Categories
Uncategorized

[Blinkist] Seculosity: Pendar pesona sekularitas gantikan “baju” agama, the zealous search for enoughness

Seculosity: How Career, Parenting, Technology, Food, Politics, and Romance Became Our New Religion And What To Do About It

Author: David Zahl (Fortress Press, April 2019).

Short resume
“Modern society often conflates busyness and performance with personal value, leading to a relentless pursuit of enoughness that impacts identities, relationships, and societies. This pursuit, driven by social pressures to achieve, creates widespread anxiety and isolation, particularly among young people in competitive environments. What we really need to experience contentment isn’t worldly success. It’s enoughness, human connection, and unconditional acceptance that ultimately matter.”

Longer resume described five anchored ideas, including:
(1) Religiosity isn’t in decline, but it has changed its face.
(2) The secular search for completeness answers a religious need.
(3) Enoughness or righteousness can divide us and make us cruel.
(4) Our obsession with status is making us sick.
(5) True self-worth is forged in the acceptance of others’ love.

Berikut uraiannya:

Acapkali saya merasa dan menilai sudah cukup banyak hal yang saya capai selama menjalani “usia produktif” sejak 25 tahun lalu sampai hari ini. Tapi kok, ketika dipikir-pikir lagi, rasanya semua itu masih belum CUKUP, ya? Pernahkah Anda merasa bahwa tidak peduli seberapa banyak yang telah Anda capai, tapi itu semua tidak cukup? Jika ya, Anda tidak sendirian.

Tekanan untuk berprestasi bukan hanya dialami para murid di sekolah, tapi juga karyawan di kantor, para pebisnis yang sedang menjalani usahanya, para seniman yang sedang mencari wadah ekspresi baru dan ruang-ruang kurasi serta ekshibisi selanjutnya, para penulis yang merasa masih kurang produktif menghasilkan tulisan, dan masih banyak lagi. Tekanan “masih terus kurang” itu sedikit banyak membawa sengsara dan kepedihan. Kita becermin dan berbisik pada diri sendiri bahwa kita harus menjadi orang tua yang sempurna, karyawan yang hebat, dan mitra yang sempurna. Bahkan hal-hal kecil dalam hidup pun menjadi bahan penilaian: makanan yang kita makan, di mana kita berlibur, seberapa sering pergi ke gym, apakah work-outs sudah dicatat dan menunjukkan progress. Metriks kegiatan tunduk pada pencarian kompulsif akan kesempurnaan; praxis yang empiris menggulung pendar idealis dan ceruk ontologis.
Pertanyaannya: mengapa kita menuntut diri sendiri dan orang lain dengan standar yang (hampir-hampir) mustahil?

Konsep Seculosity yang disampaikan David Zahl, penggabungan dari kata “sekuler” dan “religiusitas,” menawarkan sebuah jawaban. Zahl melihat alasan kita untuk bertekun dalam diet atau mengoptimalkan waktu melakukan ini dan itu dengan begitu bersemangat adalah karena hal tersebut tak lain tak bukan adalah perilaku religius.

Ketika agama dengan huruf A peran dan signifikansinya telah menurun, sekarang kita menemukan padanan sekuler yang menjawab kebutuhan manusia yang mendalam. Semua aktivitas sekuler yang kita lakukan kini dianggap dapat memberi kita rasa kebenaran (righteousness) dan rasa memiliki, yang bertujuan untuk memenuhi keinginan kita akan harapan, tujuan, dan yang paling penting, perasaan cukup (enoughness). Akibatnya, ranah sekuler dalam kehidupan kita telah menjadi platform tempat kita mencari keselamatan dan pembenaran diri. Masalahnya bukan hanya karena pencarian ini membuat kita menjadi neurotik, tetapi juga karena aktivitas pengganti ini tidak menjawab kebutuhan kita akan kelengkapan (completeness).


(Sumber gambar: https://i.pinimg.com/736x/aa/f7/03/aaf703ee6d8868db9e1e82246264e87d.jpg)

Beberapa waktu lalu, sebuah meme komikal beredar di media sosial dan percakapan, yang menampilkan tokoh rekaan Disney, Cruella DeVille, dengan mata liar dan rambut acak-acakan saat mengendarai mobilnya. Meme ini dilabeli “tugas sehari-hari yang luar biasa dalam kehidupan modern: unggul dalam pekerjaan, menjaga hubungan sosial, dan tetap sehat.” Di bawah foto tersebut, pengguna dari berbagai kalangan menulis, “nasib harian,” dan ucapan-ucapan afirmatif lainnya seperti Amin, Oh Yeah, Yes, Yep, Mantaaaab, Alamaaaak, dll.

Inilah potret perjuangan sehari-hari yang tampaknya berkelindan dengan laju kesibukan rutinitas harian. Dkl., kita semua diliputi oleh kesibukan. Tapi, apakah kesibukan yang terus menerus ini benar-benar memuaskan? Dalam masyarakat kita, kesibukan sering disamakan dengan “menjadi orang penting.” Seolah-olah nilai dan bahkan keselamatan kita bergantung pada produktivitas dan seberapa banyak yang bisa kita lakukan sekaligus (untuk pandangan berbeda, lihat tulisan Paul Atchley, 2010, berikut ini https://hbr.org/2010/12/you-cant-multi-task-so-stop-tr). Kesibukan yang tiada henti ini telah berubah menjadi bentuk religiusitas baru, religiusitas sekuler yang tidak didorong oleh kepercayaan spiritual tradisional, tetapi oleh ritual kesibukan sehari-hari.

Pergeseran ini tidak berarti bahwa dorongan religius telah berkurang, melainkan telah berubah dan menemukan ekspresi baru. Banyak yang beranggapan bahwa dengan menurunnya jumlah pengunjung gereja, orang-orang semakin menjauh dari keyakinan agama. Tapi ini bukan keseluruhan ceritanya. Alih-alih menghilang, dorongan agama justru dialihkan ke kegiatan sekuler; ‘agama baru’ dengan label “kesibukan sehari-hari” membawa seperangkat keyakinan dan ritualnya sendiri, yang jauuuh tertanam dalam kehidupan kita. Jadi, letaknya bukan lagi pada evaluasi atas apa yang sudah kita lakukan, melainkan siapa diri kita dan ini memengaruhi cara kita memandang diri sendiri dan nilai kita di dunia.

Ritual kita di zaman modern, baik itu memeriksa ponsel, mengurasi profil media sosial, atau mengoptimalkan rutinitas, semuanya memiliki fungsi yang sama dengan praktik keagamaan di masa lalu. Ritual-ritual tersebut memberikan struktur dan menawarkan narasi yang dapat digunakan untuk memahami kehidupan dan dunia kita. Intinya, meskipun masyarakat kita mungkin tampak lebih sekuler, pencarian manusia akan makna, tujuan, dan komunitas tetap sama kuatnya seperti sebelumnya. Hanya saja, sekarang, unsur-unsur ini sering kali dikejar melalui jalan sekuler.

Pengejaran enoughness mendominasi kehidupan kita sehari-hari, yang terwujud dalam keinginan kita untuk menjadi sukses, bahagia, bugar, kaya, berpengaruh, dan diterima. Pengejaran ini didorong tekanan sosial (dan media sosial) dan bercirikan tak kunjung usai untuk meraihnya. Pengejaran ini melahirkan kecemasan dan kesepian yang meluas, tetapi juga mengungkapkan aspek bawaan yang lebih dalam dari kodrat manusia yaitu obsesi akan kebenaran, yang dalam konteks teologis mengacu pada konsep self-justification.

