Tulisan singkat ini bertolak dari sharing pengalaman seorang rekan yang putrinya menjadi korban perundungan verbal (“verbal bullying”) dari teman sekolahnya belum lama ini. Putri rekan saya tersebut mengaku dikata-katai oleh beberapa teman cowoknya dengan julukan “lesbi,” “item” dan “nigga/nigger,” baik ketika berinteraksi secara daring (di grup WhatsApp) maupun interaksi tatap muka (KBM) dalam lingkungan sekolah. Masih menurut rekan saya tersebut, bukti dan saksi atas peristiwa perundungan ini sudah dikumpulkan seperlunya (misalnya skrinsyut WA yang berisi kata-kata bullying, bahkan yang tidak senonoh seperti alat kelamin pria, yang di-posting teman-teman cowoknya itu di grup WA bermain putrinya dengan teman-teman sekolahnya) seperlunya dan dia sudah melaporkan hal ini kepada pihak sekolah lewat walikelas putrinya.
Sebagai orang tua yang sayang anaknya dan tentu saja berharap jangan sampai lingkungan sekolah menjadi toxic bagi perkembangan karakter putrinya, tentu saja hatinya menjadi masygul. Pada sesi pertemuan tatap muka ortu murid dengan wali kelas sebelum tahun 2022 berakhir kemarin, dirinya sudah menyampaikan kejadian ini secara terbuka kepada wali kelasnya, dengan didengarkan juga oleh para ortu murid lain yang hadir di ruang kelas, supaya menjadi lesson to learn bersama.
Sebagai tindak lanjut dari pengaduannya tersebut, demikian dia berkata kepada saya, wali kelas putrinya sudah memanggil dan menegur anak-anak yang menjadi pelaku perundungan verbal tersebut beberapa hari kemudian, juga mengingatkan berulangkali agar jangan sampai kejadian ini berulang di lingkungan sekolah, yang relatif masih berada dalam kontrol mereka, maupun lingkungan bermain anak-anak, baik secara luring maupun daring, yang relatif jauh dari kontrol mereka. Pada lingkungan bermain di luar kontrol pihak sekolah inilah peran orangtua menjadi sentral untuk mengawasi dan memoderasi konten percakapan putra dan putri mereka pada berbagai apps grup interaksi daring seperti grup WA, Discord, Telegram, chat/komen di akun YouTube, IG, TikTok, dll.
Dia kemudian merefleksikan bahwa bertolak belakang dengan cita-cita pengembangan karakter berbasis nilai keagamaan tertentu yang didengung-dengungkan oleh pihak sekolah putrinya, kenyataannya jauh panggang dari api, paling tidak dari kacamatanya sebagai ortu murid yang merasa prihatin bahwasanya putrinya turut menjadi korban. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, respek terhadap perbedaan dan cintakasih, yang notabene masih dianggap lingkungan yang relatif lebih aman untuk putrinya tumbuh berkembang menjadi pribadi yang wajar dan sehat, ternyata malahan menjadi momok baginya ketika perundungan ini terjadi. Belakangan dia mengetahui bahwa ternyata bukan hanya putrinya yang jadi korban perundungan. Teman putrinya bahkan menjadi korban perundungan fisik sampai ke, maaf, ditowel “dada dan pantatnya.” Yang lebih mengenaskan lagi, peristiwa perundungan fisik ini justru sudah terjadi satu dua bulan sebelum berlangsungnya pertemuan ortu murid dengan pihak sekolah secara tatap muka di akhir 2022 tadi dan sebelum akhirnya mendapat perhatian serius dari pihak sekolah—meskipun juga sudah diadukan oleh pihak ortu murid yang putrinya dirundung sesaat setelah perundungan itu terjadi.
Yang lebih menjadi keprihatinannya adalah ternyata pihak sekolah belum mendesain mekanisme pencegahan dan penanganan yang proper, yang tertulis dan disosialisasikan secara terbuka dan terus-menerus, terkait perundungan verbal, fisik, maupun seksual yang dilakukan baik oleh sesama pelajar maupun oleh pihak staf/guru terhadap murid. Dirinya berharap pihak sekolah dapat SEGERA menyusun mekanisme penanganan KS maupun bullying yang jelas, tegas dan terkordinasi dengan baik, bahkan jika perlu bekerjasama dengan pihak penegak hukum setempat supaya memudahkan penanganan kasus-kasus yang mungkin terjadi lewat jalur hukum, jika “pendekatan kekeluargaan” gagal memediasi pihak-pihak yang bertikai. Tukasnya, jangan sampai kelulusan putrinya dari sekolah justru malahan ditemani “ijazah” trauma yang mendalam karena menjadi korban perundungan.
Dalam terang pengalaman konkrit yang disampaikan rekan saya inilah saya melihat pentingnya membaca esei karya Dennis dan Harrison (2020) yang dimuat dalam jurnal Pendidikan Moral. Tim penulis memberikan pandangan menarik tentang urgensi pendidikan karakter berbasis nilai-nilai keutamaan, dus, pendidikan etika, di tengah-tengah tantangan BARU yang dihadirkan lingkungan teknologi digital (daring). Meskipun beberapa belas tahun yang lalu tantangan ini belum mendapatkan perhatian khusus dan penelitian serius dari para ahli etika dan filsuf moral, tapi, belakangan ini mereka dan para ahli psikologi serta peneliti sosial mulai tertarik membahas character-related concerns dalam kajian STS dan filsafat teknologi.
