Categories
Uncategorized

Konstruksi Kesadaran Hermeneutik lewat Membaca Sastra Dunia

Rekoleksi dari Dog Years (1965), Cancer Ward (1968), Noli Me Tangere (1975), hingga Cantik Itu Luka (2002)

Membaca Dog Years karya Günter Grass bukanlah pengalaman estetis yang menyenangkan dalam pengertian konvensional. Novel ini tidak dirancang untuk membuat pembaca nyaman, apalagi merasa “mengerti” sejak awal. Justru sebaliknya, Grass dengan sadar mengondisikan pembaca untuk merasa tidak enak, tertekan oleh bahasa yang penuh tuduhan, ironi, dan fragmentasi, seolah kita sedang memasuki ruang pengadilan tanpa hakim, tanpa putusan, dan tanpa kemungkinan rekonsiliasi.

Sebagai bagian terakhir dari Danzig Trilogy—bersama The Tin Drum dan Cat and MouseDog Years menempati posisi etis yang paling pahit. Secara tematik, novel ini mengurai banalitas kekerasan dan cara masyarakat Jerman pasca-Nazi menegosiasikan rasa bersalah kolektifnya. Tokoh-tokohnya tidak disusun dalam dikotomi pahlawan–penjahat yang jelas. Walter Matern bukan monster ideologis sejak awal; ia adalah manusia biasa yang perlahan terseret ke dalam kekerasan yang dinormalisasi. Eduard Amsel, sahabatnya yang berdarah Yahudi, tampil sebagai figur seniman dan “yang lain”: rapuh, ambigu, dan terus-menerus disingkirkan.

Nada etis novel ini sudah ditetapkan sejak dua halaman pertama.

Tidak ada pengantar naratif yang ramah. Yang muncul adalah saling tuduh—you, he, I—tanpa subjek moral yang stabil. Hal ini bukan sekadar teknik naratif penulis maupun penerjemah otoritatif karya Grass ke dalam bahasa Inggris, yaitu Ralph Manheim, melainkan pernyataan etis yang tegas. Grass tidak mengizinkan pembaca berdiri aman sebagai pengamat netral. Kita dipaksa masuk ke dalam atmosfer masyarakat yang tahu telah terjadi kejahatan besar, tetapi kehilangan bahasa untuk mengakuinya secara jujur.

Kengerian itu semakin dalam ketika Grass menggunakan metafora-metafora yang tampak “indah” tetapi sesungguhnya merusak. Adegan tentang kompor yang delighted saat melahap buku-buku terlarang—yang sebelumnya dikatalogkan rapi oleh para magistrat—menjadi contoh ekstrem bagaimana administrasi yang tertib justru menjadi medium kekejaman.

Pengetahuan direduksi menjadi bahan bakar. Kejahatan tidak lagi berteriak; ia menghangatkan ruangan, meninabobokan nurani. Inilah banalitas kekejaman dalam bentuknya yang paling sopan.

Paradoks ini mencapai puncaknya dalam lirisisme Grass saat menggambarkan Third Reich. Rezim Nazi memang mengklaim diri sebagai pewaris καλοκαγαθία, kesatuan antara keindahan dan kebaikan, melalui tubuh atletik, harmoni, disiplin, dan tatanan. Grass tidak membantah klaim ini secara langsung; ia justru memperlihatkan bagaimana klaim itu berfungsi. Bahasa yang liris, ritmis, hampir pastoral itu adalah bahasa yang juga dipakai rezim untuk menidurkan nurani. Dengan kata lain, Grass menulis “indah” agar kita dapat mencecap-cecap bagaimana ‘keindahan’ (perceived beauty) justru menjadi alat kekerasan di tangan rezim yang justru memeloroti martabat kemanusiaan.

Metafora seperti French-occupied gonorrhea menandai kebusukan yang menjijikkan tetapi menyebar luas. Gonore adalah penyakit yang memalukan, menjijikkan, banal, dan menyebar melalui relasi yang dianggap “normal”. Tidak heroik, tidak dramatis, tetapi merusak dari dalam sambil tetap memungkinkan kehidupan sehari-hari berjalan. Dengan menautkannya pada “French-occupied”, Grass membongkar dua hal sekaligus: ilusi kebersihan moral nasionalisme Jerman dan kenyataan bahwa kekotoran itu lintas batas, banal, dan tak bisa diklaim sebagai deviasi asing semata. Penyakit itu hidup seperti parasit di tubuh yang tampak sehat.

