Rekoleksi dari Dog Years (1965), Cancer Ward (1968), Noli Me Tangere (1975), hingga Cantik Itu Luka (2002)
Membaca Dog Years karya Günter Grass bukanlah pengalaman estetis yang menyenangkan dalam pengertian konvensional. Novel ini tidak dirancang untuk membuat pembaca nyaman, apalagi merasa “mengerti” sejak awal. Justru sebaliknya, Grass dengan sadar mengondisikan pembaca untuk merasa tidak enak, tertekan oleh bahasa yang penuh tuduhan, ironi, dan fragmentasi, seolah kita sedang memasuki ruang pengadilan tanpa hakim, tanpa putusan, dan tanpa kemungkinan rekonsiliasi.
Sebagai bagian terakhir dari Danzig Trilogy—bersama The Tin Drum dan Cat and Mouse—Dog Years menempati posisi etis yang paling pahit. Secara tematik, novel ini mengurai banalitas kekerasan dan cara masyarakat Jerman pasca-Nazi menegosiasikan rasa bersalah kolektifnya. Tokoh-tokohnya tidak disusun dalam dikotomi pahlawan–penjahat yang jelas. Walter Matern bukan monster ideologis sejak awal; ia adalah manusia biasa yang perlahan terseret ke dalam kekerasan yang dinormalisasi. Eduard Amsel, sahabatnya yang berdarah Yahudi, tampil sebagai figur seniman dan “yang lain”: rapuh, ambigu, dan terus-menerus disingkirkan.
Nada etis novel ini sudah ditetapkan sejak dua halaman pertama.
Tidak ada pengantar naratif yang ramah. Yang muncul adalah saling tuduh—you, he, I—tanpa subjek moral yang stabil. Hal ini bukan sekadar teknik naratif penulis maupun penerjemah otoritatif karya Grass ke dalam bahasa Inggris, yaitu Ralph Manheim, melainkan pernyataan etis yang tegas. Grass tidak mengizinkan pembaca berdiri aman sebagai pengamat netral. Kita dipaksa masuk ke dalam atmosfer masyarakat yang tahu telah terjadi kejahatan besar, tetapi kehilangan bahasa untuk mengakuinya secara jujur.
Kengerian itu semakin dalam ketika Grass menggunakan metafora-metafora yang tampak “indah” tetapi sesungguhnya merusak. Adegan tentang kompor yang delighted saat melahap buku-buku terlarang—yang sebelumnya dikatalogkan rapi oleh para magistrat—menjadi contoh ekstrem bagaimana administrasi yang tertib justru menjadi medium kekejaman.
Pengetahuan direduksi menjadi bahan bakar. Kejahatan tidak lagi berteriak; ia menghangatkan ruangan, meninabobokan nurani. Inilah banalitas kekejaman dalam bentuknya yang paling sopan.
Paradoks ini mencapai puncaknya dalam lirisisme Grass saat menggambarkan Third Reich. Rezim Nazi memang mengklaim diri sebagai pewaris καλοκαγαθία, kesatuan antara keindahan dan kebaikan, melalui tubuh atletik, harmoni, disiplin, dan tatanan. Grass tidak membantah klaim ini secara langsung; ia justru memperlihatkan bagaimana klaim itu berfungsi. Bahasa yang liris, ritmis, hampir pastoral itu adalah bahasa yang juga dipakai rezim untuk menidurkan nurani. Dengan kata lain, Grass menulis “indah” agar kita dapat mencecap-cecap bagaimana ‘keindahan’ (perceived beauty) justru menjadi alat kekerasan di tangan rezim yang justru memeloroti martabat kemanusiaan.
Metafora seperti French-occupied gonorrhea menandai kebusukan yang menjijikkan tetapi menyebar luas. Gonore adalah penyakit yang memalukan, menjijikkan, banal, dan menyebar melalui relasi yang dianggap “normal”. Tidak heroik, tidak dramatis, tetapi merusak dari dalam sambil tetap memungkinkan kehidupan sehari-hari berjalan. Dengan menautkannya pada “French-occupied”, Grass membongkar dua hal sekaligus: ilusi kebersihan moral nasionalisme Jerman dan kenyataan bahwa kekotoran itu lintas batas, banal, dan tak bisa diklaim sebagai deviasi asing semata. Penyakit itu hidup seperti parasit di tubuh yang tampak sehat.
Yang lebih mengerikan lagi adalah musikalitas kekejaman. Kekerasan tidak lagi hadir sebagai teror yang membuat orang terbangun, tetapi sebagai ritme kehidupan: rutinitas, perjalanan kereta, percakapan ringan, sapaan pagi, pekerjaan administratif. Di sini Grass sangat dekat dengan apa yang kemudian disebut Hannah Arendt sebagai banality of evil, tetapi dengan satu perbedaan penting: Grass menunjukkan bahwa banalitas itu indah bunyinya. Seperti melodi pagi yang terlalu akrab untuk dipertanyakan dari mana asalnya.
Namun kemampuan untuk bertahan membaca teks Sastra kelas kakap dengan lapis-lapis pemaknaan dan multi penafsiran seperti yang ditulis Grass tidak muncul secara tiba-tiba. Pengalaman saya menunjukkan bahwa kapasitas hermeneutik untuk membaca karya sastra berat dan serius itu dibentuk jauh sebelumnya melalui perjumpaan dengan karya-karya besar lain: Cancer Ward karya Aleksandr Solzhenitsyn, The Power and the Glory karya Graham Greene, prosa liris dari Gabriel García Márquez, hingga alegori filosofis dari José Saramago. Semua karya ini berbagi satu tuntutan yang sama: pembaca ‘dipaksa’ untuk hidup di dalam ambiguitas moral dan penderitaan yang tidak menawarkan resolusi cepat.
Fondasi awal dari kebiasaan membaca semacam ini justru terbentuk jauh lebih dini. Tahun 1997–1998, ketika saya masih nyantrik di Kelas Persiapan Atas (KPA) Angk. XI, Seminari Wacana Bhakti, Pejaten Barat, Jakarta, guru Bahasa Indonesia saya waktu itu–namanya ibu Pur–meminta kami membaca satu novel yang “serius”. Hal ini diminta olehnya tanpa banyak memberikan penjelasan apalagi simplifikasi didaktik. Lakukan saja dan coba pahami apa isi novel yang kamu baca, demikian katanya. Dalam pencarian di perpustakaan Kolese Gonzaga, saya menemukan Noli Me Tángere karya sastrawan Filipina, José Rizal. Saya membacanya dengan tertatih-tatih, berkali-kali bertanya dalam hati: “Maksudnya penulis karya ini apa?”
Belakangan saya mafhum, pertanyaan itu bukan tanda ketidakmampuan, melainkan awal kesadaran hermeneutik. Rizal, seperti Grass, tidak menulis dunia dalam hitam-putih moral. Kolonialisme digambarkan olehnya sebagai jaringan kekuasaan yang hidup dari normalitas, iman palsu, dan administrasi. Para pastor tampak rasional, terdidik, dan justru karena itu menakutkan. Pengalaman membaca itu mengubah cara pandang saya hampir 180 derajat: sastra bukan hiburan, melainkan modalitas etis untuk memahami dunia yang secara moral terfragmentasi, secara ontologis tidak seperti yang tampak, dan secara etis tidak baik-baik saja.
Pada titik inilah komparasi dengan Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan menjadi penting agar pembacaan Dog Years tidak terjebak dalam horizon Eropa-sentris. Kemiripan keduanya bukan pada tema permukaan, melainkan pada strategi metaforis menghadapi sejarah yang terlalu brutal untuk diceritakan secara lurus dan monolitik.
Pada Grass, metafora bekerja melalui arsip, administrasi, binatang, dan benda mati—anjing, kompor, sungai, dike—sebagai perpanjangan dari rasionalitas modern yang membunuh tanpa histeria. Pada Eka Kurniawan, metafora bekerja melalui tubuh, seksualitas, hantu, kutukan, dan grotesque tropikal. Dewi Ayu bangkit dari kubur bukan untuk menuntut keadilan, melainkan untuk menegaskan bahwa sejarah Indonesia—kolonialisme, pendudukan Jepang, 1965—tidak pernah selesai dikuburkan secara simbolik.
Cantik Itu Luka, sebagaimana Dog Years, sama sekali bukan bacaan mudah. Kesulitannya justru terletak pada ketiadaan pijakan etis yang aman. Humor gelap, absurditas, dan kekerasan membuat pembaca kehilangan orientasi moral konvensional. Grass menulis dari masyarakat Jerman pasca PD II yang dipaksa untuk mengingat trauma; Eka menulis dari masyarakat Indonesia pasca revolusi 1945 yang dipaksa melupakan trauma. Namun keduanya sama-sama menolak memberi pembaca jalan pintas untuk merasa benar, historically justified.
Di situlah sastra kelas dunia menjalankan fungsi terdalamnya: bukan menjelaskan sejarah, melainkan mengganggu cara kita hidup berdamai dengannya. Mungkin saja, itulah makna paling jujur dari membaca karya-karya susastra kelas dunia. Bukan menjadikan pembaca lebih nyaman secara moral kemudian kipas-kipas etis, melainkan semakin waspada terhadap tendensi atas kenyamanan itu sendiri, amnesia yang regresif.
References
Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Viking Press.
García Márquez, G. (2006). One hundred years of solitude (G. Rabassa, Trans.). Harper Perennial Modern Classics. (Original work published 1967)
Grass, G. (1963). Hundejahre. Luchterhand.
Grass, G. (1965). Dog years (R. Manheim, Trans.). Harcourt, Brace & World. (Original work published 1963)
Greene, G. (2003). The power and the glory. Penguin Classics. (Original work published 1940)
Kurniawan, E. (2002). Cantik itu luka. Jendela.
Rizal, J. (1975). Noli Me Tangere [Jangan Sentuh Aku]. Pustaka Jaya. (Original work published 1887)
Saramago, J. (1998). Blindness (G. Pontiero, Trans.). Harvill Press. (Original work published 1995)
Solzhenitsyn, A. (1968). Cancer ward. Farrar, Straus and Giroux.