Ironi dari enoughness adalah bahwa meskipun rasa cukup menyatukan kita dalam keinginan manusia yang sama untuk melintasi berbagai batasan, seperti politik, kebangsaan, jenis kelamin, ras, dan usia, enoughness juga dapat memecah-belah. Kerinduan akan kecukupan dapat memperkuat kelompok-kelompok, menumbuhkan rasa kebersamaan dan altruisme yang kuat. Namun, kerinduan ini juga secara tajam mendefinisikan kelompok-kelompok yang berbeda, menciptakan perpecahan dan mendorong penilaian yang dapat merendahkan martabat manusia. Akhirnya, tantangannya meletak pada bagaimana kita dapat “mengatasi” masalah-masalah kemanusiaan yang abadi ini di dunia yang di dalamnya struktur-struktur tradisional (seperti agama, ras, sukubangsa, komunitas primordial, keluarga nuklir, dll.) tidak lagi memadai.

Categories
Uncategorized

Wisdom starts with the child’s sense of wonder and astonishment

[Jumat, 11 Okt. 2024]
To Be In Awe – WISDOM from a 96 year old
Host: Reflections of Life (Aug 10, 2024)
https://youtu.be/r-rHc8tm5_c?si=fxdnPumKJTYaTvzD

Teman-teman peneliti belia, menutup perjalanan akademis minggu ini, kita diajak untuk belajar kebijaksanaan hidup dan semangat perpetua discipulo dari grandma Dot Fisher-Smith.

Beliau seorang seniman, fasilitator kelompok, tetua komunitas, aktivis sosial yang gigih memperjuangkan perdamaian dan keadilan, sejak melancarkan protes stop perang Vietnam pada tahun 1967.

Selama 35 tahun terakhir hidupnya, grandma menjadi pembelajar dan praktisi Soto Zen Buddhism.

Grandma mulai menulis jurnal (personal) sejak 1968 dan berpuisi merupakan minatnya sekarang: T.S. Eliot, pujangga kesukaannya.

Saya pribadi merasa tersentuh dengan refleksi grandma yang ini:

I’m happy for whatever I have;
I’m living as fully as I can with what I have.
I want to be a child of wonder and astonishment
We shall not cease from exploration.’
‘And the end of all our exploring’
‘will be to arrive where we started’
‘and to know the place for the first time.

Ketika menonton video pendek ini sampai selesai, separo viewing saja saya sudah meneteskan air mata. Yes, crying, there’s no shame in that.

Saya membayangkan pada umur 95 jalan 96 (dan umur saya baru separuhnya umur grandma Dot Fisher-Smith), beliau terlihat begitu joyful, simple & wise.

I want to be like her, God permits, when reaching that age. Do you?

To all the grandmas in the world, those who already departed, those who suffer and bedridden, and those who still live and breathe. We pay homage and learn from them.

Begin with the End in Mind (from 7 Habits of Highly Effective People by Stephen R. Covey, 2006): that’s why, let us start our conscious journey with the elderly’s wisdom while we’re still young and inexperienced.

Categories
Uncategorized

Workshop Perdana & Pelantikan Pengurus Komunitas Peneliti Belia FIKOM-UMN

Preambule Anggaran Dasar Komunitas Peneliti Belia FIKOM-UMN yang disahkan pada Rabu, 9 Oktober 2024 yang lalu menyatakan bahwa:

“Pembentukan komunitas peneliti belia yang terdiri dari mahasiswa tahun pertama sebuah fakultas dalam lingkup Perguruan Tinggi yang didedikasikan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa melakukan penelitian secara mandiri maupun kolaboratif merupakan inisiatif sadar dan bertujuan guna mewujudkan praktik terbaik dalam tata kelola komunitas penelitian akademik serta menjamin keberlanjutannya selama fakultas terus ada. Bertolak dari keprihatinan atas langkanya keberadaan peneliti belia dari kalangan mahasiswa sekaligus minimnya komunitas yang mewadahi minat penelitian mahasiswa yang didampingi secara intensif oleh dosen tetap fakultas dalam lingkup Perguruan Tinggi untuk menunjang pelaksanaan TriDharma Perguruan Tinggi yang sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya butir penyelenggaraan penelitian sebagai “kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah alasan keberadaan yang utama (raison d’être) dari pembentukan YRC.”

Berikut snapshot penyelenggaraan acaranya yang bertempat di R. Sumbawa, Gedung C Lantai 5.

Dalam kata sambutan, pak Dekan memberikan selamat kepada para mahasiswa baru Angk. 2024 yang sudah berani mengikrarkan diri sebagai dan berkomitmen untuk berproses menjadi peneliti belia, terkhusus kepada 13 orang pengurus YRC.

Dengan mengutip rumusan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pak Dekan menyinggung peran sentral sivitas akademika di perguruan tinggi yang terikat oleh TriDharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.

Secara khusus, terkait pilar TriDharma yang penelitian, pak Dekan berpesan bahwa jika perguruan tinggi tidak menaruh perhatian besar pada penyelenggaraan dan suksesnya penelitian, maka ia akan mandeg dan jalannya begitu-begitu saja, tidak ada inovasi yang berarti yang propel towards and prepare for the future’s challenges.

Karenanya, mahasiswa sebagai bagian inti dari sivitas akademika (selain dosen), perlu memiliki kemampuan berikut ini:

1. kapabilitas artinya kemampuan menguasai proses ilmiah, secara diffuse & focused (Oakley) atau secara konvergen & divergen; juga berpikir secara filosofis (sophia), scr teoritis (theoria) & berpikir scr praktis.
2. produktivitas: menghasilkan proposal riset & buku (Monograf)
3. daya sustainable: minat riset yang berkelanjutan, tidak putus dan menclak-menclok tanpa kedalaman
4. menjunjung reputasi komunitas, prodi, fakultas, serta kampus secara baik.

Untuk mencapai kemampuan dan keterampilan tersebut di atas, YRC dan FIKOM UMN perlu “fostering a culture of lifelong learning” yang terdiri dari tiga aspek substantif berikut ini:

(1) Shared learning & communal knowledge: Create spaces for knowledge sharing and mentorship.

(2) Embrace technology with critical mindset: Utilize online platforms and digital tools to facilitate learning.

(3) Perpetua Discipulo: a Lifelong learning is a journey with no boundaries (therefore) we need companies & clear guidance to move forward.

Semoga komunitas peneliti belia FIKOM UMN dapat terus hidup dan menghidupi sesama dan lingkungan akademis tempat ia berasal, bertumbuh, dan mekar berbuah.

Terimakasih atas kerja keras dan kerja cerdas dari semua panitia pelaksana dan peran serta juga dukungannya, terutama:
1) Dr. Kristina Nurhayati, M. I. Kom. selaku SC Foundation Year Coordinator dan Co-Founder YRC
2) Bapak Irwan Fakhruddin, Sekprodi Ilmu Komunikasi UMN
3) Dr. Rismi Juliadi, M. Si., Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UMN

Categories
Uncategorized

[Blinkist] Learning from Failure: An Acute Learning Opportunity

Based on a book titled Right Kind of Wrong: The Science of Failing Well (Amy Edmondson, 2023)

(*) Amy C. Edmondson is the Novartis Professor of Leadership and Management at the Harvard Business School, where she has taught since 1996. She is the author of several influential books, including Teaming and The Fearless Organization. (lihat CV versi yg lebih lengkap di sini https://www.hbs.edu/faculty/Pages/profile.aspx?facId=6451)

Berdasarkan resume kecil dari buku ini

yang berbunyi sbb.: “Embracing failure as a learning opportunity requires a shift in mindset, but the benefits are well worth the effort. Every failure, no matter how small or seemingly insignificant, holds the potential for growth and improvement. By learning to view failures as stepping stones rather than stumbling blocks, you can unlock the full potential of your organization and achieve greater success than you ever thought possible (creating a culture) where psychological safety is key”

[tonton penjelasan yg menarik dari Prof. Amy berikut ini https://youtu.be/LhoLuui9gX8?si=1tRUe7aT5JgQENC8 : Building a psychologically safe workplace by Amy Edmondson, TEDx Talks, May 4, 2014]

Beberapa waktu terakhir ini, saya menyaksikan sejumlah kecil mahasiswa yg saya rekrut dan dorong untuk menjadi anggota komunitas FIKOM-YRC mengundurkan diri sebelum komunitas ini menjalankan program “resmi”-nya karena sejumlah alasan yg dua di antaranya adalah: (1) takut tidak bisa membagi waktu (dgn aneka kegiatan lain), dan (2) merasa tidak tertarik untuk menulis. Kedua motif alasan yang diajukan oleh rekan-rekan mahasiswa yang mengundurkan diri ini saya antisipasi dalam sapaan pagi di grup WA FIKOM-YRC supaya moril komunitas yg baru saja terbentuk tidak ikut terbawa suasana “ketakutan dan rasa tidak tertarik (to do something essential for this community)”.