Sayangnya, masih teramat sedikit sarjana yang mengeksplikasi secara lengkap dan lugas pentingnya pendidikan untuk mencapai kesejahteraan digital (digital well-being & cyber-wisdom) yang berbasis pendekatan pendidikan karakter serta berakar pada tradisi Etika Keutamaan (virtue ethics). Hanya dengan memahami kesejahteraan digital sebagai seperangkat konsen yang berpengaruh pada karakter manusialah, demikian hal yang dipercaya para pemikir di jalur ini, kita dapat mengkonter tantangan-tantangan etis mendesak yang dimunculkan oleh keberadaan ‘teknologi baru’ (emerging technologies) yang menuntut kita untuk menghadapi dan menyikapinya.
Meskipun luas dipercaya bahwa pada dasarnya karakter adalah hal yang ditanamkan (terasimilasi) sejak dini secara pasif, sejumlah ahli lebih percaya bahwa aktivitas pendidikan perlu secara sadar dan terarah menyediakan anak dengan bahasa dan pembiasaan dalam prinsip-prinsip etis keutamaan yang dasar. Anak seharusnya dapat belajar membedakan mana tindakan daring yang secara moral benar dan salah dari sekeliling mereka, secara khusus, dari orangtua dan rekan sebaya (peers) mereka. Mengingat bahasa dan prinsip-prinsip keutamaan bukan hal yang dominan dalam diskursus kehidupan daring anak, cukup meragukan bahwa anak akan menyerap nilai-nilai keutamaan ini—diibaratkan sebagai proses osmosis (proses penyerapan air dalam sel-sel makhluk hidup)—dari orang-orang yang ada di sekitar mereka.
Dennis dan Harrison (2020) percaya bahwa pemikiran dari Cocking dan van den Hoven (2018) serta Vallor (2016) tentang kabut moral (moral fog) dan kegelapan teknososial (technosocial opacity) dapat berkontribusi positif untuk memecahkan masalah ini. Jika kita tidak dapat mengandalkan anak-anak sendiri untuk menumbuh-kembangkan keutamaan-siber dan kebijaksanaan-siber lewat lingkungan tempat mereka bertumbuh, maka kita sebagai orang dewasa, guru dan pendidik, perlu secara lebih sadar-terarah (intensional) mengupayakan dan mendesain model pendidikan yang akomodatif terhadap gagasan ini.
Dalam terang pengertian inilah karakter yang diajarkan dapat memuat satu atau lebih pelajaran yang berbasis-ruang kelas tentang konsep kebijaksanaan-siber. Contoh upaya yang terisolasi “di ruang kelas” ini memang dapat membawa sejumlah manfaat bagi anak-anak (peserta didik) tapi kurang memadai jika hanya ini saja yang diupayakan. Pendekatan pengajaran nilai-nilai keutamaan juga perlu memberi ruang pada sejumlah kegiatan yang terencana, sadar, eksperiensial, dan reflektif yang saling berkaitan yang ditujukan untuk menanam dan/atau memoles keutamaan-siber dan kebijaksanaan-siber. Kesemua gugus kegiatan yang saling terkait ini dapat diajarkan baik di dalam sekolah dan setiap unit pendidikan, kegiatan lintas-kurikulum dan ekstra-kurikulum serta dilakukan di rumah dan juga di dalam komunitas-komunitas tempat anak-anak hidup dan bermain, termasuk ketika mereka bermain online games yang ngetren beberapa tahun terakhir ini seperti Roblox, Minecraft, Dota 2, World of Warcraft, PUBG Mobile & League of Legends, dll. (!).
Lebih dari sekedar diajarkan, dalam arti disampaikan secara lisan di ruang kelas, keutamaan dan kebijaksanaan siber juga perlu dicontohkan para guru dan orangtua lewat moderasi perilaku daring dan tutur-kata anak-anak mereka di grup-grup percakapan daring seperti WA, Telegram, dll. Mereka perlu diingatkan bahwa “that’s not how civilized people talk and comment. You can be better than that, dst.” Mengingat begitu besarnya pengaruh “media sosial dan online games,”—saya menyebutnya sebagai “sosok orang tua ketiga di era digital yang digerakkan bukan oleh tata nilai keutamaan tradisional dan local wisdom tapi oleh algoritma mesin pembelajar dan logika kapitalisme informasional”—terhadap proses pembentukan karakter anak-anak yang masih bertumbuh-kembang dan mencari role model yang tepat dalam proses bertumbuh-kembang menjadi pribadi yang lebih dewasa dan bertanggungjawab, kita sebagai guru, orang tua dan responsible adults tidak dapat menutup sebelah mata dan menganggap tantangan ini sebagai angin lalu.
Sejumlah bentuk nyata dari berkembangnya karakter secara sehat tersebut adalah anak menjadi semakin eling lan waspada (mindful) terhadap pikiran dan perasaannya; ia semakin dapat menjaga kesantunan dan menunjukkan respek kepada orang lain dalam berbahasa dan bertutur, baik dalam interaksi face-to-face maupun termediasi. Ia juga berani mengaku salah jika melanggar aturan, norma dan nilai yang dijunjung bersama, serta secara spontan dan tulus meminta maaf pada pihak-pihak yang dirugikan/dilukai karena kesalahan yang dilakukannya dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi.
Beware, parents and teachers. We must pay close attention on the ascending influence of the online surroundings towards the possible character diminution of our beloved children and take action accordingly!
Rujukan
Cocking, D., & van den Hoven, J. (2018). Evil Online. Wiley Blackwell. >> See the book here: https://www.jeroenvandenhoven.eu/2018/evil-online-new-book-why-the-design-of-our-digital-environment-matters/
Dennis, M. J. & Harrison, T. (2020). Unique ethical challenges for the 21st century: Online technology and virtue education. Journal of Moral Education, 50(3), 251-266. https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/03057240.2020.1781071
Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press. >> see the snippets of the book here: https://academic.oup.com/book/25951?login=true