Categories
Uncategorized

Panen Produksi Pengetahuan menjelang Tutup Tahun 2022

Sidang pembaca blog yang saya dampingi,

Terbitnya dua artikel berikut ini diharapkan dapat memperkaya diskursus perubahan sosial, terkhusus dalam rumpun keilmuan Komunikasi dan Interdisiplinernya semisal Komunikasi Antarbudaya, Etnografi Komunikasi Kritis, Feminisme dan Gender, Komunikasi Gender, dan Women’s Empowerment.

Bagi penulis yang sudah berproses selama belasan bulan untuk mengolah manuskrip yang akhirnya dimuat di jurnal Humaniora, vol. 34(2), persisnya sejak mengikuti lokakarya saringan naskah pada 17 Juli 2021 sampai dengan terbit resminya naskah ini di situs web jurnal Humaniora https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/download/68097/34973 pada 20 Des. 2022 yang lalu,

dan

8 bulan untuk manuskrip yang dimuat di RJIC https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17475759.2022.2161003), bertepatan dengan perayaan Hari Ibu/Gerakan Perempuan di Indonesia pada 22 Des. 2022,

membutuhkan bukan hanya grit (kegigihan) tapi juga kecermatan dalam memeriksa kembali naskah yang sudah dikembalikan (dengan komentar dan masukan) oleh reviewer dan kerjasama yang apik dengan rekan penulis untuk naskah kolaboratif yang dimuat di RJIC, khususnya penulis pertama yang jadi mentor saya, ibu Dr. Bherta Sri Eko.

Ini adalah sebuah pencapaian yang layak dibanggakan, meskipun mungkin rasa bangganya akan berlalu dalam beberapa bulan ke depan, tapi legasi tertulisnya dan tumpahan idenya dapat terus hidup dan dicatat (syukur-syukur kalau dikritik, dikutip, disanggah, dimodifikasi, dst.) oleh generasi cendekia yang akan datang, saat (para) penulis karya ini sudah tiada dan tidak lagi dapat merespon masukan yang ada dan berkembang secara langsung.

Bagi kaum nyinyir di luar sana yang kesenengannya hanya nggosipin tingkah perilaku orang ataupun mager menghanyutkan diri dalam tindak konsumtif hiburan maupun hedonis (belanja daring, misalnya), yang mencemooh jalan sunyi yang kudu dilalui kaum cerdik cendekia untuk sampai pada produksi pengetahuan yang berkualitas, atau mengabaikan keberadaan kami karena tampaknya kami lebih sering disengaged dari “kenyataan” alih-alih imersif dalam “perayaan nan riuh-rendah,” mari kita saling menghormati dan mengakui ko-eksistensi dua atau tiga cara mengada yang tidak selalu berkelindan dengan santai/santuy nya. Moga-moga pengalaman berbeda yang kita jalani ini dapat saling memperkaya dan memperdalam cakrawala kecendekiaan yang ada alih-alih tumpuk sambyuk ala reduktif absurditis.

Akhirul kata, semoga terlihat jejak kebenaran dari kutipan psikolog besar Carl Jung berikut ini “What we see is blossom, which passes. The rhizome remains.” (Carl Jung, Memoirs, Dreams, Reflections, 1965, h. 4) dalam memahami dan memberi makna pada yang berlalu (the passing) dan yang tinggal menetap (the remains).

Cheers,

Hendar Putranto

Tanggapan dari sidang pembaca untuk manuskrip “Criticizing Female Genital Mutilation Practice…”
“Selamat sore pak Hendar.
Sebelumnya proficiat atas terbitnya jurnal pak Hendar dan saya sangat berterima kasih telah berkenan berbagi tulisan yang sangat bernas lagi inspiratif ini.
Jujur saya merasa ngeri dan miris dengan mereka yang menjadi korban kebiadaban orang-2 terdekat mereka spt keluarga dan masyarakat yg mendukung budaya seperti itu.
Berlebihankah bahwa alasan-2 religius dan “bermoral” untuk melanggengkan tirani dari hierarki itu justru merupakan “pembunuhan” paling manusiawi atau setidaknya “paling benar” untuk diwariskan?
Well, memang sih mungkin ngga sampe membunuh physically orang itu, tetapi ia telah membunuh “separuh” martabatnya di masa mendatang dengan tunduk pada dominasi patriarki dan religi yang sebenarnya sudah tidak murni.
Meski begitu, memang, sebenarnya letak kesalahan juga gak sepenuhnya di pundak laki-2 aja sih.
Bukan juga melulu agama meski dia salah satu fondasi paling toxic untuk melegitimasi hal-2 semacam gini.
Seperti halnya sejarah dari FST, fenomena ini menantang para perempuan, atau lebih luas lagi masyarakat untuk menggunakan pikirannya. Karena “opposing all forms of domination” baru dimungkinkan kalau orang mulai berpikir.
Dan memang itulah tugas filsafat, yakni memperingatkan atau setidaknya berteriak “tidak” di tengah-2 mereka yang bersuara “ya”.
Tulisan ini sangat edukatif dan inspiratif bagi semua, utamanya bagi kaum perempuan untuk mematahkan atau setidaknya menunda pelanggengan kekeliruan atau kecacatan berpikir.
Semangat menulis untuk pak Hendar, kiranya Tuhan memberkati dengan hikmat-Nya dan diberkati pengabdiannya sebagai dosen, penulis, untuk mencerdaskan anak bangsa dan membebaskan mereka dari jerat dogmatik serta mencipta budaya yang lebih rasional, adil, dan manusiawi.
Tentang saran dari saya pak, tulisan ini dikemas dalam bahasa yang lebih sederhana untuk kemudian dimuat di media yang mudah dijangkau masyarakat umum dan awam, karena kan target dari tulisan ini adalah mereka bukan?
Supaya tulisan ini tidak hanya berhenti sebagai arsip keilmuan, lebih dari itu ialah benar-benar mencipta perubahan dalam masyarakat, dalam hal pandangan mereka terhadap agama, budaya, kebiasaan, tradisi.
Tuhan memberkati ✨”
[Jessica-Chan, Mahasiswa Fakultas Hukum UNNES, Penggiat Filsafat di komunitas Masyarakat Filsafat Indonesia dan beberapa komunitas filsafat lainnya]

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *