Pada kesempatan kali ini, saya akan merefleksikan Sesi 04 perkuliahan Metopelkul, yang berlangsung secara on-site pada Kamis, 29 Februari 2024.
Refleksi diawali dengan membeberkan tiga Pre-teaching quotes berikut ini:
[Pertama]
Memasuki minggu (sesi) kajian metode Fenomenologi dalam Riset Ilmu Komunikasi, saya merasa tertantang sekaligus terhibur. Tertantang pada level personal sekaligus profesional karena metode Fenomenologi saya gunakan dalam penelitian disertasi saya sehingga muncul rasa kedekatan (intimate familiarity) ketika mengajarkan metode ini kepada para mahasiswa, secara langsung (on-site) maupun secara tidak langsung (termediasi surel). Terhibur karena saya merasa setidaknya ada legasi intelektual yang ikut mewarnai kehadiran saya dalam pengajaran di SC-UMN pada semester ini.
Selain itu, saya juga terhibur karena bertunasnya harapan bahwa metode fenomenologi akan terus berlanjut digunakan sebagai salah satu metode alternatif ‘yang kuat dan menyejarah dalam penelitian Komunikasi’ (lih. Sturgess, 2018), pada jenjang Sarjana (S1).
[Kedua]
Tidak banyak pemikir sosial yang menganalisis secara cermat dan historis hubungan antara Fenomenologi dengan Teori-teori Sosial. Salah satu pemikir sosial yang memikirkan dan menuliskan soal ini adalah Harvie Ferguson, Profesor Sosiologi dari Universitas Glasgow. Baginya, Fenomenologi merupakan sebuah aliran berpikir yang lahir dari rahim modernitas Eropa pasca-Pencerahan, khususnya post-Hegelian modernity, yang memuliakan pengalaman langsung dan kesadaran sebagai stream of consciousness, di atas sistem atau kategori berpikir (German rationalism and idealism), atau pengalaman observasional (British empiricism).
Ada dua kesimpulan awal yang ditarik Ferguson dari telaahnya tentang asal-usul Fenomenologi, yang bertolak dari pemikiran René Descartes, yaitu (a) modernity simply means the sovereignty of experience (ini merupakan cara Husserl membaca radikalitas metode Descartes yang menolak sumber-sumber otoritas pengetahuan tradisional, termasuk Gereja dan para filsuf Abad Pertengahan), dan (b) Dualisme antara subjek dan objek, termasuk di dalamnya penemuan subjektivitas, merupakan pondasi berpikir modern yang memuncak dalam Fenomenologi.
Berbeda dari Husserl yang sibuk untuk kembali pada eksistensi primordial kesadaran (murni), yang terbebas dari noda-noda pengandaian dan pembentukan sejarah atasnya, Alfred Schutz justru memandang “dunia sosial sebagai kenyataan yang sepenuhnya ditafsirkan.” Fenomenologi Schutz tidak bertolak dari penarikan diri (withdrawal) atau pengurungan asumsi-asumsi (epoché), tapi justru “complicit affirmation of social life as a paramount reality: `The world of everyday life is…man’s fundamental and paramount reality” (Schutz & Luckmann, 1973, h. 3).
Dari eksplikasi teoritis singkat di atas, pembelajar pemula Fenomenologi dapat melihat bahwa tidak ada rumusan tunggal tentang apa itu Fenomenologi, kapan persisnya ia dimulai (sebagai sebuah aliran atau moda berpikir), dan konsep-konsep sentral seperti apa yang keberlakuannya dianggap ajeg dan berterima, contohnya, epoché.
Rujukan: Ferguson, H. (2001). Phenomenology and social theory. Dalam Ritzer, G. & Smart, B. (eds.) Handbook of Social Theory (h. 232-248). London: Sage.
[Ketiga]
Doing phenomenology tidak dapat dilepaskan dari keterampilan peneliti untuk ‘menyingkapkan yang sulit untuk dikatakan’ dengan ‘menggunakan dan dalam bahasa.’ Bagi Sheets-Johnstone (2017, h. 6), hal yang memungkinkan semua kajian fenomenologi berlangsung dan berkembang sudah selalu terkait dengan bahasa, yaitu bagaimana membuat yang terasa akrab, dekat dan sehari-hari, menjadi ‘asing’ (making the familiar strange), sekaligus bagaimana menghadapi tantangan pengalaman berbahasa (languaging experience).
Dalam penulisan fenomenologis, relatif jarang terjadi peneliti secara cepat mampu mendeskripsikan fenomena (yang tampak atau hadir) menggunakan kata-kata. Ia harus membiarkan pengalaman berbahasanya ‘melantur dari gudang perbendaharaan kosakata yang klisé’ lalu terdampar di pelataran bahasa yang poetic agar ia dapat ‘menangkap fenomena yang membetot perhatiannya secara descriptively exacting ways.’
Rujukan: Sheets-Johnstone, M. (2017). In Praise of Phenomenology. Phenomenology & Practice, 11(1), 5-17.
Post-teaching quotes (based on class activity-reflection)
[Pertama]
Berdasarkan presentasi kelompok tentang metode Interpretative Phenomenological Analysis (IPA), terlihat bahwa penguasaan kelompok atas materi review artikel jurnal kurang terfokus pada bagian Metodologi (hanya muncul pada slides no. 6-7 dan 15 pada draf dan itu pun masih kurang elaboratif). Penjelasan kelompok justru ‘terbawa’ (carried away) pada topik atau konten yang diangkat tim penulis artikel pertama maupun kedua, padahal substansi materi yang diangkat penulis artikel 1 & 2 lebih condong pada ‘deskripsi psikologis’ (psychological states), misalnya: rasa sakit yang bersifat non bio-medis & eksperiensial: the meaning of pain, painting pain & unhomelikeness; alih-alih pola komunikasi, atau pertukaran makna simbolis.
[Kedua]
Berdasarkan presentasi kelompok tentang metode Fenomenologi Praktik terlihat bahwa kelompok belum cukup dalam menggali faktor-faktor kekuatan dan kelemahan dari metode Fenomenologi Praktik ketika digunakan untuk meneliti masalah-masalah “Komunikasi.” Baru dalam sesi tanya jawab hal ini diangkat oleh dosen dan dipikirkan (kemudian dijawab) oleh anggota kelompok. Kelompok belum melakukan refleksi: what it means to do phenomenology.
Artikel jurnal internasional [bertajuk Conducting phenomenological research: Rationalising the methods and rigour of the Phenomenology of Practice karya Errasti-Ibarrondo, dkk., 2018] yang menjadi salah satu rujukan utama tinjauan kelompok, bersifat method discussion. Artinya, tim penulis artikel ini membahas sejumlah cara yang mungkin untuk menerapkan metode Fenomenologi Praktik van Manen dalam beragam kemungkinan topik, setting, pengalaman, dan disiplin/sub-disiplin keilmuan sosial.
Sebagaimana ditegaskan Errasti-Ibarrondo, dkk. pada bagian kesimpulan tulisan mereka, “dilihat dari sudut pandang Vanmanian, ‘penelitian’ dalam fenomenologi berarti ‘melakukan refleksi’ dan berefleksi artinya ‘menulis’ […] riset yang didasarkan pada metode fenomenologi hermeneutik pada dasarnya adalah suatu kegiatan menulis. Riset dan penulisan adalah aspek-aspek dari proses yang satu dan sama” (van Manen, 2015, h. 7; 2014, h. 389).
[Ketiga]
Pada hari Jumat, 1 Maret 2024, pukul 13.30-15.30 WIB, Hendar membagikan refleksinya tentang “penelitian Komunikasi yang menggunakan Metode Fenomenologi: IPA dan Praktik” kepada empat orang mahasiswa SC & Jurnalistik yang sedang mengambil & mengerjakan Skripsi. Ini sebuah pengalaman outside-classroom on-site focused sharing session yang menarik dan baru bagiku. Ada beberapa pokok insight yang kubagikan pada mereka ketika mereka (mau) menggunakan metode Fenomenologi dalam penelitian ilmu Komunikasi:
a) The interconnectedness of lives’ dimensions: bahwa personal lives dan professional lives itu, meskipun berbeda (distinct), tapi tidak dapat dipisahkan ketika peneliti mau menggali pengalaman hayati para Narasumber untuk topik penelitian apapun, selama penelitian Komunikasi tersebut masih masuk dalam ‘kategori’ human communication (bukan CMC atau HCI, misalnya).
b) Focus on lived experiences of the informants/participants: Dengan segala lapis dan keragaman konteks identitas mereka, pengalaman hayati calon Narsum perlu diberi perhatian yang lebih besar ketika peneliti merumuskan pertanyaan penelitian dan pertanyaan wawancara. Contohnya, alih-alih bertanya seperti ini: “Apa pendapat Narasumber tentang masalah lingkungan, dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?” >>> perlu dirumuskan ulang menjadi, misalnya, “Apakah Anda pernah punya pengalaman membuang sampah?” Penggaliannya: “Apakah sampah yang Anda buang itu sampah rumah tangga?” Lalu, pertanyaan susulannya: “Jika itu sampah rumah tangga, apakah Anda memilah-milahnya terlebih dulu sebelum dibuang ke kotak sampah (dalam rumah & luar rumah)?”
c) Establish rapport: Peneliti tidak perlu ragu dan malu untuk melakukan profiling calon Narasumber terlebih dulu, khususnya profiling identitas dan aktivitas mereka (pada situs-situs yang datanya dapat diakses, alias tidak di-protect) yang dianggap relevan dengan topik yang mau diteliti, apalagi kalau mereka public figures yang cukup terkenal/luas diliput media. Profiling awal dari calon Narasumber ini dapat menjadi jembatan komunikasi sederhana yang memudahkan dan memuluskan relasi peneliti dengan Narsum mengingat ada rongak (gap) pengalaman, usia, status sosial, dll. yang memisahkan peneliti dengan Narsum. Rongak ini perlu segera dijembatani. Kalau tidak, hasilnya awkward conversation atau jawaban yang diperoleh cenderung ‘normatif’ saja.