Rujukan utama
Floridi, L. (2002). On the intrinsic value of information objects and the infosphere. Ethics and Information Technology 4, 287–304. https://doi.org/10.1023/A:1021342422699
Bdk. Floridi, L. (2013). ‘The intrinsic value of the infosphere’, The Ethics of Information (Oxford, 2013; online edn, Oxford Academic, 23 Jan. 2014). https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199641321.003.0006, Diakses Putranto pada 25 Mei 2024.
Rujukan pelengkap
Kuliah Tamu (Sesi 10) tentang “Etika Ruang Siber dan Virtual dalam konteks penerapan Etika Komunikasi Strategis” yang disampaikan untuk para mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi, UMN, batch 6, pada Selasa, 23 April 2024 pukul 18.30 – 21.05 WIB.
Penjelasan atas pembuktian nilai moral intrinsik (intrinsic moral value) dari entitas informasional sebagaimana digagas oleh filsuf Luciano Floridi dalam bukunya, The Ethics of Information © 2013
Dituliskan ulang oleh Hendar Putranto © 2024 (26 Mei, pukul 10.04-10.55 WIB)
Salah seorang mahasiswa peserta kuliah tamu ‘Etika Komunikasi Strategis’ dari Program MIKOM, Batch 6, bertanya sebagai berikut, “Sejujurnya aku bingung sih, Pak. Gak tahu, teman-teman yang lain. Aku sih pusing ya. Pertama tadi yang mengenai pembuktian logis itu. Yang Bapak menjelaskan tentang if apa itu. Itu berarti bisa diaplikasikan ke beberapa model ya, Pak? Bahwa X itu bisa diganti. Apakah boleh dijelaskan ulang maksudnya entitas intrinsik itu tadi apa, Pak?”
Hendar Putranto kemudian merespon sebagai berikut:
Baiklah, saya akan mulai penjelasan tentang pembuktian logis nilai moral intrinsik dari entitas informasional yang mengacu pada argumen Floridi (2002, 2013) sebagai berikut “something as intrinsically valuable, and hence worthy of some moral respect…(upon which) the minimal condition of possibility of an entity’s least intrinsic value is to be identified with its ontological status as an informational entity.”
Pertama, kita sebut saja entitas informasional tadi itu sebagai X, begitu ya. X itu bisa digantikan apapun karena entitas informasional itu mencakup semua hal yang dapat dilihat sebagai data atau kumpulan data. Misalnya ini (menunjukkan sebuah benda), apa ini namanya? mouse ya? Nah, mouse ini masuk ke dalam entitas informasional karena dia punya data di dalamnya. “Data” ini dalam tanda kutip ya. Artinya, yang dimengerti sebagai ‘data’ itu tidak harus selalu terhubung internet, dsb. Bukan seperti itu. Apalagi kalau ‘data’ dimengerti seperti ini (menunjukkan smartphone). Smartphone ini sebagai entitas informasional tentu jauh lebih kompleks daripada sekadar mouse ya, karena isinya memuat banyak data, ia terhubung dengan agregat data lainnya lewat jaringan internet, dsb. Bisa juga entitas informasional itu (menunjukkan) earphone ini. Atau mau benda apapun lainnya boleh, untuk menggantikan X tadi.
Jadi, entitas informasional itu bisa diganti apapun, bisa juga manusia, binatang juga bisa, anjing, kucing, buaya, bahkan planet (celestial bodies). Jadi, bisa apapun. Nah, poinnya adalah mengapa suatu benda atau hal itu disebut sebagai entitas informasional? Kalau menurut Floridi, dalam Etika Informasi (2013), semua benda atau entitas itu tersusun dari information. Kalau dalam konteks kuliah malam hari ini, kita dapat dengan lebih mudah memahaminya bila menyebutnya data, terisi dengan data. Tapi, kalau bagi Floridi, data itu bagian dari information. Jadi information itu sesuatu yang lebih menyeluruh daripada hanya data.