Berikut sapaan pagi yg saya post di grup, yg isinya kira2 senada dgn topik “embracing failure as a learning opportunity” yg dibahas oleh Prof. Amy Edmondson dalam bukunya tersebut.

Persoalan pertama yg biasanya mendera sebuah organisasi atau komunitas yg baru berdiri adalah: apakah *ada visi atau idealisme* yang jelas dari founder komunitas, mau dibawa ke mana komunitas yg baru berdiri ini? _Corolarry_ dari persoalan pertama adalah siapa yg menghidupkan dan mengelola idealisme ini agar tetap menyemangati (menganimasi) komunitas yg baru didirikan? Adakah pembagian tugas yg oke di antara founder dgn anggota?

Persoalan kedua biasanya terkait dengan dana: apakah ada *sumber pendanaan yg cukup* utk menopang kelangsungan hidup komunitas ini? Jika ada, bgmn mesin revenue ini bekerja utk menopang idealisme pendirian komunitas, termasuk operasionalisasi kegiatan dan event yg diadakan komunitas ini.

Persoalan ketiga adalah kurangnya peluang *Mentoring dan Berjejaring.* Kurangnya program mentoring dan jejaring yang mapan dapat menghalangi anggota komunitas (atau sekurang2nya meredupkan semangat awal anggota komunitas) untuk mendapatkan bimbingan, dukungan, serta koneksi yg berharga guna mengembangkan idealisme dan mengasah kolaborasi internal ataupun eksternal (dengan komunitas lain yg sejenis).

Saya memahami bahwa jiwa (korsa) sebuah komunitas itu perlu dibentuk dari dua dorongan yg perlu seimbang: idealisme dari pendiri DAN animo atau kerelaan (_voluntary_) anggota untuk mencari dan menemukan dirinya dalam komunitas tsb., khususnya di sini saya bicara FIKOM-YRC.

Pada masa di mana atensi digelontorkan dan diperebutkan medsos dan seabreg2 kegiatan dalam kampus maupun di luar kampus, mudah dibayangkan dan dapat dipahami bahwa rekan2 sekalian mungkin merasa gundah dan bertanya2: cocokkah saya masuk ke FIKOM-YRC? Dapatkah saya bertahan sampai _proyek_ ini selesai di Juli tahun depan? Saya dapat berkontribusi apa utk komunitas ini? Apakah kontribusi saya dihargai dan suara saya didengarkan? dst dsb

Pencarian akan jati diri sbg mahasiswa dan bahkan sbg manusia, kadang dicari dan ditemukan pada suatu momen garis finish tertentu yg definitif, tapi kadang juga tidak begitu, apalagi jika prinsip yg dipegang adalah _hidup itu mengalir aja_. Jadi, pemaknaan dapat diletakkan pada _proses perjalanan pencariannya_ dan bisa juga pada saat _tujuan yg definitif sudah tercapai_ (sudah melewati garis finish).

Komunitas Peneliti Belia FIKOM (FIKOM-YRC) dibentuk dengan pertimbangan dasar bahwa setiap mahasiswa baru yg masuk ke kampus UMN perlu mendapatkan pendampingan yg memadai untuk mengenali budaya kampus (pendidikan tinggi), mengakrabi budaya tsb shg menjadi bagian dari identitasnya, serta bagaimana berperilaku yg wajar dan sehat sbg mahasiswa, sosok pencari dan penuntut ilmu.

Kami sebagai dosen pendamping komunitas ini tidak menawarkan sebuah tujuan definitif atau garis finish yg heboh penuh hingar-bingar dan selebrasi semprot sampanye😄. Tapi kami menawarkan pendampingan yg cukup intensif dalam proses perjalanan pencarian jati diri kalian, syukur2 _bentuk sementaranya_ dapat kalian temukan dalam kurun waktu setahun ke depan. Ini tawaran yg kami percaya tidak disediakan oleh medsos apapun namanya, juga tidak ditemukan dengan cara _scrolling_ layar hape kalian sampe kuku jari menghitam dan kulit jempol jadi kapalan (_callous_)🙃, bahkan mungkin (dan diharapkan serta diarahkan agar) pendampingan ini, karena sifat lintas generasinya (_intergenerational assistance_), dapat memperkaya dan memperdalam pengalaman hayati kalian sekaligus upaya memberi makna atas hidup yg sedang kalian jalani. ✌🏽️

Beberapa waktu lalu pernah sharing ke Ms. K seperti ini: jika saja dulu pas masuk program S1 ada komunitas _young researchers_ seperti ini, saya mau menukar waktu2 yg saya gunakan utk mencari2 _jati diri saya_ dlm aneka bentuk organisasi dan komunitas lainnya yg pernah saya jalani, yg tidak semuanya menghasilkan kontribusi yg signifikan utk mempertebal _self-understanding_ dan meningkatkan _self-awareness_ saya, utk masuk ke komunitas _Young Researchers_ (apapun penamaannya)

Semoga sapaan pagi di atas dan “payung konseptual”-nya yg ditemukan (salah satunya) dalam “Right Kind of Wrong” dapat mendorong, encourage, para mahasiswa baru (freshmen & freshwomen) yg baru saja mau mulai menapaki jalan menjadi pembelajar seumur hidup, perpetua discipulo.

Jangan takut ya nak, dek, gaess!

Kita melangkah bersama dalam komunitas peneliti belia ini!

Vamos!

Forza!

Come on!

Allez!

Categories
Uncategorized

[parenting] Kecakapan yang perlu dikembangkan untuk menyongsong Abad XXI

Sidang pembaca yang budiman,

Tempo hari ketika sedang menyiapkan materi untuk dibagikan ke grup WA FIKOM-YRC, saya terantuk dan langsung terpesona dengan penjelasan yang diberikan Dr. Laura A. Jana, ahli pediatrik, pendidik, penulis buku dan komunikator kesehatan yang handal. (see her personal/professional website here: http://www.drlaurajana.com/)

Materi yang dibawakannya dalam sesi TEDxChandigarh [rilis pertama: 28 Maret 2018] merupakan intisari dari buku yang ditulisnya, yang berjudul The Toddler Brain: Nurture the Skills Today that Will Shape Your Child’s Tomorrow [Da Capo Lifelong Books, 2017].

Video presentasi beliau dapat diakses di sini https://youtu.be/z_1Zv_ECy0g?si=JlF7wf-NaSSXn3PY

Berikut transkrip dari materi yang ada dalam video presentasi tersebut (dalam bahasa Inggris; saya hanya merapikannya saja supaya lebih mudah dibaca)

Semoga sharing beliau ini bermanfaat untuk kita pahami dan lalu aplikasikan dalam ikhtiar pengasuhan sebagai orangtua (parenting) pada era digital ini.

Skills Every Child Will Need to Succeed in 21st Century

Around the world everyone from governments and business leaders and economists to parents teachers and pediatricians are all asking the same question what skills will our children need to succeed. Now you may think you know the answer to the question but consider this: It has been estimated that two-thirds of children today will work in jobs that don’t currently exist now. What skills do you want them to have?