Yang lebih mengerikan lagi adalah musikalitas kekejaman. Kekerasan tidak lagi hadir sebagai teror yang membuat orang terbangun, tetapi sebagai ritme kehidupan: rutinitas, perjalanan kereta, percakapan ringan, sapaan pagi, pekerjaan administratif. Di sini Grass sangat dekat dengan apa yang kemudian disebut Hannah Arendt sebagai banality of evil, tetapi dengan satu perbedaan penting: Grass menunjukkan bahwa banalitas itu indah bunyinya. Seperti melodi pagi yang terlalu akrab untuk dipertanyakan dari mana asalnya.

Namun kemampuan untuk bertahan membaca teks Sastra kelas kakap dengan lapis-lapis pemaknaan dan multi penafsiran seperti yang ditulis Grass tidak muncul secara tiba-tiba. Pengalaman saya menunjukkan bahwa kapasitas hermeneutik untuk membaca karya sastra berat dan serius itu dibentuk jauh sebelumnya melalui perjumpaan dengan karya-karya besar lain: Cancer Ward karya Aleksandr Solzhenitsyn, The Power and the Glory karya Graham Greene, prosa liris dari Gabriel García Márquez, hingga alegori filosofis dari José Saramago. Semua karya ini berbagi satu tuntutan yang sama: pembaca ‘dipaksa’ untuk hidup di dalam ambiguitas moral dan penderitaan yang tidak menawarkan resolusi cepat.

Fondasi awal dari kebiasaan membaca semacam ini justru terbentuk jauh lebih dini. Tahun 1997–1998, ketika saya masih nyantrik di Kelas Persiapan Atas (KPA) Angk. XI, Seminari Wacana Bhakti, Pejaten Barat, Jakarta, guru Bahasa Indonesia saya waktu itu–namanya ibu Pur–meminta kami membaca satu novel yang “serius”. Hal ini diminta olehnya tanpa banyak memberikan penjelasan apalagi simplifikasi didaktik. Lakukan saja dan coba pahami apa isi novel yang kamu baca, demikian katanya. Dalam pencarian di perpustakaan Kolese Gonzaga, saya menemukan Noli Me Tángere karya sastrawan Filipina, José Rizal. Saya membacanya dengan tertatih-tatih, berkali-kali bertanya dalam hati: “Maksudnya penulis karya ini apa?”

Belakangan saya mafhum, pertanyaan itu bukan tanda ketidakmampuan, melainkan awal kesadaran hermeneutik. Rizal, seperti Grass, tidak menulis dunia dalam hitam-putih moral. Kolonialisme digambarkan olehnya sebagai jaringan kekuasaan yang hidup dari normalitas, iman palsu, dan administrasi. Para pastor tampak rasional, terdidik, dan justru karena itu menakutkan. Pengalaman membaca itu mengubah cara pandang saya hampir 180 derajat: sastra bukan hiburan, melainkan modalitas etis untuk memahami dunia yang secara moral terfragmentasi, secara ontologis tidak seperti yang tampak, dan secara etis tidak baik-baik saja.

Pada titik inilah komparasi dengan Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan menjadi penting agar pembacaan Dog Years tidak terjebak dalam horizon Eropa-sentris. Kemiripan keduanya bukan pada tema permukaan, melainkan pada strategi metaforis menghadapi sejarah yang terlalu brutal untuk diceritakan secara lurus dan monolitik.

Pada Grass, metafora bekerja melalui arsip, administrasi, binatang, dan benda mati—anjing, kompor, sungai, dike—sebagai perpanjangan dari rasionalitas modern yang membunuh tanpa histeria. Pada Eka Kurniawan, metafora bekerja melalui tubuh, seksualitas, hantu, kutukan, dan grotesque tropikal. Dewi Ayu bangkit dari kubur bukan untuk menuntut keadilan, melainkan untuk menegaskan bahwa sejarah Indonesia—kolonialisme, pendudukan Jepang, 1965—tidak pernah selesai dikuburkan secara simbolik.

Cantik Itu Luka, sebagaimana Dog Years, sama sekali bukan bacaan mudah. Kesulitannya justru terletak pada ketiadaan pijakan etis yang aman. Humor gelap, absurditas, dan kekerasan membuat pembaca kehilangan orientasi moral konvensional. Grass menulis dari masyarakat Jerman pasca PD II yang dipaksa untuk mengingat trauma; Eka menulis dari masyarakat Indonesia pasca revolusi 1945 yang dipaksa melupakan trauma. Namun keduanya sama-sama menolak memberi pembaca jalan pintas untuk merasa benar, historically justified.

Di situlah sastra kelas dunia menjalankan fungsi terdalamnya: bukan menjelaskan sejarah, melainkan mengganggu cara kita hidup berdamai dengannya. Mungkin saja, itulah makna paling jujur dari membaca karya-karya susastra kelas dunia. Bukan menjadikan pembaca lebih nyaman secara moral kemudian kipas-kipas etis, melainkan semakin waspada terhadap tendensi atas kenyamanan itu sendiri, amnesia yang regresif.

