Categories
Uncategorized

Mengenali dan mengakrabi Akal Imitasi (AI) sebagai “Superagency”

Ringkasan buku Superagency: What Could Possibly Go Right with Our AI Future karya Reid Hoffman & Greg Beato (Authors Equity, Januari 2025)

Cover buku:

Buku “Superagency: What Could Possibly Go Right with Our AI Future” menyoroti potensi besar kecerdasan buatan (AI) dalam memperluas kemampuan manusia dan meningkatkan kualitas hidup.

Berikut adalah ringkasan yang lebih mendalam dari buku tersebut:

1. Mendukung Kesehatan Mental untuk Jutaan Orang
AI memiliki potensi besar dalam menyediakan dukungan kesehatan mental yang personal dan terjangkau. Dengan AI, setiap orang dapat mengakses bantuan terapeutik yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, seperti memiliki tutor pribadi yang sangat kompeten. Hal ini dapat mengurangi masalah kesehatan mental yang semakin meningkat, seperti tingginya angka bunuh diri dan kekurangan akses layanan kesehatan mental.

AI dapat menganalisis jutaan interaksi terapi untuk memahami pendekatan mana yang paling efektif untuk berbagai orang. Ini berbeda dengan aplikasi kesehatan mental saat ini yang sering kali terasa mekanik dan impersonal. Dengan AI, pengguna dapat menerima dukungan yang lebih nuansial dan kontekstual, sesuai dengan kebutuhan dan situasi mereka.

2. AI belajar dari teknologi mobil: Batas Kecepatan pada Kemajuan
Seperti teknologi lain sebelumnya, AI juga menghadapi kekhawatiran tentang dampaknya. Namun, sejarah mengajarkan kita bahwa inovasi yang terus menerus dan pengujian nyata lebih efektif daripada regulasi yang terlalu ketat. Contohnya, mobil yang awalnya dianggap berbahaya, tetapi melalui inovasi dan pengujian, mobil menjadi lebih aman dan memiliki dampak transformasi besar.

Pendekatan ini, yang disebut “inovasi tanpa izin,” memungkinkan teknologi baru untuk berkembang melalui iterasi cepat dan pengujian nyata. Ini memungkinkan kita untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki masalah dengan cepat. Dengan demikian, AI dapat menjadi lebih aman dan bermanfaat bagi masyarakat.

3. Regulasi sebagai perluasan kebebasan individu: Memandu Kemajuan dengan Pembatas
Regulasi yang baik bukanlah hal yang membatasi, tetapi justru dapat memperluas kebebasan individu. Seperti aturan lalu lintas yang membuat perjalanan lebih aman dan nyaman, regulasi AI juga dapat membuat teknologi ini lebih aman dan bermanfaat bagi semua orang. Contohnya, sistem pelacakan kontak yang transparan di Korea Selatan selama pandemi COVID-19 membuktikan bahwa AI dapat memperluas kebebasan individu dengan cara yang aman.

Regulasi seperti sertifikasi dan sistem keamanan baru dapat membantu mencegah penyalahgunaan AI dan membuat teknologi ini lebih dipercaya oleh masyarakat. Ini akan memungkinkan lebih banyak orang untuk mengadopsi AI dan memanfaatkan potensinya secara penuh.

4. AI membantu menavigasi informasi yang kompleks untuk keperluan masyarakat
AI dapat membantu kita menavigasi informasi yang kompleks, seperti GPS yang membantu kita menemukan jalan. AI dapat membuat informasi lebih mudah diakses dan dipahami oleh semua orang, terutama mereka yang sebelumnya tidak memiliki akses ke keahlian tertentu. Ini dapat mengubah cara kita belajar dan bekerja.

Contohnya, AI dapat membantu siswa dengan disleksia mengubah buku teks menjadi format audio yang lebih mudah dipahami. AI juga dapat membantu imigran baru memahami dokumen hukum dalam bahasa mereka sendiri. Dengan AI, informasi dapat disesuaikan dengan gaya belajar, latar belakang budaya, dan minat pribadi pengguna.

5. AI dapat membantu penguatan institusi demokrasi
AI juga dapat memperkuat institusi demokrasi dengan memperluas partisipasi warga. Contohnya, platform Polis di Taiwan membantu mengidentifikasi konsensus dalam debat publik dan membuat kebijakan yang didukung secara luas. [Lihat beritanya di sini https://www.nytimes.com/2019/10/15/opinion/taiwan-digital-democracy.html dan di sini: https://www.technologyreview.com/2018/08/21/240284/the-simple-but-ingenious-system-taiwan-uses-to-crowdsource-its-laws/] Hal ini menunjukkan bahwa AI dapat menjadi alat untuk memperkuat suara warga dalam pembuatan kebijakan.

Dengan AI, pemerintah dapat menyediakan layanan publik yang lebih efisien dan responsif. Contohnya, Korea Selatan sedang mengonsolidasikan ribuan layanan publik menjadi satu portal AI
[AI Basic Act: https://likms.assembly.go.kr/bill/billDetail.do?billId=PRC_R2V4H1W1T2K5M1O6E4Q9T0V7Q9S0U0; Lihat beritanya di sini: https://iapp.org/news/a/south-korea-s-ai-basic-act-puts-another-ai-governance-regulation-on-the-map
dan di sini: https://babl.ai/south-korea-unveils-unified-ai-act/] yang dapat memberi tahu warga tentang manfaat yang mereka dapatkan. Ini akan membuat interaksi antara pemerintah dan warga lebih lancar dan efisien.

6. Kesimpulan Akhir
AI bukanlah teknologi yang harus ditakuti, tetapi justru kesempatan besar untuk memperluas potensi manusia. Dengan mengelola risiko dan memanfaatkan potensinya, AI dapat membantu kita mencapai “superagency” – peningkatan dramatis kemampuan individu.

Buku “Superagency” mengajak pembaca untuk melihat dan mengakrabi Akal Imitasi sebagai peluang, bukan ancaman.

Dengan pendekatan inovasi yang hati-hati dan regulasi yang tepat, kita dapat menghadapi masa depan dengan kepercayaan diri dan optimisme.

Akal Imitasi dapat membantu kita menjadi lebih manusiawi, bukan hanya lebih maju secara teknologi.

Berdasarkan ringkasan buku “Superagency” yang dibuat tim Blinkist
https://www.blinkist.com/en/reader/books/superagency-en?play=1

yang kemudian disarikan lebih jauh oleh GenAI “Le Chat” berikut ini:
https://chat.mistral.ai/chat/1be6695f-a8fa-4339-b7ac-710100c47d35

Sebagian kecil (600 kata) versi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari Introduction “Superagency” yang dapat diakses di https://www.amazon.com/Superagency-Could-Possibly-Right-Future-ebook/dp/B0D886ZQHY?asin=B0D886ZQHY&revisionId=eb0f7f8d&format=1&depth=1 dilakukan oleh https://www.superai.id/?room_id=2tkY66Pgp6I9nMMsR9ywa9fe_xyz

Sebagian terjemahan tersebut saya reproduksikan di sini untuk keperluan pembaca membandingkan resume bukunya dengan “kelugasan” bagian Pengantar buku ini.

Tentu saja copyrights tetap melekat pada penulis buku ini (Reid Hoffman dan Greg Beato, 2025)

INTRODUCTION

Sepanjang sejarah, teknologi baru secara teratur memicu visi tentang dehumanisasi yang akan datang dan keruntuhan masyarakat. Mesin cetak, alat tenun bertenaga, telepon, kamera, dan mobil semua menghadapi skeptisisme yang signifikan dan kadang-kadang bahkan penolakan yang keras dalam perjalanan mereka untuk menjadi bagian penting dari kehidupan modern.

Para peramal bencana abad kelima belas berpendapat bahwa mesin cetak akan secara dramatis mengganggu stabilitas masyarakat dengan memungkinkan heresi dan informasi yang salah, serta merongrong otoritas para rohaniwan dan cendekiawan. Telepon digambarkan sebagai perangkat yang dapat menggantikan keintiman kunjungan langsung dan juga membuat teman-teman terlalu transparan satu sama lain. Pada dekade awal kebangkitan mobil, para kritikus mengklaim bahwa mobil menghancurkan kehidupan keluarga, dengan pria lajang memilih untuk menabung untuk Model T daripada menikah dan memiliki anak, dan pria yang sudah menikah memilih perceraian untuk melarikan diri dari tekanan konsumsi yang diciptakan oleh mobil.

Jenis doom dan gloom yang sama diterapkan pada otomatisasi di seluruh masyarakat pada tahun 1950-an, ketika mesin yang semakin canggih secara dramatis mempengaruhi pabrik dan gedung perkantoran, dengan semua orang mulai dari pembuat roti, pemotong daging, pekerja otomotif, hingga statistik dari Biro Sensus AS melihat jumlah mereka menyusut. Pada tahun 1961, majalah Time melaporkan bahwa para ahli tenaga kerja percaya bahwa tanpa intervensi dari kepentingan bisnis, serikat pekerja, dan pemerintah, otomatisasi akan terus meningkatkan jumlah “pengangguran permanen.” Pada pertengahan 1960-an, subkomite kongres secara teratur mengadakan sidang mengenai potensi ancaman komputer mainframe terhadap privasi, kehendak bebas, dan kapasitas warga biasa untuk menjalani kehidupan yang mereka pilih sendiri.

Saat ini, tingkat pengangguran di AS lebih rendah daripada pada tahun 1961. Rata-rata warga AS hidup di dunia di mana PC, internet, dan smartphone telah membawa era baru individualisme dan penentuan nasib sendiri, bukan kepatuhan otoriter yang menghancurkan atau akhir dari kemanusiaan. Namun, dengan munculnya dan evolusi berkelanjutan dari AI yang sangat mampu, bukan hanya ketakutan yang familiar tentang teknologi yang tetap ada; mereka semakin berkembang.

Bahkan di antara para pengembang AI, beberapa percaya bahwa kejadian AI superintelligent di masa depan dapat mewakili ancaman tingkat kepunahan bagi umat manusia. Yang lain menunjukkan bahwa, setidaknya, manusia yang bertindak dengan niat jahat akan dapat menggunakan AI untuk menciptakan kerusakan yang katastropik jauh sebelum mesin itu sendiri melancarkan perang sepihak melawan umat manusia. Kekhawatiran tambahan termasuk penggantian pekerjaan yang masif, ketidakberdayaan manusia total, dan dunia di mana sekelompok kecil elit teknologi menangkap manfaat apa pun, jika ada, yang dihasilkan oleh AI.

Peringatan kiamat kali ini berbeda, kata para pengamat ini, karena teknologi itu sendiri berbeda kali ini. AI sudah dapat mensimulasikan aspek-aspek inti dari kecerdasan manusia. Banyak peneliti percaya bahwa AI akan segera mencapai kapasitas untuk bertindak dengan otonomi yang lengkap dan sangat mampu, dengan cara yang tidak sejalan dengan nilai atau niat manusia.

Robot dan jenis sistem cerdas lainnya telah lama ada dalam novel fiksi ilmiah, buku komik, dan film sebagai doppelganger dan lawan gelap kita. Jadi, saat AI mutakhir saat ini berbicara seperti mahasiswa pascasarjana yang baik hati tetapi dingin dan rasional, adalah hal yang wajar untuk melihat pertanda HAL dari 2001: A Space Odyssey, atau Borg dari Star Trek, atau, dalam bentuk yang kurang sadar diri dan lebih mengancam, robot pembunuh tanpa henti dari The Terminator. Narasi-narasi ini telah membentuk visi terburuk kita tentang masa depan selama waktu yang sangat lama.

Tetapi apakah mereka adalah narasi yang tepat? Masa depan terkenal sulit untuk diprediksi dengan akurat—baik bagi para pesimis maupun optimis. Kita tidak mendapatkan pengangguran massal permanen yang diperkirakan oleh para ahli tenaga kerja pada awal 1960-an; juga kita tidak mendapatkan The Jetsons dan mobil terbangnya—setidaknya belum.

