Categories
Uncategorized

Penguatan infrastruktur etis bagi konstruksi modern: sebuah pembacaan atas karya Vaclav Smil (2022)

Resume buku How the World Really Works: A Scientist’s Guide to Our Past, Present and Future karya Vaclav Smil (Viking, Januari 2022); dibantu penerjemahan dan penyuntingannya oleh https://www.superai.id/?artifact_id=artifact_2vD6HjkGGsopXcRMFzDFfSE7s4u

image source: https://www.gatesnotes.com/how-the-world-really-works

Dalam buku “How the World Really Works,” sejarawan Vaclav Smil menguraikan secara mendalam tujuh realitas mendasar yang mengatur kelangsungan hidup dan kemakmuran manusia, yaitu

1. Produksi Energi: Energi adalah fondasi dari semua aktivitas manusia. Smil menekankan pentingnya memahami sumber energi yang kita gunakan dan dampaknya terhadap lingkungan.
2. Produksi Makanan: Ketergantungan kita pada sistem pertanian modern dan pupuk sintetis, serta tantangan yang dihadapi dalam memastikan ketahanan pangan global.
3. Material dan Infrastruktur: Pentingnya bahan-bahan seperti semen, baja, dan plastik dalam membangun infrastruktur yang mendukung kehidupan sehari-hari.
4. Globalisasi: Proses globalisasi yang tidak selalu menguntungkan dan bagaimana ketergantungan pada rantai pasokan global dapat menjadi risiko.
5. Risiko Lingkungan: Tantangan yang dihadapi oleh lingkungan akibat aktivitas manusia, termasuk perubahan iklim dan polusi.
6. Kesehatan dan Kesejahteraan: Hubungan antara kesehatan manusia dan lingkungan, serta bagaimana bahan-bahan yang kita gunakan mempengaruhi kesehatan kita.
7. Ekonomi dan Kebijakan: Bagaimana kebijakan ekonomi dan keputusan politik mempengaruhi kelangsungan hidup dan kemakmuran masyarakat.

Secara khusus, dalam bab tiga buku ini, Understanding Our Material World: The Four Pillars of Modern Civilization, Vaclav Smil menguraikan secara cukup mendetil tentang pentingnya berbagai bahan dalam membangun dan mempertahankan masyarakat modern. Ia menekankan bahwa meskipun banyak perhatian diberikan kepada fenomena ekonomi yang tidak materiil, seperti pertumbuhan domestik bruto (PDB) dan inovasi teknologi, bahan-bahan yang esensial bagi kehidupan sehari-hari sering kali diabaikan. Smil mengidentifikasi empat bahan utama yang menjadi tiang penyangga peradaban modern: semen, baja, plastik, dan amonia. Keempat bahan ini tidak hanya penting dalam konteks produksi dan konsumsi, tetapi juga dalam hal dampak lingkungan dan keberlanjutan.

Pentingnya Bahan dalam Masyarakat Modern
Smil mengawali pembahasannya dengan menekankan bahwa tanpa pasokan makanan dan energi yang memadai, masyarakat modern tidak akan dapat berfungsi. Ia menjelaskan bahwa semua inovasi teknologi, termasuk semikonduktor dan perangkat elektronik, tidak akan mungkin ada tanpa dukungan dari bahan-bahan yang dihasilkan oleh manusia. Meskipun silikon dan komponen elektronik lainnya memiliki peran penting, mereka bukanlah bahan yang esensial untuk keberlangsungan hidup manusia. Sebaliknya, bahan-bahan seperti semen, baja, plastik, dan amonia adalah fondasi dari infrastruktur dan sistem yang mendukung kehidupan sehari-hari.

Empat Pilar Utama Masyarakat Modern
Smil membuat pemeringkatan atas keempat bahan fondasional yang keberadaannya esensial membentuk peradaban modern berdasarkan kriteria seperti indispensabilitas, keberadaan luas, dan permintaan global.

1. Amonia: Amonia (NH3) adalah senyawa yang terdiri dari satu atom nitrogen dan tiga atom hidrogen. Smil menekankan bahwa amonia adalah bahan yang paling penting karena perannya dalam produksi pupuk nitrogen. Tanpa amonia, tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi setidaknya 40% hingga 50% dari populasi dunia saat ini. Penemuan proses sintesis amonia oleh Fritz Haber dan Carl Bosch pada awal abad ke-20 memungkinkan peningkatan produksi pangan yang signifikan, yang mendukung pertumbuhan populasi global.

2. Plastik: Plastik adalah kelompok bahan sintetis yang dapat dibentuk menjadi berbagai bentuk. Smil menjelaskan bahwa plastik memiliki sifat yang unik, seperti ringan dan tahan lama, yang membuatnya sangat berguna dalam berbagai aplikasi, mulai dari kemasan hingga komponen otomotif. Namun, ia juga mengingatkan tentang tantangan yang dihadapi terkait polusi plastik, yang menjadi masalah lingkungan yang semakin mendesak. Meskipun plastik memiliki banyak manfaat, penggunaan yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan dampak negatif yang signifikan terhadap ekosistem.

3. Baja: Baja adalah paduan yang didominasi oleh besi dan merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan di dunia. Smil menjelaskan bahwa baja memiliki kekuatan yang luar biasa dan dapat didaur ulang dengan efisien. Baja digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari konstruksi bangunan hingga kendaraan. Proses produksi baja, yang melibatkan penggunaan besi brik dan furnas oksigen dasar (BOF), juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan, terutama dalam hal emisi karbon.

4. Semen: Semen, komponen utama beton, merupakan bahan yang paling banyak digunakan dalam konstruksi modern. Smil menjelaskan proses produksinya dan peran beton dalam infrastruktur. Selama tahun 1860-an dan 1870-an, paten penguatan pertama diajukan oleh François Coignet dan Joseph Monier di Prancis (Monier, seorang tukang kebun, mulai menggunakan jaring besi untuk memperkuat pot tanamannya), tetapi terobosan nyata terjadi pada tahun 1884 dengan batang baja penguat Ernest Ransome. Desain awal dari kiln rotary semen modern, di mana mineral divitrifikasi pada suhu hingga 1.500ºC, menandai kemajuan signifikan dalam produksi semen massal. Meskipun penting, produksi semen juga menyumbang emisi karbon yang signifikan. Oleh karena itu, pengembangan material alternatif dan praktik konstruksi yang berkelanjutan menjadi kunci keberlanjutan.

Dampak Lingkungan dan Tantangan Keberlanjutan
Smil menekankan bahwa produksi keempat bahan ini mengklaim sekitar 17% dari total pasokan energi primer dunia dan menyumbang sekitar 25% dari emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Ia mencatat bahwa saat ini tidak ada alternatif komersial yang tersedia untuk menggantikan proses produksi yang ada. Meskipun ada banyak proposal dan teknik eksperimental untuk memproduksi bahan-bahan ini tanpa bergantung pada karbon fosil, tidak ada yang telah berhasil dikomersialkan.

Smil juga membahas tantangan dalam mencari solusi berkelanjutan untuk produksi bahan-bahan ini. Misalnya, dalam produksi amonia, penggunaan gas alam sebagai sumber hidrogen dan energi proses menjadi perhatian utama. Begitu juga dengan produksi baja, yang sangat bergantung pada batubara dan gas alam. Oleh karena itu, pencarian energi alternatif yang lebih ramah lingkungan menjadi sangat penting untuk masa depan berkelanjutan.

Amonia: Gas yang memberi makan pada dunia
Amonia, sebagai bahan yang paling penting, memiliki sejarah yang menarik. Smil menjelaskan bahwa penemuan sintesis amonia dari nitrogen dan hidrogen adalah hasil dari upaya ilmiah yang terfokus. Pada akhir abad ke-19, kebutuhan akan nitrogen untuk pertanian semakin mendesak, dan penemuan ini menjadi solusi untuk memastikan pasokan makanan yang cukup bagi populasi yang terus berkembang. Proses Haber-Bosch yang dikembangkan oleh Fritz Haber dan Carl Bosch memungkinkan produksi amonia secara massal, yang pada gilirannya mendukung revolusi hijau dan peningkatan hasil pertanian.

Plastik: Beragam, berguna, tapi bermasalah
Plastik, meskipun sangat berguna, juga menghadapi tantangan besar terkait polusi. Smil menjelaskan bahwa produksi plastik telah meningkat secara eksponensial sejak awal abad ke-20, dan saat ini plastik digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari kemasan hingga komponen otomotif. Namun, masalah limbah plastik dan dampaknya terhadap lingkungan menjadi perhatian utama. Smil menekankan pentingnya penggunaan plastik yang bertanggung jawab dan pengembangan teknologi daur ulang yang lebih efisien untuk mengurangi dampak negatifnya.

Baja: Ada di mana-mana dan mudah didaur ulang
Baja adalah bahan yang sangat penting dalam infrastruktur modern. Smil menjelaskan bahwa baja memiliki berbagai jenis dan aplikasi, dari konstruksi bangunan hingga kendaraan. Proses produksi baja yang melibatkan penggunaan besi brik dan furnas oksigen dasar (BOF) memiliki dampak lingkungan yang signifikan, terutama dalam hal emisi karbon. Namun, baja juga memiliki keunggulan dalam hal daur ulang, yang memungkinkan pemanfaatan kembali material ini secara efisien.

Semen: Konstruksi modern tercipta berkat adanya semen
Semen adalah bahan yang sangat penting dalam konstruksi modern. Smil menjelaskan proses produksi semen dan bagaimana beton, yang merupakan campuran dari semen, agregat, dan air, digunakan dalam berbagai infrastruktur. Meskipun semen adalah bahan yang sangat penting, produksi semen juga menyumbang emisi karbon yang signifikan. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengurangi dampak lingkungan dari proses ini.

Bab tiga ini menyoroti peran krusial semen, baja, plastik, dan amonia sebagai fondasi peradaban modern. Keberadaan mereka yang ada di mana-mana dan dampaknya yang signifikan terhadap kehidupan manusia tidak dapat dipungkiri. Namun, ketergantungan kita pada bahan-bahan ini juga menimbulkan tantangan besar terkait keberlanjutan dan dampak lingkungan. Oleh karena itu, kita, sebagai individu dan masyarakat global, memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong inovasi dan menerapkan pengelolaan yang bijaksana dalam produksi dan penggunaan keempat bahan ini.

Hanya dengan tindakan kolektif yang berkelanjutan, yang melibatkan komitmen dari pemerintah, industri, dan individu, kita dapat memastikan kesejahteraan manusia dan kelestarian planet kita untuk generasi mendatang. Ini membutuhkan investasi dalam teknologi ramah lingkungan, promosi praktik konsumsi yang bertanggung jawab, dan dorongan untuk inovasi yang berkelanjutan. Kegagalan untuk bertindak akan berdampak serius pada masa depan kita. Kemajuan teknologi seperti kiln rotary semen modern dan batang baja penguat telah memungkinkan produksi massal bahan-bahan ini, namun kita harus secara aktif mencari dan menerapkan solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengurangi dampak lingkungannya.

Berikut enam saran dari Smil untuk solusi berkelanjutan:
1) Pengembangan Teknologi Baru: Smil mendorong penelitian dan pengembangan teknologi baru yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam produksi semen dan baja. Ini termasuk eksplorasi metode alternatif yang lebih ramah lingkungan.
2) Penggunaan Energi Terbarukan: Mengintegrasikan sumber energi terbarukan dalam proses produksi untuk mengurangi emisi karbon. Misalnya, menggunakan energi matahari atau angin dalam proses pembuatan semen.
3) Daur Ulang dan Penggunaan Kembali: Meningkatkan praktik daur ulang untuk bahan-bahan ini, sehingga mengurangi kebutuhan untuk produksi baru. Smil menekankan pentingnya mendaur ulang baja dan menggunakan kembali material bangunan.
4) Efisiensi Sumber Daya: Menerapkan praktik efisiensi sumber daya dalam produksi, termasuk pengurangan limbah dan penggunaan bahan baku yang lebih efisien.
5) Kebijakan dan Regulasi: Mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang mendukung praktik berkelanjutan dalam industri bahan bangunan, termasuk insentif untuk perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi hijau.
6) Kesadaran dan Pendidikan: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keberlanjutan dalam penggunaan bahan-bahan ini dan mendidik generasi mendatang tentang praktik yang lebih baik.

Dengan menerapkan enam solusi berkelanjutan ini, Smil percaya bahwa kita dapat mengurangi dampak lingkungan dari produksi semen dan baja, sekaligus memastikan bahwa kebutuhan masyarakat akan bahan-bahan ini tetap terpenuhi. Kesimpulan akhirnya, inilah langkah penting untuk mencapai kesejahteraan manusia dan kelestarian planet kita di masa depan.

Interpretasi Resume Karya Vaclav Smil dengan Pisau Analisis “Infraethics” dari Floridi (2017)

Dalam resume karya Vaclav Smil, terdapat penekanan pada empat fondasi material yang menjadi dasar konstruksi modern, yaitu semen, baja, plastik, dan amonia. Untuk memahami lebih dalam implikasi etis dari keberadaan keempat fondasi ini, saya akan menggunakan kerangka analisis dari Luciano Floridi dalam karyanya tentang infraethics, yang menekankan pentingnya infrastruktur moral dalam masyarakat.

1. Semen
Semen adalah bahan yang sangat penting dalam pembangunan infrastruktur modern. Dalam konteks infraethics, semen dapat dilihat sebagai fondasi fisik yang mendukung struktur sosial dan moral. Semen tidak hanya berfungsi sebagai bahan bangunan, tetapi juga sebagai simbol dari stabilitas dan ketahanan masyarakat. Floridi menekankan bahwa infrastruktur fisik, seperti semen, harus diimbangi dengan infrastruktur moral yang kuat untuk memastikan keberlangsungan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, produksi semen yang berkelanjutan dan bertanggung jawab menjadi sangat penting untuk mengurangi dampak lingkungan dan memastikan bahwa masyarakat dapat berkembang tanpa merusak planet.

2. Baja
Baja, sebagai bahan yang kuat dan serbaguna, memainkan peran kunci dalam berbagai aplikasi, mulai dari konstruksi gedung hingga transportasi. Dalam analisis Floridi, baja dapat dianggap sebagai unsur yang menghubungkan berbagai aspek kehidupan sosial. Baja tidak hanya memberikan kekuatan fisik, tetapi juga menciptakan jaringan yang menghubungkan individu dan komunitas. Floridi menekankan bahwa untuk memaksimalkan potensi baja, masyarakat harus mengembangkan norma-norma etis yang mendukung penggunaan dan daur ulang baja secara bertanggung jawab. Ini mencakup pengembangan teknologi yang lebih bersih dan efisien dalam produksi baja, serta kebijakan yang mendorong daur ulang.

3. Plastik
Plastik adalah bahan yang sangat serbaguna, tetapi juga menjadi sumber masalah lingkungan yang signifikan. Dalam konteks infraethics, plastik mencerminkan dualitas moral: di satu sisi, plastik memungkinkan inovasi dan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi di sisi lain, penggunaannya yang berlebihan dapat menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan. Floridi menggarisbawahi pentingnya menciptakan infrastruktur moral yang mendukung penggunaan plastik yang berkelanjutan. Ini termasuk pengembangan alternatif yang ramah lingkungan dan kebijakan yang mendorong pengurangan limbah plastik. Masyarakat harus berperan aktif dalam mengubah cara mereka menggunakan plastik dan mencari solusi yang lebih berkelanjutan.

4. Amonia
Amonia, sebagai bahan utama dalam pupuk nitrogen, sangat penting untuk produksi pangan global. Dalam analisis Floridi, amonia dapat dilihat sebagai unsur yang mendukung keberlangsungan hidup manusia. Namun, produksi amonia yang bergantung pada bahan bakar fosil menimbulkan tantangan lingkungan yang serius. Floridi menekankan bahwa untuk memastikan keberlanjutan, masyarakat harus mencari cara untuk memproduksi amonia dengan cara yang lebih ramah lingkungan, seperti menggunakan energi terbarukan. Ini mencerminkan kebutuhan akan infrastruktur moral yang mendukung inovasi dan keberlanjutan dalam produksi pangan.

Dalam konteks analisis Floridi, empat fondasi material yang diuraikan Smil dalam bukunya tidak hanya berfungsi sebagai unsur jasmaniah-material dalam konstruksi modern, tetapi juga mencerminkan kebutuhan akan infrastruktur moral yang kuat. Masyarakat harus secara aktif mencari dan menerapkan solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengurangi dampak lingkungan dari produksi dan penggunaan bahan-bahan ini. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai etis dalam pengelolaan sumber daya, kita dapat memastikan bahwa kemajuan teknologi dan material tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga mendukung kesejahteraan manusia dan kelestarian planet kita. Dengan demikian, interpretasi Floridian atas karya Smil menunjukkan bahwa keberhasilan masyarakat modern tidak hanya bergantung pada inovasi material, tetapi juga pada kemampuan kita untuk mengelola dan menggunakan bahan-bahan tersebut dengan cara yang etis dan berkelanjutan.

Rujukan pelengkap
Floridi, L. (2017). Infraethics–on the Conditions of Possibility of Morality. Philosophy and Technology, 30, 391–394. https://doi.org/10.1007/s13347-017-0291-1

Categories
Uncategorized

[book resume] Surfaces and Essences: Analogy as the Fuel and Fire of Thinking (2013)

Dalam salah satu bagian disertasi saya, tersebutlah pokok yang menyatakan bahwa pembentukan sikap alamiah, fenomenologis dan etis yang saya teliti terkait erat dengan kemampuan (partisipan) membuat analogi dan berpikir secara metaforis. Ternyata, jauh sebelum temuan penelitian saya ini, sudah ada ahli yang meneliti secara serius dan menuliskannya.

Berikut resume dari buku yang ditulis dengan sangat menarik yang membahas tentang analogi dan metafor tersebut.

Ringkasan Buku “Surfaces and Essences: Analogy as the Fuel and Fire of Thinking” karya Douglas Hofstadter dan Emmanuel Sander (Basic Books, 2013)


Image source: http://bit.ly/42aOJlE

Daftar isi dari buku tersebut:

Prologue Analogy as the Core of Cognition 3
Chapter 1 The Evocation of Words 33
Chapter 2 The Evocation of Phrases 85
Chapter 3 A Vast Ocean of Invisible Analogies 135
Chapter 4 Abstraction and Inter-category Sliding 185
Chapter 5 How Analogies Manipulate Us 257
Chapter 6 How We Manipulate Analogies 317
Chapter 7 Naïve Analogies 385
Chapter 8 Analogies that Shook the World 437
Epilogue Katy and Anna Debate the Core of Cognition 503

Buku “Surfaces and Essences” karya Douglas Hofstadter dan Emmanuel Sander mengupas tuntas bagaimana otak manusia bekerja, khususnya dalam hal pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan penciptaan ide. Inti dari buku ini adalah bahwa semua proses berpikir manusia berakar pada analogi. Tanpa analogi, tidak ada konsep, dan tanpa konsep, tidak ada pemikiran. Analogi memungkinkan pikiran kita menghubungkan pengalaman masa lalu dengan yang baru, membentuk cara kita mengkategorikan, menginterpretasikan, dan berinteraksi dengan dunia.

Definisi dan Kompleksitas Kata

Buku ini memulai dengan menjelaskan kompleksitas kata-kata yang tampaknya sederhana. Misalnya, kata “band” memiliki banyak makna, mulai dari cincin pernikahan hingga kelompok musik. Begitu juga dengan kata “kursi,” yang bisa merujuk pada berbagai bentuk dan fungsi. Hal ini menunjukkan bahwa pikiran kita tidak menyimpan kata-kata secara terpisah, melainkan melalui koneksi dengan konsep-konsep lain. Proses ini dimulai sejak dini dalam kehidupan, di mana anak-anak belajar mengkategorikan dunia di sekitar mereka melalui analogi.

Kategori dan Fleksibilitas Konsep

Ketika kita belajar sebuah kata, kita sebenarnya sedang menciptakan kategori dalam pikiran kita. Kategori ini tidak kaku; mereka berkembang seiring dengan pengalaman baru. Misalnya, kata “pegolf” tidak hanya merujuk pada satu jenis orang atau gender. Pikiran kita membentuk kluster koneksi, di mana beberapa konsep terasa lebih sentral daripada yang lain. Fleksibilitas ini memungkinkan kita untuk terus belajar dan beradaptasi, yang pada gilirannya mendorong kreativitas dan pertumbuhan manusia.

Metafora dan Bahasa

Metafora, yang sering dianggap sebagai alat puitis, juga merupakan bentuk analogi yang mendasar dalam cara kita berpikir dan berkomunikasi. Kita sering berbicara tentang waktu dalam istilah “ruang,” kehidupan sebagai “perjalanan,” dan emosi sebagai “tinggi” dan “rendah.” Banyak metafora ini begitu umum sehingga kita tidak menyadari bahwa kita menggunakannya. Evolusi bahasa melalui metafora dan analogi adalah bagian dari proses berkelanjutan dalam memperhalus dunia konseptual kita.

Mengenali Pola dalam Bahasa

Bahasa diproses sebagai pola yang melibatkan analogi, bukan sebagai bagian-bagian individual. Setiap kata baru, istilah, atau frasa mencerminkan usaha kita untuk mengkategorikan dan menghubungkan makna. Idiom dan peribahasa berfungsi sebagai alat budaya yang membantu kita memahami situasi dengan cara yang analogis. Meskipun bahasa bervariasi di seluruh budaya, banyak idiom tidak dapat diterjemahkan secara langsung, menunjukkan betapa dalamnya hubungan antara bahasa dan analogi.

Kecerdasan dan Pertumbuhan Konseptual

Pertumbuhan dalam kemampuan kita untuk berpikir konseptual terkait erat dengan kecerdasan. Fenomena yang dikenal sebagai Flynn Effect menunjukkan bahwa skor IQ meningkat dari generasi ke generasi, bukan karena kita lebih pintar secara inheren, tetapi karena kita berdiri di atas pengetahuan budaya yang terakumulasi. Kemampuan kita untuk mengenali pola dan membuat analogi dengan cepat adalah inti dari kecerdasan.

Analogi dalam Kehidupan Sehari-hari

Banyak analogi yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari bersifat halus dan otomatis. Ketika kita merespons cerita seseorang dengan ungkapan “Saya juga!” kita membuat koneksi (antara cerita orang tersebut) dengan pengalaman kita sendiri. Kemampuan untuk membuat analogi kecil ini sangat penting untuk berpikir. Setiap pemikiran, besar atau kecil, bergantung pada analogi yang didasarkan pada kategori yang kita kenal.

Kreativitas dan Pemikiran Abstrak

Pemikiran kreatif juga dibentuk oleh analogi yang kita buat. Semakin abstrak kita dapat menghubungkan konsep, semakin menarik ide yang dapat kita hasilkan. Para ahli tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga keterampilan dalam menggunakan pengetahuan tersebut untuk membuat analogi yang menghubungkan kategori dan menerapkannya pada berbagai tingkat abstraksi.

Analogi yang Naif dan Pembelajaran

Salah satu kategori analogi yang menarik adalah analogi naif, yang sering muncul dalam konteks teknologi. Misalnya, ketika kita menggunakan istilah seperti “mengirim email” yang dihubungkan dengan “alamat pos,” kita menggunakan analogi untuk memahami konsep baru. Pembelajaran melalui analogi sangat mendalam, bahkan dalam bidang yang tampaknya logis seperti matematika dan sains.

Kesimpulan

Kesimpulan dari buku ini adalah bahwa analogi yang kompleks mendorong pemikiran kita, mulai dari pengenalan objek sehari-hari hingga penemuan ilmiah yang revolusioner. Kategori yang kita buat tidaklah tetap; mereka berubah berdasarkan konteks dan terhubung dengan cara yang tak terduga. Menjelajahi hubungan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia. Pada akhirnya, kecerdasan sangat bergantung pada seberapa cepat dan akurat kita memahami esensi sesuatu melalui analogi. Buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kita berpikir dan belajar, serta pentingnya analogi dalam proses tersebut. Dengan memahami dan menerapkan konsep-konsep ini, kita dapat memperluas cara kita berinteraksi dengan dunia dan meningkatkan kemampuan berpikir kita.

Categories
Uncategorized

[film review] Santosh (2024): an uphill battle for gender justice in caste-based society

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/9/9a/Santosh_%282024_film%29.jpg

Film Santosh (2024) adalah sebuah karya yang menggugah, mengisahkan perjalanan seorang polisi bernama Santosh Saini yang berjuang untuk menegakkan keadilan di tengah sistem yang korup dan penuh tantangan. Dalam film ini, penonton diajak untuk menyelami konflik moral yang dihadapi oleh Santosh, serta dampak dari tindakan dan keputusan yang diambilnya dalam pencarian kebenaran.

Alur dan Plot
Cerita dimulai dengan pengenalan Santosh Saini, seorang polisi yang baru saja kehilangan suaminya, seorang polisi yang terbunuh dalam kerusuhan Hindu-Muslim di Nehrat. Kematian suaminya bukan hanya meninggalkan luka mendalam, tetapi juga memberikan Santosh kesempatan untuk mewarisi posisinya sebagai polisi melalui kebijakan “compassionate appointment” di India, yang memungkinkan pasangan yang ditinggalkan untuk mengambil alih pekerjaan pegawai pemerintah yang telah meninggal.

Ketika Santosh berusaha menyesuaikan diri dengan perannya yang baru, dia terlibat dalam kasus hilangnya seorang gadis muda bernama Devika, putri seorang pria Dalit. Ketika Santosh mencoba membantu ayah Devika, dia menyadari betapa korupnya sistem yang dia layani. Atas permintaan ayah Devika, Santosh berusaha untuk mengajukan laporan resmi, tetapi atasannya meremehkan situasi tersebut dan menyuruhnya untuk membawa surat pengaduan. Keesokan harinya, tubuh Devika ditemukan di sebuah sumur, yang memicu kemarahan dan protes dari komunitas Dalit.

Protes ini menjadi titik balik bagi Santosh, yang mulai menyadari bahwa dia tidak hanya berjuang untuk keadilan bagi Devika, tetapi juga melawan sistem yang menindas dan merendahkan masyarakat yang terpinggirkan. Alur cerita semakin menegangkan ketika Santosh harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk ancaman terhadap keselamatannya dan tekanan dari atasan yang lebih memilih untuk menutup-nutupi kasus tersebut demi kepentingan pribadi.

Puncak dari cerita ini terjadi ketika Santosh harus membuat keputusan sulit yang akan menentukan nasibnya dan keadilan bagi Devika. Dalam momen-momen ini, penonton dapat merasakan ketegangan dan dilema moral yang dihadapi oleh Santosh, yang mencerminkan realitas banyak individu yang berjuang untuk keadilan di dunia yang tidak adil.

Karakter
Karakter utama dalam film ini adalah Santosh Saini, yang diperankan dengan sangat baik oleh aktor utama. Santosh digambarkan sebagai sosok yang kuat, berani, dan penuh tekad. Dia memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugasnya sebagai polisi, tetapi juga menghadapi dilema moral yang membuatnya mempertanyakan metode dan pendekatannya dalam menegakkan keadilan.

Santosh Saini: Karakter ini adalah representasi dari perjuangan individu melawan sistem yang korup. Dia tidak hanya berjuang untuk mengungkap kebenaran tentang kematian Devika, tetapi juga berusaha untuk menjaga integritasnya di tengah tekanan yang ada. Santosh adalah simbol harapan bagi mereka yang merasa terpinggirkan dan tidak memiliki suara. Perjuangannya untuk keadilan menjadi lebih personal setelah kehilangan suaminya, yang menambah lapisan emosional pada karakternya.

Devika: Sebagai gadis muda yang menjadi korban, Devika mewakili suara yang terabaikan dan perjuangan untuk keadilan. Kematian Devika menjadi pemicu bagi Santosh untuk berjuang lebih keras dalam pencariannya akan kebenaran. Kehadirannya dalam cerita, meskipun terbatas, memberikan dampak yang besar dan menggugah kesadaran akan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Dalit.

Ayah Devika: Karakter ini mencerminkan kesedihan dan kemarahan yang dirasakan oleh komunitas Dalit. Dia berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi putrinya dan menjadi simbol dari perjuangan masyarakat yang terpinggirkan. Protes yang dilakukan oleh ayah Devika dan komunitasnya menunjukkan kekuatan kolektif dalam menghadapi ketidakadilan.

Sharma: Atasan Santosh yang korup, yang mewakili sistem yang menindas. Karakter ini menciptakan ketegangan dalam cerita, karena dia berusaha untuk menghalangi Santosh dalam pencariannya. Sharma adalah simbol dari kekuasaan yang menyalahgunakan posisi untuk kepentingan pribadi.

Pesan Umum
Film Santosh menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya keadilan dan integritas dalam menghadapi sistem yang korup. Melalui perjalanan Santosh, penonton diajak untuk merenungkan tantangan yang dihadapi oleh individu yang berjuang untuk kebenaran. Film ini menunjukkan bahwa meskipun ada banyak rintangan dan ancaman, keberanian untuk berdiri melawan ketidakadilan adalah langkah pertama menuju perubahan.

Pesan lain yang dapat diambil dari film ini adalah pentingnya solidaritas dan dukungan dari komunitas. Santosh tidak berjuang sendirian; dia didukung oleh rekan-rekannya dan masyarakat yang percaya pada keadilan. Ini menunjukkan bahwa perubahan sosial yang signifikan sering kali memerlukan kolaborasi dan dukungan dari banyak pihak.

Secara keseluruhan, Santosh adalah film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang isu-isu sosial yang relevan. Dengan alur yang menegangkan, karakter yang kuat, dan pesan yang menggugah, film ini berhasil menyampaikan pentingnya keadilan dan integritas dalam dunia yang sering kali tidak adil.

Semanticise symbolism in the film:

Simbolisasi Perjuangan Santosh Saini dalam Film Santosh (2024)

Film Santosh (2024) adalah sebuah narasi mendalam tentang perjuangan melawan ketidakadilan sistemik dan korupsi institusional yang mengakar kuat dalam masyarakat. Melalui karakter utamanya, Constable Santosh Saini, film ini mengeksplorasi bagaimana individu dapat menjadi korban maupun pelaku dalam sistem yang penuh manipulasi, kekerasan, dan hierarki sosial yang tidak adil. Dengan menggunakan simbolisme yang kaya, film ini berhasil menggambarkan perjalanan moral, emosional, serta spiritual Santosh dalam mencari keadilan di tengah dunia yang sering kali memadamkan suara-suara yang berani menentang status quo.

Ketidakadilan Sistemik dan Aktivisme Devika

Salah satu simbol utama dalam film ini adalah sumur yang ditemukan penuh dengan bangkai hewan—tempat jasad Devika, seorang remaja berusia 15 tahun, akhirnya ditemukan. Sumur tersebut bukan hanya tempat pembuangan fisik, tetapi juga metafora bagi marginasasi komunitas Dalit dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh elit berkuasa. Devika, yang kemungkinan besar merupakan aktivis lingkungan meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni sosial dan eksploitasi sumber daya alam. Keterlibatannya dalam mengungkap praktik ilegal ini membuatnya menjadi ancaman bagi mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka. Pembunuhan Devika oleh sepupu Prajdhana-ji dan teman-temannya mencerminkan bagaimana suara-suara kritis sering kali dibungkam demi menjaga stabilitas struktur dominan.

Devika sendiri merepresentasikan keberanian generasi muda yang peduli akan keadilan sosial dan lingkungan. Namun, kematian tragisnya juga menunjukkan betapa rapuhnya posisi mereka yang berusaha melawan sistem tanpa perlindungan atau kekuatan. Penemuan buku catatan atau barang-barang milik Devika oleh Santosh semakin memperkuat gagasan bahwa Devika sedang menyelidiki isu-isu penting seperti polusi dan diskriminasi kasta. Ia menjadi korban dari sistem yang tidak hanya merendahkan manusia tetapi juga merusak bumi.

Korupsi Institusional dalam Kepolisian

Sebagai anggota kepolisian, Santosh Saini berada pada posisi unik: dia adalah bagian dari lembaga yang seharusnya menegakkan hukum, tetapi malah terlibat dalam mekanisme korupsi yang mendukung elit berkuasa. Salah satu momen paling signifikan dalam film ini adalah interogasi brutal terhadap Saleem, seorang tersangka tak bersalah yang akhirnya meninggal karena bunuh diri setelah disiksa oleh Santosh. Tindakan ini, meskipun dilakukan dengan niat untuk memecahkan kasus Devika, mencerminkan bagaimana tekanan sistemik dapat memaksa bahkan orang baik melakukan hal-hal buruk. Siksaan terhadap Saleem menjadi simbol bagaimana kekerasan negara digunakan untuk melindungi kepentingan tertentu, sementara korban-korbannya dibiarkan tanpa suara.

Hubungan antara Santosh dan Senior Officer Sharma juga memperlihatkan kompleksitas korupsi institusional. Sharma, yang awalnya tampak sebagai mentor penyayang, ternyata memiliki agenda terselubung. Gestur “mencubit hidung” Santosh dan memberinya jimat kecil bisa diartikan sebagai bentuk kontrol halus atas kesetiaan Santosh kepada sistem. Jimat tersebut, yang akhirnya diberikan Santosh kepada seorang gadis kecil penjual biskuit di kereta api menuju Mumbai, melambangkan upaya Santosh untuk melepaskan diri dari jeratan korupsi itu. Dengan memberikan jimat tersebut, ia seolah-olah menolak warisan moral buruk yang diwariskan oleh institusi tempat ia bekerja.

Pencarian Keadilan dan Harapan Baru

Perjalanan Santosh mencapai puncaknya ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kepolisian dan memulai hidup baru di Mumbai. Keputusan ini bukan sekadar langkah karier, tetapi simbol transformasi personal yang mendalam. Kota Mumbai, yang dikenal sebagai pusat dinamisme dan peluang, menjadi representasi harapan baru bagi Santosh—sebuah tempat di mana ia bisa mendefinisikan ulang identitasnya tanpa terikat pada masa lalu yang penuh dosa. Sebelum pergi, ia mengembalikan anting-anting Devika kepada keluarganya saat mereka tidur. Tindakan ini melambangkan usaha terakhirnya untuk memperbaiki kesalahan dan mengembalikan martabat kepada korban ketidakadilan.

Pengembalian anting-anting juga bisa dilihat sebagai permohonan ampunan atas tindakan-tindakan salah yang telah ia lakukan selama penyelidikan, termasuk penyiksaan terhadap Saleem. Meskipun Santosh berhasil membongkar kebenaran tentang pembunuhan Devika, cara ia mencapai tujuan tersebut meninggalkan bekas luka moral yang sulit disembuhkan. Dengan meninggalkan semua atribut lamanya, termasuk jimat dari Sharma, Santosh menandai babak baru dalam hidupnya: sebuah perjalanan menuju pembebasan diri dari belenggu sistem yang korup.

Kesimpulan

Film Santosh (2024) menggunakan simbolisme secara brilian untuk menggambarkan perjuangan melawan ketidakadilan sistemik dan korupsi institusional. Melalui karakter Santosh Saini, penonton diajak merenungkan dilema moral yang dihadapi individu ketika berada dalam sistem yang tidak adil. Dari sumur yang menjadi wadah kejahatan hingga jimat yang dilepaskan di kereta api, setiap unsur visual dalam film ini membawa makna mendalam tentang keadilan, pengorbanan, dan harapan. Pada akhirnya, cerita Santosh adalah tentang seorang wanita yang belajar untuk bertahan hidup dengan integritas, bahkan jika itu berarti meninggalkan segala sesuatu yang pernah ia kenal.

Categories
Uncategorized

Meningkatkan Kualitas Lulusan Program Doktor Ilmu Komunikasi di Indonesia melalui Aktivitas Membaca dengan Pendekatan Kognitif

Polemik sidang disertasi Bahlil Lahadalia sebagai kandidat doktor di Program S3 Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) UI pada 16 Oktober 2024, serta dugaan kecurangan akademik yang terungkap dari berbagai temuan, mencapai anti-klimaks dengan putusan Rektor UI pada 13 Maret 2025. Keputusan tersebut menyatakan bahwa Bahlil “belum dinyatakan lulus dan mendapatkan gelar doktor karena disertasinya perlu direvisi,” (lih. beritanya di https://nasional.kompas.com/read/2025/03/13/14432721/masih-revisi-disertasi-bahlil-belum-dinyatakan-lulus-dan-dapat-gelar-doktor?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Top_Desktop) tanpa mempertimbangkan secara mendalam aspek substansi dan etika akademik. Kasus ini sempat viral di media sosial dan percakapan publik, mencerminkan keprihatinan masyarakat terhadap mutu program doktoral UI. Meskipun UI mengusung moto Veritas (Kebenaran), Probitas (Kejujuran), dan Iustitia (Keadilan), integritas akademik dan kualitas lulusannya kerap dipertanyakan, terutama dalam kasus kontroversial seperti ini.

Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi kembali pendekatan dalam pendidikan doktoral, khususnya di UI, serta kampus lain yang menawarkan program serupa, terutama dalam hal membaca dan memahami teks akademik. Membaca teks akademik bukan sekadar menyerap informasi, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan mengembangkan pemikiran kritis—kemampuan yang esensial untuk menghasilkan riset berkualitas. Esei ini akan menerapkan wawasan dari The Reading Mind: A Cognitive Approach to Understanding How the Mind Reads karya Daniel T. Willingham (John Wiley and Sons, 2017) guna meningkatkan kualitas program doktoral dan melahirkan lulusan yang lebih kompeten dalam bidang komunikasi.

Dalam buku The Reading Mind, Willingham menekankan pentingnya proses kognitif dalam membaca yang melampaui sekadar pengenalan simbol. Pemahaman ini sangat relevan bagi bidang Ilmu Komunikasi, terutama dalam konteks program doktoral di Universitas Indonesia dan universitas-universitas lain di Indonesia. Dengan menerapkan wawasan dari pembacaan karya Willingham (2017), penulis mengusulkan empat saran strategis guna meningkatkan kualitas program doktoral dan menghasilkan lulusan program studi doktoral yang lebih kompeten dalam bidang komunikasi.

Pertama, penting sekali mengupayakan agar para dosen dan mahasiswa meningkatkan kemampuan membaca teks secara kritis dan interpretatif. Program doktoral di Universitas Indonesia dan universitas lain sering kali melibatkan kandidat doktor (calon promovendus) untuk membaca teks-teks kompleks mengenai teori sosial, komunikasi, media, budaya, etika, serta literasi digital. Dengan memanfaatkan wawasan dari Willingham, program doktoral dapat menekankan strategi membaca aktif, terutama melatih mahasiswa untuk ‘mendengarkan’ suara internal dari teks—memperhatikan tekanan dan intonasi—dapat meningkatkan keterampilan interpretatif mereka, terutama ketika menganalisis karya-karya klasik yang kental bermuatan filosofis dan teoritis.

Sejumlah buku yang menjadi “bacaan wajib” dalam perkuliahan program doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia di antaranya adalah Cybernetics: Or Control and Communication in the Animal and the Machine (karya Norbert Wiener, 1948), The academic mind: social scientists in a time of crisis (karya Paul Lazarsfeld, 1958), Diffusion of Innovations (karya Everett M. Rogers, 1962), Understanding Media: The Extensions of Man (karya Marshall McLuhan, 1964), The Social Construction of Reality (karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, 1966), Symbolic Interactionism: Perspective and Method (karya Herbert Blumer, 1969), Outline of a Theory of Practice (karya Pierre Bourdieu, 1972), The Practice of Everyday Life (karya Michel de Certeau, 1980), Simulacra and Simulation (karya Jean Baudrillard, 1981), Gender Trouble (karya Judith Butler, 1990), The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture (karya Theodor Adorno, 1991), Communication Theories: perspectives, processes, and contexts (karya Katherine Miller, 2002), Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practice (karya Nick Couldry, 2012), The Handbook of Communication History (karya penyuntingan Peter Simonson, Janice Peck, Robert T Craig, dan John Jackson, 2013), Towards a Cultural Political Economy: Putting Culture in its Place in Political Economy (karya Ngai-Ling Sum dan Bob Jessop, 2015) dan Communication: A Post-Discipline (karya Silvio Waisbord, 2019).

