Categories
Uncategorized

Refleksi Personal atas Sesi 02 Perkuliahan Metode Penelitian Kualitatif: CASE STUDY

Pertemuan 02 [seharusnya berlangsung pada Kamis, 8 Februari 2024, tapi karena ada libur nasional memperingati Isra Miraj, maka pelaksanaannya menjadi KP atau Kelas Pengganti. Sampai hari ini, 16 Feb 2024, belum kunjung tercapai kesepakatan dengan kelas dan dengan sistem my.umn.ac.id terkait jadwal KP Week 2 ini. Pengajuan awal KP oleh dosen pengampu pada Jumat, 16 Feb 2024 pukul 11-14 ditolak oleh sistem karena clash dengan 20% lebih jadwal mahasiswa yang enrolled di kelas yang saya ampu.]

Pre-teaching quotes

1) Saya merasa ada baiknya sebelum mulai mengajar atau bertindak sebagai dosen pengampu mata kuliah yang sama sekali baru, seperti Metopelkul atau MPK 2 ini, saya belajar dari dosen-dosen senior yang pernah mengampu mata kuliah ini pada semester-semester sebelumnya. Satu jam sebelum masuk kelas pada pertemuan pertama kemarin, saya bertanya pada seorang dosen senior pengampu mata kuliah ini, permasalahan-permasalahan apa yang biasa dijumpai oleh para dosen pengampu kelas Metopelkul terkait mahasiswa. Menurut beliau, ada 3 masalah utama yang biasanya dijumpai oleh dosen pengampu Matkul Metopelkul ini, yaitu a) Mahasiswa kurang membaca rujukan yang diberikan/disarankan dosen. Kalaupun membaca, mereka kurang cermat dan tidak tuntas membaca rujukannya; b) Mahasiswa cenderung tidak dapat merumuskan masalah penelitian Komunikasi secara akurat. Data, Fakta, dan Fenomena cukup sering disamakan dengan ‘masalah.’ Kemudian, itu yang dipakai sebagai ‘Rumusan Masalah Penelitian;’ dan c) Mahasiswa biasanya mengalami kebingungan ‘mau ngapain’ dengan metode penelitian kuali tertentu yang sudah mereka pilih (misalnya: Fenomenologi). Artinya, terjadi kebingungan ganda mulai dari bingung ‘merumuskan masalah’ dan bingung mau apa dengan ‘alat’ (metode) ini untuk ‘memecahkan’ masalah itu.

2) Salah satu definisi tentang Riset Kualitatif yang cukup ekstensif dan bernas yang pernah saya baca dan saya amini ‘kebenarannya’ adalah sbb.: “Qualitative research is a situated activity that locates the observer in the world. Qualitative research consists of a set of interpretive, material practices that make the world visible. These practices transform the world. They turn the world into a series of representations, including field notes, interviews, conversations, photographs, recordings, and memos to the self. At this level, qualitative research involves an interpretive, naturalistic approach to the world. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of or interpret phenomena in terms of the meanings people bring to them” (Denzin dan Lincoln, 2017, h. 43; bold & italic ditambahkan oleh Hendar Putranto untuk memberi penekanan). >>>

Rujukan: Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). (2017). The sage handbook of qualitative research. (5th ed.). London: Sage Publications.

Yang saya sukai dari kutipan ini dan bagaimana kutipan ini cocok dengan pandangan saya sendiri selaku seorang periset kualitatif adalah tekanan yang diberikan Denzin dan Lincoln pada ‘pendekatan interpretif dan alamiah terhadap dunia…yang di dalamnya orang-orang memberikan makna atas fenomena’ berkenaan dengan riset kualitatif. Tanpa bermaksud mengecilkan peran dan pentingnya aneka pendekatan yang ada dan berkembang dalam Riset Kualitatif, tekanan yang diberikan Denzin dan Lincoln dalam kutipan di atas seperti membawa saya kembali pada fokus metode penelitian yang saya gunakan dalam disertasi saya, yaitu Fenomenologi Praktik, yang terinspirasi dan menggabungkan secara kreatif pendekatan Fenomenologi Husserl (yang lebih deskriptif dan transendental) dengan Fenomenologi Heidegger (yang lebih reflektif/interpretif dan ontologis). Hal ini tersurat dalam judul buku yang ditulis oleh Max van Manen, salah seorang tokoh besar yang berjasa mengembangkan metode Fenomenologi Praktik, yaitu Phenomenology of Practice: Meaning-Giving Methods in Phenomenological Research and Writing (terbitan pertama oleh Left Coast Press, 2014; Terbitan berikutnya, penerbitnya sudah ganti jadi Routledge, 2016. Edisi kedua diterbitkan oleh Routledge, 2023).

Seperti ditegaskan van Manen (2023) dalam Preface edisi kedua bukunya, “Fenomenologi itu bukan sekadar perspektif filosofis, tapi juga sumber dari upaya mempertanyakan makna hidup sebagaimana kita jalani serta kodrat dari tanggungjawab untuk mengambil tindakan dan putusan personal…tidak ada yang lebih berarti daripada pencarian akan makna, misteri makna, asal-usul makna dan bagaimana makna bisa sampai muncul, sekaligus makna tanggungjawab kita pada Liyan dan pada dunia organik, material dan teknologis yang di dalamnya kita bermukim. Fenomenologi tidak lain daripada takjub, kata-kata, dan dunia.”