Sebanyak mungkin sulit untuk memprediksi masa depan dengan akurat, lebih sulit lagi untuk menghentikannya. Dunia terus berubah. Mencoba menghentikan sejarah dengan mengukuhkan status quo—melalui larangan, jeda, dan upaya lain untuk mengelola siapa yang boleh melakukan apa—tidak akan membantu kita sebagai manusia untuk menghadapi tantangan atau peluang yang dihadirkan oleh AI.

Categories
Uncategorized

Etika Siber dan Virtual dalam Terang Etika Informasi: Sebuah Pengantar

Dr. (Cand.) Hendar Putranto, M. Hum.

disampaikan dalam kuliah Etika Komunikasi Strategis sesi ke-10
untuk mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM), FIKOM-UMN, Batch 7
Selasa, 26 November 2024, 18.30-21.00 WIB
via Zoom meeting

Pendahuluan

Semester pertama di program Magister Ilmu Komunikasi FIKOM UMN tentu menjadi momen penting untuk mengejar nilai yang baik. “Mengejar nilai” merupakan salah satu tujuan dari sebuah pengalaman akademis yang lumrah terjadi dalam lingkungan pendidikan tinggi, tidak hanya di tingkat S1, tapi juga di level S2 maupun S3. Hal ini wajar dan memang layak untuk diupayakan. Sebagaimana teman-teman dahulu sudah pernah mengalami studi pada jenjang S1, semester pertama pada jenjang S2 juga biasanya menjadi saat dan kesempatan untuk memahami model soal ujian sekaligus beradaptasi dengan dosen pengampu dan sistem perkuliahan. Mari kita mulai materi ini dengan lebih interaktif. Jika ada pertanyaan, silakan langsung disampaikan tanpa menunggu hingga saya menyelesaikan presentasi.

Struktur Materi
Materi perkuliahan hari ini akan saya bagi menjadi beberapa salindia. Kita akan mulai dengan titik tolak analisis etika, dilanjutkan dengan definisi awal tentang etika siber dan etika sosial media. Selanjutnya, saya akan membahas klaster refleksi etis terkait SNS (social networking sites) dan tiga faktor pembeda. Paparan akan diakhiri dengan resume atau rangkuman.

Titik Tolak Analisis Etika
Analisis etika dapat dimulai dari berbagai sumber, seperti pengalaman pribadi, literature review, tradisi akademis, atau fakta empiris seperti berita dan data. Tidak ada satu titik berangkat yang tetap dan dianggap mutlak untuk memulai sebuah kajian etika. Sebagai contoh, pengalaman sehari-hari, seperti percakapan saya dengan penjual nasi uduk tadi pagi, itu pun dapat menjadi bahan analisis etika.

Pengalaman perjumpaan dan percakapan secara langsung (face to face interaction) dengan orang-orang sederhana dalam ordinary and everyday setting justru kaya akan nilai, pertukaran makna, serta dapat digunakan sebagai titik berangkat untuk memahami etika komunikasi. Termasuk juga perjumpaan dan interaksi kita dalam ruang-ruang yang termediasi secara digital seperti WhatsApp, Zoom & IG.

Titik Tolak Analisis Etika: Percakapan dengan Tukang Nasi Uduk
Analisis etika tidak selalu harus dimulai dari teori atau literatur yang kompleks. Seringkali, pengalaman sehari-hari yang sederhana dapat menjadi titik tolak yang kaya untuk memahami nilai-nilai etis. Salah satu contoh yang saya alami adalah percakapan dengan seorang tukang nasi uduk pagi itu. Saat itu, saya sedang mengantre untuk membeli nasi uduk sebagai sarapan sebelum mengantar istri ke tempat kerjanya. Ketika istri saya bertanya, “Pinten sedoyo?” (Berapa semuanya?) dalam bahasa Jawa halus, si tukang nasi uduk menjawab dengan bahasa Jawa yang kasar, “Tigang doso, Bu.” (Tiga ribu, Bu). Namun, yang menarik adalah kalimat penyertanya: “Maaf ya, Bu, bahasa Jawa saya kasar. Saya asli Solo, tapi lama tinggal di Padang.”

Percakapan singkat ini sedikit banyak membuka wawasan tentang identitas, budaya, dan cara berkomunikasi. Tukang nasi uduk tersebut, meskipun berasal dari Solo (yang dikenal dengan tuturan menggunakan bahasa Jawa halus), telah lama tinggal di Padang, Sumatera Barat, yang mungkin memengaruhi cara bicaranya. Hal ini menunjukkan bagaimana latar belakang budaya dan pengalaman hidup seseorang dapat membentuk cara mereka berinteraksi dan berkomunikasi.
Pengalaman ini tidak hanya sekadar cerita biasa, tetapi juga dapat menjadi bahan refleksi etis. Misalnya, bagaimana kita memahami “kesopanan” dalam komunikasi? Apakah bahasa kasar selalu tidak etis, atau ada konteks tertentu yang membuatnya dapat diterima? Bagaimana kita menghargai perbedaan budaya dalam berkomunikasi, terutama di ruang virtual yang seringkali menghilangkan semantisasi dari unsur dan nuansa nonverbal communication?

Pendekatan Literatur Review
Yang dimaksud dengan pendekatan literatur review dalam kajian etika adalah bahwa analisis etika dimulai dari teks atau bacaan. Salah satu kerangka macro-ethics dalam khazanah Etika (dunia) Barat yang relevan dibahas pada hari ini adalah information ethics, yang diusung oleh Luciano Floridi sejak 1996 sampai sekarang. Information ethics dianggap mampu memayungi dan memiliki daya heuristik untuk menjelaskan sub-kajian etika yang sifatnya lebih terapan (applied ethics) seperti cyber ethics, social media ethics, computer ethics, virtual ethics, bahkan sampai AI ethics.

Information ethics, demikian klaim Floridi (2013), mampu mentransformasi empat paradigma etika makro sebelumnya, seperti virtue ethics dari Aristoteles, deontologi dari Immanuel Kant, utilitarianisme dari JS Mill, dan kontraktualisme dari John Rawls.

Analisis singkat tentang Etika Informasi dari Floridi
Dalam Ethics of Information (2013), Floridi mengkritik empat paradigma etika makro (virtue ethics, konsekuensialisme, kontraktualisme, dan deontologi) yang dianggap tidak cukup menjelaskan masalah yang muncul di era internet. Menurutnya, information ethics lebih fundamental karena memandang “being” (ada) sebagai informasi. Dalam konteks pemahaman Floridi, informasi cenderung menuju entropi atau kekacauan, sesuai dengan hukum termodinamika kedua.

Floridi berargumen bahwa pada era digital, informasi menjadi entitas sentral yang mendefinisikan realitas (disebutnya sebagai Infosphere). Ia menekankan bahwa etika informasi tidak hanya tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu sendiri membentuk keberadaan (being) dan realitas. Pokok ini menjadi relevan ketika kita membahas etika ruang siber dan virtual, yang di dalamnya informasi dianggap sebagai inti dari semua interaksi.

Mengapa etika informasi penting untuk memahami etika siber dan virtual?
Ketika membahas etika siber dan virtual, juga etika media sosial, kita tidak dapat melepaskan diri dari peran informasi sebagai pondasi utamanya. Ruang siber dan virtual adalah ruang yang dibangun oleh aliran informasi, dan media sosial adalah platform yang memfasilitasi produksi, distribusi, serta konsumsi informasi. Floridi menawarkan perspektif bahwa etika informasi adalah kerangka yang tepat untuk memahami kompleksitas ini.

Ia menggarisbawahi pandangan yang menyatakan bahwa informasi tidak hanya bersifat netral, tetapi juga memiliki dampak moral. Misalnya, penyebaran informasi palsu (hoax) di media sosial tidak hanya merugikan individu, tetapi juga mengganggu tatanan sosial. Dengan memahami etika informasi, kita dapat mengidentifikasi bagaimana informasi digunakan, disalahgunakan, atau dimanipulasi dalam ruang siber dan virtual.

Diskusi dan Pertanyaan
Sampai di sini, apakah teman-teman sekalian sudah memahami landasan etis mengapa information ethics dipilih sebagai paradigma macro-ethics terkini untuk menjelaskan fenomena digitalitas? Mari kita lanjutkan dengan diskusi dan pertanyaan sebelum bertolak ke bagian berikutnya.

Categories
Uncategorized

[film analysis & interpretation] La Bête AKA The Beast (2023) [02]

Pembacaan Nietzschean Beyond Good and Evil dari film La Bête (2023) karya sutradara Bertrand Bonello
Bagian 02 dari 02

Sebuah contoh membaca dan menafsirkan film La Bête (The Beast, 2023) dengan menggunakan lensa filosofis Jenseits von Gut und Böse (Beyond Good and Evil) dari Friedrich Nietzsche (1886).


image source: https://www.gutenberg.org/ebooks/7204

Pertama-tama kita perlu memahami kritik Nietzsche terhadap moralitas tradisional, eksplorasi filosofisnya tentang sifat dasar manusia, dan ide utamanya mengenai kehendak untuk berkuasa, keberulangan yang abadi, dan Übermensch (Manusia Adi). Konsep-konsep Nietzschean ini dapat diterapkan pada unsur-unsur simbolis yang terdapat dalam The Beast, seperti merpati, api dan banjir, boneka-boneka, lagu Evergreen, klub, AI, dan pemurnian, serta hubungan antara Gabrielle dan Louis (dua karakter utama dalam The Beast).

Berikut uraian ringkas bagaimana pembacaan atas filsafat Nietzsche dalam Jenseits von Gut und Böse dapat menerangi simbolisme dalam The Beast.

Nietzsche’s Jenseits von Gut und Böse dan Simbolisme The Beast

1. Melampaui Moralitas Tradisional: Merpati dan Boneka

Dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche menantang kategorisasi oposisi biner yang baik dan jahat, dengan menyatakan bahwa moralitas tradisional adalah sebuah konstruksi yang justru menekan potensi manusia.

Dalam The Beast, merpati dan boneka dapat ditafsirkan sebagai simbol dualitas moral sekaligus keterbatasannya. Merpati cukup sering diasosiasikan dengan kedamaian dan kepolosan. Ia mewakili sisi “baik” yang diidealkan dari manusia yang juga didambakan masyarakat. Namun, Nietzsche berpendapat bahwa idealisasi ini adalah sebentuk kontrol, cara untuk menekan aspek yang lebih gelap dan lebih kompleks dari sifat manusia. Hubungan Gabrielle dengan merpati bisa jadi melambangkan perjuangannya untuk menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat akan kemurnian dan kebaikan, bahkan ketika emosi dan keinginannya yang lebih dalam menolak penyederhanaan ini.

Sebaliknya, boneka mewakili kepura-puraan konstruksi moral. Boneka (dan ada banyak boneka dalam film ini, khususnya pada setting di Paris, 1910; boneka teknologi media sosial dan industri kosmetik/modelling pada 2014, serta boneka AI pada 2044) itu tidak bernyawa, gampang dikendalikan, dan tidak memiliki emosi yang tulus, sama seperti norma-norma masyarakat ‘tradisional’ yang dikritik Nietzsche. Interaksi Gabrielle dengan boneka-boneka tersebut melambangkan konfrontasinya dengan artifisialitas dunia yang berusaha mereduksi manusia menjadi bentuk-bentuk yang dapat diprediksi dan dikendalikan, semacam reifikasi idealitas moral menjadi instrumen kontrol.

Baik merpati maupun boneka menyimbolkan gagasan Nietzsche bahwa kemanusiaan yang sejati meletak di luar dua pilihan yang sederhana dan cenderung dikotomis (binary opposition) antara baik dan buruk; Ia meletak jauh di lubuk kehendak dan keinginan individu yang serba kacau dan tak terduga, juga meskipun ujung dari kemanusiaan yang sejati itu adalah kematian tragis (terendam banjir dan mengapung di kolam renang setelah ditembak).

2. Kehendak untuk Berkuasa: Api dan Banjir
Konsep Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht) – kekuatan pendorong di balik perilaku manusia – dapat dilihat dalam simbol “api dan banjir.” Kedua unsur alam ini mewakili kehancuran dan pembaruan, kekacauan dan penciptaan, yang mencerminkan sifat dinamis dan sering kali kejam dari kehendak untuk berkuasa.

Api melambangkan gairah, kehancuran, dan transformasi; kekuatan yang tidak dapat dikendalikan, seperti halnya kehendak manusia. Dalam The Beast, api dapat mewakili gejolak batin Gabrielle dan penolakannya untuk dimurnikan atau dikendalikan oleh teknologi. Emosinya, seperti api, bersifat destruktif tapi juga memurnikan dalam arti membakar batasan-batasan artifisial yang dipaksakan masyarakat aristokratik (1910), masyarakat yang serba terhubung secara digital lewat media sosial tapi mengalami kesepian akut (2014), dan masyarakat yang dingin serba terkendali algoritma Akal Imitasi (2044).

Banjir, di sisi lain, melambangkan kekuatan yang luar biasa dan keniscayaan perubahan. Air dalam jumlah yang besar dan tidak terkendali (banjir) mewakili aspek-aspek tak terkendali dari sifat manusia yang tidak dapat dibendung baik oleh rasionalitas maupun teknologi. Banjir juga dapat melambangkan kembalinya emosi yang tertekan yang menyapu bersih ilusi kontrol dan keteraturan.

Melalui simbol api dan air (banjir), The Beast mengeksplorasi gagasan Nietzsche bahwa sifat alami manusia didorong oleh kehendak untuk berkuasa yang menentang rasionalisasi dan kontrol. Kegagalan Gabrielle untuk dimurnikan adalah bukti dari kekuatan yang tak tergoyahkan dalam dirinya yang berasal dari kehendak buta sebagai panglimanya dan emosi kesedihan sebagai bala tentaranya.

3. Pengulangan Abadi dan Lagu Abadi
Konsep Nietzsche tentang pengulangan abadi (Ewige Wiederkunft), gagasan bahwa kehidupan berulang tanpa batas, beresonansi kuat dengan penggambaran film ini tentang hubungan Gabrielle dan Louis pada berbagai periode waktu yang berbeda. Lagu Evergreen, sebuah motif yang berulang, melambangkan sifat abadi dari hubungan mereka dan sifat siklus pengalaman manusia.

Lagu ini mewakili kegigihan emosi dan ingatan melintasi waktu, menggemakan gagasan Nietzsche bahwa pengalaman dan hubungan tertentu bersifat abadi. Ikatan Gabrielle dan Louis, yang berulang di era yang berbeda, menunjukkan bahwa cinta mereka tidak terikat oleh waktu linier tetapi ada dalam keadaan berulang yang abadi.

Sifat siklis ini juga mencerminkan tantangan Nietzsche untuk merangkul kehidupan dalam semua pengulangannya, untuk menemukan makna dalam kembalinya hal yang sama secara abadi. Perjuangan Gabrielle untuk mendamaikan emosinya dengan tuntutan masa depan yang dystopian dapat dilihat sebagai perjuangan untuk mengafirmasi kehidupan dalam menghadapi pengulangan yang tak terelakkan.

4. Sang Übermensch dan Akal Imitasi (AI)
Konsep Nietzsche tentang Übermensch (Manusia Adi atau manusia super)-makhluk yang melampaui norma-norma masyarakat dan menciptakan nilai-nilai mereka sendiri-dapat diterapkan pada eksplorasi film ini tentang Akal Imitasi dan pemurnian.

AI mewakili ekspresi tertinggi dari kontrol masyarakat dan penindasan individualitas. AI berusaha menggantikan emosi manusia dengan rasionalitas dan algoritma, yang merupakan antitesis dari Übermensch. Proses pemurnian, yang bertujuan untuk menghapus rasa takut dan emosi, merupakan bentuk pengkondisian masyarakat yang dikritik oleh Nietzsche sebagai pengingkaran terhadap kehidupan.

Kegagalan Gabrielle untuk dimurnikan memposisikannya sebagai sosok Übermensch yang potensial menjadi. Penolakannya untuk menyesuaikan diri, pelukan emosinya, dan perlawanannya terhadap kontrol teknologi selaras dengan visi Nietzsche tentang makhluk yang menciptakan nilai-nilai mereka sendiri dan menegaskan kehidupan dengan segala kerumitannya.

5. Amor Fati dan Tragedi Gabrielle
Konsep Nietzsche tentang amor fati (cinta takdir) merupakan hal yang penting untuk memahami kisah tragis Gabrielle. Terlepas dari penderitaan dan kehilangan yang dialaminya, hubungannya yang abadi dengan Louis dan penolakannya untuk dimurnikan menunjukkan penerimaan yang mendalam terhadap nasibnya.

Emosi Gabrielle, meskipun menyakitkan, merupakan bagian integral dari identitasnya. Dengan merangkul mereka, dia mewujudkan gagasan Nietzsche tentang amor fati, menemukan makna dan keindahan dalam penderitaannya daripada berusaha melarikan diri darinya.

Kegagalannya untuk lulus ujian pemurnian bukanlah sebuah kekalahan, melainkan sebuah kemenangan, sebuah penegasan akan kemanusiaannya dan keinginannya untuk berkuasa. Dalam istilah Nietzsche, ia menjadi pahlawan tragis yang menegaskan kehidupan dalam menghadapi penderitaan yang melekat.

Kesimpulan: Wawasan Nietzschean untuk membaca dan memahami The Beast

Melalui lensa Beyond Good and Evil karya Nietzsche, The Beast hadir sebagai eksplorasi mendalam tentang sifat, emosi, dan perlawanan manusia terhadap kontrol. Simbol-simbol dalam film ini-merpati, api dan banjir, boneka, lagu evergreen, kecerdasan buatan, dan pemurnian-mencerminkan kritik Nietzsche terhadap moralitas tradisional, perayaannya terhadap kehendak untuk berkuasa, dan visinya tentang Übermensch. Hubungan Gabrielle dan Louis, yang berulang melintasi ruang dan waktu, mewujudkan perulangan abadi pengalaman manusia dan kekuatan cinta dan emosi yang abadi.

Pada akhirnya, The Beast menantang pembaca dan pemirsa untuk merangkul kekacauan dan kompleksitas sifat manusia, untuk melawan kekuatan yang berusaha mengendalikan atau menghapusnya, dan untuk menegaskan kehidupan dalam semua keindahan dan tragedi. Dengan demikian, hal ini sejalan dengan seruan Nietzsche untuk melampaui kebaikan dan kejahatan, untuk menciptakan nilai-nilai kita sendiri, dan untuk hidup secara otentik di dunia yang sering kali berusaha menyangkal kemanusiaan kita.

Pembacaan Nietzschean terhadap The Beast tidak hanya memperdalam pemahaman kita tentang simbolisme film ini, tetapi juga menyoroti resonansi filosofisnya dengan pertanyaan-pertanyaan abadi tentang identitas, kebebasan, dan kondisi manusia.

Categories
Uncategorized

[film analysis & interpretation] La Bête AKA The Beast (2023)

Pembacaan Nietzschean Beyond Good and Evil dari film La Bête (2023) karya sutradara Bertrand Bonello
Bagian 01 dari 02

Saya menonton film ini secara legal (berbayar) di apps KlikFilm:
https://klikfilm.com/v4/watch/49-5719

Setelah tuntas menontonnya, saya bertanya-tanya, apa makna simbolisme dalam film The Beast (bahasa Prancis: La Bête) — sebuah film drama romantis fiksi imiah tahun 2023 yang disutradarai dan ditulis oleh Bertrand Bonello?

Yang saya maksud dengan simbolisme di sini di antaranya ialah: merpati, api dan banjir, boneka-boneka, lagu Evergreen & Klub dansa, juga masa depan yang dikuasai AI (2044) dan upaya pemurnian DNA manusia untuk mengenyahkan perasaannya dan membuatnya fit for the job & e-nvironment?

Dalam The Beast (2023), simbolisme berperan penting untuk mengeksplorasi tema-tema eksistensial seperti cinta, ketakutan, dampak teknologi pada eksistensi manusia, serta kesepian yang akut.

1. Merpati

Merpati sering kali melambangkan kedamaian, kebebasan, juga kerentanan. Dalam The Beast, merpati mewakili kerapuhan emosi manusia atau hilangnya kepolosan dalam dunia yang didominasi teknologi dan ketakutan. Kehadirannya juga dapat mengisyaratkan kerinduan karakter akan kesederhanaan serta keterhubungannya dengan alam di tengah-tengah realitas distopia.

2. Kebakaran dan Banjir
Api dan air (banjir) adalah simbol klasik dari kehancuran dan pembaruan. Dalam The Beast, keduanya dapat mewakil sifat siklus penderitaan manusia dan keniscayaan akan perubahan. Api dapat melambangkan gairah, kehancuran, atau pemurnian; sementara banjir dapat menandakan emosi yang meluap-uap, kekacauan, atau kekuatan pembersihan. Secara jukstaposisi, keduanya mencerminkan dilema batin yang dihadapi tokoh utama, yaitu Gabrielle Monnier (diperankan oleh aktris berbakat, Léa Seydoux).

3. Boneka
Boneka acapkali melambangkan kepolosan, kendali, atau hal yang tidak biasa (uncanny). Dalam The Beast, keberadaan boneka (baik dalam setting di Paris, 1910 maupun di tahun 2044) mewakili artifisialitas emosi manusia dalam dunia yang digerakkan oleh teknologi atau lunturnya keaslian. Boneka-boneka juga dapat mencerminkan upaya Gabrielle untuk mempertahankan kemurnian kodratiah atau hal yang manusiawi dalam lingkungan yang semakin tidak manusiawi (artifisial). Pada Paris 1910, hidup yang aristokratik; pada masa depan 2044, dunia yang semakin dikendalikan Akal Imitasi.

4. Lagu Evergreen & keberadaan Klub
Lagu evergreen melambangkan keabadian, nostalgia, serta kegigihan emosi khas manusia seperti cinta dan kerinduan. Klub, sebagai latar, mewakil pelarian, hedonisme, atau ruang yang di dalamnya para karakter menghadapi ketakutan dan keinginan mereka. Secara bersama, lagu dan klub (yang berbeda-beda setting tahun/dekade) menyoroti adanya ketegangan antara masa lalu dan masa depan, juga perjuangan Gabrielle untuk menemukan makna di dunia yang fana.

5. Akal Imitasi (AI)
AI dalam The Beast bisa jadi melambangkan dehumanisasi masyarakat, hilangnya individualitas, dan dilema etis atas kemajuan teknologi. Hal ini juga dapat mewakili ketakutan para karakter (khususnya Gabrielle) untuk digantikan atau dikendalikan mesin, serta garis batas yang mengabur antara emosi manusia (alamiah) dan emosi buatan (artifisial).

6. Pemurnian
Pemurnian melambangkan keinginan para karakter untuk membersihkan diri mereka dari rasa takut, rasa
bersalah, atau pengaruh teknologi yang merusak. Pemurnian juga dapat mencerminkan tema yang lebih luas tentang pembaharuan masyarakat atau spiritual (renewal), yang menunjukkan kebutuhan dasariah untuk kembali ke kondisi yang lebih fitriah, otentik, dan manusiawi.

Secara keseluruhan, simbol-simbol ini berpadu menciptakan narasi berlapis yang mengeksplorasi persimpangan antara kemanusiaan, teknologi, dan emosi di masa depan yang distopian. Bonello sepertinya menggunakan simbol-simbol di atas untuk menyelami jiwa para karakter dan memberikan catatan kritis pada pembacaannya atas dunia yang semakin didominasi oleh kecerdasan buatan dan ketidakpastian eksistensial.

Akan tetapi, [spoiler alert], mengapa Gabrielle Monnier gagal melewati tes pemurnian dan merupakan bagian dari 0,7% kegagalan mesin (AI). Apa arti dari kegagalan ini? Apakah “emosi manusia sejatinya terlalu kuat untuk dihapus dan digantikan dengan kontrol dan algoritma”?

Kegagalan Gabrielle Monnier lolos dari tes pemurnian emosi dalam The Beast menjadi momen penting yang memiliki bobot simbolis yang signifikan. Ketidakmampuannya untuk “dimurnikan” dan masuknya Gabrielle ke dalam tingkat kegagalan 0,7% dapat ditafsirkan sebagai representasi gagasan bahwa emosi terlalu kuat untuk dihapus dan digantikan oleh kontrol dan algoritma.

Berikut penafsirannya:

1. Kemenangan Emosi Manusia Atas Kontrol Buatan

Kegagalan Gabrielle lulus tes “pemurnian” menunjukkan bahwa emosinya, khususnya cinta, ketakutan, dan
kerentanannya, jauh tertanam kuat untuk dapat dihapus atau ditekan proses pemurnian yang dijalankan teknologi Akal Imitasi. Hal ini dapat melambangkan ketahanan emosi si karakter serta kegigihannya untuk tidak dikomodifikasi, dikontrol, atau digantikan sistem buatan. Pokok ini sekaligus menggarisbawahi gagasan bahwa ada aspek-aspek kemanusiaan (seperti cinta, hasrat, dan ketakutan eksistensial) yang tidak dapat sepenuhnya dikuantifikasi atau dihilangkan, tidak peduli betapa canggihnya teknologi yang digunakan.

2. Tingkat Kegagalan 0,7% sebagai Simbol Resistensi

Tingkat kegagalan 0,7% mungkin mewakili sebagian kecil manusia yang menolak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat yang digerakkan teknologi Akal Imitasi. Mereka, termasuk Gabrielle, melambangkan ketidaksempurnaan dan kerumitan yang justru menjadi ciri khas manusia. Kegagalan mereka untuk “dimurnikan” bukanlah sebuah kekurangan, melainkan bukti kemanusiaan mereka. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa dalam dunia yang didominasi oleh algoritma dan kontrol AI pun akan selalu ada orang-orang yang menolak dan mempertahankan kedalaman emosi mereka. 🙁

3. Emosi merupakan Kekuatan yang Menantang

Emosi Gabrielle yang kuat, terendam dalam ingatan akan cinta, ketakutan, dan kerinduan, dapat dilihat sebagai bentuk pemberontakannya terhadap dunia yang dingin, logis, dan hampir sepenuhnya terkendali—adegan dalam film yang diwakili proses pemurnian. Kegagalannya untuk lulus ujian “pemurnian” (tidak seperti Louis yang pada akhirnya berhasil), mau menunjukkan pemaknaan bahwa emosi bukanlah kelemahan kodratiah tapi justru kekuatan yang menantang sekaligus menentang penghapusan. Manusia dengan segala kekayaan dan kedalaman emosinya ternyata tidak dapat direduksi menjadi agregat data berkat jalannya algoritma AI.

4. Dampak dari Pemurnian

Kegagalan Gabrielle menimbulkan pertanyaan tentang dampak pemurnian. Apa artinya kehilangan emosi, ingatan, atau kemanusiaan seseorang demi mengejar keamanan, kendali, atau kesempurnaan?
Ketidakmampuannya untuk lulus ujian menunjukkan bahwa proses pemurnian harus dibayar dengan harga yang terlalu mahal yaitu kehilangan hal-hal unik yang membuat kita menjadi manusia yang sesungguhnya. Bonello dalam The Beast mau mengkritik gagasan bahwa upaya menekan emosi bahkan menghapuskannya bukanlah tujuan yang realistis untuk dikejar dan diwujudkan dalam masyarakat yang semakin tergantung pada atau dikendalikan akal imitasi.

5. Kritik terhadap Utopianisme Teknologi

Film ini pada akhirnya mengkritik gagasan utopis kecanggihan teknologi yang di dalamnya kekurangan manusia mau dihapuskan/diberantas seperti rumput liar di taman yang asri. The Beast menunjukkan bahwa dunia yang dikelola AI tidak memiliki hal-hal yang memberi makna insaniah pada kehidupan: cinta, gairah, ketakutan, dan kerentanan. Perlawanan Gabrielle terhadap pemurnian menjadi simbol harapan sekaligus mengingatkan kita bahwa ketidaksempurnaan manusia (dalam tangis dan kerinduan yang tidak kunjung terpenuhi; cinta yang berbalas; kesepian yang terobati, dll.) justru menjadi potensi kekuatannya.

Singkatnya, kegagalan Gabrielle Monnier untuk lulus tes pemurnian mewakili sifat emosi manusia yang tak tergoyahkan dan ketahanannya untuk dihapus atau dikendalikan oleh teknologi. Emosi adalah bagian yang esensial dan tidak dapat direduksi dari arti menjadi manusia (Damasio, 1994; Griffiths, 2004; Nussbaum, 2004; Prinz, 2004; Solomon, 1993; Lewis, Haviland-Jones, & Barrett, 2008; Johnson, 2009; Scarantino, 2018), dan upaya untuk menekan atau menggantinya dengan algoritma dan kontrol rasio apalagi Akal Imitasi, pada akhirnya akan gagal, setidaknya untuk beberapa orang.

Kegagalan ini bukanlah kekalahan untuk diratapi, melainkan kemenangan yang layak dibanggakan: sebuah pengingat akan kekuatan cinta, rasa takut, dan semangat menjadi manusia yang utuh dalam kerapuhannya, menyatu dalam kepingannya, dan tak lekang oleh waktu.

Berikut ditampilkan kutipan dari sejumlah review atas film ini serta tautan untuk mengaksesnya:

The Beast (La Bête, 2023) might be a parable for humanity’s fear of growing irrelevance in an increasingly automated and emotionless world, it might be the inherent fear of being alone. It might be something else entirely. Across The Beast’s 145-minute runtime Bonello digs into the looming ubiquity of AI, the horror (and sadness) of incel culture and the importance of emotion (and music!) while also serving up a lacerating satire of modernity and the direction society is heading (Tom Davidson, 2024)

It’s the fear of love, but it’s okay for me if everyone sees the beast where they want to see it. It’s just the idea of the catastrophe, of something that is stronger than you and will destroy everything (interview with Bonello, echoing Henry James’ novella, The Beast in the Jungle, 1903). Lihat: https://aframe.oscars.org/

Film Reviews on The Beast

https://aframe.oscars.org/news/post/the-beast-bertrand-bonello-interview?source=post_page—–ac8a42e8d280——————————–

https://flixchatter.net/2024/04/26/the-beast-la-bete-2024-review-lea-seydoux-is-undeniably-magnetic-in-this-disconcerting-genre-bending-dystopian-film/

https://tomdavidson92.medium.com/the-beast-when-a-difficult-film-becomes-great-on-second-watch-ac8a42e8d280

Categories
Uncategorized

The rise of the infographics in our epistemic culture

Since the advent of the scientific method in the 16th century, the sciences have revolutionized our world. With unprecedented speed in leaving one world-changing discovery after another in their wake, the sciences have grown into what they are today, the empirical study of nearly everything (Timothy Williamson, Doing Philosophy: From Common Curiosity to Logical Reasoning, Oxford University Press, 2018).

Bertolak dari pandangan burung (birds-eye view) Williamson di atas, ‘studi empiris tentang hampir segala sesuatunya’ bertumpu pada salah satu indera manusia yang dominan, yaitu penglihatan (sight).

Ketika saya membuka apps Blinkist hari ini, saya dikejutkan dengan munculnya sebuah fitur baru, yaitu Infografis.
Fitur ini sedemikian menarik dan menggoda saya untuk upgrade subscription type 🙂

Berikut beberapa contohnya yang berhasil saya unduh dari apps nya langsung. (c) Blinkist

Keheranan saya mungkin terlihat ketinggalan zaman mengingat salah satu media massa terkemuka dunia, yaitu The New York Times, sudah mengemas berita dan liputannya sedemikian rupa sejak 10+ tahun lalu.

Berikut beberapa contohnya (FYI: saya berlangganan New York Times digital version sejak beberapa tahun lalu)


Source: https://www.nytimes.com/interactive/2024/12/20/us/2024-year-in-graphics.html

Guna mengonfirmasi ketakjuban saya akan betapa menarik dan kaya akan informasi yang relatif simple to understand ini, saya lalu bertanya pada ChatGPT dan scite.ai, bagaimana cara memahami fenomena ini dari kacamata ilmu komunikasi.

Berikut jawaban, link, dan juga prompt-nya.

Semoga information sharing ini bermanfaat bagi sidang pembaca yang budiman!

Prompt: Give me some insights into the rise of the visual culture and infographics from communication science perspective ever since 2000’s up to now!

ChatGPT’s version of answer:
https://chatgpt.com/c/67963aaf-dfac-800e-bed1-3f8734e498d1

The rise of visual culture and infographics since the 2000s can be analyzed through multiple lenses within communication science. Here’s a breakdown:

1. Technological Advancements
a) Digital Media Revolution: The widespread adoption of digital technology, including smartphones and social media platforms, has enabled easier access to visual content. High-speed internet and advanced graphic design tools made creating and sharing visuals more efficient.
b) User-Friendly Tools: Platforms like Canva, Piktochart, and others democratized the ability to create infographics, allowing non-experts to produce professional-looking visuals.
c) Social Media Platforms: Sites like Instagram, Pinterest, and later TikTok emphasize visuals as a primary mode of communication. The algorithmic preference for visually appealing content further drives its proliferation.

2. Cognitive Psychology and Communication
a) Information Processing: Humans are wired to process visual information faster than text. Infographics and visual storytelling capitalize on this, enabling complex data or messages to be understood quickly and effectively.
b) Attention Economy: In an era of information overload, visuals stand out more effectively than text, grabbing attention within seconds—critical in communication where retention is a challenge.
c) Memory and Retention: Visuals improve recall compared to text alone, which is particularly valuable in educational, marketing, and news contexts.

3. Cultural and Social Shifts
a) Shift Toward Visual Literacy: As visual media has grown, so too has the expectation that audiences can “read” and interpret visuals effectively. Visual literacy is now a key skill for participation in modern communication.
b) Meme Culture: The rise of memes, GIFs, and other visual forms of informal communication highlights how visuals have become embedded in everyday social interactions.
c) Globalization: Visuals are inherently cross-cultural, making them an effective tool for communication in a globalized world, where language barriers are common.

4. Applications in Different Domains
a) Journalism: Infographics have become a staple in presenting data-heavy stories, making them accessible to broader audiences. Interactive infographics have added depth to this.
b) Marketing and Branding: Brands use infographics to distill product features, company values, or trends into shareable formats that align with modern attention spans.
c) Education and Public Awareness: From explaining public health campaigns to teaching students, infographics serve as a pedagogical tool.
d) Politics: Political campaigns, protests, and advocacy often use infographics to communicate key messages succinctly.

5. Challenges and Critiques
a) Misrepresentation of Data: Poorly designed infographics can lead to misunderstandings or intentional manipulation of data.
b) Over-Saturation: The overuse of visuals has led to competition for attention, where only the most innovative or striking visuals stand out.
c) Loss of Depth: While visuals simplify information, they sometimes oversimplify, losing nuance and depth critical to understanding complex topics.

6. Future Trends
a) Interactive and Personalized Infographics: Advances in AI and data visualization software are leading to more personalized and engaging infographics tailored to individual user preferences.
b) Integration with AR/VR: Visual storytelling is evolving with augmented and virtual reality, creating immersive experiences.
c) Data Democratization: Open data initiatives may further fuel the rise of public-driven infographics, enabling citizens to create and share their interpretations of data.

From a communication science perspective, the rise of visual culture reflects a broader shift toward more accessible, engaging, and globalized forms of communication. However, it also raises critical questions about literacy, ethics, and the balance between simplification and complexity.

Scite.ai version of answer:
https://scite.ai/assistant/give-me-some-insights-into-the-rise-of-the-visual-culture-and-in-3nXD2K

The rise of visual culture and infographics since the early 2000s has been significantly influenced by advancements in technology and changes in communication practices. This transformation is rooted in the increasing importance of visual elements in conveying information across various media platforms. The proliferation of digital technologies has enabled the integration of visual communication into everyday life, leading to a hyper-visual environment where images and graphics are essential for effective communication (Yudhanto, 2023; Rose, 2014; Chatterjee, 2023).

Visual culture has emerged as a critical area of study within communication science, reflecting the ways in which visual experiences are embedded in social and cultural practices. This evolution has been characterized by a shift from traditional text-based communication to a more image-centric approach, where visuals serve not only as supplementary elements but as primary vehicles for meaning-making (Rose, 2014). The integration of graphic design principles into science communication has been particularly noteworthy, as it enhances the accessibility and effectiveness of complex scientific information (Estrada & Davis, 2014; Murchie & Diomede, 2020). Infographics, in particular, have gained traction as tools that simplify data presentation, making it easier for diverse audiences to comprehend intricate subjects (Jarreau et al., 2021).

Moreover, the role of visual storytelling has gained prominence in science communication, especially during public health crises such as the COVID-19 pandemic. Visual narratives have been shown to improve message accessibility and self-efficacy among audiences, demonstrating the power of visuals in shaping public understanding and behavior (Jarreau et al., 2021). This trend underscores the necessity for communicators to consider their target audiences carefully and to refine visual elements accordingly, ensuring that visuals are not merely decorative but integral to the communication strategy (Estrada & Davis, 2014).

The academic discourse surrounding visual culture has expanded, with new journals and methodologies emerging to explore the implications of visuality in contemporary society (Rose, 2014). This includes an examination of how visual representations can influence cultural identity and social dynamics, as seen in studies of regional cultural symbols and their application in visual communication design (“Regional Cultural Symbols in Visual Communication Design”, 2022). Furthermore, the intersection of visual communication with popular culture has been explored, revealing how visual elements shape and reflect cultural narratives (Alhajji, 2023; Hu & Chai, 2012).

In summary, the rise of visual culture and infographics from a communication science perspective highlights a significant shift towards visual-centric communication strategies. This transformation is driven by technological advancements, the need for effective information dissemination, and the growing recognition of the role of visuals in shaping cultural and social narratives. As visual culture continues to evolve, it remains essential for communicators to harness the power of visuals to engage audiences and convey complex information effectively.

References
Liu, W. (2022). Regional cultural symbols in visual communication design. International Journal of Frontiers in Sociology, 4(5). https://doi.org/10.25236/ijfs.2022.040514
Alhajji, M. (2023). An examination of the connections between visual communication and pop culture. Migration Letters, 20(S12), 109-130. https://doi.org/10.59670/ml.v20is12.5844
Chatterjee, S. (2023). Vizualizing branding: metamorphosis of advertising, visual strategies and their cultural significance. Vista, (12), e023014. https://doi.org/10.21814/vista.4891
Estrada, F. and Davis, L. (2014). Improving visual communication of science through the incorporation of graphic design theories and practices into science communication. Science Communication, 37(1), 140-148. https://doi.org/10.1177/1075547014562914
Hu, Y. and Chai, X. (2012). Reflection about popular culture in the context of visual communication. Advanced Materials Research, 433-440, 5390-5395. https://doi.org/10.4028/www.scientific.net/amr.433-440.5390
Jarreau, P., Su, L., Chiang, E., Bennett, S., Zhang, J., Ferguson, M., … & Algarra, D. (2021). Covid issue: visual narratives about covid-19 improve message accessibility, self-efficacy, and health precautions. Frontiers in Communication, 6. https://doi.org/10.3389/fcomm.2021.712658
Murchie, K. and Diomede, D. (2020). Fundamentals of graphic design—essential tools for effective visual science communication. Facets, 5(1), 409-422. https://doi.org/10.1139/facets-2018-0049
Rose, G. (2014). On the relation between ‘visual research methods’ and contemporary visual culture. The Sociological Review, 62(1), 24-46. https://doi.org/10.1111/1467-954x.12109
Yudhanto, S. (2023). Cultural and communication approaches in the design of visual communication design works. jolcc, 1(1), 79-90. https://doi.org/10.61320/jolcc.v1i1.79-90

Categories
Uncategorized

Ressentiment, Self-Sabotage and the dark side of Gen-Z

Mengakhiri tahun 2024 dan memulai 2025, selain urusan revisi disertasi menuju sidang terbuka (pheew ..), saya mulai aktif membimbing dan menguji mahasiswa tingkat akhir di SC-UMN. Pengalaman pertama (indeed!) membimbing dan menguji mahasiswa inilah yang menjadi dasar empiris dari postingan ini. Meskipun dari segi jumlah tidak cukup banyak mahasiswa yang saya bimbing (hanya 4 orang saja) tapi mekanisme bimbingan yang super ketat (minimal 8 kali untuk syarat maju sidang, unlike …) ternyata cukup merepotkan saya, bahkan sampai mengorbankan quality time saya dengan keluarga pada saat liburan akhir tahun/cuti awal tahun. Hal ini masih ditambah dengan peran sebagai penguji dan ketua sidang atas sejumlah jadwal ujian magang, skripsi (reguler) dan TA (MBKM Humanity Project) yang cukup banyak dalam kurun waktu sekitar 10 hari (8-17 Jan 2025).

Membimbing secara intensif dan memeriksa laporan magang/skripsi/TA dari sejumlah mahasiswa tingkat akhir SC, all of them are Gen-Z, saya mendapatkan beberapa kesan yang positif maupun negatif. Tanpa masuk ke dalam detil cerita dan pengalaman, ada tiga karakteristik yang cukup dominan saya kenali dari Gen Z ini yaitu prokrastinasi, kurangnya ketelitian dalam format tulisan akademis (too much typos and other stuff!) dan serta lemahnya daya imajinasi dan keberanian untuk melampaui thoughts pattern dan template penulisan yang sudah ditetapkan (kampus). Meskipun tiga hal ini belum merangkum semua hasil amatan dan pengalaman interaksi saya dengan mereka, tapi inilah karakteristik tipikal dari Gen Z yang saya jumpai yang kemudian saya refleksikan lebih jauh.

Bukan kebetulan kalau reading list saya pada Januari 2025 adalah karya Jordan B. Peterson, seorang public intellectual, psikolog klinis, penulis, dan motivator handal dari Kanada. [Lih. https://www.jordanbpeterson.com/] . Dua dari sejumlah buku yang ditulisnya adalah 12 Rules for Life (2018) dan Beyond Order (2021).

Secara lebih spesifik, order and chaos merupakan life’s pattern dan leitmotif yang ditonjolkan Peterson dalam 12 Rules, sementara mekanisme coping and meaning-bestowing dalam sejumlah gugus setting dan pengalaman manusia (Barat) sehari-hari merupakan highlight yang saya tangkap dari Beyond Order. Satu hal yang cukup menarik perhatian saya dari buku terakhir ini adalah passage tentang ressentiment yang tercantum dalam Rule VI, Abandon Ideology.

Bagi Peterson (2021), “Ressentiment—hostile resentment—occurs when individual failure or insufficient status is blamed both on the system within which that failure or lowly status occurs and then, most particularly, on the people who have achieved success and high status within that system. The former, the system, is deemed by fiat to be unjust. The successful are deemed exploitative and corrupt, as they can be logically read as undeserving beneficiaries, as well as the voluntary, conscious, self-serving, and immoral supporters, if the system is unjust. Once this causal chain of thought has been accepted, all attacks on the successful can be construed as morally justified attempts at establishing justice—rather than, say, manifestations of envy and covetousness that might have traditionally been defined as shameful.”

Guna menajamkan kualitas pemahaman dan refleksi saya atas pengalaman empiris di atas, juga insight konseptual filosofis yang saya peroleh dari bacaan, saya nge-prompt ChatGPT dan hasilnya adalah paparan yang sangat menarik berikut ini:

Prompt: What is the difference between ressentiment (a term coined by Friedrich Nietzsche in On the Genealogy of Morals, 1887; popularized once again by Jordan B. Peterson in Beyond Order: 12 More Rules for Life, 2021) and self -sabotage in popular psychology? How to apply these two terms as complementary rather than antagonizing to describe the current malaise of post-COVID society, especially in terms of typical Gen Z characteristics of shirking responsibilities at work and playing victim rather than self-improving themselves? Give me some balanced and insightful answers to share in a class of freshmen in a private university located in Banten, Indonesia!

ChatGPT answers:

To explain the concepts of ressentiment and self-sabotage, and how they might be understood as complementary in the context of the post-COVID malaise in Gen Z, we can start by clarifying their meanings and then explore how they relate to the behaviors you’ve mentioned. I will also make sure the explanation is balanced and relevant to your audience—freshmen at a private university in Banten, Indonesia.

1. Ressentiment (Nietzsche and Peterson)
(a) Ressentiment is a term first used by the philosopher Friedrich Nietzsche. It refers to a psychological state that arises from a sense of powerlessness or frustration, typically experienced by individuals who feel oppressed, rejected, or inferior. Rather than confronting these feelings directly or seeking personal improvement, individuals with ressentiment often resent others (often those who are more successful or powerful) and create narratives of victimhood. These narratives allow them to feel morally superior by portraying themselves as victims of society or circumstances. Nietzsche viewed ressentiment as a sign of weakness, where instead of transforming frustration into strength or action, the individual projects their own inadequacies onto others.

(b) In Jordan Peterson’s interpretation (especially in Beyond Order), ressentiment is viewed as a toxic emotion that holds people back from genuine self-improvement. It can lead to self-pity, anger, and the construction of an enemy image of others who are perceived as more successful, leading to bitterness and, eventually, stagnation. Peterson emphasizes that this attitude prevents people from facing their own flaws and pursuing growth because they remain focused on external factors (other people, society) instead of internal change.

2. Self-Sabotage in Popular Psychology
(a). Self-sabotage is a more widely discussed concept in popular psychology. It refers to behaviors that undermine one’s own success or well-being, typically unconsciously. This can include procrastination, setting unrealistic goals, fear of failure, or even engaging in negative thinking patterns that create barriers to personal achievement. The key aspect of self-sabotage is that individuals actively or passively undermine their own progress—often as a result of deep-seated fears, insecurities, or a lack of self-worth.
(b) In the case of Gen Z (or any generation), self-sabotage might be reflected in behaviors such as avoiding responsibilities at work, procrastinating, or using distractions like social media instead of focusing on personal goals. It could also manifest as fear of failure, where individuals sabotage their potential by not even trying, because they are afraid they won’t succeed. Popular psychology often suggests that overcoming self-sabotage requires developing self-awareness, building healthy habits, and confronting underlying fears.

3. Ressentiment and Self-Sabotage: Complementary Concepts
Now, let’s look at how ressentiment and self-sabotage can be seen as complementary rather than antagonistic in describing the current malaise in post-COVID society, especially with respect to Gen Z’s characteristics.

The Post-COVID Malaise:
Post-COVID society has been marked by economic disruptions, mental health challenges, and shifts in work culture. Gen Z, who entered the workforce during or after the pandemic, often faces high levels of uncertainty and pressure. There is a noticeable trend where many young people seem to shirk responsibilities at work, avoid taking accountability, and sometimes adopt a victim mentality—believing that the world or external circumstances are simply stacked against them.
Ressentiment can explain part of this phenomenon. As Gen Z navigates the post-pandemic world, some individuals may feel resentful of societal structures that they perceive as unfair or oppressive. They may feel disillusioned by the hardships they’ve faced, such as educational disruptions, job insecurity, or social inequality.

Rather than taking proactive steps to improve their situation, they might adopt a victim mentality that fuels feelings of anger, frustration, and a desire to blame others for their struggles. In this way, ressentiment can create a narrative of powerlessness, which makes it harder for individuals to take responsibility for their own lives and seek improvement.

Self-sabotage, in this context, can be seen as a psychological defense mechanism stemming from those same feelings of resentment and powerlessness. If an individual feels that success is impossible due to systemic forces, they may unconsciously sabotage their own efforts as a way of protecting themselves from disappointment or further failure. For instance, a Gen Z employee might procrastinate on work or avoid taking on more challenging tasks because they believe their efforts won’t matter or will be thwarted by external factors. They may undermine their own success because they feel it is futile to try.

Connecting Ressentiment and Self-Sabotage:
The complementary nature of these two concepts lies in their interaction: Ressentiment creates a mindset of victimhood and external blame, which feeds into a sense of learned helplessness. If you believe that external circumstances or societal structures are holding you back, then why bother trying to improve? This mindset, in turn, sets the stage for self-sabotage—you avoid taking action or avoid responsibility, because deep down, you feel like any effort will be in vain or that others are somehow more deserving of success.

Self-sabotage becomes a way to reaffirm the narrative of ressentiment. When a person avoids doing the work, procrastinates, or makes excuses, they can point to these failures as proof of their victimhood. They feel justified in their inaction because it aligns with their belief that they have been unfairly treated by the world.

In Gen Z’s case, many are navigating a complex world that seems uncertain, unfair, and full of challenges. The pressures to succeed and be productive are often counterbalanced by feelings of insecurity and frustration. The toxic cycle of ressentiment leading to self-sabotage can create a pervasive malaise where individuals feel trapped in their own inaction, perpetuating a sense of helplessness and disengagement.

4. A Balanced Approach for Self-Improvement:
For your class of freshmen, it’s important to understand that both ressentiment and self-sabotage are natural human responses to adversity. However, these mindsets can be overcome through intentional reflection and action.
Breaking free from ressentiment involves acknowledging your frustrations and feelings of powerlessness but choosing to focus on what you can control—your actions, decisions, and mindset. This means moving from a victim mentality to an empowered one, where you take responsibility for your own growth, even in difficult circumstances.
Overcoming self-sabotage requires recognizing the patterns of behavior that hinder your progress, such as procrastination, self-doubt, or fear of failure. It’s about replacing avoidance with small, manageable steps that build confidence and a sense of accomplishment over time.

By understanding these dynamics as complementary forces, we can see that emotional resilience and self-discipline are essential for overcoming the challenges faced by Gen Z in the post-COVID world. Instead of feeling powerless or acting in ways that hinder success, individuals can work toward empowerment through a combination of internal reflection (addressing ressentiment) and external action (overcoming self-sabotage).

In conclusion, ressentiment and self-sabotage are intertwined in a cycle of frustration, victimhood, and inaction. However, by recognizing these behaviors, young people—especially Gen Z—can choose to break free from this cycle. Emotional authenticity, acknowledging frustrations without becoming trapped by them, and taking proactive steps toward self-improvement can be powerful tools in navigating the challenges of a post-pandemic world.

Semoga serpih refleksi di atas bermanfaat!

Categories
Uncategorized

Bayah Kota Bungsu: Sebuah dongeng untuk hari esok

Sebagian ahli bahasa, komunikasi dan arkeologi (Fisher, 1984; Niles, 2010; Gezgin, 2020) berpandangan bahwa manusia adalah makhluk penutur cerita (homo narrans). Sejarawan Yuval Noah Harari juga berpandangan hal yang sama dalam karyanya Homo Sapiens: A Brief History of Humankind (2011) dan Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI (2024). Tidak jarang, si makhluk penutur cerita mengubah cara pandang dunia tentang sebuah permasalahan yang genting, a crisis.

Salah satu di antara makhluk penutur cerita yang mengubah dunia adalah Rachel Carson dengan bukunya, The Silent Spring (1962).


[source image: https://m.media-amazon.com/images/I/81Yza7XmfjL._AC_UF1000,1000_QL80_.jpg]

Buku ini merupakan karya penting dalam sejarah gerakan lingkungan hidup yang memicu perubahan signifikan bagi kebijakan lingkungan berskala nasional, baik di AS maupun di belahan bumi lainnya. Secara lebih khusus, Carson membahas tentang dampak negatif pestisida dan bahan kimia terhadap lingkungan hidup, yang meliputi: 1) penggunaan DDT dan pestisida lainnya yang berlebihan, 2) Dampak DDT pada ekosistem, termasuk kematian burung dan hewan lain, 3) Risiko kesehatan manusia yang memburuk karena terpapar bahan kimia berbahaya (DDT), dan 4) Ketergantungan pada pertanian intensif dan dampaknya yang merugikan lingkungan.

Dalam postingan di blog ini, saya tidak akan mengupas lebih dalam tentang buku tersebut, tapi menggunakan tiga halaman pertama buku tersebut sebagai batu loncatan berimajinasi, terutama saat mengunjungi Vila Hejo Kiarapayung, Panggarangan, Bayah, Lebak Selatan, salah satu daerah 3T di provinsi Banten. Imajinasi ini kemudian saya artikulasikan sebagai kata sambutan, merespon permintaan tim JAHERA dari MBKM Humanity Project sebagai mitra kolaborator GMLS serta atas perkenan Abah Anis dan Teh Resti (sebagai tuan rumah) untuk membuka acara workshop yang diadakan di sana.

Berikut tiga halaman dari buku The Silent Spring karya Rachel Carson yang menjadi inspirasi saya utk menuliskan kata sambutan.

Inilah kata sambutannya:

Pernah ada sebuah kota kecil di penghujung Banten Selatan, yang di dalamnya semua noktah kehidupan tampak sehirup selaras dengan lingkungannya.

Kota itu terletak di tepi samudra Hindia yang debur ombaknya menggelegar menghantam batu-batu karang dan terpercik hantari perdu-perdu hutan yang merimbun, pun ditingkahi sepadan lahan pertanian yang mencorak lereng bukit kebun senyampang musim hujan, pelangkah tanah becek coklat pekat, melanskap ladang yang pernah hijau kini agak menguning.

Di musim pancaroba yang entah season berapa, kiara payung (Filicium decipiens) dan picung (Pangium edule) bukan luruh meranggas tapi menyerap dan menahan air kehidupan yang jadi oase bagi jiwa-jiwa haus ketempelan koyo mental health dan perban skibidi.

Bukan dedaunan maple dan birch yang menyangga kota itu, tapi barisan kelapa, rambutan, karet, dan bambu membentuk kobaran warna yang menyala abangku dan melirih sedih adikku.

Sekawanan anjing kampung, cuon alpinus javanicus, bukan golden retriever apalagi Chihuahua berhihi-haha menggonggong di tepi perbukitan dan maung diam-diam menyeberangi ladang, disahuti tonggeret yang tampak setengah hati mencabar emosi duh resiliensi.

Wajah alam tersamar hadir malu-malu kucing, bayangannya ternampak setengah tersembunyi dalam halimun pagi di penghujung November yang menggelincir sepi menghambur masuk pelataran Desember kini.

Di sepanjang jalan, kokoleceran Vatica bantamensis, bungur Lagerstroemia speciosa dan daun teh-tehan Acalypha siamensis bersemagut-pagut dengan bunga-bunga liar Euphorbia helioscopia. Kesemuanya memanjakan mata para pelancong yang terhentak derap goncangan jalan menuju Hutan Dungus Ki Haji.

Di sana, asat penanda bencana tidak lagi bersemenda tapi sudah mengalir laksana strima eling lan waspada warga kampung Naga Jaya yang sudah lelah ditempa hidup yang begitu-begitu saja, jalan rusak amboy siksanya tapi ya mau gimana.

Adalah Bayah harus dikumbah bawa serumpun tanda tanya: haruskah dinda menghiba, gegiat merana, dan lamunan terpana?

Semoga kota bungsu bukan menjadi balada kutuk yang menari-nari bak kelinci nggrigiti campuran daun lobak, kelor dan sawi, tanpa sadari hidupnya sedang menuju henti.

Gallus lafayetii, owa Jawa, surili, fauna wewarni tidak sendiri;

Boomers, Millenials dan Z juga nyaris mati berdiri, kala Megathrust mendekat …. perlahan tapi pasti.

Teruntuk GMLS,
Ex-machina Humana.
Ex-bencana, Kanaya.
Ex-sulaya, Santosa.

Video credit goes to mas Irul (Khairul Syafuddin, M. A.), dosen SC UMN dan Kordinator Humanity Project SC UMN periode Gasal, 2024-2025.

Categories
Uncategorized

Strategi menyetel target & mencapainya lebih dari sekadar wishful thinking dan membuat resolusi kosong

Salah satu praktik yang biasa dilakukan orang utk menyambut tahun baru adalah membuat resolusi. Bisa saja itu resolusi yg terkait dengan body goals (jadi lebih langsing, lebih six-pack, lebih fit, dst.), family-oriented resolution (lebih menyediakan waktu berkualitas utk keluarga, utk pasangan dan utk anak terutama), studi-karir (studi lanjut ke luar negeri, atau, menuntaskan capaian studi gelar Sarjana, Magister atau Doktoral yg sudah waktunya; bisa juga, artikelnya tembus Scopus, dll), atau resolusi karir profesional terkait dengan kerja dan kinerja (mencapai target selling produk atau layanan tertentu; berjejaring lebih luas serta menambah mitra bisnis yg potensial, dst.). Sayangnya, praktik membuat resolusi itu acapkali kandas di tengah jalan padahal baru berjalan dua atau tiga bulan (bahkan kurang!).

Apa sebabnya dan bagaimana cara mengatasinya?

Mari kita simak paparan yang mengacu pada buku yang baru saja terbit dua bulan lalu ini!

[image source: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRua2nioh7xQxXkMd0I-7Nkso9SP15PV-7bFkKApv9mjX1oOAzz]


https://www.blinkist.com/en/reader/books/big-goals-en

Buku bertajuk Big Goals: The Science of Setting Them, Achieving Them, and Creating Your Best Life ditulis seorang ahli psikologi, penulis dan motivator, Caroline Adams Miller (lih. situs pribadinya di https://www.carolinemiller.com/) dan diterbitkan Wiley pertama kali pada 19 November 2024. Buku ini menjadi salah satu buku yang menawarkan jawaban canggih dan lengkap atas dua pertanyaan penting di atas. Betul bahwa tidak sedikit jumlahnya buku-buku self-help di luar sana yang mencoba memotivasi kita untuk mencapai tujuan(-tujuan) kita. Namun faktanya, sebagian besar buku-buku tersebut tidak lengkap dalam pendekatannya, atau hanya didasarkan pada ide-ide yang belum terbukti efektif melalui penelitian yang serius.

Sekarang kita butuh strategi yang efektif untuk mencapai tujuan hidup kita. Generasi milenial, juga Gen Z, banyak yang tumbuh di lingkungan yang meminimalkan persaingan dan melindungi mereka dari kegagalan, membuat mereka tidak siap menghadapi tantangan dan kemunduran dalam hidup yang tak terelakkan. Media sosial, dengan gambar-gambar kesempurnaan yang dikurasi, hanya menambah angka kecemasan dan depresi, terutama ketika orang dewasa muda menavigasi tekanan pekerjaan dan hubungan.

Sementara itu, wanita paruh baya sering kali bergumul dengan “penyakit putus asa” – dengan gejala seperti depresi dan kehilangan tujuan – dan hal ini juga disebabkan oleh kurangnya alat untuk menetapkan dan mengejar tujuan yang memuaskan. Untuk sebagian besar, wanita tidak dilibatkan dalam mencapai tujuan dalam lanskap profesional modern.

Kita perlu melihat gambaran yang lebih besar: Meskipun saran tradisional tentang mencapai tujuan, seperti membuat papan visi (vision board) atau menulis daftar (writing lists), dapat menginspirasi, tapi acapkali metode ini tidak sampai membahas ilmu pengetahuan yang lebih dalam tentang kesuksesan. Penelitian akademis umumnya menawarkan wawasan yang berharga tetapi sering kali terbatas pada aspek-aspek yang terisolasi dari penetapan tujuan, sehingga meninggalkan kesenjangan dalam penerapan praktis. Pada sisi penting lainnya, perempuan dan kelompok-kelompok yang kurang terwakili lainnya menghadapi hambatan tambahan, yang dibentuk oleh ekspektasi masyarakat dan bias di tempat kerja. Sudah jelas sekarang bahwa strategi yang lebih inklusif sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan membuka potensi individu yang beragam.

Sekaranglah saatnya untuk menata ulang kesuksesan. Dengan memadukan pelajaran dari masa lalu dengan penelitian mutakhir, Caroline Adams Miller menawarkan sebuah langkah kreatif yang dapat menciptakan masa depan penetapan tujuan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan sangat manusiawi. Ini bukan hanya tentang mendaki lebih tinggi, tetapi tentang membangun jembatan yang mengangkat semua orang, menciptakan kehidupan dan tempat kerja yang penuh dengan tujuan dan kemungkinan.

Buku ini menawarkan langkah-langkah konkret untuk membangun visi baru tersebut di atas fondasi Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory), sebuah metodologi yang memiliki dasar dalam ilmu perilaku manusia.

Teori Penetapan Tujuan: Kisah di balik munculnya
Kisah Teori Penetapan Tujuan, atau GST, dimulai dari psikolog Edwin Locke dan Gary Latham, yang penelitian terobosannya mengubah pemahaman kita tentang motivasi. Locke, yang memasuki dunia psikologi pada era behaviorisme, berpendapat bahwa pola pikir sama pentingnya dengan tindakan. Studinya mengungkapkan bahwa tujuan yang menantang dan jelas memberikan hasil yang lebih baik daripada tujuan yang tidak jelas atau mudah, dengan umpan balik yang berfungsi sebagai alat penting untuk perbaikan.

Sementara itu, Dr. Latham menerapkan prinsip-prinsip ini dalam situasi praktis, yang selanjutnya membuktikan bahwa tujuan yang ambisius dan terdefinisi dengan baik merupakan kunci untuk kinerja tinggi dan kebanggaan dalam pekerjaan seseorang. Bersama-sama, mereka membangun kerangka kerja berdasarkan kekhususan, tantangan, komitmen, dan umpan balik – prinsip-prinsip yang mendorong kesuksesan di berbagai bidang.

GST berkembang dengan kesederhanaan: membidik sesuatu yang berada di luar jangkauan dan mengambil langkah-langkah yang disengaja untuk mencapainya. Baik saat Anda menguasai resep baru atau mempersiapkan presentasi yang berisiko tinggi, tujuan yang jelas dan menantang akan membuat perbedaan.

Teori ini juga berkaitan erat dengan efikasi diri, yaitu keyakinan akan kemampuan seseorang untuk mengatasi tantangan. Penelitian telah menemukan bahwa kesuksesan sering kali tidak berasal dari mengejar kebahagiaan, tetapi dari menumbuhkannya terlebih dahulu. Dengan memupuk pola pikir “Saya pasti bisa!” – melalui kemenangan kecil, bimbingan, atau tetap tenang di bawah tekanan – individu dapat meningkatkan kreativitas dan komitmen mereka, sehingga membuka jalan menuju kesuksesan.

Namun, tujuan yang tidak direncanakan dengan baik dapat menyebabkan bencana, seperti yang diilustrasikan oleh kegagalan perusahaan terkenal seperti WeWork (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20231107095046-37-486953/dulu-startup-rp-7316-triliun-ini-alasan-wework-bangkrut), Theranos (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220526184934-37-342099/kisah-theranos-tipu-investor-bangkrut-dan-founder-dipidana), dan Enron (https://www.kompas.com/global/read/2021/12/02/160923670/kisah-kebangkrutan-enron-pada-2001-skandal-perusahaan-terbesar-as).

Kisah-kisah ini memiliki benang merah yang sama: janji-janji yang tinggi namun tidak dapat dipertanggungjawabkan, praktik-praktik yang tidak etis, dan penolakan terhadap tanda-tanda peringatan. Dampaknya lebih dari sekadar kerugian finansial, tidak hanya merusak kehidupan tetapi, dalam beberapa kasus, juga menelan korban jiwa. Kisah-kisah peringatan ini menggarisbawahi pentingnya transparansi, kerendahan hati, dan perencanaan strategis ketika mengejar tujuan yang ambisius.

Norma-norma masyarakat juga memengaruhi keberhasilan penetapan tujuan, terutama bagi perempuan. Wanita sering menghadapi standar ganda, di mana kualitas seperti kedermawanan atau ambisi dinilai secara berbeda dari pria. Umpan balik juga bisa lebih keras atau kurang konstruktif, sehingga menciptakan hambatan emosional tambahan. Ketidakadilan ini, baik secara terang-terangan maupun tidak, dapat melemahkan individu yang paling gigih sekalipun – yang semuanya menunjukkan bahwa kita membutuhkan pendekatan yang lebih bernuansa.

Pada bagian selanjutnya, kita akan melihat metode BRIDGE dari penulis, yang dibangun di atas GST dan menerapkannya ke dalam tindakan. BRIDGE adalah singkatan dari Brainstorming, Relationships, Investments, Decision-making, Grit, dan Excellence. Dengan menyelaraskan aspirasi dengan kenyataan, pendekatan BRIDGE memastikan bahwa tujuan tidak hanya menginspirasi tetapi juga dapat dicapai, memungkinkan keberhasilan yang dibangun di atas fondasi penelitian ilmiah dan sifat alamiah manusia.

Pertanyaan-pertanyaan yang terarah dan gugus relasi yang bermakna

Mari kita bahas lebih dalam mengenai metode BRIDGE dengan melihat dua bagian pertama, yaitu Brainstorming dan Relation. Brainstorming, dalam konteks ini, adalah mengajukan sejumlah pertanyaan penting kepada diri Anda sendiri dan menggunakan jawabannya untuk membangun kerangka kerja menuju kesuksesan.

Sama seperti cara organisasi mendefinisikan tujuan mereka, Anda dapat menambahkan fokus pada upaya Anda dengan membumikan aspirasi Anda pada sesuatu yang bermakna. Jadi, tanyakan pada diri Anda sendiri, “Apa tujuan saya?

Cara lain untuk memikirkannya adalah seperti konsep ikigai dalam bahasa Jepang, atau “untuk apa saya bangun.” Apa yang membuat Anda bersemangat di pagi hari? Apa yang bisa berfungsi sebagai bintang utara pribadi Anda?

Setelah tujuan teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah bermimpi besar. Bertanya, “Apa mimpinya?” akan membuka berbagai kemungkinan dan menumbuhkan pemikiran kreatif. Tidak seperti tekanan yang terkait dengan “tujuan”, bermimpi memungkinkan eksplorasi dan harapan yang terbuka.

Alat yang baik di sini adalah jurnal. Luangkan waktu tiga hari untuk merenungkan “diri Anda yang terbaik di masa depan” dan tuliskan apa yang terlintas dalam pikiran Anda. Dengan membayangkan hasil yang sempurna, Anda dapat menciptakan gambaran yang jelas tentang apa yang Anda inginkan dan menyelaraskan aspirasi Anda dengan langkah-langkah yang dapat ditindaklanjuti.

Ketika tujuan Anda mulai terfokus, sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya: apakah tujuan Anda adalah tujuan kinerja – yang dapat Anda jabarkan ke dalam langkah-langkah yang dapat ditindaklanjuti – atau tujuan pembelajaran, yang membutuhkan identifikasi keterampilan dan pengetahuan yang perlu Anda peroleh?

Katakanlah Anda ingin menguasai tarian salsa. Rencana yang tidak jelas seperti “menonton video TikTok” tidak akan berhasil. Sebaliknya, menetapkan tujuan yang jelas dan menantang – seperti meneliti lima studio tari lokal dan memilih satu dalam waktu seminggu – jauh lebih efektif. Pikirkan tentang bagaimana Anda bisa membuat tenggat waktu dan metrik spesifik yang akan membantu mengukur pertumbuhan dan membuat Anda tetap berada di jalur yang benar.

Sekarang juga saatnya untuk berpikir jauh ke depan dan bertanya, “Apa yang bisa salah?” Membayangkan potensi krisis, seperti gangguan rantai pasokan atau pemadaman internet, memungkinkan Anda untuk membuat perencanaan darurat. Sesuaikan strategi Anda dengan konteks Anda. Hubungi orang-orang dan dapatkan saran dari mereka yang memiliki pengalaman serupa sehingga tujuan Anda realistis.

Hal ini membawa kita pada hubungan. Mengelilingi diri Anda dengan orang-orang yang positif dan suportif akan menciptakan fenomena yang dikenal sebagai efek heliotropik (lihat: https://positiveorgs.bus.umich.edu/news/finding-the-light-in-darkness-the-heliotropic-effect/), yang secara signifikan dapat meningkatkan peluang Anda untuk sukses. Orang yang tepat dapat menjadi “katalisator” dan “pemelihara”, yang mendorong dan memberi Anda energi. Sebaliknya, orang yang salah dapat menjadi “penghambat” dan “racun” yang menguras motivasi Anda. Mengidentifikasi dan memprioritaskan hubungan yang membangkitkan semangat adalah langkah penting untuk tetap fokus dan tangguh.

Ada alat visual yang disebut peta pikiran hubungan, yang dapat membantu memprioritaskan hubungan yang bermakna sambil menyingkirkan hal-hal negatif. Jadi, cobalah membuat sketsa peta pikiran dari semua orang yang Anda perlukan untuk mencapai tujuan Anda, mulai dari kolega hingga kolaborator. Latihan ini dapat membantu Anda memprioritaskan waktu dan memfokuskan energi Anda pada hubungan yang benar-benar bermakna.

Poin utama di sini adalah membangun lingkaran orang-orang yang tidak hanya mengejar impian mereka, tetapi juga siap untuk percaya pada impian Anda.

Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas, kita semakin menyadari bahwa membuat resolusi yang bagus-bagus dengan tujuan atau capaian (goals) yang luhur mulia tidaklah cukup. Kita memerlukan metode yang tepat guna dan sudah teruji lewat aneka eksperimen dan observasi atas hasilnya. Metodologi BRIDGE memandu Anda melalui enam tahap utama untuk mencapai tujuan yang bermakna. Pertama, curah pendapat tentang tujuan Anda dengan merenungkan secara mendalam apa yang ingin Anda capai, memastikan tujuan tersebut selaras dengan nilai-nilai dan motivasi intrinsik Anda. Selanjutnya, pertimbangkan orang-orang yang dapat membantu Anda di sepanjang jalan dan bagaimana Anda dapat membangun jaringan yang mendukung sambil meminimalkan pengaruh negatif. Kemudian, saatnya untuk memikirkan strategi kreatif untuk mencapai tujuan Anda. Pertimbangkan investasi yang perlu Anda lakukan, seperti waktu, uang, atau energi, dan rencanakan potensi rintangan yang mungkin terjadi, dengan mengandalkan ketabahan untuk melewati tantangan. Tentukan keunggulan dengan jelas sehingga Anda dapat mengukur kemajuan dan mempertahankan motivasi. Terakhir, tentukan jadwal yang realistis untuk memandu perjalanan Anda dan melangkah maju dengan fokus dan percaya diri.

Setelah menyimak paparan di atas, saya mengajukan dua kritik untuk buku ini.

Pertama: standpoint yang kurang memberi ruang pada keragaman budaya dan konteks individual-dalam-komunitas lainnya.
Buku ini cenderung memberikan pendekatan universal terhadap penetapan tujuan, namun kurang membahas pentingnya konteks individual, sosial, dan budaya dalam pencapaian tujuan. Tidak semua pembaca memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, dukungan, atau lingkungan yang mendukung keberhasilan mereka. Terlebih lagi, tekanan sosial dan ekspektasi budaya yang berbeda dapat memengaruhi bagaimana seseorang memandang dan mengejar tujuan mereka. Buku ini tampaknya lebih fokus pada audiens dari negara-negara Barat dengan sedikit adaptasi terhadap kebutuhan masyarakat global yang beragam. Caroline Miller berasal dari klas sosial ekonomi, juga ras dan etnis tertentu (white, middle-class, caucasian, global north) sehingga bukunya ini cenderung melakukan atau mengampanyekan reproduksi sosial tertentu yg abai dgn konteks geopolitik dan sosio-ekonomi yg khas: dlm hal ini, konteks kaum marjinal dan yang (terus) dimarjinalkan (misalnya: global south, refugees, society under authoritarian leader, etc.)

Kedua: pendekatan yang cukup kompleks dan sepertinya terlalu akademis untuk pembaca awam.
Meskipun buku ini menawarkan pendekatan yang berbasis penelitian dan sistematis, salah satu kelemahannya adalah kompleksitasnya yang mungkin sulit diakses oleh pembaca umum. Penggunaan teori seperti GST dan konsep-konsep ilmiah lainnya, meskipun menarik bagi kalangan akademis atau profesional, bisa menjadi hambatan bagi mereka yang tidak terbiasa dengan terminologi atau kerangka kerja yang rumit. Bahkan, metode BRIDGE yang diperkenalkan, meskipun sangat terstruktur, memerlukan investasi waktu dan energi yang signifikan untuk memahami dan mengaplikasikannya secara menyeluruh.

Categories
Uncategorized

Setelah berharap, mari berpikir kritis seperti Socrates (Socratic method of inquiry)

Hari-hari ini dunia publik dan media kita disesaki dengan komentar-komentar para ahli yang saling berseberangan. Selain itu, sepertinya mereka membawa kepentingan (vested interests) masing-masing dalam pendapatnya. Akibatnya, tidak jarang komentar mereka pun kurang bermutu adanya, bahkan, menggelikan dan kontradiktif (dengan pernyataan sebelumnya). Hal ini mengingat yg namanya kepentingan itu sangatlah cair dan begitu mudah berubah sesuai dgn konstelasi dan afiliasi (politik maupun lainnya) 🙂

Satu alasan yang mungkin dapat menjadi jawaban atau mengundang pemahaman atas fenomena ini adalah karena mereka sudah “lupa” bertanya dan “menggali pemahaman dasar” tentang hal-hal atau klaim-klaim yang mereka ajukan. Mereka sudah keblinger dengan statusnya sebagai pakar sehingga, ibaratnya laba-laba, terjerat dengan jaring-jaring yang mereka pintal sendiri.

Karenanya, saya mencoba kembali belajar dari sosok pemikir klasik bernama Socrates dan bukan kebetulan saya menemukan buku baru dan bagus di bawah ini yang menerangi pemahaman saya yang masih cupet terkait hal di atas. Semoga saja penggalan wawasan dari buku ini juga dapat membantu Anda menjadi lebih paham mengapa penting sekali untuk bertanya seperti Sokrates dan mengakui bahwa dalam banyak hal, kita tidak tahu apa-apa.

How to Think Like Socrates: Ancient Philosophy as a Way of Life in the Modern World
Penulis: Donald J. Robertson
terbit pertama kali: 19 November 2024

image:

image taken from https://www.amazon.com/How-Think-Like-Socrates-Philosophy/dp/1250280508

Penggalan ringkasan dari buku ini saya reproduksi di sini setelah membaca/mendengar (audio book) bukunya di Blinkist apps.
Tautannya: https://www.blinkist.com/en/app/books/how-to-think-like-socrates-en

Tumbuhkan rasa ingin tahu dan bertanyalah seperti Socrates

Di antara murid-murid Socrates yang paling terkenal adalah Alcibiades muda, seorang bangsawan tampan dan kaya yang ditakdirkan untuk berkuasa di Athena. Saat pertama kali bertemu, Alcibiades membanggakan bakat alamiah dan karier politiknya di masa depan. Alih-alih menguliahinya, Socrates justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana: Apa yang membuat seorang pemimpin yang baik? Bagaimana Anda tahu apa yang terbaik untuk kota ini? Setiap jawaban mengarah pada pertanyaan yang lebih dalam, hingga Alcibiades menyadari bahwa ia sama sekali tidak memikirkan tentang kepemimpinan.

Inilah metode Socrates dalam beraksi. Dia memulai dengan contoh-contoh yang dapat dipahami dengan baik oleh mitra bicaranya. Ketika berbicara dengan para jenderal, dia akan bertanya tentang pelatihan militer. Dengan para pengrajin, dia akan mendiskusikan perdagangan mereka. Namun secara bertahap, pertanyaannya akan beralih dari contoh-contoh spesifik ke prinsip-prinsip universal, membantu orang menemukan kesenjangan dalam pemahaman mereka sendiri.

Kekuatan pendekatan ini menjadi jelas pada masa-masa tergelap Athena. Pada tahun 404 SM, setelah kalah dalam Perang Peloponnesos dari Sparta, Athena mengalami pergantian demokrasi dengan kelompok yang dikenal sebagai Tiga Puluh Tiran. Salah satu pemimpinnya adalah Critias, mantan murid Socrates. Sementara banyak orang Athena tetap diam karena takut, Socrates melanjutkan pertanyaan publiknya tentang sifat keadilan dan pemerintahan yang baik.

Dalam percakapan yang direkam oleh Plato, kita dapat melihat bagaimana Socrates terlibat dengan Critias bahkan sebelum ia naik ke tampuk kekuasaan. Dimulai dengan pertanyaan sederhana tentang arti kesederhanaan dan kebijaksanaan, ia akan membimbing Critias melalui serangkaian contoh. Dia bertanya, apakah adil untuk menyakiti mereka yang telah menyakiti Anda? Dan, jika keadilan berarti memberikan apa yang pantas mereka dapatkan, bagaimana kita tahu apa yang benar-benar pantas mereka dapatkan?

Melalui pertanyaannya, Socrates mengungkapkan kontradiksi antara prinsip-prinsip yang diklaim oleh Critias dan tindakannya sebagai seorang tiran. Keberanian dalam menghadapi kekuasaan ini pada akhirnya akan berkontribusi pada tuduhan yang dilayangkan kepada Socrates bertahun-tahun kemudian, ketika musuh-musuhnya menuduhnya telah merusak generasi muda Athena.

Kecemerlangan dari metode ini adalah bahwa alih-alih mengatakan kepada orang-orang bahwa mereka salah, Socrates justru membantu mereka menemukan ketidakkonsistenan dalam pemikiran mereka sendiri. Dengan mengajukan pertanyaan yang tepat dalam urutan yang benar, ia mengubah percakapan menjadi perjalanan penemuan.

Untuk menggunakan metode ini dalam kehidupan Anda sendiri, mulailah dengan tiga langkah sederhana. Pertama, saat mendiskusikan topik yang rumit, mulailah dengan contoh-contoh yang diketahui dengan baik oleh lawan bicara Anda. Misalnya, jika Anda berbicara tentang pendidikan dengan orang tua, mulailah dengan pengalaman mereka dalam membesarkan anak-anak mereka sendiri. Selanjutnya, ajukan pertanyaan yang bergerak dari contoh-contoh spesifik ke prinsip-prinsip yang lebih luas – seperti, Bagaimana Anda tahu apa yang terbaik untuk anak Anda? Apakah pendekatan itu akan berhasil untuk semua anak? Terakhir, bantu orang menguji ide-ide mereka dengan pengalaman mereka sendiri daripada memberi tahu mereka apa yang harus dipikirkan.

Kunci dari metode ini adalah kesabaran dan keingintahuan yang tulus. Tujuan Anda bukan untuk membuktikan bahwa orang lain salah, tapi untuk membantu mereka menemukan kebenaran untuk diri mereka sendiri. Seperti Socrates dengan Alcibiades, Anda tidak mengajari orang lain ide-ide baru – Anda membantu mereka menguji apa yang sudah mereka yakini.

Categories
Uncategorized

Mengawali tahun 2025 dengan unjuk capaian dan tabur harapan

Pertama, fokus pada hal yang dapat saya lakukan dengan baik dan cintai (maka) kesuksesan akan mengikuti.

Sebagai seorang dosen yang sudah malang-melintang selama 20 tahun lebih, saya merasa dapat melakukan tugas sebagai seorang peneliti (researcher), penulis (author) dan peninjau karya rekan sejawat (peer reviewer) dengan baik dan semua tugas ini saya lakukan karena saya mencintainya.

Berikut salah satu hasil capaian yang saya banggakan di penghujung tahun 2024 yang baru saja berlalu: tercatat di Web of Science Research Profile [https://www.webofscience.com/wos/author/record/AHA-5694-2022]

Mengutip dari buku The Power of Self-Confidence karya Brian Tracy (2012), kesuksesan sering kali terjadi ketika orang fokus pada apa yang mereka lakukan dengan sebaik-baiknya. Sebuah penelitian terhadap 1.500 orang yang ambisius menemukan bahwa hanya 83 orang yang menjadi jutawan dalam kurun waktu 20 tahun. Yang membedakan mereka bukanlah obsesi terhadap kekayaan, melainkan komitmen yang teguh terhadap pekerjaan yang benar-benar mereka nikmati. Kecintaan mereka pada bidangnya mendorong mereka untuk mengembangkan keterampilan yang luar biasa, dengan kesuksesan finansial yang mengikuti secara alami.

Setiap orang memiliki kekuatan dan keunggulan yang unik – kualitas yang dapat menghasilkan pencapaian yang luar biasa. Dengan mengidentifikasi dan mengembangkan kekuatan ini, Anda dapat membuka potensi Anda. Kunci dari proses ini adalah menyelaraskan pekerjaan Anda dengan aktivitas yang Anda anggap memuaskan, karena ketidakpuasan sering kali menandakan potensi yang belum dimanfaatkan. Ketidakpuasan ini mendorong Anda untuk bertumbuh dan mencari tantangan yang dapat memaksimalkan kemampuan Anda.

Hidup selaras dengan nilai-nilai Anda, terutama integritas, sangat penting untuk kepercayaan diri. Ditambah dengan keberanian – kemampuan untuk bertindak meskipun ada rasa takut – hal ini memungkinkan Anda untuk mengikuti hasrat Anda, membuat keputusan yang berdampak, dan mengejar peran yang memanfaatkan bakat unik Anda.

Mengakui kelemahan juga sama pentingnya. Kelemahan bukanlah kegagalan; kelemahan merupakan area yang perlu diperbaiki, sinyal untuk fokus di tempat lain, atau kekuatan yang salah diterapkan. Tujuannya bukan untuk menghilangkan semua kelemahan, namun untuk memprioritaskan kekuatan yang memberikan hasil tertinggi pada energi Anda.

Langkah-langkah praktisnya termasuk membuat daftar keterampilan Anda dan mengelompokkannya ke dalam kategori untuk melihat di mana letak kekuatan Anda. Mencari umpan balik dari orang-orang yang dipercaya dan merefleksikan pengalaman puncak di masa lalu juga dapat mengungkap potensi yang tersembunyi. Selain itu, memahami motivasi Anda – baik untuk berprestasi secara individu, memengaruhi orang lain, atau berkolaborasi – dapat membantu mengidentifikasi peran yang paling sesuai untuk Anda.

Kesadaran diri mengarah pada kepercayaan diri. Dengan memprioritaskan dan meningkatkan kekuatan Anda, meminimalkan waktu yang dihabiskan untuk kelemahan, dan terus berkembang, Anda memposisikan diri Anda untuk meraih kesuksesan dan kepuasan yang lebih besar. Fokuslah pada upaya Anda yang paling berdampak, dan biarkan kekuatan Anda memandu Anda untuk mencapai potensi penuh.

Guna memberi bobot rohaniah pada capaian intelektual di atas, saya merasa perlu terus mengasah diri dan berharap dapat menjadi lebih baik lagi pada tahun yang baru ini, 2025.

Berikut visi spiritual yang memandu peziarahan saya di tahun yg baru dimulai ini: SPES NON CONFUNDIT (Harapan tidak mengecewakan)