References
Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Viking Press.
García Márquez, G. (2006). One hundred years of solitude (G. Rabassa, Trans.). Harper Perennial Modern Classics. (Original work published 1967)
Grass, G. (1963). Hundejahre. Luchterhand.
Grass, G. (1965). Dog years (R. Manheim, Trans.). Harcourt, Brace & World. (Original work published 1963)
Greene, G. (2003). The power and the glory. Penguin Classics. (Original work published 1940)
Kurniawan, E. (2002). Cantik itu luka. Jendela.
Rizal, J. (1975). Noli Me Tangere [Jangan Sentuh Aku]. Pustaka Jaya. (Original work published 1887)
Saramago, J. (1998). Blindness (G. Pontiero, Trans.). Harvill Press. (Original work published 1995)
Solzhenitsyn, A. (1968). Cancer ward. Farrar, Straus and Giroux.

Categories
Uncategorized

[Renungan Natal 2025] Dari Tontonan Menuju Warta Sukacita

Memaknai Natal Bersama Keluarga Kudus dan Para Gembala

Saudara-saudari terkasih,

Stille Nacht, heilige Nacht,
Alles schläft; einsam wacht.

Malam kudus, sunyi senyap,
Semua terlelap; satu berjaga.

Malam Natal selalu menghadapkan kita pada sebuah pertanyaan sederhana tetapi menentukan: apakah Natal yang kita rayakan sungguh menjadi tuntunan, atau berhenti hanya sebagai tontonan? Kita hidup di zaman ketika dekorasi Natal begitu memukau dan wow. Lihatlah dekorasi Natal yang menghiasi Mall Pacific Place, Jakarta Pusat https://www.instagram.com/p/DSB87eJE5BO/, Mall Central Park, Jakarta Barat (lih. https://megapolitan.kompas.com/read/2025/12/17/11500751/di-bawah-gemerlap-pohon-natal-33-meter-tribeca-park-central-park-jadi), juga Christmas Carol Colossal di Bundaran Hotel Indonesia (lih. https://www.instagram.com/reel/DSJLoG5l8vn/).

Apa yang kita saksikan di Jakarta dan di banyak kota besar lainnya, bisa di Indonesia, bisa juga di Eropa, mengindikasikan kecenderungan yang sama: Perayaan Natal dengan mudah berubah dari peristiwa batin (interiority) menjadi pengalaman visual (visualization), dari tuntunan iman yang mempribadi menjadi tontonan khalayak yang menghibur.

Menanggapi fenomena semacam ini, Pastor Freday Badianto Sihombing, OSC selaku Pastor Kepala Paroki St. Helena, Curug, Tangerang, mengingatkan umat yang berkumpul merayakan Misa Vigili Natal pada Rabu, 24 Desember 2025. Dalam homilinya, Pastor Freday menggarisbawahi keyakinan teologis bahwasanya iman Kristiani tidak berhenti pada apa yang dilihat mata jasmaniah (esse est percipi dalam logika visualisme modern), melainkan pada mata hati yang berubah; hati yang mengalami sentuhan ilahi sehingga menjadi lebih hidup dan peduli. Untuk menguatkan landasan teologis dari pesan ini, Pastor Freday mengutip surat apostolik yang ditulis Paus Fransiskus pada 2019 yang lalu, Admirabile Signum. (Lih. https://www.vatican.va/content/francesco/en/apost_letters/documents/papa-francesco-lettera-ap_20191201_admirabile-signum.html)

Warisan Greccio: Palungan sebagai Injil Hidup
Kesadaran akan pentingnya “palungan” (bahasa Italinya presepe, dari bahasa Latin praesepium, dan bahasa Inggrisnya, manger) sebagai simbol perjumpaan akrab antara Yang Ilahi dengan yang insani telah dimulai sejak tahun 1223, ketika Santo Fransiskus Asisi menginisiasi kandang Natal pertama di Greccio, sebuah dusun kecil di wilayah Lazio, Italia. Dalam Admirabile Signum, Paus Fransiskus menegaskan bahwa: “Penggambaran kelahiran Yesus sendiri adalah pewartaan sederhana dan sukacita akan misteri Inkarnasi Putra Allah. Gambaran kelahiran itu seperti sebuah Injil hidup yang muncul dari halaman-halaman Kitab Suci.”

