Polemik sidang disertasi Bahlil Lahadalia sebagai kandidat doktor di Program S3 Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) UI pada 16 Oktober 2024, serta dugaan kecurangan akademik yang terungkap dari berbagai temuan, mencapai anti-klimaks dengan putusan Rektor UI pada 13 Maret 2025. Keputusan tersebut menyatakan bahwa Bahlil “belum dinyatakan lulus dan mendapatkan gelar doktor karena disertasinya perlu direvisi,” (lih. beritanya di https://nasional.kompas.com/read/2025/03/13/14432721/masih-revisi-disertasi-bahlil-belum-dinyatakan-lulus-dan-dapat-gelar-doktor?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Top_Desktop) tanpa mempertimbangkan secara mendalam aspek substansi dan etika akademik. Kasus ini sempat viral di media sosial dan percakapan publik, mencerminkan keprihatinan masyarakat terhadap mutu program doktoral UI. Meskipun UI mengusung moto Veritas (Kebenaran), Probitas (Kejujuran), dan Iustitia (Keadilan), integritas akademik dan kualitas lulusannya kerap dipertanyakan, terutama dalam kasus kontroversial seperti ini.
Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi kembali pendekatan dalam pendidikan doktoral, khususnya di UI, serta kampus lain yang menawarkan program serupa, terutama dalam hal membaca dan memahami teks akademik. Membaca teks akademik bukan sekadar menyerap informasi, tetapi juga menganalisis, mengevaluasi, dan mengembangkan pemikiran kritis—kemampuan yang esensial untuk menghasilkan riset berkualitas. Esei ini akan menerapkan wawasan dari The Reading Mind: A Cognitive Approach to Understanding How the Mind Reads karya Daniel T. Willingham (John Wiley and Sons, 2017) guna meningkatkan kualitas program doktoral dan melahirkan lulusan yang lebih kompeten dalam bidang komunikasi.
Dalam buku The Reading Mind, Willingham menekankan pentingnya proses kognitif dalam membaca yang melampaui sekadar pengenalan simbol. Pemahaman ini sangat relevan bagi bidang Ilmu Komunikasi, terutama dalam konteks program doktoral di Universitas Indonesia dan universitas-universitas lain di Indonesia. Dengan menerapkan wawasan dari pembacaan karya Willingham (2017), penulis mengusulkan empat saran strategis guna meningkatkan kualitas program doktoral dan menghasilkan lulusan program studi doktoral yang lebih kompeten dalam bidang komunikasi.
Pertama, penting sekali mengupayakan agar para dosen dan mahasiswa meningkatkan kemampuan membaca teks secara kritis dan interpretatif. Program doktoral di Universitas Indonesia dan universitas lain sering kali melibatkan kandidat doktor (calon promovendus) untuk membaca teks-teks kompleks mengenai teori sosial, komunikasi, media, budaya, etika, serta literasi digital. Dengan memanfaatkan wawasan dari Willingham, program doktoral dapat menekankan strategi membaca aktif, terutama melatih mahasiswa untuk ‘mendengarkan’ suara internal dari teks—memperhatikan tekanan dan intonasi—dapat meningkatkan keterampilan interpretatif mereka, terutama ketika menganalisis karya-karya klasik yang kental bermuatan filosofis dan teoritis.
Sejumlah buku yang menjadi “bacaan wajib” dalam perkuliahan program doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia di antaranya adalah Cybernetics: Or Control and Communication in the Animal and the Machine (karya Norbert Wiener, 1948), The academic mind: social scientists in a time of crisis (karya Paul Lazarsfeld, 1958), Diffusion of Innovations (karya Everett M. Rogers, 1962), Understanding Media: The Extensions of Man (karya Marshall McLuhan, 1964), The Social Construction of Reality (karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, 1966), Symbolic Interactionism: Perspective and Method (karya Herbert Blumer, 1969), Outline of a Theory of Practice (karya Pierre Bourdieu, 1972), The Practice of Everyday Life (karya Michel de Certeau, 1980), Simulacra and Simulation (karya Jean Baudrillard, 1981), Gender Trouble (karya Judith Butler, 1990), The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture (karya Theodor Adorno, 1991), Communication Theories: perspectives, processes, and contexts (karya Katherine Miller, 2002), Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practice (karya Nick Couldry, 2012), The Handbook of Communication History (karya penyuntingan Peter Simonson, Janice Peck, Robert T Craig, dan John Jackson, 2013), Towards a Cultural Political Economy: Putting Culture in its Place in Political Economy (karya Ngai-Ling Sum dan Bob Jessop, 2015) dan Communication: A Post-Discipline (karya Silvio Waisbord, 2019).
Selain itu, program doktoral juga dapat mendorong kesadaran prosodik dalam penulisan akademik, artinya, mengajarkan mahasiswa untuk memperhatikan ritme dan penekanan dalam tulisan mereka sendiri agar dapat meningkatkan kejelasan dan daya persuasif argumen, sehingga komunikasi ilmiah menjadi lebih menarik.