In 2016, the World Economic Forum released a list that every parent and quite honestly anyone who cares about our children’s future needs.

It’s a list of the 21st century skills most valued in today’s complex globalized and rapidly changing world. A third of these skills are the traditional hard skills (such as) reading, writing and arithmetic that I call IQ skills.

More notable however are the other skills (called) social and creative skills like creativity, curiosity, communication, collaboration, and critical thinking, along with grit leadership and adaptability;

It is these so-called soft non-cognitive and other skills that are gaining prominence in playrooms, classrooms, and boardrooms around the world;

Now I feel the need to point out that calling these skills soft doesn’t do them justice and referring to them as non-cognitive is just wrong given that they involve complex functioning of the brain that leaves us with “other,”

As somebody who has spent decades translating facts and figures into practical information, I can assure you that if you ever want to convince somebody that something’s really important don’t call it other;

So I’d like to propose that we call these other skills key skills spelled Qi;

Now the fact that it sounds like the word key as in ke-Y fits because these skills are certainly key to future success;

It also reflects the fact that they are the complement to the IQ skills;

IQ and Qi and finally the word key sometimes also pronounced has been used across cultures and centuries to represent a positive life force that you can be born with but they can also be developed;

And that brings us to perhaps the most important insight based on the science of early brain and child development;

We now know that these key skills can be developed far earlier than most people realize with 85% of brain growth thought to occur by age 3 and up to a million new neural connections forming per second during the first 5 years;

That we have a unique opportunity to more intentionally build babies brains and to assemble this toolkit of skills we know they’ll need to succeed, that help you better understand why these early years are so critical;

I find it helpful to use the analogy of comparing the electrical wiring of the brain to that of a house: it is entirely possible to rewire an old house;

It just always takes longer costs more and never turns out quite as good as when the wiring goes in before the walls go up

With respect to the wiring of baby’s brains, caring responsive adults are (people) that play the role as (babies’) chief architects neurons;

(babies) don’t just connect and don’t just learn what they need to know all on their own;

Unlocking children’s early learning potential is deeply dependent on social interactions which explains why cultivating the key skills involves a whole lot of talking, cooing, singing, playing, and reading books to babies;

With that in mind, allow me to introduce you to the seven key skills:

The first of the key skills is our me skills, defined by self-awareness, self-control, or impulse control along with focus and attention;

In other words, me skills are what allow us to be in control of our own thoughts, feelings, and actions;

Now, to put me skills into a bigger picture perspective, just think about how often these days we hear about everything from mindfulness apps and mindful breathing to the introduction of chief mindfulness officers into corporate culture;

Even renowned business visionary Peter Drucker (1909-2005) predicted that while the 20th century was the era of business management, the 21st century is going to be the era of self management, right, and a good self management day in the life of a toddler is when no one bites their friends;

That’s because the ability to resist one’s impulses or their urges is really dependent on impulse control which happens to be one of the three defining features of what neuroscientists call executive function skills;

What research now tells us about these all-important executive function skills is that they develop most rapidly between the ages of 3 & 5;

After me skills come we skills;

We skills are people skills, the relationship skills, like communication, collaboration, teamwork, active listening, empathy and perspective taking: all needed to play well with others;

We skills are especially valuable in a world where it’s become as important to be able to read other people as it is to read

Now, given that I don’t ever have to actually convince anybody that these skills are worth developing, allow me instead to translate put your listening ears on use your words learn to play nice with others and in the same sandbox;

The fact of the matter is that these highly coveted social-emotional skills are preschool skills and they can be developed of very early;

Toddlers can be taught to understand other people’s perspectives: 9 month olds begin to show signs of empathy and even very young infants are sensitive emotion detectors able to sense others emotions even before they can walk or talk;

Now, before moving on, I should point out that it is the combination of me skills and we skills that fit the formal definition of emotional intelligence described not only as two of the hottest words in corporate America but recognized around the world as absolutely critical to thrive in all aspects of 21st century life;

Next to the Y skills which obviously include asking the question why, but more broadly include exploration, curiosity, inquisitiveness, and asking all sorts of questions to better understand how the world works fueled by technology the Information Age has now put so many answers right at our collective fingertips that it is no wonder that the ability to ask good questions has become so much more valued than simply knowing the right answer;

As Albert Einstein put it, the important thing is to never stop questioning

Now think about some of the corporate training programs like the five why’s that train business leaders to better get to the root of a problem by repeatedly asking why implemented by some of the top companies in the world;

These formal questioning and training techniques ironically leave one fundamental question unanswered why should we have to go to such great lengths to train adults to do something that comes so naturally to two and three-year-olds?

The answer I’m afraid is that we train this skill out of children while it is natural for young children to question the world around them;

Making sure that they continue to see the world as a question mark very much depends on our commitment to encouraging rather than squelching their natural sense of wonder

When I think of will skills I’m reminded of when my own three children first began school and they became members of a club called the can-do Club, which recognized young students not just for their grades but for their drive and determination, both key aspects of will skills

Will is also about grit and perseverance and it’s evident in people with get the job done and stick with it attitudes: at the heart of will is motivation;

Now there are actually two types of motivation: the first extrinsic motivation involves rewards and punishments.

While this approach may work in the short run and for relatively simple tasks the complex challenges of the 21st century are going to demand a lot more from our children simply relying on rewards has been shown to all but kill creativity and in the long run actually decrease motivation;

Intrinsic or self motivation is what we’re really after the kind of motivation that comes from within to foster this kind of self-motivation;

We perhaps need to rethink how we parent in the earliest years when even the most routine tasks (such as) brushing teeth and peeing in the potty are all too often rewarded with sweets and treats rather than with praise and pride

Now, you may not be accustomed to thinking of wiggling as a skill but the best way to understand wiggle skills is to recognize that physical and intellectual restlessness go hand in hand

Just think about how we commonly describe successful adults as movers and shakers and go-getters who set stretch goals spring into action and reach for the stars: they’re all about action;

If you read the innovation literature you’ll find that innovators are almost always described as physically restless and at work you’re more likely to see walking meetings and treadmill desks and manipulatives on tables;

All meant more actively enhance our ability to think create and innovate;

Now think about the words that we use to describe active young children: fidgety, antsy, restless.

I can honestly say that in all my years working with children, I’ve never heard any of those words used in a positive sense;

Whether out of fear for their safety or for our own convenience, we tend to favor the calm, quiet child who doesn’t reach, touch, grab, or poker get into things instead of giving young children the wiggle room they need, we strap them in, we insist they sit still and we tell them to look but don’t touch;

All of us but most especially young children learn about the world by physically interacting with it instead of working their wiggles out;

What our children really need is for us to help them learn how to put their wiggles to work;

After wiggle comes wobble: a set of skills defined by agility and adaptability and the ability to face overcome and learn from failure

The word wobble comes from a phrase “weebles wobble but they don’t fall down,” a reference to a very popular classic toy called weebles;

Their eggs shaped with weight at the bottom so they could wobble back and forth but ultimately remain standing;

As skills needed to adapt to a very rapidly changing world, wobble skills have gained special prominence college applications and job interviewers routinely ask when have you failed and what did you do about it

Silicon Valley’s unofficial motto is said to be fail early, fail often, and fail forward: a motto that we really should be applying to how we raise young children;

On that note, I want you to think for a moment what might be earliest developmental milestones for wobble look like, but, don’t think too hard, because there are none!

The fact of the matter is that milestones only represent successes not failures;

If we want to raise resilient children we need to get in the habit of celebrating not just their milestone moments but their ability to fall down, brush themselves off and get right back up again;

The combination of the key skills are what if skills or what I think of as possibilities skills defined by innovation, imagination, creativity and out-of-the-box thinking;

It’s the what if skills that give us the ability to imagine the world not just as it is but as how it could be;

In a global survey of over 1,500 CEOs, creativity was identified as the single most important factor for future success;

Our world clearly rewards those who can imagine the world they want to live in and then create it;

Young children excel at imagining new worlds from make-believe and superheroes to imaginary friends and fanciful stories: Young children really are as futurist

Peter H. Diamandis, the founder and executive chairman of the XPRIZE Foundation, puts it (this way): young children are some of the most imaginative humans around;

But, it has also been said that the creative adult is the child that survived;

In our efforts to teach our children how we see the world we run the very real risk of convincing them that there’s only one right way to do or see things;

We must therefore ask ourselves the question raised by developmental psychologist Jean Piaget “are we forming children capable of only learning that which is already known or should we try to develop creative and innovative minds capable of discovery throughout life?”

I’m here to tell you the answer is the latter!

Giving children the best is about maximizing their potential, not their possessions; It’s about cultivating their sense of purpose and passion, not subjecting them to unnecessary pressure, and it’s about caring responsive adults and starting early;

We now know that what happens in early childhood does not stay in early childhood.

By applying what we now know about all of the key skills and applying it early me, we, Y, will, wiggle, wobble, and what if, I believe that we can achieve success in our shared goal of giving all children access to a world of possibilities

Thank you

Dr. Laura A. Jana

@sagarpaudel1188 (resumes the speech)

Seven Qi (Ke-Y) skills for thriving in the 21st Century
1) Me skills : Self Control
2) We skills : Social skills
Me skills + We skills = Emotional Intelligence
3) Why skills : Exploration, Curiosity
4) Will skills : Drive, Determination, Perseverance
5) Wiggle skills : Physical and Intellectual restlessness
6) Wobble skills : Agility, Adaptability, Ability to face, overcome and learn from failure
7) What If Skills (Possibility Skills) : Innovation, Imagination, Creativity, Out-of-the-box Thinking

Categories
Uncategorized

Pushing the boundaries, establishing the connection, & striving towards life-long learner: Constructing Young Researchers’ Community

[Sabtu, 31 Agustus 2024]
Selamat siang, teman-teman calon FIKOM young researchers.
Dalam rangka persiapan menuju tes tertulis pada 18 September nanti, juga untuk menyiapkan diri menjadi pembelajar seumur hidup (lifelong learner), ada baiknya kita mempersiapkan disposisi berpikir dan belajar yang tepat-guna. Era digital ditandai adanya keberlimpahan informasi (information overload). Hal ini berarti butuh kecakapan tersendiri untuk membedakan mana jenis informasi yang berguna untuk membentuk pondasi pengetahuan yg esensial dan yg praktis, serta mana informasi yang hanya numpang lewat saja . Seperti pernah disampaikan esayis dari Inggris, Samuel Johnson,

Knowledge is of two kinds. We know a subject ourselves, or we know where we can find information upon it

Berikut salah satu video inspiratif yg disampaikan Luis von Ahn (designer Duolingo apps) ttg bagaimana menjadi pembelajar yg sukses di era digital bahkan membuat ‘belajar itu jadi seperti kecanduan bersosmed.’ Semoga bermanfaat.
https://youtu.be/P6FORpg0KVo?si=kmfvzHkOU-mlvvKs
How to Make Learning as Addictive as Social Media
by Luis Von Ahn [https://en.wikipedia.org/wiki/Luis_von_Ahn]

[Senin, 2 Sept. 2024]

Selamat pagi, teman-teman 🙌🏻🙌🏻

Saya ingin berbagi sebuah video yang sangat menginspirasi tentang “Cipta, Rasa, Karsa Manusia Indonesia” oleh Karlina Supelli.
Karlina Supelli: Cipta, Rasa, Karsa Manusia Indonesia
Endgame #141 (Luminaries)
Host: Gita Wirjawan
https://youtu.be/Io40wI5Abac?si=8dXaPxCJplxZ9nFN

Saya yakin video ini akan memberikan banyak inspirasi dan motivasi bagi kita semua.Selamat menyaksikan 🫶🏻

Hendar merespon:
Terimakasih Ms. Kristina untuk sharing video inspiratif ini. Ibu Karlina Supelli adalah astronom perempuan pertama Indonesia. Gelar Doktor Astronomi diperoleh Bu Karlina dari University College of London (UCL), Inggris. Tapi beliau malah lebih terpanggil untuk menekuni kajian Filsafat, khususnya Metafisika, Filsafat Sains & Kosmologi. Gelar doktor filsafat diperoleh beliau dari UI tahun 1997 dengan judul disertasi Wajah-Wajah Alam Semesta, Suatu Kosmologi Empiris Konstruktif
Promotor beliau Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie & Prof. Toeti Herati R.
Saya merasa beruntung pernah mengenyam dua semester diajar beliau pas menempuh S2 Filsafat di STF Driyarkara, back in 2005-2008.
Salah satu mata kuliah yg paling mengesan yg pernah beliau ajar & saya jadi murid beliau adalah Kosmologi (Filsafat tentang Cosmos/Alam Semesta). Nanti akan saya share link salah satu tulisan yg pernah saya submit sebagai paper UAS pas ikut mata kuliah Kosmologi.🤩👍🏽

Teman2 sekalian, kami berdua terpanggil untuk mempersiapkan kalian menjadi peneliti belia. Salah satu concern yg dapat kami lakukan dlm rangka persiapan ini adalah dgn berbagi video2 inspiratif yg membuka wawasan berpikir kalian sehingga nantinya lebih siap bukan hanya utk menghadapi tes tertulis tgl 18 Sept nanti tapi lebih jauh dari itu. Sekurang2nya sampai periode FIKOM-YRC Batch 1 ini berakhir di bulan Juli 2025.

Bulan Agustus 2025 nanti, kami akan mempersiapkan Batch 2 utk para MaBa FIKOM Angk. 2025.
Kalian semua akan menjadi alumni Batch 1 & kakak senior utk Batch 2.🫶🏽😊

[Rabu, 4 Sept. 2024]
Berbahasa menjadi jendela untuk berpikir dan menjelajahi dunia.

Batas-batas bahasaku berarti batas-batas duniaku

demikian pernyataan dari filsuf bahasa dari Austria, Ludwig Wittgenstein (1922).

Gita Wirjawan, mantan Menteri perdagangan RI (2011-2014) sekaligus polyglot alumnus dari Universitas Harvard, University of Texas di Austin, Universitas Baylor, dan Sekolah Pemerintahan John F. Kennedy, berbagi pengalamannya menjelajahi penguasaan bahasa yang berbeda-beda sebagai modalnya sebagai pembelajar seumur hidup. Bagaimana denganmu? Bahasa apa yang sudah kamu kenali dan kuasai sekarang? Bahasa baru apa yang sedang kamu pelajari? Sudahkah kualitas hidupmu sebagai pembelajar seumur hidup meningkat seiring dengan penguasaan bahasa-bahasa yang kamu sedang/sudah/mau pelajari?

Selamat berpikir merdeka, berkomunikasi, dan menjelajahi dunia lewat berbahasa!

Gita Wirjawan: Semakin Bisa Berkomunikasi, Semakin Bisa Meningkatkan Produktivitas di
Masa Depan
Host: CAKAP
https://youtu.be/fAgHCEGkeF4?si=vxcvHJ5JqnkoarvC

[Jumat, 6 Sept. 2024]
Selamat pagi, teman-teman 🙌🏻

Kali ini kami ingin berbagi video yang sangat menginspirasi tentang
“Iman Usman: Good Enough is Not Enough”
Endgame S2E07
Host: Gita Wirjawan
https://youtu.be/bD9CCXtQ72E?si=XtvGr7vrPu4n1P6R

Kami yakin video ini akan memberikan inspirasi dan motivasi bagi kita semua. Selamat menyaksikan 🙌🏻

Hendar merespon postingan dari Ms. K ini dengan mengatakan bahwa “Salah satu kekhawatiran terkait “nasib” pendidikan di masa depan adalah bahwa skill yg kita miliki sekarang bs jadi sudah obsolete (usang) ketika kita memasuki dunia kerja. Itulah sebabnya mengapa penting utk terus meng-upgrade skill kita (dlm konteks life-long learning) agar kita tetap terhubung dengan & kecakapan kita tetap relevan dgn kebutuhan pasar tenaga kerja di masa depan. Automation tidak otomatis menggantikan human skill meskipun sebagian pekerjaan dapat digantikan oleh mesin (AI). Mari kita terus mengasah life skills bukan hanya utk survive tapi jg thrive!” 

Berikut sejumlah kutipan terkait “masa depan pendidikan dalam lanskap Pendidikan Tinggi” sebagaimana dirangkum dan tertulis dalam The Chronicle of Higher Education:

“College students who attend fully-online classes are more likely to suffer more mental-health issues than those who don’t.”

“The Class of 2030’s students will prefer hybrid learning to other types. Only 1 percent say students would prefer an all-virtual experience. Only 8 percent say that students would prefer a program made up entirely of face-to-face learning.”

“The students of the class of 2030 have experienced historic educational disruption and social turmoil at a vulnerable age, and the impact of those experiences will continue to linger. Higher-education institutions will need to prepare carefully and thoroughly to help them succeed.”

Source: https://connect.chronicle.com/rs/931-EKA-218/images/TheClassOf2030_Zomm_reasearchBrief.pdf

Dalam konteks inilah, kata-kata yang disampaikan Iman Usman beberapa tahun lalu ketika ia berproses menulis buku Masih Belajar menjadi semacam refren harapan yang dapat menyemangati Gen Z utk tidak takut jatuh, gagal, mengalami penolakan, embracing the failures, dalam aras proses menjadi peneliti dan penulis belia.

“gue belajar banyak tentang diri gue; gue belajar selama ini untuk bisa sampai di titik di mana gue berada sekarang gue melalui banyak hal, dan perjalanan itu adalah perjalanan yang sama sekali tidak sempurna. Jadi kalo tadinya gue nyari topik yang sempurna, nyari tema yg sempurna, ya gue salah, karena hidup gue aja tuh gak sempurna. Ada banyak kegagalan, ada banyak perjuangan, ada banyak penolakan, meskipun juga ada banyak cerita-cerita seru, harapan, mimpi, cita-cita. Dan itulah yang mau gue sampaikan lewat buku ini…”

Lihat videonya di sini: https://youtu.be/T1v727Z-p0I?si=0WAkNuFht2ONnZoV

Categories
Uncategorized

Madhang, medhang & mudheng: a satirical case of chat-GPT poetry making

This morning, after a routine walk, I stumbled upon a bright and interesting coffee stall located in Ps. Modern Paramount Serpong.

Looking at the menu, I simply ordered Americano.

Here’s the picture of the artsy coffee, a poetry in motion with almost phoenix-like bird silhouette (Kudos to the barista!)

While sipping the coffee, I happened to hear a conversation between Engkoh2 sitting next to me with the so-called waitress-cum-barista, highlighting their recent hearsay regarding a mysterious case of “stolen Americano” from the common fridge typically used by the sellers and tenants to store their collectible and whatnot items.

In a most caricatural way, the Engkoh2 bantered with the waitress regarding the case, with outbourst of laughters and hiccups, leaving some traces of Pseudobulbar affect.

And here’s the poetry making of the said case to capture my imaginary landscape on such a lively exchange of subtle meanings of “who·dun·it” between the seller and the customer:

[ChatGPT poetry making version with a slight moderation to emphasize the lively nature of the witty banter]

“The Great Americano Scandal”

In the fridge, it sat, so dark and bold,
An unclaimed cup, both hot and cold.
The bossy Master of Disguise, coffee in hand,
Declared his territory, took his stand.

“My Americano! Who dared to sip?”
He scowled, as his ego began to drip.
“You cross my line, you break my trust—
Respect my brew, it’s a must!”

The sellers looked up, confused and bemused,
Who touched his cup? They all refused.
“For it was unlabelled,” one dared to say,
“But now we’re all suspects, come what may.”

“Boundaries, people! Know your place!”
He texted with fury, red in the face.
“This sacred cup is mine alone,
Don’t touch what’s not yours, or you’ll atone.”

In WhatsApp, his message made rounds,
A rant that echoed with empty sounds.
But all could see what he forgot—
It’s just some coffee, not a sacred plot!

Next time, dear Master of Disguise, label it clear,
And no one will touch your treasured gear.
For in this world of Agora’s talk,
A cup unmarked invites a gawk!


The supplement of context: This version shifts the focus but maintains the satirical tone and playfully criticizing the overreaction to such a small issue.

Categories
Uncategorized

[Blinkist] Co-Intelligence: Living and Working with AI (Ethan Mollick, 2024)

Pada bulan November 2022, sebuah alat baru yang revolusioner tersedia untuk semua orang yang memiliki koneksi internet tanpa biaya. Bentuk generatif dari kecerdasan buatan berbasis bahasa – yang dikenal sebagai ChatGPT – hadir di dunia dan digunakan oleh 100 juta orang, lebih cepat dibandingkan produk lainnya dalam sejarah. ChatGPT mewakili generasi baru AI – yang mana teknologi AI berfungsi sebagai co-intelligence.

Artinya, alih-alih mengikuti proses yang lebih prosedural dan berulang, seperti yang dilakukan (versi) AI sebelumnya, ChatGPT meniru pola berpikir manusia. Fungsionalitas generatif dan fleksibelnya tidak hanya mengubah cara kita sebagai manusia mendekati pekerjaan, tapi juga berdampak besar pada seberapa cepat tugas-tugas kompleks diselesaikan. Dalam beberapa kasus, penggunaan ChatGPT dapat meningkatkan produktivitas kerja hingga 60 persen. Yang lebih kerennya lagi, Gen-AI ini tidak hanya berhasil diterapkan untuk pekerjaan tapi lebih dari itu. Segala sesuatu mulai dari pendidikan hingga hiburan merasakan efek dari kecerdasan buatan.

Tidak ada yang tahu persis apa yang akan terjadi di masa depan, terutama karena AI terus melampaui ekspektasi dan berperilaku mengejutkan dan tidak terduga. Namun jelas bahwa Gen-AI telah mengubah dunia secara permanen dan mendalam.

Dalam tampilan resume Blink kali ini, kita akan diajak melihat tiga aspek berbeda di tempat kerja yang dibentuk secara signifikan oleh AI, sehingga kita terbantu mendapatkan manfaat langsung dari teknologi yang luar biasa ini. Dengan memahami potensi dan kekurangan AI, kita dapat menganggapnya sebagai alat canggih yang akan membawa kecerdasan Anda ke tingkat yang sebelumnya tidak dapat dicapai.

Kepribadian seperti apa yang dimiliki AI?

Ada beberapa kualitas yang penting bagi semua AI berbasis LLM (Large Language Models). Pertama, mereka akan selalu mengejutkan Anda. Inilah perbedaan inti antara AI generasi terbaru dan pendahulunya. AI adalah sejenis perangkat lunak. Secara historis, perangkat lunak dirancang untuk mematuhi seperangkat pola yang sudah ditentukan sebelumnya guna mencapai hasil akhir tertentu. Tapi LLM tidak seperti ini cara kerjanya. Mereka dirancang untuk bersifat generatif. Artinya, menemukan solusi terhadap masalah yang kompleks dan memberikan hasil yang kreatif. Inilah salah satu manfaat inti dari LLM.

Namun, kualitas ini juga mempunyai kelemahan besar. AI generatif cenderung berbohong, biasa disebut dengan halusinasi. AI berbasis LLM tidak dapat membedakan antara fakta dan rekayasa – AI hanya diprogram untuk mencari pola dan memberikan respons yang inovatif dan meyakinkan. Artinya, mereka cenderung menciptakan sesuatu dan menampilkannya sebagai kebenaran, meskipun itu sepenuhnya fiksi (palsu/rekayasa). Keunikan fitur Gen-AI ini masih akan kita elaborasi lain kali tapi saat ini sebaiknya Anda mempelajari bagaimana AI dapat meningkatkan kualitas aktivitas kerja Anda.
Untuk menutupi kekurangan “halusinasi” ini, AI memiliki kualitas yang sangat bermanfaat, yaitu kemampuan beradaptasi. Bekerja dengan AI terasa seperti berkomunikasi dengan orang sungguhan.

Namun Anda, sebagai manusia, harus memberi tahu AI jenis kepribadian apa yang Anda inginkan setiap kali Anda menggunakannya. Misalnya, jika Anda ingin LLM menyiapkan laporan bisnis, Anda dapat mengatakan kepadanya, “Anda adalah manajer bisnis yang sangat cerdas dan cerdik serta pandai bicara, persuasif, dan transparan. Tulis ringkasan eksekutif laporan bisnis, berdasarkan dokumen masukan.” Dengan memberikan karakterisasi seperti ini, output yang dihasilkan AI Anda akan memiliki nada yang sesuai. Alternatifnya, Anda dapat meminta AI untuk mengambil kepribadian seorang lajang romantis yang putus asa, dan memintanya untuk menulis puisi tentang matahari terbenam untuk kekasih Anda.

Pada dasarnya, bekerja dengan AI berarti Anda memiliki beragam kepribadian dan pakar di ujung jari Anda, semuanya siap dan mampu memberikan apa yang Anda butuhkan, dengan gaya yang Anda perlukan. Hal ini tidak berarti bahwa Anda dapat sepenuhnya melakukan outsourcing setiap tugas berbasis bahasa dengan AI tapi Anda dapat mempelajari cara terbaik memanfaatkan AI untuk meningkatkan produktivitas dan performa. Dengan menyatukan kecerdasan Anda dengan AI (co-intelligence), potensi Anda akan menjadi tidak terbatas.

Resume atas buku Co-Intelligence karya Ethan Mollick (2024) yang sudah diolah dan ditampilkan Blink telah menuntun kita untuk mempelajari bahwa AI generatif adalah alat canggih yang memungkinkan kita meningkatkan kinerja secara signifikan. Hal ini tidak hanya memungkinkan kita bekerja lebih efisien, tetapi juga meningkatkan kreativitas kita ketika digunakan sebagai mitra kolaboratif. Potensi ini akan terus meningkat seiring berkembangnya teknologi AI.

Meskipun banyak pakar teknologi memiliki kekhawatiran yang nyata mengenai risiko yang ditimbulkan oleh AI – seperti ancaman keamanan dan disinformasi – tidak ada keraguan bahwa AI membawa manfaat yang signifikan, seperti potensi untuk mendorong penelitian ilmiah dengan cepat serta memecahkan tantangan global yang kompleks. Mengingat ini semua, Gen-AI dapat berkontribusi secara luar biasa untuk tempat kerja dalam bentuk produktivitas yang lebih tinggi dan pemecahan masalah yang inovatif. Ketika AI menjadi alat yang tersedia dan mudah dijangkau oleh sebagian besar profesi, AI akan mengubah cara kita bekerja selamanya.

Pertanyaan yang layak kita renungkan sekarang adalah: Siapkah kita untuk berpikir dan bekerja bersama Gen-AI, alih-alih menolak dan menyangkal keberadaannya, atau hanya mencari-cari titik lemahnya lalu memberondongnya dengan kritisisme berlebihan?

Categories
Uncategorized

Perjalanan intelektualku menggunakan Blinkist apps: Dweck’s fixed vs. growth Mindset

Dimulai dari keingintahuan untuk mencoba sebuah aplikasi digital yang dapat membantu belajar secara mandiri lewat membaca buku secara teratur/ajeg setiap harinya, saya meng-install Blinkist (cek di Google Play) dan mulai mencari-cari buku apa yang bagus untuk mulai saya baca. Pada saat scroll acak, saya terantuk pada buku yang ditulis seorang ahli Psikologi bernama Carol Dweck berjudul Mindset: The New Psychology of Success (2006).

Yang dituliskannya merupakan kristalisasi dan penamaan lain dari skema tiga representasi sikap komunikatif yang saya sedang dalami dan kembangkan dalam disertasi saya: sikap alamiah, sikap fenomenologis dan sikap etis. Dweck menamainya skema “fixed vs. a growth mindset” yang kurang lebih berbunyi sbb. (terjemahan dari bahasa Inggris)

Pola pikir kita menentukan apakah kita yakin bisa belajar, berubah, dan bertumbuh – atau tidak. Dari bentuk tengkorak hingga ukuran kaki Anda, ciri-ciri fisik tubuh Anda sedikit banyak telah ditentukan sejak awal. Tentu saja Anda bisa menjalani operasi plastik atau mengalami patah tulang, tapi, sebagai manusia, pada umumnya kita hanya mempunyai sedikit kendali atas ciri-ciri tubuh kita. Namun bagaimana dengan kemampuan intelektual dan fisik seperti bermain basket, menggambar, atau memecahkan soal matematika? Apakah mereka turun temurun (hereditary) atau dipelajari (learned)?

Saat ini sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa jika Anda ingin menjadi pemain biola handal (concert violinist), Anda tidak hanya perlu memiliki “bakat” musik tetapi juga harus mendedikasikan tahun-tahun hidup Anda untuk berlatih keras. Ringkasnya, pola pikir kita memainkan peran penting dalam cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Sederhananya, pola pikir kita membentuk keyakinan kita untuk mencapai sesuatu.

Kedua tonggak ekstrem ini menjadi dasar konsep pola pikir tetap vs pola pikir berkembang. Orang-orang dengan pola pikir tetap percaya bahwa mereka dilahirkan ‘secara alamiah berbakat’ dalam melakukan beberapa hal tetapi sama sekali tidak mampu melakukan hal-hal lain, sedangkan orang-orang dengan pola pikir berkembang percaya bahwa mereka bisa menjadi ahli dalam segala hal jika mereka berusaha cukup keras. Jadi orang-orang dalam kelompok terakhir terus berkembang sepanjang hidup mereka, memeroleh keterampilan baru tanpa syarat dan secara aktif terlibat dalam hubungan mereka. Bagi mereka, kehidupan dalam segala aspeknya selalu berubah. Sebaliknya, orang dengan pola pikir tetap seringkali membiarkan cara berpikirnya yang hitam-putih menghalangi perkembangannya. Jika mereka gagal dalam suatu hal, mereka akan mengubur kepala mereka di pasir atau menyalahkan orang lain. Mereka mengharapkan cinta abadi dalam hubungan mereka daripada memperbaiki hubungan itu sendiri.

Kemampuan seseorang sudah terpatri (ajeg) dalam pola pikir tetap. Orang dengan pola pikir tetap percaya bahwa bakat adalah raja. Dalam pandangan mereka, kemampuan seseorang ditentukan sejak awal. Seseorang, pada dasarnya, cerdas dan berbakat atau bodoh dan tidak kompeten, dan akan tetap seperti itu (sampai akhir zaman). Perusahaan-perusahaan besar seperti Enron dan McKinsey, yang departemen SDM-nya menginvestasikan banyak uang untuk mencari bakat-bakat alamiah di universitas, mewujudkan cara berpikir ini. Lulusan yang mereka rekrut diharapkan dapat langsung mendongkrak kinerja perusahaan dengan kemampuannya yang luar biasa.

Namun karena lulusannya sangat berbakat, mereka hanya menerima sedikit pelatihan dan tidak diharapkan untuk maju dalam pekerjaan mereka atau tumbuh dalam peran baru. Akibatnya, atasan mereka terus-menerus mengevaluasi mereka. Apakah para lulusan ini benar-benar secerdas yang kita kira atau apakah kesalahan mereka menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai bakat untuk menyelesaikan pekerjaan? Orang-orang dengan pola pikir tetap berpikir bahwa karyawan yang tidak sempurna sejak hari pertama tidak akan pernah sempurna, jadi yang terbaik adalah segera melepaskan mereka.

