Hari-hari ini dunia publik dan media kita disesaki dengan komentar-komentar para ahli yang saling berseberangan. Selain itu, sepertinya mereka membawa kepentingan (vested interests) masing-masing dalam pendapatnya. Akibatnya, tidak jarang komentar mereka pun kurang bermutu adanya, bahkan, menggelikan dan kontradiktif (dengan pernyataan sebelumnya). Hal ini mengingat yg namanya kepentingan itu sangatlah cair dan begitu mudah berubah sesuai dgn konstelasi dan afiliasi (politik maupun lainnya) đ
Satu alasan yang mungkin dapat menjadi jawaban atau mengundang pemahaman atas fenomena ini adalah karena mereka sudah “lupa” bertanya dan “menggali pemahaman dasar” tentang hal-hal atau klaim-klaim yang mereka ajukan. Mereka sudah keblinger dengan statusnya sebagai pakar sehingga, ibaratnya laba-laba, terjerat dengan jaring-jaring yang mereka pintal sendiri.
Karenanya, saya mencoba kembali belajar dari sosok pemikir klasik bernama Socrates dan bukan kebetulan saya menemukan buku baru dan bagus di bawah ini yang menerangi pemahaman saya yang masih cupet terkait hal di atas. Semoga saja penggalan wawasan dari buku ini juga dapat membantu Anda menjadi lebih paham mengapa penting sekali untuk bertanya seperti Sokrates dan mengakui bahwa dalam banyak hal, kita tidak tahu apa-apa.
How to Think Like Socrates: Ancient Philosophy as a Way of Life in the Modern World
Penulis: Donald J. Robertson
terbit pertama kali: 19 November 2024
image:
image taken from https://www.amazon.com/How-Think-Like-Socrates-Philosophy/dp/1250280508
Penggalan ringkasan dari buku ini saya reproduksi di sini setelah membaca/mendengar (audio book) bukunya di Blinkist apps.
Tautannya: https://www.blinkist.com/en/app/books/how-to-think-like-socrates-en
Tumbuhkan rasa ingin tahu dan bertanyalah seperti Socrates
Di antara murid-murid Socrates yang paling terkenal adalah Alcibiades muda, seorang bangsawan tampan dan kaya yang ditakdirkan untuk berkuasa di Athena. Saat pertama kali bertemu, Alcibiades membanggakan bakat alamiah dan karier politiknya di masa depan. Alih-alih menguliahinya, Socrates justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana: Apa yang membuat seorang pemimpin yang baik? Bagaimana Anda tahu apa yang terbaik untuk kota ini? Setiap jawaban mengarah pada pertanyaan yang lebih dalam, hingga Alcibiades menyadari bahwa ia sama sekali tidak memikirkan tentang kepemimpinan.
Inilah metode Socrates dalam beraksi. Dia memulai dengan contoh-contoh yang dapat dipahami dengan baik oleh mitra bicaranya. Ketika berbicara dengan para jenderal, dia akan bertanya tentang pelatihan militer. Dengan para pengrajin, dia akan mendiskusikan perdagangan mereka. Namun secara bertahap, pertanyaannya akan beralih dari contoh-contoh spesifik ke prinsip-prinsip universal, membantu orang menemukan kesenjangan dalam pemahaman mereka sendiri.
Kekuatan pendekatan ini menjadi jelas pada masa-masa tergelap Athena. Pada tahun 404 SM, setelah kalah dalam Perang Peloponnesos dari Sparta, Athena mengalami pergantian demokrasi dengan kelompok yang dikenal sebagai Tiga Puluh Tiran. Salah satu pemimpinnya adalah Critias, mantan murid Socrates. Sementara banyak orang Athena tetap diam karena takut, Socrates melanjutkan pertanyaan publiknya tentang sifat keadilan dan pemerintahan yang baik.
Dalam percakapan yang direkam oleh Plato, kita dapat melihat bagaimana Socrates terlibat dengan Critias bahkan sebelum ia naik ke tampuk kekuasaan. Dimulai dengan pertanyaan sederhana tentang arti kesederhanaan dan kebijaksanaan, ia akan membimbing Critias melalui serangkaian contoh. Dia bertanya, apakah adil untuk menyakiti mereka yang telah menyakiti Anda? Dan, jika keadilan berarti memberikan apa yang pantas mereka dapatkan, bagaimana kita tahu apa yang benar-benar pantas mereka dapatkan?
Melalui pertanyaannya, Socrates mengungkapkan kontradiksi antara prinsip-prinsip yang diklaim oleh Critias dan tindakannya sebagai seorang tiran. Keberanian dalam menghadapi kekuasaan ini pada akhirnya akan berkontribusi pada tuduhan yang dilayangkan kepada Socrates bertahun-tahun kemudian, ketika musuh-musuhnya menuduhnya telah merusak generasi muda Athena.
Kecemerlangan dari metode ini adalah bahwa alih-alih mengatakan kepada orang-orang bahwa mereka salah, Socrates justru membantu mereka menemukan ketidakkonsistenan dalam pemikiran mereka sendiri. Dengan mengajukan pertanyaan yang tepat dalam urutan yang benar, ia mengubah percakapan menjadi perjalanan penemuan.
Untuk menggunakan metode ini dalam kehidupan Anda sendiri, mulailah dengan tiga langkah sederhana. Pertama, saat mendiskusikan topik yang rumit, mulailah dengan contoh-contoh yang diketahui dengan baik oleh lawan bicara Anda. Misalnya, jika Anda berbicara tentang pendidikan dengan orang tua, mulailah dengan pengalaman mereka dalam membesarkan anak-anak mereka sendiri. Selanjutnya, ajukan pertanyaan yang bergerak dari contoh-contoh spesifik ke prinsip-prinsip yang lebih luas – seperti, Bagaimana Anda tahu apa yang terbaik untuk anak Anda? Apakah pendekatan itu akan berhasil untuk semua anak? Terakhir, bantu orang menguji ide-ide mereka dengan pengalaman mereka sendiri daripada memberi tahu mereka apa yang harus dipikirkan.
Kunci dari metode ini adalah kesabaran dan keingintahuan yang tulus. Tujuan Anda bukan untuk membuktikan bahwa orang lain salah, tapi untuk membantu mereka menemukan kebenaran untuk diri mereka sendiri. Seperti Socrates dengan Alcibiades, Anda tidak mengajari orang lain ide-ide baru – Anda membantu mereka menguji apa yang sudah mereka yakini.