Kedua, manajemen prodi perlu memperkuat haluan komunikasi yang etis dalam diskursus akademik. Karena disertasi salah seorang mahasiswa program doktoral UI Angk. 2019 berfokus pada pembahasan tentang etika komunikasi dalam produksi pengetahuan, wawasan dari Willingham langsung terhubung dengan tanggung jawab etis para akademisi untuk membaca dan menginterpretasikan teks dengan cermat. Dalam konteks Indonesia, yang acapkali diwarnai ketidakjujuran akademik dan salah tafsir kadang menjadi masalah, membudayakan kebiasaan membaca yang mendalam dan sarat nuansa dapat mengurangi kemungkinan salah representasi teori dan argumen dalam diskursus akademik. Selain itu, manajemen prodi juga perlu mendorong praktik sitasi yang etis dengan memastikan bahwa para akademisi terlibat dengan teks secara mendalam, bukan sekadar mengekstrak informasi dan “asal cuplik.”
Ketiga, meluweskan kemampuan beradaptasi mahasiswa dengan lanskap membaca digital. Para mahasiswa doktoral di Indonesia semakin banyak mengonsumsi penelitian melalui format digital, ketika membaca sekilas (cursory reading) sering menggantikan membaca mendalam (in-depth reading). Menerapkan perspektif Willingham, program doktoral dapat melatih mahasiswa untuk terlibat secara mendalam dengan teks, meskipun ada kecenderungan untuk membaca sekilas materi digital, seperti e-book. Selain itu, program doktoral juga dapat mengembangkan metode untuk meningkatkan pemahaman dalam membaca ilmiah secara daring, seperti bookmarking dan menginternalisasi argumen kunci dari kelindan teks yang dikaji, guna meningkatkan retensi dan pemahaman.
Keempat, secara berkelanjutan, program studi doktoral dapat menciptakan lingkungan akademik yang lebih menarik secara pedagogik dan menantang secara intelektual. Terinspirasi konsep “auditorium kecil di dalam tengkorak”, universitas dapat mengintegrasikan metode yang lebih performatif dan dialogis dalam kuliah-kuliah seminar. Mengambil metafor dari dunia kepujanggaan, seperti diungkapkan penyair Billy Collins (2013), puisi memiliki dua dimensi: meskipun biasanya dibaca dalam keheningan, mendengarkan penyair membacakan karyanya dapat menjadi pengalaman yang memperkaya ruang batin permenungan.
Collins mencatat bahwa saat menghadiri pembacaan puisi, ia sering kali memahami karya penyair dengan cara yang sama sekali berbeda, menemukan nuansa humor yang sebelumnya tidak ia sadari.
Dengan demikian, membaca puisi dengan suara keras memberikan satu pengalaman, tetapi saat membaca dalam keheningan, kita juga mendengar puisi itu dalam pikiran kita sendiri, seolah-olah ‘tengkorak kita berfungsi sebagai auditorium kecil’ yang menampung suara dan ritme kata-kata tersebut sekaligus mengamplifikasinya.
Implikasi dari saran keempat ini adalah manajemen program studi perlu menciptakan sistem pembelajaran yang mendorong mahasiswa untuk membaca dengan keras bagian-bagian kunci dalam kuliah seminar yang dapat mengungkap berbagai lapisan makna serta memperkaya diskusi akademik. Dengan pendekatan ini, mahasiswa akan terlibat dengan teks tidak hanya secara kognitif, tetapi juga emosional. Hal ini akan menciptakan suasana belajar yang lebih dinamis dan interaktif.
Kesimpulan
Menerapkan wawasan dari The Reading Mind (2017) dapat meningkatkan kualitas pemahaman para mahasiswa kandidat doktor dalam program doktor Ilmu Komunikasi di Indonesia, mendorong pembacaan yang lebih mendalam, keterlibatan etis dengan pengetahuan, dan komunikasi ilmiah yang lebih baik. Di Universitas Indonesia dan universitas lainnya, mengintegrasikan perspektif ilmu kognitif ini ke dalam pedagogi dapat meningkatkan rigoritas intelektual sekaligus keluwesan pemahaman para mahasiswa program doktoral sehingga selaras dengan bahkan melampaui standar akademik global (seperti QS rank dan Times Higher Education’s global Academic Reputation Survey). Dengan demikian, kita dapat menciptakan generasi akademisi yang tidak hanya terampil dalam theorizing, tetapi juga mampu menerapkan pengetahuan mereka secara etis dan efektif dalam praktik komunikasi.
Rujukan
Willingham , D. T. (2017). The Reading Mind: A Cognitive Approach to Understanding How the Mind Reads. John Wiley & Sons.
Lihat di https://books.google.co.id/books/about/The_Reading_Mind.html?id=dTN0DgAAQBAJ&redir_esc=y
dan resumenya di https://www.blinkist.com/en/app/books/the-reading-mind-en