Selain itu, orang-orang dengan pola pikir tetap percaya bahwa mereka hanya dapat melakukan hal-hal yang mereka tunjukkan secara alami, dan praktik tersebut tidak akan menjadikan mereka sempurna. Karena mereka cepat menilai diri sendiri dan orang lain baik atau buruknya suatu hal, mereka menganggap orang lain juga selalu menilai mereka (seperti itu). Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk menunjukkan betapa berbakat dan pintarnya mereka setiap ada kesempatan. Mereka yakin seluruh kepribadian mereka dipertaruhkan. Satu kesalahan saja sudah cukup untuk mencap mereka sebagai orang bodoh yang tidak kompeten seumur hidup. Mereka terus-menerus mencari persetujuan orang lain untuk melindungi ego mereka dan memastikan bahwa mereka benar-benar hebat seperti yang mereka kira.

Hendar is writing his thoughts now, no longer Dweck’s:
(1) Masih ada banyak insight lain yang saya peroleh setelah membaca ringkasan buku Mindset karya Carol Dweck ini, termasuk bagaimana fixed mindset masih dapat diubah dengan sejumlah eksperimen dan exposure pada pengalaman/peristiwa tertentu yg sifatnya game changer;

(2) Dunia dan isinya (pengalaman manusia memberi makna pada hidupnya) tentu saja tidak dibagi secara dikotomis begitu rupa seperti digambarkan oleh Dweck dalam bukunya. Dari pemilihan kata dan konsep saja, Mindset, Dweck sudah membatasi kreativitas pemaknaan yang dapat diberikan. Alih-alih mengusulkan nama baru, misalnya Mindgrowth, Dweck tetap menggunakan istilah yg sama [Mindset] sepanjang bukunya, meskipun dengan elaborasi pemaknaan yg lebih advanced daripada yg diajukan rekan sejawatnya. [Cek di sini https://fs.blog/carol-dweck-growth/]

(3) Dalam analisis saya, fixed mindset dan growth mindset yang diajukan Dweck barulah mengupas bagian luar dari “sikap alamiah” (natural attitude) dan baru sedikit saja menyinggung “sikap fenomenologis” (phenomenological attitude) meskipun tentu saja Dweck tidak mengoperasionalisasikan analisisnya dgn menggunakan kerangka konseptual fenomenologis seperti “sikap reduktif” dan “mereka-bayangkan secara bebas dan variatif” (free imaginative variation) yang diusulkan dan digunakan Husserl dalam “fenomenologi sebagai metode”-nya [lih. sebagian penjelasan tentang konsep ini dalam Imagination et Phantasia chez Husserl (Marc Richir, 2017) atau The Phenomenological Method of Eidetic Intuition and Its Clarification as Eidetic Variation (Dieter Lohmar, 2019)]

Categories
Uncategorized

Tour de Impact (Temanggung-Purwokerto): 3-7 Agustus 2024

Lessons to learn dari Tour de Impact (3-7 Agustus 2024)

Pak Irwan Fakhruddin (Sekprodi SC, Tour Leader) membuat grup WA Tour de Impact pada 24 Juli 2024 pukul 08:22 WIB. Belio posting welcoming note sbb.: “Selamat datang di WAG perjalanan belajar praktik baik nan berdampak ke Jawa Tengah yang akan berlangsung 3-7 Agustus 2024. Terkait Tour de Impact ke Jateng, berikut Agenda-nya, mudah2an memungkinkan untuk waktu Packbapack semua.

3-5 Agustus 2024: Temanggung (Visit Workshop Spedagi, VCMC -Village Creative Movement Center, Pasar Papringan, meetup dengan Singgih S. Kartono-Fransisca Calista-Mas Yudhi/Ahmad Spedagi Homestay-Mas Imam Papringan)

5-7 Agustus 2024: Banyumas Raya (Visit White House de Noya, Dampingan Benihbaik.com, Kota Lama Banyumas, Ngopi Ngapak, meetup dengan Andy F. Noya-BI Purwokerto-Sociopreneur Desa di Banyumas Raya-LPPM Unsoed)”

Lessons to learn dari Tour de Impact (versi Hendar)

Berbeda dari industri, Alam (Nature) tidak memberikan sesuatu yg seragam shg kadar toleransi material bambu utk produk Spedagi tidak bs ditekan ke angka 1%. 20% toleransi material yang dimiliki Spedagi itu kegedean utk diproduksi scr massal (industri). Perlu sentuhan artistik (craftsmanship) untuk mengolah 20% toleransi material yang ada/tersedia di Lab Spedagi. Tapi justru di sinilah keunikan dan daya tarik sepeda bambu Spedagi yang diinisiasi mas Singgih. Tentu saja orientasi “bisnis” Spedagi bukanlah menangguk keuntungan (profit) sebanyak-banyaknya melainkan pemberdayaan masyarakat setempat sekaligus ikhtiar untuk terus menjaga kelestarian alam.

Spedagi, Sepeda Bambu

Pasar Papringan merupakan laboratorium keberlanjutan par excellence.

Pasar papringan

BAF: Baturraden Adventure Forest (social forestry) (website: https://bafadventure.com/) merupakan “bentuk baru wahana ekowisata dan petualangan rimba dengan pemandangan hutan damar dan pinus serta aneka vegetasi hutan yang membentang di kaki Gunung Slamet seluas 50Ha.” Pengalaman ngobrol selama 2.5 jam dengan founder-nya mengajarkan kepada saya bahwa tidak ada “kegilaan insani” dari sosok founder-nya yg tidak disambut dengan “kesabaran hutani.” Proses menempa hutan produktif menjadi tetap ramah bahkan lestari lingkungan (misalnya, aliran air irigasi dibendung dan dikonversi dengan alat turbin mini menjadi daya listrik yang mencukupi kebutuhan listrik BAF) berarti konversi “kegilaan” menjadi keramahan dan daya lenting yg inklusif.

Baturraden Adventure Forest

Sosok XYZ dari Unsoed sebagai penyambung kepentingan multi pihak utk bahu-membahu menjalankan beragam format PkM dan memajukan kesejahteraan sektor masyarakat yg selama ini terpinggir mengajarkan kepada saya untuk tidak memusatkan perhatian soal power & distribution melulu pada locus (loci) yg tradisional maupun modern, melainkan justru pada the power of persuasive communication performed by middle man power broker. Lewat sosok seperti mas XYZ kemapanan institusi (khususnya akademis) dikoreksi dan terus direvitalisasi agar nyambung dgn kebutuhan riil warga di lapangan. Di samping itu, Universitas bukan menjadi menara gading yg melayani kepentingan parokialnya dhewek.

LPPM Universitas Jendral Soedirman

Adapun tantangan soal KKN (MBKM) zaman now bisa dilihat di sini: https://www.youtube.com/watch?v=Xyxb2iT4RaM

Setelah menonton video pendek ini, sivitas akademika di kampus, khususnya Rektor, Warek, Dekan, Kaprodi dan jajarannya, para Kepala Biro dan Kordinator PkM, diajak untuk merefleksikan bagaimana mendesain program PKM maupun MBKM yang berdampak (impactful). Jadi, jangan sampai KKN malah dijadikan ajang bagi para mahasiswa berlomba2 cari tempat KKN yg horor buat bahan ngonten. Desa yang menjadi sasaran KKN harus merasakan dampak kehadiran dan partisipasi mahasiswa peserta KKN secara nyata dan sustainable. Jadi, istilahnya, mahasiswa jangan cuman numpang madhang, nelek & nyampah ning ra mudheng di desa target KKN.