Siapa kita dan dari mana kita berasal: Upaya membaca identitas melalui Genom
Dalam dunia yang semakin menyusut oleh globalisasi dan teknologi, manusia kerap bertanya kembali: Siapa sebenarnya kita? Dari mana kita berasal? Dan mengapa kita menjadi seperti sekarang?
Buku Who We Are and How We Got Here karya David Reich (Oxford University Press, 2018) membawa kita ke jawaban yang lebih dalam melalui jalan sunyi bernama genetika. Lewat riset DNA kuno, kita diajak melihat sejarah bukan dari catatan prasasti atau narasi leluhur semata, tetapi dari cetak biru kehidupan: genom manusia.
Manusia bukan hasil tunggal melainkan campuran dari banyak pola migrasi
Satu gagasan kunci dari riset genetika Reich adalah bahwa tidak ada populasi manusia yang “murni” secara genetik. Hampir semua kelompok manusia yang ada sekarang merupakan hasil dari percampuran kompleks berbagai migrasi dan perkawinan silang yang terjadi selama ribuan tahun. Migrasi bukanlah peristiwa pinggiran dalam sejarah manusia—ia adalah denyut nadi yang membentuk identitas.
Contohnya, DNA Neanderthal ditemukan dalam tubuh manusia non-Afrika modern, menunjukkan bahwa saat Homo sapiens mulai keluar dari Afrika sekitar 50.000 tahun lalu, mereka sempat bercampur dengan spesies manusia lain. Bahkan, jejak DNA dari manusia Denisovan ditemukan dalam populasi Papua dan wilayah Oseania, menunjukkan betapa luas dan tak terduga sejarah hubungan antarmanusia.
Penelitian dan temuan genetika meruntuhkan mitos seputar kemurnian ras dan budaya
Dalam konteks komunikasi identitas, penting untuk menyadari bahwa “ras” bukanlah kenyataan biologis, melainkan konstruksi sosial yang sering digunakan untuk membenarkan ketimpangan. Studi genetika menunjukkan bahwa variasi genetik dalam satu populasi jauh lebih besar daripada perbedaan antara populasi yang berbeda. Artinya, tidak ada dasar ilmiah yang sahih untuk hierarki rasial.
Namun, data DNA juga menunjukkan bahwa beberapa perbedaan genetik antarpopulasi memang ada dan bisa relevan dalam konteks medis—misalnya untuk mendeteksi risiko penyakit tertentu. Tantangannya, seperti yang dihadapi Reich dalam penelitiannya, adalah bagaimana menyampaikan temuan ini tanpa memberi ruang bagi distorsi ideologis. Data sains harus disampaikan dengan tanggung jawab etis yang tinggi, terutama karena diskursus genetik sangat mudah disalahgunakan oleh narasi rasis atau eugenik.
Identitas itu tumpang tindih, berlapis, dan sarat dengan relasi kuasa yang seringnya tidak seimbang
Apa yang kita warisi dalam tubuh kita adalah sejarah panjang relasi sosial, politik, dan gender. Genetika mencatat bagaimana kekuasaan memengaruhi pola pencampuran antarpopulasi, seperti yang terjadi pada perbudakan di Amerika Serikat. DNA laki-laki Eropa ditemukan secara dominan dalam tubuh keturunan Afrika-Amerika karena relasi yang timpang antara tuan tanah dan budak perempuan. Fenomena ini tidak unik; pola yang sama ditemukan di Asia Tengah selama ekspansi Mongol, dan juga dalam migrasi bangsa stepa seperti Yamnaya ke Eropa.
Dengan demikian, identitas bukan sekadar soal asal geografis atau bahasa ibu, tetapi tentang siapa yang berkuasa, siapa yang berpindah, dan siapa yang diabaikan dalam narasi sejarah. Bahkan dalam konteks India modern, stratifikasi kasta ternyata memiliki jejak genetik: kelompok kasta atas umumnya punya proporsi lebih tinggi dari leluhur Eurasia Barat, sedangkan kasta bawah cenderung lebih banyak mewarisi DNA penduduk awal India.
Makna deskripsi di atas bagi studi komunikasi bertopik “identitas”
Sebagai pengajar komunikasi, saya mengangkat temuan Reich ini untuk menggugat cara-cara konvensional dalam membingkai identitas. Alih-alih melihat identitas sebagai sesuatu yang tetap, statis, dan “asli”, kita justru dihadapkan pada kenyataan bahwa identitas manusia adalah hasil dari perpaduan, negosiasi, dan rekonstruksi yang tak pernah selesai. DNA hanyalah salah satu arsipnya; sisanya ada dalam bahasa, budaya, dan narasi yang kita bangun bersama.
Dengan memahami bahwa identitas biologis pun ternyata cair dan tumpang tindih, saya mendorong mahasiswa untuk berpikir lebih kritis, misalnya dengan bertanya tiga pertanyaan pokok ini: Apa itu keaslian? Siapa yang berhak mengklaim kebenaran tentang asal-usul? Bagaimana komunikasi bisa mereproduksi atau menantang mitos identitas?
Identitas biologis: antara gen, proses, dan tanggung jawab moral
Setelah memahami bahwa semua manusia modern berasal dari satu garis mitokondria yang sama dan bahwa kita adalah hasil dari perpaduan genetika global, muncullah pertanyaan penting: Apakah identitas manusia semata-mata ditentukan oleh susunan genetik? Atau, lebih jauh lagi, bagaimana kita memaknai identitas biologis di era teknologi biomedis, big data, dan manipulasi genetik? Di sinilah sains genetika bertemu dengan etika, bahkan filsafat.
Identitas biologis bukanlah cetak biru tetap
Pemikiran klasik memandang makhluk hidup sebagai entitas tetap, seperti patung marmer yang sudah jadi. Namun, pendekatan kontemporer dalam filsafat biologi justru menegaskan sebaliknya: manusia adalah sistem biologis yang dinamis, senantiasa berubah karena interaksi internal dan eksternal. Bahkan tubuh manusia pun bukanlah entitas tunggal, melainkan holobiont, gabungan antara tubuh kita dan miliaran mikroorganisme yang hidup di dalam dan di atas kita secara simbiotik (Meincke & Dupré, 2020). Artinya, identitas biologis bukanlah status tetap, tapi proses yang terus-menerus diperjuangkan dan dinegosiasikan.
Dalam konteks ini, pertanyaan “Siapa aku?” tidak lagi bisa dijawab hanya dengan menyebut urutan DNA atau silsilah leluhur. Jawabannya harus melibatkan pemahaman tentang bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan, teknologi, dan bahkan sistem sosial yang ikut membentuk tubuh dan pengalaman kita.
Etika genetik: siapa yang memiliki tubuh kita?
Teknologi mutakhir seperti rekayasa genetik, CRISPR, terapi gen, dan bahkan kecerdasan buatan dalam diagnosis medis mengundang pertanyaan etis yang semakin kompleks. Apakah identitas kita tetap “utuh” setelah bagian tubuh kita dimodifikasi atau diganti? Jika kita menyimpan data DNA di bank genom, siapa yang memilikinya? Apakah itu milik pribadi, keluarga, negara, atau perusahaan?
Lewis Vaughn (2020) dalam bukunya Bioethics menekankan bahwa prinsip etika klasik, seperti otonomi, kebermanfaatan, keadilan, dan non-malefisens (tidak menyakiti), harus tetap menjadi landasan dalam pengambilan keputusan medis dan bioteknologi. Namun, ketika tubuh manusia dianggap sebagai sistem terbuka dan cair, maka etika juga harus lebih fleksibel, kontekstual, dan partisipatif. Dengan kata lain, kita tidak dapat membincang dan mendiskusikan baik persoalan maupun konsep etika secara dogmatis terhadap tubuh postmodern, yaitu tubuh yang diubah, diakses, atau bahkan disimpan dalam bentuk data.