Selain itu, program doktoral juga dapat mendorong kesadaran prosodik dalam penulisan akademik, artinya, mengajarkan mahasiswa untuk memperhatikan ritme dan penekanan dalam tulisan mereka sendiri agar dapat meningkatkan kejelasan dan daya persuasif argumen, sehingga komunikasi ilmiah menjadi lebih menarik.

Kedua, manajemen prodi perlu memperkuat haluan komunikasi yang etis dalam diskursus akademik. Karena disertasi salah seorang mahasiswa program doktoral UI Angk. 2019 berfokus pada pembahasan tentang etika komunikasi dalam produksi pengetahuan, wawasan dari Willingham langsung terhubung dengan tanggung jawab etis para akademisi untuk membaca dan menginterpretasikan teks dengan cermat. Dalam konteks Indonesia, yang acapkali diwarnai ketidakjujuran akademik dan salah tafsir kadang menjadi masalah, membudayakan kebiasaan membaca yang mendalam dan sarat nuansa dapat mengurangi kemungkinan salah representasi teori dan argumen dalam diskursus akademik. Selain itu, manajemen prodi juga perlu mendorong praktik sitasi yang etis dengan memastikan bahwa para akademisi terlibat dengan teks secara mendalam, bukan sekadar mengekstrak informasi dan “asal cuplik.”

Ketiga, meluweskan kemampuan beradaptasi mahasiswa dengan lanskap membaca digital. Para mahasiswa doktoral di Indonesia semakin banyak mengonsumsi penelitian melalui format digital, ketika membaca sekilas (cursory reading) sering menggantikan membaca mendalam (in-depth reading). Menerapkan perspektif Willingham, program doktoral dapat melatih mahasiswa untuk terlibat secara mendalam dengan teks, meskipun ada kecenderungan untuk membaca sekilas materi digital, seperti e-book. Selain itu, program doktoral juga dapat mengembangkan metode untuk meningkatkan pemahaman dalam membaca ilmiah secara daring, seperti bookmarking dan menginternalisasi argumen kunci dari kelindan teks yang dikaji, guna meningkatkan retensi dan pemahaman.

Keempat, secara berkelanjutan, program studi doktoral dapat menciptakan lingkungan akademik yang lebih menarik secara pedagogik dan menantang secara intelektual. Terinspirasi konsep “auditorium kecil di dalam tengkorak”, universitas dapat mengintegrasikan metode yang lebih performatif dan dialogis dalam kuliah-kuliah seminar. Mengambil metafor dari dunia kepujanggaan, seperti diungkapkan penyair Billy Collins (2013), puisi memiliki dua dimensi: meskipun biasanya dibaca dalam keheningan, mendengarkan penyair membacakan karyanya dapat menjadi pengalaman yang memperkaya ruang batin permenungan.
Collins mencatat bahwa saat menghadiri pembacaan puisi, ia sering kali memahami karya penyair dengan cara yang sama sekali berbeda, menemukan nuansa humor yang sebelumnya tidak ia sadari.

Dengan demikian, membaca puisi dengan suara keras memberikan satu pengalaman, tetapi saat membaca dalam keheningan, kita juga mendengar puisi itu dalam pikiran kita sendiri, seolah-olah ‘tengkorak kita berfungsi sebagai auditorium kecil’ yang menampung suara dan ritme kata-kata tersebut sekaligus mengamplifikasinya.

Implikasi dari saran keempat ini adalah manajemen program studi perlu menciptakan sistem pembelajaran yang mendorong mahasiswa untuk membaca dengan keras bagian-bagian kunci dalam kuliah seminar yang dapat mengungkap berbagai lapisan makna serta memperkaya diskusi akademik. Dengan pendekatan ini, mahasiswa akan terlibat dengan teks tidak hanya secara kognitif, tetapi juga emosional. Hal ini akan menciptakan suasana belajar yang lebih dinamis dan interaktif.

Kesimpulan
Menerapkan wawasan dari The Reading Mind (2017) dapat meningkatkan kualitas pemahaman para mahasiswa kandidat doktor dalam program doktor Ilmu Komunikasi di Indonesia, mendorong pembacaan yang lebih mendalam, keterlibatan etis dengan pengetahuan, dan komunikasi ilmiah yang lebih baik. Di Universitas Indonesia dan universitas lainnya, mengintegrasikan perspektif ilmu kognitif ini ke dalam pedagogi dapat meningkatkan rigoritas intelektual sekaligus keluwesan pemahaman para mahasiswa program doktoral sehingga selaras dengan bahkan melampaui standar akademik global (seperti QS rank dan Times Higher Education’s global Academic Reputation Survey). Dengan demikian, kita dapat menciptakan generasi akademisi yang tidak hanya terampil dalam theorizing, tetapi juga mampu menerapkan pengetahuan mereka secara etis dan efektif dalam praktik komunikasi.

Rujukan
Willingham , D. T. (2017). The Reading Mind: A Cognitive Approach to Understanding How the Mind Reads. John Wiley & Sons.
Lihat di https://books.google.co.id/books/about/The_Reading_Mind.html?id=dTN0DgAAQBAJ&redir_esc=y
dan resumenya di https://www.blinkist.com/en/app/books/the-reading-mind-en

Categories
Uncategorized

Mengenali dan mengakrabi Akal Imitasi (AI) sebagai “Superagency”

Ringkasan buku Superagency: What Could Possibly Go Right with Our AI Future karya Reid Hoffman & Greg Beato (Authors Equity, Januari 2025)

Cover buku:

Buku “Superagency: What Could Possibly Go Right with Our AI Future” menyoroti potensi besar kecerdasan buatan (AI) dalam memperluas kemampuan manusia dan meningkatkan kualitas hidup.

Berikut adalah ringkasan yang lebih mendalam dari buku tersebut:

1. Mendukung Kesehatan Mental untuk Jutaan Orang
AI memiliki potensi besar dalam menyediakan dukungan kesehatan mental yang personal dan terjangkau. Dengan AI, setiap orang dapat mengakses bantuan terapeutik yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, seperti memiliki tutor pribadi yang sangat kompeten. Hal ini dapat mengurangi masalah kesehatan mental yang semakin meningkat, seperti tingginya angka bunuh diri dan kekurangan akses layanan kesehatan mental.

AI dapat menganalisis jutaan interaksi terapi untuk memahami pendekatan mana yang paling efektif untuk berbagai orang. Ini berbeda dengan aplikasi kesehatan mental saat ini yang sering kali terasa mekanik dan impersonal. Dengan AI, pengguna dapat menerima dukungan yang lebih nuansial dan kontekstual, sesuai dengan kebutuhan dan situasi mereka.

2. AI belajar dari teknologi mobil: Batas Kecepatan pada Kemajuan
Seperti teknologi lain sebelumnya, AI juga menghadapi kekhawatiran tentang dampaknya. Namun, sejarah mengajarkan kita bahwa inovasi yang terus menerus dan pengujian nyata lebih efektif daripada regulasi yang terlalu ketat. Contohnya, mobil yang awalnya dianggap berbahaya, tetapi melalui inovasi dan pengujian, mobil menjadi lebih aman dan memiliki dampak transformasi besar.

Pendekatan ini, yang disebut “inovasi tanpa izin,” memungkinkan teknologi baru untuk berkembang melalui iterasi cepat dan pengujian nyata. Ini memungkinkan kita untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki masalah dengan cepat. Dengan demikian, AI dapat menjadi lebih aman dan bermanfaat bagi masyarakat.

3. Regulasi sebagai perluasan kebebasan individu: Memandu Kemajuan dengan Pembatas
Regulasi yang baik bukanlah hal yang membatasi, tetapi justru dapat memperluas kebebasan individu. Seperti aturan lalu lintas yang membuat perjalanan lebih aman dan nyaman, regulasi AI juga dapat membuat teknologi ini lebih aman dan bermanfaat bagi semua orang. Contohnya, sistem pelacakan kontak yang transparan di Korea Selatan selama pandemi COVID-19 membuktikan bahwa AI dapat memperluas kebebasan individu dengan cara yang aman.

Regulasi seperti sertifikasi dan sistem keamanan baru dapat membantu mencegah penyalahgunaan AI dan membuat teknologi ini lebih dipercaya oleh masyarakat. Ini akan memungkinkan lebih banyak orang untuk mengadopsi AI dan memanfaatkan potensinya secara penuh.

4. AI membantu menavigasi informasi yang kompleks untuk keperluan masyarakat
AI dapat membantu kita menavigasi informasi yang kompleks, seperti GPS yang membantu kita menemukan jalan. AI dapat membuat informasi lebih mudah diakses dan dipahami oleh semua orang, terutama mereka yang sebelumnya tidak memiliki akses ke keahlian tertentu. Ini dapat mengubah cara kita belajar dan bekerja.

Contohnya, AI dapat membantu siswa dengan disleksia mengubah buku teks menjadi format audio yang lebih mudah dipahami. AI juga dapat membantu imigran baru memahami dokumen hukum dalam bahasa mereka sendiri. Dengan AI, informasi dapat disesuaikan dengan gaya belajar, latar belakang budaya, dan minat pribadi pengguna.

5. AI dapat membantu penguatan institusi demokrasi
AI juga dapat memperkuat institusi demokrasi dengan memperluas partisipasi warga. Contohnya, platform Polis di Taiwan membantu mengidentifikasi konsensus dalam debat publik dan membuat kebijakan yang didukung secara luas. [Lihat beritanya di sini https://www.nytimes.com/2019/10/15/opinion/taiwan-digital-democracy.html dan di sini: https://www.technologyreview.com/2018/08/21/240284/the-simple-but-ingenious-system-taiwan-uses-to-crowdsource-its-laws/] Hal ini menunjukkan bahwa AI dapat menjadi alat untuk memperkuat suara warga dalam pembuatan kebijakan.

Dengan AI, pemerintah dapat menyediakan layanan publik yang lebih efisien dan responsif. Contohnya, Korea Selatan sedang mengonsolidasikan ribuan layanan publik menjadi satu portal AI
[AI Basic Act: https://likms.assembly.go.kr/bill/billDetail.do?billId=PRC_R2V4H1W1T2K5M1O6E4Q9T0V7Q9S0U0; Lihat beritanya di sini: https://iapp.org/news/a/south-korea-s-ai-basic-act-puts-another-ai-governance-regulation-on-the-map
dan di sini: https://babl.ai/south-korea-unveils-unified-ai-act/] yang dapat memberi tahu warga tentang manfaat yang mereka dapatkan. Ini akan membuat interaksi antara pemerintah dan warga lebih lancar dan efisien.

6. Kesimpulan Akhir
AI bukanlah teknologi yang harus ditakuti, tetapi justru kesempatan besar untuk memperluas potensi manusia. Dengan mengelola risiko dan memanfaatkan potensinya, AI dapat membantu kita mencapai “superagency” – peningkatan dramatis kemampuan individu.

Buku “Superagency” mengajak pembaca untuk melihat dan mengakrabi Akal Imitasi sebagai peluang, bukan ancaman.

Dengan pendekatan inovasi yang hati-hati dan regulasi yang tepat, kita dapat menghadapi masa depan dengan kepercayaan diri dan optimisme.

Akal Imitasi dapat membantu kita menjadi lebih manusiawi, bukan hanya lebih maju secara teknologi.

Berdasarkan ringkasan buku “Superagency” yang dibuat tim Blinkist
https://www.blinkist.com/en/reader/books/superagency-en?play=1

yang kemudian disarikan lebih jauh oleh GenAI “Le Chat” berikut ini:
https://chat.mistral.ai/chat/1be6695f-a8fa-4339-b7ac-710100c47d35

Sebagian kecil (600 kata) versi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari Introduction “Superagency” yang dapat diakses di https://www.amazon.com/Superagency-Could-Possibly-Right-Future-ebook/dp/B0D886ZQHY?asin=B0D886ZQHY&revisionId=eb0f7f8d&format=1&depth=1 dilakukan oleh https://www.superai.id/?room_id=2tkY66Pgp6I9nMMsR9ywa9fe_xyz

Sebagian terjemahan tersebut saya reproduksikan di sini untuk keperluan pembaca membandingkan resume bukunya dengan “kelugasan” bagian Pengantar buku ini.

Tentu saja copyrights tetap melekat pada penulis buku ini (Reid Hoffman dan Greg Beato, 2025)

INTRODUCTION

Sepanjang sejarah, teknologi baru secara teratur memicu visi tentang dehumanisasi yang akan datang dan keruntuhan masyarakat. Mesin cetak, alat tenun bertenaga, telepon, kamera, dan mobil semua menghadapi skeptisisme yang signifikan dan kadang-kadang bahkan penolakan yang keras dalam perjalanan mereka untuk menjadi bagian penting dari kehidupan modern.

Para peramal bencana abad kelima belas berpendapat bahwa mesin cetak akan secara dramatis mengganggu stabilitas masyarakat dengan memungkinkan heresi dan informasi yang salah, serta merongrong otoritas para rohaniwan dan cendekiawan. Telepon digambarkan sebagai perangkat yang dapat menggantikan keintiman kunjungan langsung dan juga membuat teman-teman terlalu transparan satu sama lain. Pada dekade awal kebangkitan mobil, para kritikus mengklaim bahwa mobil menghancurkan kehidupan keluarga, dengan pria lajang memilih untuk menabung untuk Model T daripada menikah dan memiliki anak, dan pria yang sudah menikah memilih perceraian untuk melarikan diri dari tekanan konsumsi yang diciptakan oleh mobil.