Santo Fransiskus Asisi bahkan berpesan agar lewat palungan, kita dapat see as much as possible with my own bodily eyes the discomfort of his infant needs, how he lay in a manger, and how, with an ox and an ass standing by, he was laid upon a bed of hay (melihat dengan mata jasmani ketidaknyamanan yang dialami Bayi Yesus yang dibaringkan dengan alas jerami). Tujuannya agar kita dapat “merasakan langsung” dan “bersentuhan” dengan kemiskinan yang dialami Allah yang menjadi manusia. Bukan kemiskinan yang nista, tapi ketiadaan dekorasi dan hingar-bingar yang lazimnya mengiringi kelahiran seorang bayi manusia. ​

Maria dan Yusuf: Ruang Batin dan Ketaatan Sunyi
Natal pertama-tama terjadi sebagai peristiwa batin dalam Keluarga Kudus, sebuah contemplatio in silenzio. Bunda Maria adalah “palungan pertama” yang menanggapi pesan Allah dengan ketaatan penuh atau fiat. Lewat kidung Magnificat, Bunda Maria secara syahdu (solemn) hendak menunjukkan bahwa Natal adalah tanda kuasa Allah yang sedang membalikkan logika dunia: merendahkan yang berkuasa dan meninggikan yang hina dina. Di sampingnya, berdiri Santo Yusuf, penjaga yang tanpa lelah melindungi keluarganya. Yusuf memerankan ketaatan sunyi; ia tidak banyak bicara, namun selalu percaya sepenuhnya pada penyelenggaraan Ilahi dan melaksanakan kehendak Allah. Keagungan ilahi justru menyingkapkan diri dalam “keheningan batin” Santo Yusuf: kedewasaan iman yang tidak reaktif tapi reseptif. ​

Fenomenologi Pengalaman Para Gembala: Dari Ketakutan Menuju Keberanian Bersaksi
Di luar keheningan gua, kita mendengarkan suara para gembala. Secara fenomenologis, mereka mengalami Natal pertama-tama sebagai ketakutan eksistensial di tengah kegelapan malam. Namun, mereka tidak berhenti pada ketakutan. Mereka memilih bergerak: “Marilah kita pergi ke Betlehem”. Keputusan ini menandai keputusan batin yang penting dan transisional: dari subjek yang pasif dan takut, menjadi saksi yang terbuka dan bersukacita. Paus Fransiskus mencatat bahwa orang yang rendah hati dan miskinlah yang pertama kali menyambut peristiwa Inkarnasi. Di sanalah iman lahir: ketika manusia berani hadir apa adanya di hadapan Allah yang juga memilih hadir dalam rupa seorang bayi yang lemah dan rapuh. ​

Penutup: Menjadi Palungan yang Hidup
Pertanyaan terdalam Natal akhirnya kembali kepada kita: apakah palungan itu hanya menjadi hiasan, atau sungguh hidup dalam diri kita? Paus Fransiskus mengingatkan: “Yang penting adalah bahwa gambaran kelahiran Yesus itu berbicara kepada hidup kita… agar kita tahu seberapa dekatnya Dia dengan setiap laki-laki, perempuan, dan anak, terlepas dari apa pun kondisi mereka”. ​

Natal menjadi pewartaan sejati ketika hidup kita, orang-orang biasa seperti Maria, Yusuf, dan para gembala, menjadi palungan yang hangat bagi kehadiran Bayi Yesus, Sang Juru Selamat. Mari kita biarkan hidup kita disusun dan dibentuk Allah sendiri seturut kehendak-Nya (fiat), agar kita tidak lagi dikuasai ketakutan, melainkan dipenuhi kebenaran agung yang fascinosum et tremendum, yang memampukan kita berseru: Immanuel, Allah beserta kita.

Seperti para gembala, malam ini kita pun diajak untuk beranjak (Transeamus) melintasi jarak distraktif antara tontonan dan tuntunan, menziarahi Betlehem ‘terdekat’ yang acap tersembunyi di balik ketertarikan kita pada yang viral dan gemebyar. Bukan sekadar melihat, melainkan mengalami Sabda yang menjadi peristiwa: Allah yang hadir dalam kesederhanaan Maria, ketaatan Yusuf, dan kerapuhan Bayi di palungan.

Gloria in excelsis Deo et in terra pax hominibus!

Categories
Uncategorized

Wajah Inbox sebagai Arsip Prekaritas Akademik yang Membandel

Kerja Tak Terlihat, Waktu yang Terkikis, dan Normalisasi Beban Lebih

Dalam rentang enam hari (sejak tanggal 12 hingga 18 Desember 2025), inbox email institusional saya menjadi semacam arsip tak disengaja tentang bagaimana kerja akademik kontemporer dijalankan. Ratusan pesan masuk: laporan magang, revisi skripsi, pre-exam report, unggahan Turnitin, permintaan tanda tangan, korespondensi jurnal, hingga undangan akademik internasional. Jika dibaca sepintas, hal ini tampak sebagai rutinitas administratif biasa. Namun ketika dibaca secara reflektif, inbox tersebut merekam sesuatu yang lebih struktural: cara prekaritas akademik bekerja secara diam-diam melalui kerja yang terfragmentasi, dibingkai logika waktu pendek (bdk. Putranto, 2024: https://tuturlogi.ub.ac.id/index.php/tuturlogi/article/view/13606), repetitif, dan jarang mendapatkan pengakuan.

Sebagian besar literatur tentang prekaritas akademik menempatkan kontrak kerja, tetap atau tidak tetap, sebagai titik masuk analisis. Namun pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa bahkan dalam posisi status dosen dan karyawan yang relatif stabil, precarity logic tetap meruap. O’Brady, Bamber, dan Cooper (2025) menunjukkan bagaimana academic capitalism mengaburkan batas antara keamanan kerja dan rasa aman kerja: bahkan dosen tetap mengalami tekanan, ketidakpastian, dan stres akibat logika pasar, metrik, serta ketergantungan pada sumber pendanaan yang volatil. Inbox ini, dalam skala mikro, memperlihatkan bagaimana tekanan itu dimediasi melalui email, tenggat, dan permintaan “segera”.

Di sinilah refleksi menjadi semi-autoetnografis: saya tidak menjadikan diri sebagai pusat cerita, tetapi sebagai titik observasi dari suatu sistem yang njomplang. Banyak pesan datang dengan nada bergantung (dependency mode): “mohon arahan,” “menunggu persetujuan,” “sudah saya unggah.” Relasi pedagogis semacam ini mencerminkan kepercayaan mahasiswa kepada saya sebagai dosen kelas/pembimbing skripsi atau magang mereka, tetapi sekaligus memperlihatkan asimetri kapasitas akademik. Literasi prosedural berupa pemahaman atas alur administratif, standar akademik, dan ritme kerja universitas ternyata masih lemah, dan absennya pemahaman mahasiswa akan literasi prosedural ini mau tidak mau “ditambal” oleh penjelasan repetitif yang menyita waktu si dosen pembimbing. Kerja-kerja korektif mikro dan berulang ini jarang masuk perhitungan kinerja (baca: BKD/JJA), namun tanpanya sistem tidak berjalan.

Sim dan Bierema (2025) menyebut kondisi ini sebagai bagian dari intersectional precarity, yaitu prekaritas yang tidak hanya menyangkut soal status kerja, tetapi kait kelindan antara paham neoliberalisme, fakta ketimpangan institusional, dan ekspektasi tak tertulis dari lembaga pendidikan tinggi. Dalam konteks Global South, dimensi ini semakin kompleks. Beban kerja-kerja administratif yang tinggi dan highly intensive hidup berdampingan dengan tuntutan publikasi ke jurnal internasional (terindeks Scopus!) serta pengabdian masyarakat (PkM) terencana (programmatic). Hal ini merupakan kombinasi yang menciptakan kerentanan temporal, yakni hilangnya waktu yang didedikasikan untuk mengolah sudut pandang pengembangan keilmuan, epistemik maupun metodologis, secara kaya dan mendalam.

Dari sudut pandang psikologi kerja, penelitian Seubert et al. (2025) menegaskan bahwa prekaritas bukan hanya kondisi objektif, tetapi pengalaman subjektif yang memengaruhi makna kerja, relasi sosial, dan kesehatan mental. Wajah Inbox yang padat-merayap sesak-terserak mencerminkan precarity of meaning: banyak kerja penting terasa remeh karena terpecah dalam unit-unit kecil yang (nyaris) tidak pernah selesai sepenuhnya. Ketika kerja kehilangan kontinuitas makna, burnout bukan lagi risiko individual, melainkan konsekuensi struktural. Hal ini beririsan langsung dengan temuan Cadena-Povea et al. (2025) yang menggarisbawahi fakta bahwa beban kerja berlebih, konflik peran, dan minimnya dukungan institusional merupakan determinan utama dari gejala burnout faculty member. Alih-alih mengejar capaian yang berdampak (outcome), kelebihan beban tanggungjawab justru membuat dosen jadi terpuruk dan lelah hayati (capai/capek).

Refleksi ini sekaligus menggemakan argumen O’Keefe dan Courtois (2024) tentang precarity dividend: bahkan penelitian dan pengajaran yang bermaksud etis dapat tanpa sadar mereproduksi prekaritas, karena kerja emosional dan administratif dialirkan ke individu tertentu tanpa pengakuan struktural-institusional. Inbox menjadi bukti material bagaimana universitas modern bergantung pada kerja tak terlihat (invisible work): kerja yang menjaga mutu, tetapi tidak selalu menjaga kesejahteraan (well-being) pelakunya.

Refleksi ini tidak berhenti pada diagnosis tapi bergerak menuju prognosis. Sim dan Bierema (2025) mengingatkan bahwa intersectionality juga dapat menjadi alat refleksif untuk resistensi. Membaca inbox sebagai teks akademik dan bukan sekadar alat komunikasi, merupakan langkah kecil untuk membuat (yang tadinya) kerja tak terlihat JADI terlihat. Ia membuka ruang untuk menuntut kebijakan yang lebih adil: redistribusi beban, sistem pendampingan mahasiswa yang lebih kuat (baca: penguatan literasi akademik prosedural), serta pengakuan lembaga terhadap kerja pedagogis serta administratif sebagai bagian inti kinerja akademik rutin yang dapat dikonversi menjadi angka kredit untuk mengurus BKD dan JJA.

Pada akhirnya, wajah inbox yang sesak bukanlah litani keluhan personal, melainkan dokumen institusional. Ia menunjukkan bahwa prekaritas akademik tidak selalu berwujud kontrak pendek atau gaji rendah. Kadang ia hadir sebagai rentetan email yang tak pernah habis, tenggat yang saling tumpang tindih, dan ekspektasi bahwa semua itu adalah “normal” dan “memang sudah tugasnya dosen.”

Membaca dan menuliskannya secara reflektif menjadi upaya kecil untuk menolak normalisasi beban lebih sekaligus menjadi pengingat bahwa keberlanjutan akademia bergantung bukan hanya pada produktivitas, tetapi pada etika kerja yang proporsional dan berkeadilan. Tanpa pengakuan struktural atas kerja-kerja tak terlihat ini, universitas berisiko mempertahankan mutu akademik dengan (sayangnya) mengorbankan keberlanjutan manusia yang menghidupinya.

References
Cadena-Povea, H., Hernández-Martínez, M., Bastidas-Amador, G., & Torres-Andrade, H. (2025). What pushes university professors to burnout? A systematic review of sociodemographic and psychosocial determinants. International Journal of Environmental Research and Public Health, 22, 1214. https://doi.org/10.3390/ijerph22081214
O’Brady, S., Bamber, G. J., & Cooper, B. (2025). Academic capitalism and precarity in the neoliberal university: Job insecurity and stress in two liberal market economies. Industrial Relations Journal, 56(4), 291–300. https://doi.org/10.1111/irj.12466
O’Keefe, T., & Courtois, A. (2024). Holding ourselves to account: The precarity dividend and the ethics of researching academic precarity. The Sociological Review, 73(5), 1140–1158. https://doi.org/10.1177/00380261241274876
Putranto, H. (2024). Prahara Digital Labor dalam Bingkai Penafsiran Logika Waktu Pendek dan Kapitalisme Luwes. Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication, 5(1), 41–62. DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.tuturlogi.2024.005.01.5
Seubert, L., McWha-Hermann, I., Seubert, C., & Searle, R. (2025). Precarious employment and work: Understanding the underlying psychological and social processes and advancing research from work and organisational psychology. European Journal of Work and Organizational Psychology, 34(6), 621–627. https://doi.org/10.1080/1359432X.2025.2565932
Sim, E., & Bierema, L. L. (2025). Intersectional precarity in academia: A systematic literature review. Equality, Diversity and Inclusion: An International Journal, ahead-of-print. https://doi.org/10.1108/EDI-09-2023-0306

Categories
Uncategorized

Narasi Reflektif DosPem atas Sesi Bimbingan Magang Industri u/ mahasiswa SC (part 02 of 02)

lanjutan dari post sebelumnya di https://komunikasi.hendarputranto.com/2025/12/24/narasi-reflektif-dospem-atas-sesi-bimbingan-magang-industri-u-mahasiswa-sc-part-01-of-02/

Direnungkan dan disusun oleh Dr. Hendar Putranto, M. Hum.

Keempat, Mengarahkan Pemaknaan Nilai Belajar (Lesson to Learn)
Pada sesi bimbingan minggu ke-13 yang hampir memasuki akhir periode bimbingan magang semester Gasal 2025-2026, saya gunakan untuk membantu mahasiswa menyaring sekaligus merefleksikan pengalaman magang menjadi learning outcomes yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk SC, misalnya, saya menyoroti bagaimana pengalaman web design bukan sekadar tugas teknis, tetapi juga kontribusi nyata terhadap corporate communication dan bagaimana hal ini memberi nilai tambah bagi perusahaan dan bagi dirinya sendiri sebagai pemagang. Pada titik ini, supervisi tidak lagi sekadar memeriksa isi (konten laporan), melainkan membantu mahasiswa melihat hubungan antara pengalaman kerja dan pembentukan identitas profesional mereka.

Kelima, Mengelola Ekspektasi dan Psikologi Akademik Mahasiswa
Saya menyadari bahwa menjelang minggu ke-14, mahasiswa cenderung mengalami tekanan antara penyelesaian laporan dan komitmen pekerjaan. Ketika SC menyatakan bahwa dirinya tidak dapat hadir on-site pada bimbingan week ke-14 karena adanya kunjungan tim internasional di tempat magangnya, saya memilih pendekatan yang luwes dengan tetap menjaga integritas proses bimbingan: saya mengizinkan ia tetap bekerja di perusahaan dan menyesuaikan jadwal bimbingan tanpa mengorbankan kualitas kerja akademik. Hal ini menjadi contoh penting bagaimana menjaga keseimbangan antara tuntutan akademik (supervisi) dengan profesionalisme soal jam kerja di industri.

Refleksi Penutup
Meskipun sesi bimbingan minggu ke-13 tidak dihadiri oleh semua mahasiswa bimbingan magang saya (AA & IM berhalangan hadir), tapi bagi yang hadir, saya menegaskan bahwa efektivitas sesi bimbingan magang tidak pertama-tama ditentukan oleh kedalaman keahlian teknis (technical expertise) pada bidang industri tempat mahasiswa melakukan kerja magang, melainkan oleh kemampuan berikut ini:
1. menerjemahkan pengalaman industri ke dalam kerangka analitis keilmuan komunikasi,
2. memberikan scaffolding konseptual agar mahasiswa naik kelas dari pemerian deskriptif ke reflektif,
3. menegakkan standar akademik tanpa menutup ruang negosiasi dan keluwesan,
4. memodelkan aspek-aspek actionable dari pelaksanaan etika profesional, dan
5. mengarahkan mahasiswa untuk membangun identitas profesionalnya sendiri.

Dengan pendekatan ini, sesi bimbingan magang bukan hanya menjadi ritual administratif, tetapi proses pembelajaran yang bermakna sekaligus upaya konstruksi academic mindset bagi para subjek pembelajar secara terarah dan bernilai. Persisnya, sesi bimbingan magang diarahkan untuk membantu mahasiswa menjembatani pengalaman praktis dengan literasi konseptual yang diperlukan untuk menghasilkan laporan akademik yang solid dan tidak asal-asalan. Konsekuensinya, mereka diproyeksikan lulus sebagai sarjana ilmu komunikasi dengan kualifikasi communication professional yang matang.

Demikian narasi reflektif atas proses bimbingan magang track 01 & 02 yang terjadi pada hari ini sebagai bentuk pertanggungjawaban tertulis dan terstruktur yang dapat didokumentasikan oleh dan menjadi learning tools bagi Prodi SC dan Fakultas Ilmu Komunikasi untuk bahan assessment penjaminan mutu Prodi melalui aplikasi SIAMI (siami.umn.ac.id) pada menu Auditee > Audit > List Finding.

Hormat saya,

Dr. Hendar Putranto, M. Hum.
Dosen Pembimbing Magang Track 01 untuk VF, AA & IM serta Track 02 untuk SC

Categories
Uncategorized

Narasi Reflektif DosPem atas Sesi Bimbingan Magang Industri u/ mahasiswa SC (part 01 of 02)

Berdasarkan Transkrip Sesi Bimbingan Magang, Week 13,
KAMIS, 4 Des. 2025, pukul 10.00 – 11.20 WIB.

Direnungkan dan disusun oleh Dr. Hendar Putranto, M. Hum.

Pada minggu ke-13 sesi bimbingan magang, dinamika supervisi memasuki fase konsolidasi menuju penyelesaian laporan akhir. Pada tahap ini, fokus saya bergeser dari bimbingan teknis menuju penguatan kapasitas analitis, pengecekan kerapian catatan/laporan akademik, dan penyiapan (termasuk koreksi) sikap profesionalitas mahasiswa sebagai calon sarjana Ilmu Komunikasi. Meski latar belakang saya bukan praktisi komunikasi korporat, social media specialist, atau marketing communication expert, saya memanfaatkan pengalaman supervisi atas lebih dari sepuluh laporan magang sebelumnya serta pemahaman epistemik keilmuan komunikasi tingkat lanjut guna memastikan kualitas laporan mahasiswa tetap memenuhi standar akademik program studi Strategic Communication.