Dari DNA menuju dialog: upaya menemukan kembali diri dalam dunia yang terkoneksi
Jika narasi DNA menegaskan bahwa kita semua terkait secara genetis, maka narasi etika dan filsafat identitas memberi tahu kita bahwa keterhubungan itu tidak hanya biologis, tapi juga moral dan eksistensial. Bagi mahasiswa ilmu komunikasi, secara khusus, penting untuk memahami bahwa identitas bukan hanya soal siapa kita secara biologis, tetapi juga bagaimana kita dikonstruksi dalam diskursus sosial, direpresentasikan dalam media, dan dinegosiasikan dalam relasi antarmanusia. Identitas bukan sesuatu yang ditemukan, tapi dibentuk dalam dialog—dengan tubuh kita, dengan orang lain, dan dengan dunia. Ketika tubuh dipandang sebagai proses, maka pendekatan etis pun harus fleksibel dan kontekstual. Siapa yang berhak mengakses data genetik? Apakah seseorang tetap menjadi “diri sendiri” setelah intervensi medis radikal? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut kolaborasi antara ilmuwan, filsuf, dan masyarakat luas.
“Any metaphysical theory of biological identity, if it is to be convincing, must pay attention to the relevant body of scientific knowledge.” (Meincke & Dupré, 2020) Dari kutipan ini, penulis membuat parafrase lanjutan atas pernyataan Meincke & Dupré (2020), yaitu “Jika identitas biologis adalah proses yang terus-menerus diciptakan, maka pendidikan dan komunikasi adalah ruang yang di dalamnya proses itu dapat dipahami, disadari, dan dipertanggungjawabkan.”
Kita adalah satu keluarga besar
Apa arti semua uraian di atas bagi pemahaman akan identitas manusia yang lebih holistik? Bahwa keberagaman fisik bukan bukti perbedaan esensial. Warna kulit, tinggi badan, atau bentuk wajah adalah hasil adaptasi lokal. Secara biologis, kita semua kerabat jauh. Bagi mahasiswa komunikasi, sosiologi, dan antropologi, fakta ini mengajarkan bahwa pemahaman identitas harus lintas disiplin. Ia tidak hanya dibentuk oleh gen, tetapi juga oleh budaya, interaksi sosial, dan teknologi. Di era global yang kompleks, pemahaman tentang identitas biologis harus dibarengi dengan kesadaran etis—agar teknologi, pengetahuan, dan kekuasaan tidak mereduksi manusia menjadi objek, tapi tetap menghormati kehidupan sebagai proses yang bernilai.
Bertolak dari paparan singkat di atas, penulis mengajukan tiga pertanyaan kritis guna mendalami topik bahasan dalam tulisan blog ini yang sebaiknya direnungkan dan dijawab oleh mahasiswa peserta kuliah etika komunikasi (serta Anda yang tertarik untuk mendalami topik ini), yaitu:
1) Jika tubuh kita adalah sistem dinamis, bukan bangunan tetap, bagaimana kita harus memahami kesehatan dan penyakit?
2) Apakah memiliki akses ke informasi genetik orang lain berarti kita juga berhak atas tubuh mereka?
3) Bagaimana etika komunikasi pada khususnya dan etika ilmu sosial (the ethics of social sciences) dapat memandu sains alam (natural science) agar tidak kehilangan arah dan sentuhan kemanusiaannya?
Rujukan Utama
Meincke, A. S. & Dupré, J. (2020). Biological identity: Why metaphysicians and philosophers of biology should talk to one another. Dalam Anne Sophie Meincke & John Dupré (Eds.). Biological Identity Perspectives from Metaphysics and the Philosophy of Biology (pp. 1-21). Routledge.
Reich, D. (2018). Who We Are and How We Got Here: Ancient DNA and the New Science of the Human Past. Oxford University Press.
Versi resume buku ini saya akses dari https://www.blinkist.com/en/reader/books/who-we-are-and-how-we-got-here-en
Rutherford, A. (2016). A Brief History of Everyone Who Ever Lived: The Stories in Our Genes. Weidenfeld & Nicolson.
Vaughn, L. (2020). Bioethics: Principles, Issues, and Cases, 4th Ed. Oxford University Press.