Jenis doom dan gloom yang sama diterapkan pada otomatisasi di seluruh masyarakat pada tahun 1950-an, ketika mesin yang semakin canggih secara dramatis mempengaruhi pabrik dan gedung perkantoran, dengan semua orang mulai dari pembuat roti, pemotong daging, pekerja otomotif, hingga statistik dari Biro Sensus AS melihat jumlah mereka menyusut. Pada tahun 1961, majalah Time melaporkan bahwa para ahli tenaga kerja percaya bahwa tanpa intervensi dari kepentingan bisnis, serikat pekerja, dan pemerintah, otomatisasi akan terus meningkatkan jumlah “pengangguran permanen.” Pada pertengahan 1960-an, subkomite kongres secara teratur mengadakan sidang mengenai potensi ancaman komputer mainframe terhadap privasi, kehendak bebas, dan kapasitas warga biasa untuk menjalani kehidupan yang mereka pilih sendiri.

Saat ini, tingkat pengangguran di AS lebih rendah daripada pada tahun 1961. Rata-rata warga AS hidup di dunia di mana PC, internet, dan smartphone telah membawa era baru individualisme dan penentuan nasib sendiri, bukan kepatuhan otoriter yang menghancurkan atau akhir dari kemanusiaan. Namun, dengan munculnya dan evolusi berkelanjutan dari AI yang sangat mampu, bukan hanya ketakutan yang familiar tentang teknologi yang tetap ada; mereka semakin berkembang.

Bahkan di antara para pengembang AI, beberapa percaya bahwa kejadian AI superintelligent di masa depan dapat mewakili ancaman tingkat kepunahan bagi umat manusia. Yang lain menunjukkan bahwa, setidaknya, manusia yang bertindak dengan niat jahat akan dapat menggunakan AI untuk menciptakan kerusakan yang katastropik jauh sebelum mesin itu sendiri melancarkan perang sepihak melawan umat manusia. Kekhawatiran tambahan termasuk penggantian pekerjaan yang masif, ketidakberdayaan manusia total, dan dunia di mana sekelompok kecil elit teknologi menangkap manfaat apa pun, jika ada, yang dihasilkan oleh AI.

Peringatan kiamat kali ini berbeda, kata para pengamat ini, karena teknologi itu sendiri berbeda kali ini. AI sudah dapat mensimulasikan aspek-aspek inti dari kecerdasan manusia. Banyak peneliti percaya bahwa AI akan segera mencapai kapasitas untuk bertindak dengan otonomi yang lengkap dan sangat mampu, dengan cara yang tidak sejalan dengan nilai atau niat manusia.

Robot dan jenis sistem cerdas lainnya telah lama ada dalam novel fiksi ilmiah, buku komik, dan film sebagai doppelganger dan lawan gelap kita. Jadi, saat AI mutakhir saat ini berbicara seperti mahasiswa pascasarjana yang baik hati tetapi dingin dan rasional, adalah hal yang wajar untuk melihat pertanda HAL dari 2001: A Space Odyssey, atau Borg dari Star Trek, atau, dalam bentuk yang kurang sadar diri dan lebih mengancam, robot pembunuh tanpa henti dari The Terminator. Narasi-narasi ini telah membentuk visi terburuk kita tentang masa depan selama waktu yang sangat lama.

Tetapi apakah mereka adalah narasi yang tepat? Masa depan terkenal sulit untuk diprediksi dengan akurat—baik bagi para pesimis maupun optimis. Kita tidak mendapatkan pengangguran massal permanen yang diperkirakan oleh para ahli tenaga kerja pada awal 1960-an; juga kita tidak mendapatkan The Jetsons dan mobil terbangnya—setidaknya belum.

Sebanyak mungkin sulit untuk memprediksi masa depan dengan akurat, lebih sulit lagi untuk menghentikannya. Dunia terus berubah. Mencoba menghentikan sejarah dengan mengukuhkan status quo—melalui larangan, jeda, dan upaya lain untuk mengelola siapa yang boleh melakukan apa—tidak akan membantu kita sebagai manusia untuk menghadapi tantangan atau peluang yang dihadirkan oleh AI.

Categories
Uncategorized

Etika Siber dan Virtual dalam Terang Etika Informasi: Sebuah Pengantar

Dr. (Cand.) Hendar Putranto, M. Hum.

disampaikan dalam kuliah Etika Komunikasi Strategis sesi ke-10
untuk mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM), FIKOM-UMN, Batch 7
Selasa, 26 November 2024, 18.30-21.00 WIB
via Zoom meeting

Pendahuluan

Semester pertama di program Magister Ilmu Komunikasi FIKOM UMN tentu menjadi momen penting untuk mengejar nilai yang baik. “Mengejar nilai” merupakan salah satu tujuan dari sebuah pengalaman akademis yang lumrah terjadi dalam lingkungan pendidikan tinggi, tidak hanya di tingkat S1, tapi juga di level S2 maupun S3. Hal ini wajar dan memang layak untuk diupayakan. Sebagaimana teman-teman dahulu sudah pernah mengalami studi pada jenjang S1, semester pertama pada jenjang S2 juga biasanya menjadi saat dan kesempatan untuk memahami model soal ujian sekaligus beradaptasi dengan dosen pengampu dan sistem perkuliahan. Mari kita mulai materi ini dengan lebih interaktif. Jika ada pertanyaan, silakan langsung disampaikan tanpa menunggu hingga saya menyelesaikan presentasi.

Struktur Materi
Materi perkuliahan hari ini akan saya bagi menjadi beberapa salindia. Kita akan mulai dengan titik tolak analisis etika, dilanjutkan dengan definisi awal tentang etika siber dan etika sosial media. Selanjutnya, saya akan membahas klaster refleksi etis terkait SNS (social networking sites) dan tiga faktor pembeda. Paparan akan diakhiri dengan resume atau rangkuman.

Titik Tolak Analisis Etika
Analisis etika dapat dimulai dari berbagai sumber, seperti pengalaman pribadi, literature review, tradisi akademis, atau fakta empiris seperti berita dan data. Tidak ada satu titik berangkat yang tetap dan dianggap mutlak untuk memulai sebuah kajian etika. Sebagai contoh, pengalaman sehari-hari, seperti percakapan saya dengan penjual nasi uduk tadi pagi, itu pun dapat menjadi bahan analisis etika.

Pengalaman perjumpaan dan percakapan secara langsung (face to face interaction) dengan orang-orang sederhana dalam ordinary and everyday setting justru kaya akan nilai, pertukaran makna, serta dapat digunakan sebagai titik berangkat untuk memahami etika komunikasi. Termasuk juga perjumpaan dan interaksi kita dalam ruang-ruang yang termediasi secara digital seperti WhatsApp, Zoom & IG.

Titik Tolak Analisis Etika: Percakapan dengan Tukang Nasi Uduk
Analisis etika tidak selalu harus dimulai dari teori atau literatur yang kompleks. Seringkali, pengalaman sehari-hari yang sederhana dapat menjadi titik tolak yang kaya untuk memahami nilai-nilai etis. Salah satu contoh yang saya alami adalah percakapan dengan seorang tukang nasi uduk pagi itu. Saat itu, saya sedang mengantre untuk membeli nasi uduk sebagai sarapan sebelum mengantar istri ke tempat kerjanya. Ketika istri saya bertanya, “Pinten sedoyo?” (Berapa semuanya?) dalam bahasa Jawa halus, si tukang nasi uduk menjawab dengan bahasa Jawa yang kasar, “Tigang doso, Bu.” (Tiga ribu, Bu). Namun, yang menarik adalah kalimat penyertanya: “Maaf ya, Bu, bahasa Jawa saya kasar. Saya asli Solo, tapi lama tinggal di Padang.”

Percakapan singkat ini sedikit banyak membuka wawasan tentang identitas, budaya, dan cara berkomunikasi. Tukang nasi uduk tersebut, meskipun berasal dari Solo (yang dikenal dengan tuturan menggunakan bahasa Jawa halus), telah lama tinggal di Padang, Sumatera Barat, yang mungkin memengaruhi cara bicaranya. Hal ini menunjukkan bagaimana latar belakang budaya dan pengalaman hidup seseorang dapat membentuk cara mereka berinteraksi dan berkomunikasi.
Pengalaman ini tidak hanya sekadar cerita biasa, tetapi juga dapat menjadi bahan refleksi etis. Misalnya, bagaimana kita memahami “kesopanan” dalam komunikasi? Apakah bahasa kasar selalu tidak etis, atau ada konteks tertentu yang membuatnya dapat diterima? Bagaimana kita menghargai perbedaan budaya dalam berkomunikasi, terutama di ruang virtual yang seringkali menghilangkan semantisasi dari unsur dan nuansa nonverbal communication?

Pendekatan Literatur Review
Yang dimaksud dengan pendekatan literatur review dalam kajian etika adalah bahwa analisis etika dimulai dari teks atau bacaan. Salah satu kerangka macro-ethics dalam khazanah Etika (dunia) Barat yang relevan dibahas pada hari ini adalah information ethics, yang diusung oleh Luciano Floridi sejak 1996 sampai sekarang. Information ethics dianggap mampu memayungi dan memiliki daya heuristik untuk menjelaskan sub-kajian etika yang sifatnya lebih terapan (applied ethics) seperti cyber ethics, social media ethics, computer ethics, virtual ethics, bahkan sampai AI ethics.

Information ethics, demikian klaim Floridi (2013), mampu mentransformasi empat paradigma etika makro sebelumnya, seperti virtue ethics dari Aristoteles, deontologi dari Immanuel Kant, utilitarianisme dari JS Mill, dan kontraktualisme dari John Rawls.

Analisis singkat tentang Etika Informasi dari Floridi
Dalam Ethics of Information (2013), Floridi mengkritik empat paradigma etika makro (virtue ethics, konsekuensialisme, kontraktualisme, dan deontologi) yang dianggap tidak cukup menjelaskan masalah yang muncul di era internet. Menurutnya, information ethics lebih fundamental karena memandang “being” (ada) sebagai informasi. Dalam konteks pemahaman Floridi, informasi cenderung menuju entropi atau kekacauan, sesuai dengan hukum termodinamika kedua.

Floridi berargumen bahwa pada era digital, informasi menjadi entitas sentral yang mendefinisikan realitas (disebutnya sebagai Infosphere). Ia menekankan bahwa etika informasi tidak hanya tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu sendiri membentuk keberadaan (being) dan realitas. Pokok ini menjadi relevan ketika kita membahas etika ruang siber dan virtual, yang di dalamnya informasi dianggap sebagai inti dari semua interaksi.

Mengapa etika informasi penting untuk memahami etika siber dan virtual?
Ketika membahas etika siber dan virtual, juga etika media sosial, kita tidak dapat melepaskan diri dari peran informasi sebagai pondasi utamanya. Ruang siber dan virtual adalah ruang yang dibangun oleh aliran informasi, dan media sosial adalah platform yang memfasilitasi produksi, distribusi, serta konsumsi informasi. Floridi menawarkan perspektif bahwa etika informasi adalah kerangka yang tepat untuk memahami kompleksitas ini.

Ia menggarisbawahi pandangan yang menyatakan bahwa informasi tidak hanya bersifat netral, tetapi juga memiliki dampak moral. Misalnya, penyebaran informasi palsu (hoax) di media sosial tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengganggu tatanan sosial. Dengan memahami etika informasi, kita dapat mengidentifikasi bagaimana informasi digunakan, disalahgunakan, atau dimanipulasi dalam ruang siber dan virtual.

Diskusi dan Pertanyaan
Sampai di sini, apakah teman-teman sekalian sudah memahami landasan etis mengapa information ethics dipilih sebagai paradigma macro-ethics terkini untuk menjelaskan fenomena digitalitas? Mari kita lanjutkan dengan diskusi dan pertanyaan sebelum bertolak ke bagian berikutnya.

Categories
Uncategorized

[film analysis & interpretation] La Bête AKA The Beast (2023) [02]

Pembacaan Nietzschean Beyond Good and Evil dari film La Bête (2023) karya sutradara Bertrand Bonello
Bagian 02 dari 02

Sebuah contoh membaca dan menafsirkan film La Bête (The Beast, 2023) dengan menggunakan lensa filosofis Jenseits von Gut und Böse (Beyond Good and Evil) dari Friedrich Nietzsche (1886).


image source: https://www.gutenberg.org/ebooks/7204

Pertama-tama kita perlu memahami kritik Nietzsche terhadap moralitas tradisional, eksplorasi filosofisnya tentang sifat dasar manusia, dan ide utamanya mengenai kehendak untuk berkuasa, keberulangan yang abadi, dan Übermensch (Manusia Adi). Konsep-konsep Nietzschean ini dapat diterapkan pada unsur-unsur simbolis yang terdapat dalam The Beast, seperti merpati, api dan banjir, boneka-boneka, lagu Evergreen, klub, AI, dan pemurnian, serta hubungan antara Gabrielle dan Louis (dua karakter utama dalam The Beast).

Berikut uraian ringkas bagaimana pembacaan atas filsafat Nietzsche dalam Jenseits von Gut und Böse dapat menerangi simbolisme dalam The Beast.

Nietzsche’s Jenseits von Gut und Böse dan Simbolisme The Beast

1. Melampaui Moralitas Tradisional: Merpati dan Boneka

Dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche menantang kategorisasi oposisi biner yang baik dan jahat, dengan menyatakan bahwa moralitas tradisional adalah sebuah konstruksi yang justru menekan potensi manusia.

Dalam The Beast, merpati dan boneka dapat ditafsirkan sebagai simbol dualitas moral sekaligus keterbatasannya. Merpati cukup sering diasosiasikan dengan kedamaian dan kepolosan. Ia mewakili sisi “baik” yang diidealkan dari manusia yang juga didambakan masyarakat. Namun, Nietzsche berpendapat bahwa idealisasi ini adalah sebentuk kontrol, cara untuk menekan aspek yang lebih gelap dan lebih kompleks dari sifat manusia. Hubungan Gabrielle dengan merpati bisa jadi melambangkan perjuangannya untuk menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat akan kemurnian dan kebaikan, bahkan ketika emosi dan keinginannya yang lebih dalam menolak penyederhanaan ini.

Sebaliknya, boneka mewakili kepura-puraan konstruksi moral. Boneka (dan ada banyak boneka dalam film ini, khususnya pada setting di Paris, 1910; boneka teknologi media sosial dan industri kosmetik/modelling pada 2014, serta boneka AI pada 2044) itu tidak bernyawa, gampang dikendalikan, dan tidak memiliki emosi yang tulus, sama seperti norma-norma masyarakat ‘tradisional’ yang dikritik Nietzsche. Interaksi Gabrielle dengan boneka-boneka tersebut melambangkan konfrontasinya dengan artifisialitas dunia yang berusaha mereduksi manusia menjadi bentuk-bentuk yang dapat diprediksi dan dikendalikan, semacam reifikasi idealitas moral menjadi instrumen kontrol.

Baik merpati maupun boneka menyimbolkan gagasan Nietzsche bahwa kemanusiaan yang sejati meletak di luar dua pilihan yang sederhana dan cenderung dikotomis (binary opposition) antara baik dan buruk; Ia meletak jauh di lubuk kehendak dan keinginan individu yang serba kacau dan tak terduga, juga meskipun ujung dari kemanusiaan yang sejati itu adalah kematian tragis (terendam banjir dan mengapung di kolam renang setelah ditembak).

2. Kehendak untuk Berkuasa: Api dan Banjir
Konsep Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) – kekuatan pendorong di balik perilaku manusia – dapat dilihat dalam simbol “api dan banjir.” Kedua unsur alam ini mewakili kehancuran dan pembaruan, kekacauan dan penciptaan, yang mencerminkan sifat dinamis dan sering kali kejam dari kehendak untuk berkuasa.

Api melambangkan gairah, kehancuran, dan transformasi; kekuatan yang tidak dapat dikendalikan, seperti halnya kehendak manusia. Dalam The Beast, api dapat mewakili gejolak batin Gabrielle dan penolakannya untuk dimurnikan atau dikendalikan oleh teknologi. Emosinya, seperti api, bersifat destruktif tapi juga memurnikan dalam arti membakar batasan-batasan artifisial yang dipaksakan masyarakat aristokratik (1910), masyarakat yang serba terhubung secara digital lewat media sosial tapi mengalami kesepian akut (2014), dan masyarakat yang dingin serba terkendali algoritma Akal Imitasi (2044).

Banjir, di sisi lain, melambangkan kekuatan yang luar biasa dan keniscayaan perubahan. Air dalam jumlah yang besar dan tidak terkendali (banjir) mewakili aspek-aspek tak terkendali dari sifat manusia yang tidak dapat dibendung baik oleh rasionalitas maupun teknologi. Banjir juga dapat melambangkan kembalinya emosi yang tertekan yang menyapu bersih ilusi kontrol dan keteraturan.

Melalui simbol api dan air (banjir), The Beast mengeksplorasi gagasan Nietzsche bahwa sifat alami manusia didorong oleh kehendak untuk berkuasa yang menentang rasionalisasi dan kontrol. Kegagalan Gabrielle untuk dimurnikan adalah bukti dari kekuatan yang tak tergoyahkan dalam dirinya yang berasal dari kehendak buta sebagai panglimanya dan emosi kesedihan sebagai bala tentaranya.

3. Pengulangan Abadi dan Lagu Abadi
Konsep Nietzsche tentang pengulangan abadi (Ewige Wiederkunft), gagasan bahwa kehidupan berulang tanpa batas, beresonansi kuat dengan penggambaran film ini tentang hubungan Gabrielle dan Louis pada berbagai periode waktu yang berbeda. Lagu Evergreen, sebuah motif yang berulang, melambangkan sifat abadi dari hubungan mereka dan sifat siklus pengalaman manusia.

Lagu ini mewakili kegigihan emosi dan ingatan melintasi waktu, menggemakan gagasan Nietzsche bahwa pengalaman dan hubungan tertentu bersifat abadi. Ikatan Gabrielle dan Louis, yang berulang di era yang berbeda, menunjukkan bahwa cinta mereka tidak terikat oleh waktu linier tetapi ada dalam keadaan berulang yang abadi.

Sifat siklis ini juga mencerminkan tantangan Nietzsche untuk merangkul kehidupan dalam semua pengulangannya, untuk menemukan makna dalam kembalinya hal yang sama secara abadi. Perjuangan Gabrielle untuk mendamaikan emosinya dengan tuntutan masa depan yang dystopian dapat dilihat sebagai perjuangan untuk mengafirmasi kehidupan dalam menghadapi pengulangan yang tak terelakkan.

4. Sang Übermensch dan Akal Imitasi (AI)
Konsep Nietzsche tentang Übermensch (Manusia Adi atau manusia super)-makhluk yang melampaui norma-norma masyarakat dan menciptakan nilai-nilai mereka sendiri-dapat diterapkan pada eksplorasi film ini tentang Akal Imitasi dan pemurnian.

AI mewakili ekspresi tertinggi dari kontrol masyarakat dan penindasan individualitas. AI berusaha menggantikan emosi manusia dengan rasionalitas dan algoritma, yang merupakan antitesis dari Übermensch. Proses pemurnian, yang bertujuan untuk menghapus rasa takut dan emosi, merupakan bentuk pengkondisian masyarakat yang dikritik oleh Nietzsche sebagai pengingkaran terhadap kehidupan.

Kegagalan Gabrielle untuk dimurnikan memposisikannya sebagai sosok Übermensch yang potensial menjadi. Penolakannya untuk menyesuaikan diri, pelukan emosinya, dan perlawanannya terhadap kontrol teknologi selaras dengan visi Nietzsche tentang makhluk yang menciptakan nilai-nilai mereka sendiri dan menegaskan kehidupan dengan segala kerumitannya.

5. Amor Fati dan Tragedi Gabrielle
Konsep Nietzsche tentang amor fati (cinta takdir) merupakan hal yang penting untuk memahami kisah tragis Gabrielle. Terlepas dari penderitaan dan kehilangan yang dialaminya, hubungannya yang abadi dengan Louis dan penolakannya untuk dimurnikan menunjukkan penerimaan yang mendalam terhadap nasibnya.

Emosi Gabrielle, meskipun menyakitkan, merupakan bagian integral dari identitasnya. Dengan merangkul mereka, dia mewujudkan gagasan Nietzsche tentang amor fati, menemukan makna dan keindahan dalam penderitaannya daripada berusaha melarikan diri darinya.

Kegagalannya untuk lulus ujian pemurnian bukanlah sebuah kekalahan, melainkan sebuah kemenangan, sebuah penegasan akan kemanusiaannya dan keinginannya untuk berkuasa. Dalam istilah Nietzsche, ia menjadi pahlawan tragis yang menegaskan kehidupan dalam menghadapi penderitaan yang melekat.

Kesimpulan: Wawasan Nietzschean untuk membaca dan memahami The Beast

Melalui lensa Beyond Good and Evil karya Nietzsche, The Beast hadir sebagai eksplorasi mendalam tentang sifat, emosi, dan perlawanan manusia terhadap kontrol. Simbol-simbol dalam film ini-merpati, api dan banjir, boneka, lagu evergreen, kecerdasan buatan, dan pemurnian-mencerminkan kritik Nietzsche terhadap moralitas tradisional, perayaannya terhadap kehendak untuk berkuasa, dan visinya tentang Übermensch. Hubungan Gabrielle dan Louis, yang berulang melintasi ruang dan waktu, mewujudkan perulangan abadi pengalaman manusia dan kekuatan cinta dan emosi yang abadi.

Pada akhirnya, The Beast menantang pembaca dan pemirsa untuk merangkul kekacauan dan kompleksitas sifat manusia, untuk melawan kekuatan yang berusaha mengendalikan atau menghapusnya, dan untuk menegaskan kehidupan dalam semua keindahan dan tragedi. Dengan demikian, hal ini sejalan dengan seruan Nietzsche untuk melampaui kebaikan dan kejahatan, untuk menciptakan nilai-nilai kita sendiri, dan untuk hidup secara otentik di dunia yang sering kali berusaha menyangkal kemanusiaan kita.

Pembacaan Nietzschean terhadap The Beast tidak hanya memperdalam pemahaman kita tentang simbolisme film ini, tetapi juga menyoroti resonansi filosofisnya dengan pertanyaan-pertanyaan abadi tentang identitas, kebebasan, dan kondisi manusia.

Categories
Uncategorized

[film analysis & interpretation] La Bête AKA The Beast (2023)

Pembacaan Nietzschean Beyond Good and Evil dari film La Bête (2023) karya sutradara Bertrand Bonello
Bagian 01 dari 02

Saya menonton film ini secara legal (berbayar) di apps KlikFilm:
https://klikfilm.com/v4/watch/49-5719

Setelah tuntas menontonnya, saya bertanya-tanya, apa makna simbolisme dalam film The Beast (bahasa Prancis: La Bête) — sebuah film drama romantis fiksi imiah tahun 2023 yang disutradarai dan ditulis oleh Bertrand Bonello?

Yang saya maksud dengan simbolisme di sini di antaranya ialah: merpati, api dan banjir, boneka-boneka, lagu Evergreen & Klub dansa, juga masa depan yang dikuasai AI (2044) dan upaya pemurnian DNA manusia untuk mengenyahkan perasaannya dan membuatnya fit for the job & e-nvironment?

Dalam The Beast (2023), simbolisme berperan penting untuk mengeksplorasi tema-tema eksistensial seperti cinta, ketakutan, dampak teknologi pada eksistensi manusia, serta kesepian yang akut.

1. Merpati

Merpati sering kali melambangkan kedamaian, kebebasan, juga kerentanan. Dalam The Beast, merpati mewakili kerapuhan emosi manusia atau hilangnya kepolosan dalam dunia yang didominasi teknologi dan ketakutan. Kehadirannya juga dapat mengisyaratkan kerinduan karakter akan kesederhanaan serta keterhubungannya dengan alam di tengah-tengah realitas distopia.

2. Kebakaran dan Banjir
Api dan air (banjir) adalah simbol klasik dari kehancuran dan pembaruan. Dalam The Beast, keduanya dapat mewakil sifat siklus penderitaan manusia dan keniscayaan akan perubahan. Api dapat melambangkan gairah, kehancuran, atau pemurnian; sementara banjir dapat menandakan emosi yang meluap-uap, kekacauan, atau kekuatan pembersihan. Secara jukstaposisi, keduanya mencerminkan dilema batin yang dihadapi tokoh utama, yaitu Gabrielle Monnier (diperankan oleh aktris berbakat, Léa Seydoux).

3. Boneka
Boneka acapkali melambangkan kepolosan, kendali, atau hal yang tidak biasa (uncanny). Dalam The Beast, keberadaan boneka (baik dalam setting di Paris, 1910 maupun di tahun 2044) mewakili artifisialitas emosi manusia dalam dunia yang digerakkan oleh teknologi atau lunturnya keaslian. Boneka-boneka juga dapat mencerminkan upaya Gabrielle untuk mempertahankan kemurnian kodratiah atau hal yang manusiawi dalam lingkungan yang semakin tidak manusiawi (artifisial). Pada Paris 1910, hidup yang aristokratik; pada masa depan 2044, dunia yang semakin dikendalikan Akal Imitasi.

4. Lagu Evergreen & keberadaan Klub
Lagu evergreen melambangkan keabadian, nostalgia, serta kegigihan emosi khas manusia seperti cinta dan kerinduan. Klub, sebagai latar, mewakil pelarian, hedonisme, atau ruang yang di dalamnya para karakter menghadapi ketakutan dan keinginan mereka. Secara bersama, lagu dan klub (yang berbeda-beda setting tahun/dekade) menyoroti adanya ketegangan antara masa lalu dan masa depan, juga perjuangan Gabrielle untuk menemukan makna di dunia yang fana.

5. Akal Imitasi (AI)
AI dalam The Beast bisa jadi melambangkan dehumanisasi masyarakat, hilangnya individualitas, dan dilema etis atas kemajuan teknologi. Hal ini juga dapat mewakili ketakutan para karakter (khususnya Gabrielle) untuk digantikan atau dikendalikan mesin, serta garis batas yang mengabur antara emosi manusia (alamiah) dan emosi buatan (artifisial).

6. Pemurnian
Pemurnian melambangkan keinginan para karakter untuk membersihkan diri mereka dari rasa takut, rasa
bersalah, atau pengaruh teknologi yang merusak. Pemurnian juga dapat mencerminkan tema yang lebih luas tentang pembaharuan masyarakat atau spiritual (renewal), yang menunjukkan kebutuhan dasariah untuk kembali ke kondisi yang lebih fitriah, otentik, dan manusiawi.

Secara keseluruhan, simbol-simbol ini berpadu menciptakan narasi berlapis yang mengeksplorasi persimpangan antara kemanusiaan, teknologi, dan emosi di masa depan yang distopian. Bonello sepertinya menggunakan simbol-simbol di atas untuk menyelami jiwa para karakter dan memberikan catatan kritis pada pembacaannya atas dunia yang semakin didominasi oleh kecerdasan buatan dan ketidakpastian eksistensial.

Akan tetapi, [spoiler alert], mengapa Gabrielle Monnier gagal melewati tes pemurnian dan merupakan bagian dari 0,7% kegagalan mesin (AI). Apa arti dari kegagalan ini? Apakah “emosi manusia sejatinya terlalu kuat untuk dihapus dan digantikan dengan kontrol dan algoritma”?

Kegagalan Gabrielle Monnier lolos dari tes pemurnian emosi dalam The Beast menjadi momen penting yang memiliki bobot simbolis yang signifikan. Ketidakmampuannya untuk “dimurnikan” dan masuknya Gabrielle ke dalam tingkat kegagalan 0,7% dapat ditafsirkan sebagai representasi gagasan bahwa emosi terlalu kuat untuk dihapus dan digantikan oleh kontrol dan algoritma.

Berikut penafsirannya:

1. Kemenangan Emosi Manusia Atas Kontrol Buatan

Kegagalan Gabrielle lulus tes “pemurnian” menunjukkan bahwa emosinya, khususnya cinta, ketakutan, dan
kerentanannya, jauh tertanam kuat untuk dapat dihapus atau ditekan proses pemurnian yang dijalankan teknologi Akal Imitasi. Hal ini dapat melambangkan ketahanan emosi si karakter serta kegigihannya untuk tidak dikomodifikasi, dikontrol, atau digantikan sistem buatan. Pokok ini sekaligus menggarisbawahi gagasan bahwa ada aspek-aspek kemanusiaan (seperti cinta, hasrat, dan ketakutan eksistensial) yang tidak dapat sepenuhnya dikuantifikasi atau dihilangkan, tidak peduli betapa canggihnya teknologi yang digunakan.

2. Tingkat Kegagalan 0,7% sebagai Simbol Resistensi

Tingkat kegagalan 0,7% mungkin mewakili sebagian kecil manusia yang menolak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang digerakkan teknologi Akal Imitasi. Mereka, termasuk Gabrielle, melambangkan ketidaksempurnaan dan kerumitan yang justru menjadi ciri khas manusia. Kegagalan mereka untuk “dimurnikan” bukanlah sebuah kekurangan, melainkan bukti kemanusiaan mereka. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa dalam dunia yang didominasi oleh algoritma dan kontrol AI pun akan selalu ada orang-orang yang menolak dan mempertahankan kedalaman emosi mereka. 🙁

3. Emosi merupakan Kekuatan yang Menantang

Emosi Gabrielle yang kuat, terendam dalam ingatan akan cinta, ketakutan, dan kerinduan, dapat dilihat sebagai bentuk pemberontakannya terhadap dunia yang dingin, logis, dan hampir sepenuhnya terkendali—adegan dalam film yang diwakili proses pemurnian. Kegagalannya untuk lulus ujian “pemurnian” (tidak seperti Louis yang pada akhirnya berhasil), mau menunjukkan pemaknaan bahwa emosi bukanlah kelemahan kodratiah tapi justru kekuatan yang menantang sekaligus menentang penghapusan. Manusia dengan segala kekayaan dan kedalaman emosinya ternyata tidak dapat direduksi menjadi agregat data berkat jalannya algoritma AI.

4. Dampak dari Pemurnian

Kegagalan Gabrielle menimbulkan pertanyaan tentang dampak pemurnian. Apa artinya kehilangan emosi, ingatan, atau kemanusiaan seseorang demi mengejar keamanan, kendali, atau kesempurnaan?
Ketidakmampuannya untuk lulus ujian menunjukkan bahwa proses pemurnian harus dibayar dengan harga yang terlalu mahal yaitu kehilangan hal-hal unik yang membuat kita menjadi manusia yang sesungguhnya. Bonello dalam The Beast mau mengkritik gagasan bahwa upaya menekan emosi bahkan menghapuskannya bukanlah tujuan yang realistis untuk dikejar dan diwujudkan dalam masyarakat yang semakin tergantung pada atau dikendalikan akal imitasi.

5. Kritik terhadap Utopianisme Teknologi

Film ini pada akhirnya mengkritik gagasan utopis kecanggihan teknologi yang di dalamnya kekurangan manusia mau dihapuskan/diberantas seperti rumput liar di taman yang asri. The Beast menunjukkan bahwa dunia yang dikelola AI tidak memiliki hal-hal yang memberi makna insaniah pada kehidupan: cinta, gairah, ketakutan, dan kerentanan. Perlawanan Gabrielle terhadap pemurnian menjadi simbol harapan sekaligus mengingatkan kita bahwa ketidaksempurnaan manusia (dalam tangis dan kerinduan yang tidak kunjung terpenuhi; cinta yang berbalas; kesepian yang terobati, dll.) justru menjadi potensi kekuatannya.

Singkatnya, kegagalan Gabrielle Monnier untuk lulus tes pemurnian mewakili sifat emosi manusia yang tak tergoyahkan dan ketahanannya untuk dihapus atau dikendalikan oleh teknologi. Emosi adalah bagian yang esensial dan tidak dapat direduksi dari arti menjadi manusia (Damasio, 1994; Griffiths, 2004; Nussbaum, 2004; Prinz, 2004; Solomon, 1993; Lewis, Haviland-Jones, & Barrett, 2008; Johnson, 2009; Scarantino, 2018), dan upaya untuk menekan atau menggantinya dengan algoritma dan kontrol rasio apalagi Akal Imitasi, pada akhirnya akan gagal, setidaknya untuk beberapa orang.

Kegagalan ini bukanlah kekalahan untuk diratapi, melainkan kemenangan yang layak dibanggakan: sebuah pengingat akan kekuatan cinta, rasa takut, dan semangat menjadi manusia yang utuh dalam kerapuhannya, menyatu dalam kepingannya, dan tak lekang oleh waktu.

Berikut ditampilkan kutipan dari sejumlah review atas film ini serta tautan untuk mengaksesnya:

The Beast (La Bête, 2023) might be a parable for humanity’s fear of growing irrelevance in an increasingly automated and emotionless world, it might be the inherent fear of being alone. It might be something else entirely. Across The Beast’s 145-minute runtime Bonello digs into the looming ubiquity of AI, the horror (and sadness) of incel culture and the importance of emotion (and music!) while also serving up a lacerating satire of modernity and the direction society is heading (Tom Davidson, 2024)

It’s the fear of love, but it’s okay for me if everyone sees the beast where they want to see it. It’s just the idea of the catastrophe, of something that is stronger than you and will destroy everything (interview with Bonello, echoing Henry James’ novella, The Beast in the Jungle, 1903). Lihat: https://aframe.oscars.org/

Film Reviews on The Beast

https://aframe.oscars.org/news/post/the-beast-bertrand-bonello-interview?source=post_page—–ac8a42e8d280——————————–

https://flixchatter.net/2024/04/26/the-beast-la-bete-2024-review-lea-seydoux-is-undeniably-magnetic-in-this-disconcerting-genre-bending-dystopian-film/

https://tomdavidson92.medium.com/the-beast-when-a-difficult-film-becomes-great-on-second-watch-ac8a42e8d280

Categories
Uncategorized

The rise of the infographics in our epistemic culture

Since the advent of the scientific method in the 16th century, the sciences have revolutionized our world. With unprecedented speed in leaving one world-changing discovery after another in their wake, the sciences have grown into what they are today, the empirical study of nearly everything (Timothy Williamson, Doing Philosophy: From Common Curiosity to Logical Reasoning, Oxford University Press, 2018).

Bertolak dari pandangan burung (birds-eye view) Williamson di atas, ‘studi empiris tentang hampir segala sesuatunya’ bertumpu pada salah satu indera manusia yang dominan, yaitu penglihatan (sight).

Ketika saya membuka apps Blinkist hari ini, saya dikejutkan dengan munculnya sebuah fitur baru, yaitu Infografis.
Fitur ini sedemikian menarik dan menggoda saya untuk upgrade subscription type 🙂

Berikut beberapa contohnya yang berhasil saya unduh dari apps nya langsung. (c) Blinkist

Keheranan saya mungkin terlihat ketinggalan zaman mengingat salah satu media massa terkemuka dunia, yaitu The New York Times, sudah mengemas berita dan liputannya sedemikian rupa sejak 10+ tahun lalu.

Berikut beberapa contohnya (FYI: saya berlangganan New York Times digital version sejak beberapa tahun lalu)


Source: https://www.nytimes.com/interactive/2024/12/20/us/2024-year-in-graphics.html

Guna mengonfirmasi ketakjuban saya akan betapa menarik dan kaya akan informasi yang relatif simple to understand ini, saya lalu bertanya pada ChatGPT dan scite.ai, bagaimana cara memahami fenomena ini dari kacamata ilmu komunikasi.

Berikut jawaban, link, dan juga prompt-nya.

Semoga information sharing ini bermanfaat bagi sidang pembaca yang budiman!

Prompt: Give me some insights into the rise of the visual culture and infographics from communication science perspective ever since 2000’s up to now!

ChatGPT’s version of answer:
https://chatgpt.com/c/67963aaf-dfac-800e-bed1-3f8734e498d1

The rise of visual culture and infographics since the 2000s can be analyzed through multiple lenses within communication science. Here’s a breakdown:

1. Technological Advancements
a) Digital Media Revolution: The widespread adoption of digital technology, including smartphones and social media platforms, has enabled easier access to visual content. High-speed internet and advanced graphic design tools made creating and sharing visuals more efficient.
b) User-Friendly Tools: Platforms like Canva, Piktochart, and others democratized the ability to create infographics, allowing non-experts to produce professional-looking visuals.
c) Social Media Platforms: Sites like Instagram, Pinterest, and later TikTok emphasize visuals as a primary mode of communication. The algorithmic preference for visually appealing content further drives its proliferation.

2. Cognitive Psychology and Communication
a) Information Processing: Humans are wired to process visual information faster than text. Infographics and visual storytelling capitalize on this, enabling complex data or messages to be understood quickly and effectively.
b) Attention Economy: In an era of information overload, visuals stand out more effectively than text, grabbing attention within seconds—critical in communication where retention is a challenge.
c) Memory and Retention: Visuals improve recall compared to text alone, which is particularly valuable in educational, marketing, and news contexts.

3. Cultural and Social Shifts
a) Shift Toward Visual Literacy: As visual media has grown, so too has the expectation that audiences can “read” and interpret visuals effectively. Visual literacy is now a key skill for participation in modern communication.
b) Meme Culture: The rise of memes, GIFs, and other visual forms of informal communication highlights how visuals have become embedded in everyday social interactions.
c) Globalization: Visuals are inherently cross-cultural, making them an effective tool for communication in a globalized world, where language barriers are common.

4. Applications in Different Domains
a) Journalism: Infographics have become a staple in presenting data-heavy stories, making them accessible to broader audiences. Interactive infographics have added depth to this.
b) Marketing and Branding: Brands use infographics to distill product features, company values, or trends into shareable formats that align with modern attention spans.
c) Education and Public Awareness: From explaining public health campaigns to teaching students, infographics serve as a pedagogical tool.
d) Politics: Political campaigns, protests, and advocacy often use infographics to communicate key messages succinctly.

5. Challenges and Critiques
a) Misrepresentation of Data: Poorly designed infographics can lead to misunderstandings or intentional manipulation of data.
b) Over-Saturation: The overuse of visuals has led to competition for attention, where only the most innovative or striking visuals stand out.
c) Loss of Depth: While visuals simplify information, they sometimes oversimplify, losing nuance and depth critical to understanding complex topics.

6. Future Trends
a) Interactive and Personalized Infographics: Advances in AI and data visualization software are leading to more personalized and engaging infographics tailored to individual user preferences.
b) Integration with AR/VR: Visual storytelling is evolving with augmented and virtual reality, creating immersive experiences.
c) Data Democratization: Open data initiatives may further fuel the rise of public-driven infographics, enabling citizens to create and share their interpretations of data.

From a communication science perspective, the rise of visual culture reflects a broader shift toward more accessible, engaging, and globalized forms of communication. However, it also raises critical questions about literacy, ethics, and the balance between simplification and complexity.

Scite.ai version of answer:
https://scite.ai/assistant/give-me-some-insights-into-the-rise-of-the-visual-culture-and-in-3nXD2K

The rise of visual culture and infographics since the early 2000s has been significantly influenced by advancements in technology and changes in communication practices. This transformation is rooted in the increasing importance of visual elements in conveying information across various media platforms. The proliferation of digital technologies has enabled the integration of visual communication into everyday life, leading to a hyper-visual environment where images and graphics are essential for effective communication (Yudhanto, 2023; Rose, 2014; Chatterjee, 2023).

Visual culture has emerged as a critical area of study within communication science, reflecting the ways in which visual experiences are embedded in social and cultural practices. This evolution has been characterized by a shift from traditional text-based communication to a more image-centric approach, where visuals serve not only as supplementary elements but as primary vehicles for meaning-making (Rose, 2014). The integration of graphic design principles into science communication has been particularly noteworthy, as it enhances the accessibility and effectiveness of complex scientific information (Estrada & Davis, 2014; Murchie & Diomede, 2020). Infographics, in particular, have gained traction as tools that simplify data presentation, making it easier for diverse audiences to comprehend intricate subjects (Jarreau et al., 2021).

Moreover, the role of visual storytelling has gained prominence in science communication, especially during public health crises such as the COVID-19 pandemic. Visual narratives have been shown to improve message accessibility and self-efficacy among audiences, demonstrating the power of visuals in shaping public understanding and behavior (Jarreau et al., 2021). This trend underscores the necessity for communicators to consider their target audiences carefully and to refine visual elements accordingly, ensuring that visuals are not merely decorative but integral to the communication strategy (Estrada & Davis, 2014).

The academic discourse surrounding visual culture has expanded, with new journals and methodologies emerging to explore the implications of visuality in contemporary society (Rose, 2014). This includes an examination of how visual representations can influence cultural identity and social dynamics, as seen in studies of regional cultural symbols and their application in visual communication design (“Regional Cultural Symbols in Visual Communication Design”, 2022). Furthermore, the intersection of visual communication with popular culture has been explored, revealing how visual elements shape and reflect cultural narratives (Alhajji, 2023; Hu & Chai, 2012).

In summary, the rise of visual culture and infographics from a communication science perspective highlights a significant shift towards visual-centric communication strategies. This transformation is driven by technological advancements, the need for effective information dissemination, and the growing recognition of the role of visuals in shaping cultural and social narratives. As visual culture continues to evolve, it remains essential for communicators to harness the power of visuals to engage audiences and convey complex information effectively.

References
Liu, W. (2022). Regional cultural symbols in visual communication design. International Journal of Frontiers in Sociology, 4(5). https://doi.org/10.25236/ijfs.2022.040514
Alhajji, M. (2023). An examination of the connections between visual communication and pop culture. Migration Letters, 20(S12), 109-130. https://doi.org/10.59670/ml.v20is12.5844
Chatterjee, S. (2023). Vizualizing branding: metamorphosis of advertising, visual strategies and their cultural significance. Vista, (12), e023014. https://doi.org/10.21814/vista.4891
Estrada, F. and Davis, L. (2014). Improving visual communication of science through the incorporation of graphic design theories and practices into science communication. Science Communication, 37(1), 140-148. https://doi.org/10.1177/1075547014562914
Hu, Y. and Chai, X. (2012). Reflection about popular culture in the context of visual communication. Advanced Materials Research, 433-440, 5390-5395. https://doi.org/10.4028/www.scientific.net/amr.433-440.5390
Jarreau, P., Su, L., Chiang, E., Bennett, S., Zhang, J., Ferguson, M., … & Algarra, D. (2021). Covid issue: visual narratives about covid-19 improve message accessibility, self-efficacy, and health precautions. Frontiers in Communication, 6. https://doi.org/10.3389/fcomm.2021.712658
Murchie, K. and Diomede, D. (2020). Fundamentals of graphic design—essential tools for effective visual science communication. Facets, 5(1), 409-422. https://doi.org/10.1139/facets-2018-0049
Rose, G. (2014). On the relation between ‘visual research methods’ and contemporary visual culture. The Sociological Review, 62(1), 24-46. https://doi.org/10.1111/1467-954x.12109
Yudhanto, S. (2023). Cultural and communication approaches in the design of visual communication design works. jolcc, 1(1), 79-90. https://doi.org/10.61320/jolcc.v1i1.79-90

Categories
Uncategorized

Ressentiment, Self-Sabotage and the dark side of Gen-Z

Mengakhiri tahun 2024 dan memulai 2025, selain urusan revisi disertasi menuju sidang terbuka (pheew ..), saya mulai aktif membimbing dan menguji mahasiswa tingkat akhir di SC-UMN. Pengalaman pertama (indeed!) membimbing dan menguji mahasiswa inilah yang menjadi dasar empiris dari postingan ini. Meskipun dari segi jumlah tidak cukup banyak mahasiswa yang saya bimbing (hanya 4 orang saja) tapi mekanisme bimbingan yang super ketat (minimal 8 kali untuk syarat maju sidang, unlike …) ternyata cukup merepotkan saya, bahkan sampai mengorbankan quality time saya dengan keluarga pada saat liburan akhir tahun/cuti awal tahun. Hal ini masih ditambah dengan peran sebagai penguji dan ketua sidang atas sejumlah jadwal ujian magang, skripsi (reguler) dan TA (MBKM Humanity Project) yang cukup banyak dalam kurun waktu sekitar 10 hari (8-17 Jan 2025).

Membimbing secara intensif dan memeriksa laporan magang/skripsi/TA dari sejumlah mahasiswa tingkat akhir SC, all of them are Gen-Z, saya mendapatkan beberapa kesan yang positif maupun negatif. Tanpa masuk ke dalam detil cerita dan pengalaman, ada tiga karakteristik yang cukup dominan saya kenali dari Gen Z ini yaitu prokrastinasi, kurangnya ketelitian dalam format tulisan akademis (too much typos and other stuff!) dan serta lemahnya daya imajinasi dan keberanian untuk melampaui thoughts pattern dan template penulisan yang sudah ditetapkan (kampus). Meskipun tiga hal ini belum merangkum semua hasil amatan dan pengalaman interaksi saya dengan mereka, tapi inilah karakteristik tipikal dari Gen Z yang saya jumpai yang kemudian saya refleksikan lebih jauh.

Bukan kebetulan kalau reading list saya pada Januari 2025 adalah karya Jordan B. Peterson, seorang public intellectual, psikolog klinis, penulis, dan motivator handal dari Kanada. [Lih. https://www.jordanbpeterson.com/] . Dua dari sejumlah buku yang ditulisnya adalah 12 Rules for Life (2018) dan Beyond Order (2021).

Secara lebih spesifik, order and chaos merupakan life’s pattern dan leitmotif yang ditonjolkan Peterson dalam 12 Rules, sementara mekanisme coping and meaning-bestowing dalam sejumlah gugus setting dan pengalaman manusia (Barat) sehari-hari merupakan highlight yang saya tangkap dari Beyond Order. Satu hal yang cukup menarik perhatian saya dari buku terakhir ini adalah passage tentang ressentiment yang tercantum dalam Rule VI, Abandon Ideology.

Bagi Peterson (2021), “Ressentiment—hostile resentment—occurs when individual failure or insufficient status is blamed both on the system within which that failure or lowly status occurs and then, most particularly, on the people who have achieved success and high status within that system. The former, the system, is deemed by fiat to be unjust. The successful are deemed exploitative and corrupt, as they can be logically read as undeserving beneficiaries, as well as the voluntary, conscious, self-serving, and immoral supporters, if the system is unjust. Once this causal chain of thought has been accepted, all attacks on the successful can be construed as morally justified attempts at establishing justice—rather than, say, manifestations of envy and covetousness that might have traditionally been defined as shameful.”

Guna menajamkan kualitas pemahaman dan refleksi saya atas pengalaman empiris di atas, juga insight konseptual filosofis yang saya peroleh dari bacaan, saya nge-prompt ChatGPT dan hasilnya adalah paparan yang sangat menarik berikut ini:

Prompt: What is the difference between ressentiment (a term coined by Friedrich Nietzsche in On the Genealogy of Morals, 1887; popularized once again by Jordan B. Peterson in Beyond Order: 12 More Rules for Life, 2021) and self -sabotage in popular psychology? How to apply these two terms as complementary rather than antagonizing to describe the current malaise of post-COVID society, especially in terms of typical Gen Z characteristics of shirking responsibilities at work and playing victim rather than self-improving themselves? Give me some balanced and insightful answers to share in a class of freshmen in a private university located in Banten, Indonesia!

ChatGPT answers:

To explain the concepts of ressentiment and self-sabotage, and how they might be understood as complementary in the context of the post-COVID malaise in Gen Z, we can start by clarifying their meanings and then explore how they relate to the behaviors you’ve mentioned. I will also make sure the explanation is balanced and relevant to your audience—freshmen at a private university in Banten, Indonesia.

1. Ressentiment (Nietzsche and Peterson)
(a) Ressentiment is a term first used by the philosopher Friedrich Nietzsche. It refers to a psychological state that arises from a sense of powerlessness or frustration, typically experienced by individuals who feel oppressed, rejected, or inferior. Rather than confronting these feelings directly or seeking personal improvement, individuals with ressentiment often resent others (often those who are more successful or powerful) and create narratives of victimhood. These narratives allow them to feel morally superior by portraying themselves as victims of society or circumstances. Nietzsche viewed ressentiment as a sign of weakness, where instead of transforming frustration into strength or action, the individual projects their own inadequacies onto others.

(b) In Jordan Peterson’s interpretation (especially in Beyond Order), ressentiment is viewed as a toxic emotion that holds people back from genuine self-improvement. It can lead to self-pity, anger, and the construction of an enemy image of others who are perceived as more successful, leading to bitterness and, eventually, stagnation. Peterson emphasizes that this attitude prevents people from facing their own flaws and pursuing growth because they remain focused on external factors (other people, society) instead of internal change.

2. Self-Sabotage in Popular Psychology
(a). Self-sabotage is a more widely discussed concept in popular psychology. It refers to behaviors that undermine one’s own success or well-being, typically unconsciously. This can include procrastination, setting unrealistic goals, fear of failure, or even engaging in negative thinking patterns that create barriers to personal achievement. The key aspect of self-sabotage is that individuals actively or passively undermine their own progress—often as a result of deep-seated fears, insecurities, or a lack of self-worth.
(b) In the case of Gen Z (or any generation), self-sabotage might be reflected in behaviors such as avoiding responsibilities at work, procrastinating, or using distractions like social media instead of focusing on personal goals. It could also manifest as fear of failure, where individuals sabotage their potential by not even trying, because they are afraid they won’t succeed. Popular psychology often suggests that overcoming self-sabotage requires developing self-awareness, building healthy habits, and confronting underlying fears.

3. Ressentiment and Self-Sabotage: Complementary Concepts
Now, let’s look at how ressentiment and self-sabotage can be seen as complementary rather than antagonistic in describing the current malaise in post-COVID society, especially with respect to Gen Z’s characteristics.

The Post-COVID Malaise:
Post-COVID society has been marked by economic disruptions, mental health challenges, and shifts in work culture. Gen Z, who entered the workforce during or after the pandemic, often faces high levels of uncertainty and pressure. There is a noticeable trend where many young people seem to shirk responsibilities at work, avoid taking accountability, and sometimes adopt a victim mentality—believing that the world or external circumstances are simply stacked against them.
Ressentiment can explain part of this phenomenon. As Gen Z navigates the post-pandemic world, some individuals may feel resentful of societal structures that they perceive as unfair or oppressive. They may feel disillusioned by the hardships they’ve faced, such as educational disruptions, job insecurity, or social inequality.

Rather than taking proactive steps to improve their situation, they might adopt a victim mentality that fuels feelings of anger, frustration, and a desire to blame others for their struggles. In this way, ressentiment can create a narrative of powerlessness, which makes it harder for individuals to take responsibility for their own lives and seek improvement.

Self-sabotage, in this context, can be seen as a psychological defense mechanism stemming from those same feelings of resentment and powerlessness. If an individual feels that success is impossible due to systemic forces, they may unconsciously sabotage their own efforts as a way of protecting themselves from disappointment or further failure. For instance, a Gen Z employee might procrastinate on work or avoid taking on more challenging tasks because they believe their efforts won’t matter or will be thwarted by external factors. They may undermine their own success because they feel it is futile to try.

Connecting Ressentiment and Self-Sabotage:
The complementary nature of these two concepts lies in their interaction: Ressentiment creates a mindset of victimhood and external blame, which feeds into a sense of learned helplessness. If you believe that external circumstances or societal structures are holding you back, then why bother trying to improve? This mindset, in turn, sets the stage for self-sabotage—you avoid taking action or avoid responsibility, because deep down, you feel like any effort will be in vain or that others are somehow more deserving of success.

Self-sabotage becomes a way to reaffirm the narrative of ressentiment. When a person avoids doing the work, procrastinates, or makes excuses, they can point to these failures as proof of their victimhood. They feel justified in their inaction because it aligns with their belief that they have been unfairly treated by the world.

In Gen Z’s case, many are navigating a complex world that seems uncertain, unfair, and full of challenges. The pressures to succeed and be productive are often counterbalanced by feelings of insecurity and frustration. The toxic cycle of ressentiment leading to self-sabotage can create a pervasive malaise where individuals feel trapped in their own inaction, perpetuating a sense of helplessness and disengagement.

4. A Balanced Approach for Self-Improvement:
For your class of freshmen, it’s important to understand that both ressentiment and self-sabotage are natural human responses to adversity. However, these mindsets can be overcome through intentional reflection and action.
Breaking free from ressentiment involves acknowledging your frustrations and feelings of powerlessness but choosing to focus on what you can control—your actions, decisions, and mindset. This means moving from a victim mentality to an empowered one, where you take responsibility for your own growth, even in difficult circumstances.
Overcoming self-sabotage requires recognizing the patterns of behavior that hinder your progress, such as procrastination, self-doubt, or fear of failure. It’s about replacing avoidance with small, manageable steps that build confidence and a sense of accomplishment over time.

By understanding these dynamics as complementary forces, we can see that emotional resilience and self-discipline are essential for overcoming the challenges faced by Gen Z in the post-COVID world. Instead of feeling powerless or acting in ways that hinder success, individuals can work toward empowerment through a combination of internal reflection (addressing ressentiment) and external action (overcoming self-sabotage).

In conclusion, ressentiment and self-sabotage are intertwined in a cycle of frustration, victimhood, and inaction. However, by recognizing these behaviors, young people—especially Gen Z—can choose to break free from this cycle. Emotional authenticity, acknowledging frustrations without becoming trapped by them, and taking proactive steps toward self-improvement can be powerful tools in navigating the challenges of a post-pandemic world.

Semoga serpih refleksi di atas bermanfaat!