3) Tegangan menghidupi nilai-nilai sentral yang personal dalam dunia nilai pedagogik yang serba plural: antara Otonomi, being assertive, dan keterbukaan untuk berdialog. Pokok ini dipicu oleh kesulitan yang saya alami untuk mengajukan KP kelas Metopelkul Week 2 (karena ada libur nasional yang jatuh bertepatan dengan hari perkuliahan). Sebagai dosen lama yang sudah 4,5 tahun tidak mengajar (dalam arti mengampu kelas), saya terkaget-kaget karena sistemnya sudah berubah. Kalau tadinya pengajuan KP merupakan hak prerogatif dosen, mahasiswa tinggal ngikut, sekarang situasinya sudah berubah. Ada artificial moral agents dalam arti sistem teknologis yang terlibat di dalam pengajuan dan penentuan jadwal KP, yaitu my.umn.ac.id., khususnya Class Meeting Reschedule Application Form, yang salah satu klausulnya (1 dari 6) berbunyi sbb.: The number of students whose timetable clashed due to the rescheduling cannot exceed 20% of the class capacity.

Walhasil, karena ada aturan ‘baru’ ini, paradigma multi stakeholder (dalam pengertian Dodds, 2015)
[Lihat: https://www.sciencedirect.com/topics/social-sciences/multi-stakeholders “Multi-stakeholder means the stakeholders who are working together to find a collective solution for a certain problems, including governments, regional groups, local authorities, non-governmental actors, international institutions and private sector partners (Dodds, 2015).”]

jadi berbunyi lebih kencang karena pencarian ‘solusi kolektif atas masalah bersama’ kini bukan hanya meletak di tangan (kendali) (*) dosen pengampu kelas, tapi juga (**) mahasiswa yang terdaftar sebagai peserta kelas dan
(***) ketersediaan ruangan KP yang dikawal atau difasilitasi oleh sistem teknologis.

Refleksinya adalah bahwa kesediaan dan keterbukaan saya sebagai dosen pengampu kelas untuk berdialog terus-menerus dengan orang (mahasiswa peserta kelas) dan dengan benda/sistem teknologis menjadi sebuah prasyarat ‘performativitas’ (get things done as targeted) dalam lingkungan pendidikan yang semakin bercorak tekno-sains.

Post-teaching quotes (based on class activity-reflection)

1) Robert E. Stake, salah seorang tokoh penggagas dan pengegas pendekatan studi kasus dalam riset kualitatif, khususnya dalam rumpun keilmuan Pendidikan dan Evaluasi Kurikulum, pernah menuliskan kalimat (claim) yang layak untuk terus diingat dan dijadikan kredo bagi para peminat dan penggiat studi kasus, sbb.: “case studies will often be the preferred method of research because they may be epistemologically in harmony with the reader’s experience and thus to that person a natural basis for generalization…our methods of studying human affairs need to capitalize upon the natural powers of people to experience and understand (Stake, 1978, h. 5)”
Rujukan: Stake, Robert E. (1978). The Case Study Method in Social Inquiry. Educational Researcher, 7(2), 5-8. http://www.jstor.org/stable/1174340.

Meskipun kutipan di atas sudah “berumur” 46 tahun per tahun ini (2024), tapi kebenarannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Apalagi, dalam kutipan ini, Stake memberikan tempat sentral bagi ‘pengalaman dan pemahaman’ sebagai basis alamiah bagi seseorang, termasuk di sini peneliti (researcher, scientist), untuk melakukan generalisasi atas ‘temuan’-nya. Mengapa? Secara epistemologis, studi kasus cenderung nyambung dan selaras dengan (in harmony with) pengalaman pembaca. Tidak mengherankan kalau studi kasus pernah dan masih akan terus menjadi salah satu pendekatan favorit untuk melakukan riset kualitatif (all-time favorites).

2) Methods, matters! Manners, matters too!

Hal yang tidak capek-capeknya saya serukan kepada teman-teman muda Gen Z ini, baik dalam berkorespondensi (lewat surel terutama), berinteraksi interpersonal secara termediasi (lewat WhatsApp), maupun pada saat menyampaikan presentasi kelompok. Keberadaan aneka tugas dan sejumlah panduan instruksional pengerjaannya hendaknya tidak mem-baal-kan kehalusan budi (sensitivity) para (calon) peneliti belia untuk tetap mempertahankan kesantunan dalam bertutur kata, bertanya, dan menyampaikan gagasan. Jangan sampai baru mau mulai melakukan penelitian, karena salah ucap dan kurang santun dalam sapaan (misalnya, impersonalistik dalam tonasi atau terlalu straight-forward, sok kenal sok akrab), eh sudah langsung ditolak sama Narasumber potensial karena mereka merasa kurang nyaman dengan approach yang ditunjukkan si (calon) peneliti belia.

3) Dalam skema penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen inti dari penelitian, bukan perkakas atau alat-alat yang dibawanya. Justru karena itulah keluwesan (flexibility) dan kemampuan beradaptasi (adaptability) dengan pelbagai konteks yang berbeda-beda yang menaungi situ dan locus penelitiannya menjadi karakteristik utama dari seorang peneliti kualitatif.

Terlebih dalam pendekatan studi kasus, terutama yang berhaluan konstruktivis seperti yang diajukan dan dikembangkan Robert E. Stake sejak akhir tahun 1970-an, kemampuan peneliti untuk beradaptasi dengan luwes dan be a good team player (dalam suatu tim kolaborasi peneliti) sudah merupakan kodrat yang perlu dipeluk dengan gembira dan dijalani dengan penuh komitmen.

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *