan artikel lain yang juga ditulisnya beberapa bulan sebelumnya, yang didanai Heterodox Academy, dengan mengusung tagline sebagai berikut,
“The HxA agenda is: to improve the quality of research and education in universities by increasing open inquiry, viewpoint diversity, and constructive disagreement.”
Project & tulisannya dapat diakses di sini:
https://geoffsharrockinmelbourne.net/2022/06/19/viewpoint-visibility-in-australian-universities-project-update/, saya jadi semakin mengaguminya.

Prof. Barnett adalah seorang cendekia yang penuh gairah mendukung keberagaman dalam lingkungan Pendidikan Tinggi dan tampak jelas bahwa salah satu tujuannya menulis dan memublikasikan tulisannya adalah agar publik (khalayak luas) dapat lebih mudah mengakses tulisan2 akademis (yang bermutu tentu saja).

Saya memahami concern beliau ketika mengatakan bahwa “Activist scholarship undermines the fundamental predicates of academia and creates distrust and division. I don’t care in which direction the particular activist barrow is being pushed – left, right, or another direction entirely. Activism presumes certain knowledge is inherently true and allows no room for dissent. It adopts one side of a debate wholeheartedly, to the point of taking strong actions to support it. The corollary to this, often, is that anything said on the other side of the debate is ridiculous or positively evil. Hence, the opposing view cannot even be mentioned, other than to be derided. Some academics refuse to read material by their intellectual opponents.” Dalam kutipan ini, tonasi maupun konten pemikiran beliau cenderung negatif terhadap yang disebutnya “cendekia-cum-aktivis” dan saya yakin ada sejumlah besar pengalaman beliau yang membentuk konstruksi berpikir, merasa dan berargumen terkait topik ini. Itu sah-sah saja dan baik juga untuk kita, sidang pembaca, periksa dan refleksikan dalam lingkup kehidupan dan konteks profesional kecendekiaan yang Anda dan saya menjadi bagian di dalamnya.

Untuk awalannya, saya memposting komentar atas artikelnya di situsweb timeshighereducation tersebut sbb.:

Dalam komentar ini, saya membandingkan arah pendekatan yang ia lakukan dalam metode pengajaran dan diseminasi pemikiran beliau dengan yang saya alami dan pernah lakukan di puluhan kelas Critical and Creative Thinking yang saya ajar back to 2007-2018 courses.

My short comments run like this: “Thank you, Katy. I remember teaching Critical and Creative Thinking [CCT] courses for undergraduate students, freshmen, some years back. There, I would divide the class into groups and present some selected topics for the other assigned group to challenge the presenter group. Then I’d have marked both the proponent & opponent groups for their 5C points: conciseness, clarity, consistency, critical views & creative problem-solving. They seem happy with the way the CCT materials were delivered in this “debate” manner, making them (more) open-minded and evaluating the argument (their own & opponent’s) with the 5C points, rather than subjective markers of like and dislike. I would heartily recommend this article for my students to read.”

Paragraf penutup artikelnya menegaskan posisinya sbb.: “I do not want to be the academic with whom people agree simply because they fear being scorned or shut out or marked down. I want my colleagues and students to think for themselves, to come up with interesting and different points of view, to challenge me, and for us to learn from each other.” Kalau dibaca sekilas, sepertinya tidak ada yang “salah” dengan penegasan yg beliau sampaikan tersebut, tapi saya agak tersentak ketika membaca frasa “to challenge me.”

Well, persis pada bagian ini, frasa “menantang saya” mungkin akan terasa keras dan pedas jika dibaca oleh sebagian besar Profesor dan Doktor yang mengajar saya (saya seorang mahasiswa S3 di sebuah Universitas negeri terkemuka di negeri ini) maupun sejumlah kolega senior di tempat saya bekerja sekarang.

Mengapa? Dalam iklim akademis di Indonesia (generalisasi, yes) yang masih cenderung feodal dan (to some extent) patriarkis, juga ada kecenderungan utk menegaskan posisi dosen senior di atas dosen junior, tampaknya frasa “to challenge me” ini bukan sesuatu yang sering dijumpai dalam interaksi di ruang2 kelas, apalagi dalam sesi ujian/sidang besar seperti sidang skripsi, tesis maupun disertasi. Selain jarang terjadi, juga cenderung tidak diemulasi atau dieksplisitasi oleh para dosen senior ketika mereka memulai sesi2 perjumpaan ilmiah (misalnya, interaksi di ruang kelas).

Bahkan, kesulitan menemukan pengalaman “to challenge me” dalam konteks kecendekiaan itu juga berlaku pada sejumlah dosen muda (rentang usia 32-45) yang mengajar para mahasiswanya. Artinya, bukan hanya senioritas secara umur dan pengalaman menjadi dosen, tapi juga senioritas dalam arti “perbedaan level pendidikan” yang mana S3 jelas lebih tinggi daripada S2, lulusan S3 dari luar negeri lebih berkasta tinggi daripada S3 lulusan dari dalam negeri, dst dsb. Dalam pencarian kebenaran bersama, a pursuit of knowledge, tidak jarang mahasiswa ditempatkan dan diposisikan sebagai innocent bystanders atau beginner students atau novice researchers yang mentok2nya bertanya hal2 yg teknis saja, bukan untuk mendebat, memproblematisasi proposisi, metodologi, konsep dan teori, apalagi mempertanyakan “sabda kebenaran” yang disampaikan para dosen dengan jenjang pendidikan dan konduite gelar akademis yg lebih tinggi!

Mind you, kejadian ini bukan hanya berlaku utk mahasiswa pada jenjang S1 saja lho yaaa, tapi bahkan berlaku pada mahasiswa di jenjang S3!!

Karenanya, problematika soal “difficulties of speaking out one’s voice and to challenge authority in academia” bukan hanya tantangan bagi sesama cendekia, misalnya antara cendekia aktivis dalam lingkaran pergaulan luas mereka dengan cendekia ivory tower, misalnya, atau cendekia perumus regulations and public-policies, tapi juga dalam lingkar2 yg relatif lebih sempit dan terbatas, misalnya, di dalam ruang kelas, di ruang sidang/ujian, atau di ruang2 diskusi publik.

Mungkin saja iklim kecendekiaan di dunia Barat (Australia masuk ke dalam “belahan Western scholarship bukan?) lebih memberi ruang dan kesempatan untuk melakukan “challenge authority on their presumed knowledge and expertise” dan itu dihargai di sana.

Tapi keberlakuan prinsip “to challenge authority” ini di Indonesia, dalam banyak kasus, bukan hanya satu-dua yang saya alami dan ketahui dari rekan2 yg pernah sharing pengalaman mereka tentang ini ke saya, rasa2nya masih jauh panggang dari api. Coba saja!

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *