Categories
Uncategorized

[DAY134] Homo Culinarius instead of Homo Sapiens: For real?

Homo culinarius lebih tepat menggambarkan diri kita alih-alih Homo sapiens? Benarkah demikian? Atas dasar apa klaim ini?

Dalam sebuah riset yang dilakukan ahli antropologi purba (paleoanthropologist) bernama Daniel E. Lieberman bersama tim riset dari Harvard University pada 2016, ditemukan fakta bahwa memodifikasi makanan sebelum disantap—dkl, dimasak dulu alih2 dimakan mentah—justru meningkatkan asupan energi bagi manusia yg memakannya.

Tim riset yang dipimpin Lieberman ini sudah melakukan serangkaian percobaan termasuk di antaranya meminta para partisipan riset untuk mengunyah daging kambing mentah, kemudian percobaan lain yg menunjukkan teknologi yang digunakan manusia purba zaman doeloe (Paleolithic) seperti pisau yang dibuat dari batu untuk memotong dan mememarkan daging, ternyata mengubah makanan sedemikian rupa sehingga daging kambing (olahan) tersebut menjadi lebih kaya energi dan lebih mudah dikunyah. Karena waktu yang digunakan untuk mengunyah makanan daging hasil olahan tersebut jadi lebih singkat, maka manusia purba dapat menggunakan waktunya untuk melakukan kegiatan lain yang lebih bermakna secara sosial dan budaya, seperti “menulis di dinding gua”, menemukan inovasi dan teknologi yang memudahkan kehidupan mereka, dll.

Sederhananya begini: para nenek moyang kita, dan memang hanya nenek moyang spesies manusialah, yang memasak.

Saya (Herculano-Houzel) lebih cenderung menyebut mereka sebagai Homo culinarius dan bukan Homo sapiens, karena menurut saya penyebutan istilah Homo culinarius lebih menggambarkan keadaan riil mereka pada zaman doeloe itu (dan juga pada zaman modern sekarang) daripada istilah yang agak sumir, sombong dan kurang nyata yaitu sapiens. Istilah sapiens sepertinya lebih menyiratkan nuansa hanya spesies manusialah yang dapat berpikir dan mengetahui, sementara spesies primata yang lain tidak (sombong banget kan?)

Padahal, penelitian yang dilakukan ahli Primatologi dari Harvard, seperti Richard Wrangham, juga menunjukkan temuan yang sama yaitu bahwa memasak dengan menggunakan api merupakan terobosan besar dalam sejarah evolusi manusia.

Sumber rujukan:
Herculano-Houzel, S. (2017). The Remarkable (But Not Extraordinary) Human Brain. Scientific American Mind, March-April 2017 Edition, pp. 36-41.

Pertanyaan riset:
Bagaimana menanggapi hasil temuan Herculano-Houzel (2017) ini dengan membaca dan membandingkannya dengan Homo Sapiens karya Yuval Noah Harari, misalnya?

Categories
Uncategorized

[DAY129] Moral Minds: Asal-usul Kesadaran Moral Manusia (Insting Bahasa & Biologis)

Belajar dari buku Moral Minds: How Nature Designed Our Universal Sense of Right and Wrong karya Marc D. Hauser (Ecco/HarperCollins Publishers, 2006).

Ide pokok (tesis) yang ditawarkan dan dipertahankan Hauser dalam buku ini relatif sederhana:

Naluri moral yang kita miliki itu bertumbuh kembang secara alamiah sejak kecil sampai dewasa sehingga (sampai pada titik di man) kita dapat dengan cepat memutuskan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan “unconscious grammar of action” (berikutnya akan disingkat dengan UnGrAct).

Dari mana asalnya UnGrAct ini? sebagiannya lewat proses seleksi alamiah seperti diajukan teori Darwin, sebagian lagi ditambahkan belakangan lewat sejarah evolusioner yang melekat khas pada spesies manusia, dan terutama lewat sebuah naluri purba yang (sayangnya jarang dibahas) bernama bahasa.

Ada dua pemikir dan karya yang dijadikan rujukan ketika membahas peran bahasa dalam evolusi kesadaran moral manusia ini. Pertama karya2 Noam Chomsky pada sekitar tahun 1950-an, kedua karya Steven Pinker dalam The Language Instinct (1994). Alih-alih memahami bahasa sebagai produk sosial yang bervariasi antar budaya, maupun peran pengalaman dalam mempelajari sebuah bahasa (kajian psikologi belajar), Hauser menyarankan agar kita mengikuti tradisi ilmu biologi yang melihat bahasa sebagai sebuah alat (organ) yang didesain secara khusus dan menjadi fitur khas pikiran manusia yang berlaku secara universal.

Menurut pandangan biologi evolusioner, bahasa memiliki gramatika yang bersifat universal dan tersembunyi di dalam setiap spesies yang memampukan kita untuk menyusun sendiri bahasa-bahasa yang lebih khusus (spesifik). Sekalinya kita menangkap (menguasai) bahasa ibu kita, kita lalu dapat berbicara dan memahami apa yang orang lain katakan tanpa harus ribet-ribet menalar atau dengan sadar mengakses prinsip2 yg mendasari bahasa ibu tsb. Sejajar dengan premis ini, secara analog Hauser berargumen bahwa kesadaran moral kita juga bekerja seperti itu, “our moral faculty is equipped with a universal moral grammar, a toolkit for building specific moral systems.”

Sekalinya kita memperoleh (menguasai) norma-norma moral spesifik yang hidup (jadi tradisi) dalam budaya kita sendiri, maka dengan cepat (nyaris spontan tanpa pikir panjang) kita dapat membedakan dan memutuskan mana tindakan yang dibolehkan, diwajibkan, terlarang, tanpa harus ribet-ribet mealar atau mengenali prinsip-prinsip yang mendasari tradisi/aturan/norma tersebut.

Jadi, ringkasnya, dalam buku ini Hauser menawarkan cara berpikir yang organis (biologis) + esensialis tentang landasan moral kita dengan menggunakan analogi dari temuan2 terbaru riset ilmu biologi evolusioner alih-alih mencantelkan landasan moralitas (mewarisi) prinsip moral tersebut dari dua sumber yg dianggap dominan selama ini yaitu norma2 agama (juga filsafat) maupun dari aturan2 penguasa (pemerintah), termasuk lewat jenjang pendidikan formal yang dikurikulumkan.

Berikut Epilog dari buku ini dalam bentuk screenshot:


Hendar Putranto (c) 2020

Categories
Uncategorized

[DAY127] Seri Webinar Etika Politik versi INSPECTUS: Edisi Kedua, 29Agt2020

Berikut screenshot kehadiran peserta:

Berikut screenshot resumenya:

Berikut link YouTube Webinarnya:
https://youtu.be/rpz80vD6Lvw

Semoga Webinar ini dapat mencerahkan para peserta dan juga para pengambil keputusan terkait isu Governance, Kesehatan Masyarakat dan Demokratisasi.

cheers,

Hendar Putranto

Categories
Uncategorized

[DAY126] Tahap Persiapan Seri Webinar INSPECTUS Sesi Kedua_RiskComm&Infodemics_29Agt2020

Berikut flyer kegiatannya:

Berikut Profil Narsumnya:

Berikut TOR yg disiapkan utk Narsumnya:

Semoga kegiatan Webinar Edisi Kedua ini bermanfaat yah bagi para peserta utk memahami lebih jauh dan lebih dalam hubungan antara Etika Politik, Komunikasi Krisis/Risiko dan Isu Infodemics.

cheers,

Hendar Putranto
Salah satu Founders Inspectus

Categories
Uncategorized

[DAY124] Rapid Test, PCR & Keraguan akan Validitasnya

1) Belajar dari kasus klaim temuan obat Covid-19 versi UNAIR berikut ini

2) yg lalu memunculkan praduga: ada perang kepentingan apa di balik klaim UNAIR yg diragukan banyak ahli Epidemiolog ini? Apakah ada unsur komersialisasi? kepentingan keamanan nasional?

3) Apa yg seharusnya dilakukan (junior) researchers ketika hrs meneliti isu Covid-19 ini? Tetap harus mementingkan kaidah ilmiah dgn segala rigoritasnya meskipun mengetahui bahwa tingkat urgensi menemukan “obat/vaksin” utk Covid-19 ini sedemikian tinggi dan prestisius (breakthrough)

Categories
Uncategorized

[DAY_ONEHUNDREDTWENTYTHREE] Termarjinalkannya kaum perempuan dari dunia komputasi dan tren digitalisasi pada level global

Belajar dari buku
Cracking the Digital Ceiling: Women in Computing around the World
Tim Editor: Carol Frieze dan Jeria L. Quesenberry
Penerbit: Cambridge University Press, 2019

Apakah persoalan komputer (dan komputasi) itu urusan laki-laki saja? Benarkah perempuan itu tidak “berbakat” dalam hal dan “keliru kalau memilih karir” di bidang komputer? Kumpulan tulisan (ada lebih dari 15 tulisan dalam buku ini) dalam buku ini mencoba menantang asumsi dominan yang biasanya luas tersebar di dunia Barat (dan lalu sering dijadikan pembenaran) bahwasanya partisipasi perempuan dalam bidang komputasi itu rendah. Hampir semua tulisan yang terkompilasi dalam buku ini berpijak pada pengalaman perempuan yang khas, dalam bidang pendidikan, industri TI, dan administrasi (pemerintahan), dengan keragaman konteks sosio-budaya-geografisnya, dengan tujuan untuk memahami dengan lebih utuh level partisipasi perempuan dalam urusan perkomputeran (komputasi, TI, data processing, dll.). Faktor-faktor lingkungan ternyata lebih berperan menentukan “rendahnya” angka partisipasi perempuan dalam urusan perkomputeran alih-alih alasan “kurangnya bakat dan keterampilan bawaan.”

… more to come …

Sedikit biografi tentang Kontributor dan Tim Penyunting buku ini (dikutip dari https://www.barnesandnoble.com/w/cracking-the-digital-ceiling-carol-frieze/1130935055)

Carol Frieze works on diversity and inclusion in Carnegie Mellon’s School of Computer Science. She focuses on culture and broadening participation in computing. She is co-author of Kicking Butt in Computer Science: Women in Computing at Carnegie Mellon University (2015). Frieze is winner of the 2016 AccessComputing Capacity Building Award and the 2017 winner of the Computing Research Association’s A. Nico Habermann Award.

Jeria L. Quesenberry is an associate teaching professor of information systems at Carnegie Mellon University. Her research interests include cultural influences on IT students and professionals, social inclusion, and broadening participation. She is co-author of Kicking Butt in Computer Science: Women in Computing at Carnegie Mellon University (2015).

Categories
Uncategorized

[DAY_ONEHUNDREDTWENTY] Sosok Bu Tejo yg lagi viral itu (dari film pendek TILIK, 2018)

Link untuk menonton film pendek yg viral ini:

Produksi: Ravacana Films bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY.

Ini dua tanggapan singkat saya dalam bentuk status WhatsApp:

Categories
Uncategorized

[DAY_ONEHUNDREDNINETEEN] Orang Muda dan Masa Depan Jurnalisme: Bangkitnya Model Jurnalisme Konektif

Rujukan kunci:
Clark, L. S. and Marchi, R. M. (2017). Young People and the Future of News: Social Media and the Rise of Connective Journalism. Cambridge University Press.

The changing definition of “news” as produsing: producing + using
The new relational approach concept on journalism: Connective journalism.

Who? young people, students
what triggered these? BlackLivesMatter; sexual assault; etc.
what means? social media platforms
what’s left unnoticed? their concerns
by whom? legacy news / consolidated news media giants
to what effect?
1) It no longer matters the credible source of news, but who told you about this “news”? Are they someone close to you?
2) Sharing and discussing it (the so-called “news”) is more important than finding the “truth of the content”

(to be continued tomorrow, August 22, 2020)

Categories
Uncategorized

[DAY_ONEHUNDREDSEVENTEEN] Echo Chamber Effect: Benarkah dampaknya merusak demokrasi digital?