Lalu tadi pada salah satu slide saya menyodorkan pembuktian logis. Di situ saya menggunakan model “jika dan jika,” artinya model logika hypothetical ya. Logika dasar itu mengenal model silogisme standar itu ada dua, yaitu logika kategoris dan logika hipotetis. Kalau ‘jika dan jika’ itu artinya logikanya hipotetis, tapi kalau semua adalah apa, lalu sebagian adalah apa, itu artinya logika kategoris.
Pembedaan semacam ini biasanya saya sampaikan ketika mengajar mahasiswa Strata 1 (sarjana), pada semester-semester awal (1 atau 2), dalam perkuliahan bernama Dasar-dasar Logika.
Biasanya saya memakai model logika Aristoteles ketika membahas tentang Silogisme. Jadi, dari model logika kategoris sama logika hipotetis itu nanti kita dapat mengambil kesimpulan yang valid. Jadi, proses penyimpulan yang valid dengan menggunakan logika model kategoris atau hipotetis. Semacam itu ya. Saya ulangi lagi, kalau menggunakan ‘jika dan jika,’ itu artinya silogisme hipotetis.
Jadi, jika syarat ini terpenuhi, maka dia begini. Dengan rumusan: p ⇒ q dan q ⇒ r yang menghasilkan konklusi p ⇒ r. Jadi, jika A, maka B. Jika B, maka C. Kesimpulannya, jika A maka C. Kalau logika hipotetis itu kan sederhananya begitu. Nah, yang dilakukan oleh Floridi tadi sebenarnya mau membuktikan apa? Floridi mau membuktikan bahwa setiap entitas informasional itu punya nilai moral intrinsik, atau disebut intrinsic moral value. Jika sesuatu mempunyai intrinsic moral value, maka benda itu atau apapun itu layak mendapatkan hormat moral kita (worthy of some moral respect).
Kita dapat mengambil contoh berikut ini, ketika kita bertanya, kapan kehidupan itu dimulai? Ini kan persoalan sentral yang jadi pembahasan dalam bio-ethics. Apakah kehidupan itu dimulai ketika terjadi perjumpaan antara sperma dengan sel telur? Kan begitu ya bahasanya kalau kita menggunakan term dari Biologi. Lalu dari hasil perjumpaan itu terjadi pembuahan, misalnya. Pada manusia, dan pada umumnya makhluk hidup ya, kalau sperma ketemu sel telur maka akan terjadi pembuahan, pada detik itu juga, istilahnya million second itu juga, kehidupan sudah muncul. Jadi, ada sejumlah ahli yang mengatakan begitu.
Nah, kalau dikatakan bahwa kehidupan itu sudah muncul di situ, maka hasil pembuahan itu haruslah mendapatkan moral respect kita, sehingga kita tidak boleh, misalnya, mengugurkan (aborsi) yang sudah dianggap sebagai awal-mula kehidupan karena alasan utama moral respect for life.
Saya mau mengatakan hal ini: kalau memakai contoh yang sederhana ini, kita dapat lebih mudah membayangkan hal yang kita mau bahas tadi. Ketika seseorang mengatakan bahwa kehidupan dimulai tiga minggu setelah pembuahan atau saat perjumpaan sperma dengan sel telur, tapi ada juga yang mengatakan, oh kalau janin (embryo) sudah mulai ada bentuknya, misalnya pada trimester ke-2 itu janin mulai ada bentuknya, maka itu baru disebut kehidupan.
Tapi ada juga yang agak ekstrim, spektrum yang paling kanan ya, kalau janin sudah terlahir normal, sehat, baru itu disebut kehidupan; jadi, selama masih di dalam perut ibu dan bentuknya embryo, itu belum disebut kehidupan, begitu kan? Konsekuensi logis dari paham yang seperti itu tadilah akan menghasilkan pembedaan dalam perlakuan-perlakuan terhadap yang disebut ‘kehidupan’ itu tadi.
Dengan demikian, berdasarkan contoh-contoh yang saya berikan tadi, diharapkan kita jadi lebih mudah memahami klausul “pembuktian logis atas nilai moral intrinsik dari entitas informasional yang pantas mendapatkan moral respect kita.”