Mari kita simak dua gambar berikut ini (sumber: dapat dari teman di sebuah grup WA yg saya ikuti):

Benarkah echo chamber effect dampaknya merusak demokrasi (digital) yang ada dan berlangsung sekarang ini?

Apakah keberadaan filter bubble dan algoritma biner justru membuat para digital citizens (denizens) semakin berada dalam lingkaran (tertutup) like-minded ethnocentric groups nya alih-alih dicemplungkan secara alamiah dan didorong untuk “berdialog” dalam lingkungan yg berbeda (beragam) dengan potensi2 dissent atau ketidaksetujuan yang sangat mungkin terjadi?

Jika user choice merupakan ultimate value sekaligus harga yang harus dibayar berkat adanya kemajuan teknologi informasi digital sekarang, tidakkah tersedia ruang alternatif untuk memilih masuk dalam “lingkungan percakapan dan pergaulan digital” yg mensyaratkan adanya perbedaan dan keragaman dan lalu memilih untuk bermukim di dalam ruang tersebut sebagaimana secara fisikal dan luring kita tidak pernah bisa memilih siapa-siapa orang yang menjadi tetangga (neighborhood) kita?

Demikian uneg2 yang mengemuka dari observasi ringan atas sejumlah kejadian sosio-politis yang saya alami beberapa bulan tahun terakhir ini, terutama saat perhelatan politik besar tingkat nasional (Pilpres 2014, Pilpres 2019) dan saat wabah besar melanda umat manusia (Pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020 ini).

Semoga saya (dan Anda) mendapatkan jawabannya dalam perjalanan studi saya (dan Anda) nanti.

salam,

Hendar

Categories
Uncategorized

[DAY_ONEHUNDREDEIGHTEEN] Sharing ke Mahasiswa BO Pers Publishia UNSRI, Indralaya, OganIlir, SumSel (20Agt2020)

Nama acara: Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar (PJTD) 2020
Peserta: Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Angkatan 2018-2019, yang tergabung dalam Badan Otonom Pers Publishia
Jumlah peserta: sekitar 40 orang
Tema PJTD: Exploring Journalistic World as a Health Promotor
Topik materi/paparan dosen tamu: Belajar Jurnalistik Teks, Konteks, Teknik, Mindset & Power Relations [(c)Hendar Putranto, 2020]
Dosen Pembimbing: bang Siera Syailendra, M. Si. (Dosen Universitas Muhammadiyah Palembang, Praktisi Jurnalistik yg pernah bertugas sebagai Asisten Redaktur di Koran SINDO; salah satu pengurus AJI Palembang; kolumnis di BritaBrita.com)
Dosen tamu: Hendar Putranto, M. Hum. (dosen tetap Prodi Strategic Communication, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara sekaligus Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia, Angkatan 2019)

Semoga materi yang saya sampaikan kemarin bermanfaat yah.
Terimakasih bang Siera atas undangan/ajakannya untuk berpartisipasi dalam PJTD ini.
Ini kali pertama saya diundang sebagai Pembicara/Narasumber di tanah Sumatera dalam kapasitas saya sebagai Dosen SC dan mahasiswa S3 Ilkom UI.
Semoga kerjasama seperti ini dapat berlanjut di kelak kemudian hari.

Terimakasih juga saya ucapkan utk kerja keras dari tim panitia mahasiswa dan semua peserta yg hadir.
Saya sebutkan yah nama2 yg saya anggap berkontribusi:
Juru hubung sebelum hari H: Ayu Nirmala
Juru hubung hari H: Diah Oktareza
Moderator sekaligus MC: Hermalia Islami
Pertanyaan:
1) Chelline Nandya (sekaligus operator tayangan)
2) Maharani Chairinnisa