Pertama, Upaya Menata Ulang Kerangka Berpikir Mahasiswa. Pembimbingan di sesi week 13 memperlihatkan adanya respon DosPem atas kebutuhan mahasiswa untuk mengangkat pengalaman magang mereka dari sekadar deskripsi teknis menuju narasi yang lebih konseptual, bahkan reflektif. Pada SC, misalnya, saya membantu menggeser perspektifnya dari pengerjaan “web design sebagai tugas operasional” menjadi “kontribusi strategis terhadap development–maintenance–engagement website perusahaan.” Pergeseran ini penting agar laporan magang tidak bersifat inventaris pekerjaan, tetapi mampu menunjukkan pemahaman reflektif terhadap fungsi komunikasi korporat.

Sementara, untuk VF, saya mengarahkan penggunaan istilah yang lebih konseptual seperti social media engagement management, menggantikan istilah “membalas komentar” yang terlalu dangkal untuk standar isi sebuah laporan magang. Pendekatan ini saya tekankan guna memastikan bahwa mahasiswa ybs. memahami bahwa pengalaman magang harus dipetakan pada domain kompetensi komunikasi, bukan hanya berorientasi pada pencatatan atas kerja-kerja teknis-operasional-administratif.

Kedua, Menguatkan Disiplin Akademik dan Teknis Penulisan.
Sesi ini juga saya gunakan untuk memperbaiki aspek-aspek teknis penulisan yang sering kali menentukan kualitas akhir laporan. Saya menekankan beberapa guiding principles berikut kepada mahasiswa bimbingan magang:

(a) struktur abstrak magang agar memuat konteks organisasi, tugas pokok, mekanisme kerja, dan lesson to learn yang ringkas tapi spesifik,
(b) konsistensi penomoran ilmiah (3.1, 3.1.1) untuk menjaga presisi penomoran bab/sub-bab laporan akademik dibanding format ABCD yang rawan dipertanyakan dalam sesi ujian magang,
(c) prinsip paragraf efektif (sekitar 3 kalimat; 6–8 baris) untuk meningkatkan keterbacaan dan ketelitian narasi akademik mahasiswa,
(d) perlunya narasi deskriptif/eksplanatoris pada setiap image/visual atau bukti hasil kerja yang dicantumkan dalam laporan agar tidak menjadi “parade gambar” tanpa makna akademik atau profesional.

Keempat prinsip di atas konsisten dengan tujuan supervisi akademik penyusunan laporan magang yaitu memastikan mahasiswa tidak hanya “menyelesaikan laporan” (ini juga poin yang valid untuk dikejar), namun memahami makna kerja magang dengan menggunakan logika penalaran ilmiah (inferential logic) untuk mendialogkan pemahaman mereka atas materi perkuliahan yang pernah mereka ambil dalam empat semester foundation (first) and sophomore (second) years dengan pengalaman konkret di tempat kerja magang.

Ketiga, Penilaian Etis, Profesionalitas, dan Kesiapan Kerja.
Selain aspek akademik, saya juga menyoroti dan mengasah aspek etika profesional, seperti responsivitas dalam korespondensi email. Reminder ini saya tekankan sebagai bagian dari penilaian proses bimbingan sekaligus refleksi disposisi profesional mahasiswa magang dalam dunia kerja. Selain itu, saya juga menilai relevansi dan kontribusi nyata dari tugas tambahan, bukan sekadar memasukannya sebagai daftar pekerjaan (to do list). Pendekatan ini penting untuk menjaga integritas laporan magang sebagai dokumen evaluatif yang memiliki bobot akademik dan profesional. Pokok ketiga ini selaras dengan tujuan magang industri yang tercantum dalam pedoman magang industri pada beberapa kampus di Indonesia seperti Trunojoyo Madura, UM Malang, UNY Yogyakarta, UPMI, dll., yaitu mengasah hardskills (keterampilan teknis, problem solving) dan softskills (etika, komunikasi, kerja sama) agar nantinya lebih siap memasuki dunia kerja.

Lih misalnya https://peraturan.bpk.go.id/Download/366019/permendikbudristek-no-63-tahun-2024.pdf, https://feb.uny.ac.id/sites/feb.uny.ac.id/files/PANDUAN%20PKL%20PI%20MAGANG%20UNY%202024_.pdf, dan https://kplnondik.um.ac.id/wp-content/uploads/2023/12/Panduan-Magang-2023.pdf

Dalam sesi supervisi, saya juga menegaskan pentingnya apresiasi terhadap perusahaan ketika perusahaan memberikan ruang kerja yang mendukung proses bimbingan, termasuk bagaimana mereka menyediakan waktu khusus agar mahasiswa dapat mengikuti sesi bimbingan dengan internship advisor (dosen pembimbing magang) secara terfokus. Hal ini saya lakukan bukan hanya untuk menggarisbawahi etika komunikasi organisasi tetapi juga melatih mahasiswa terampil membaca dinamika relasi kerja dan bagaimana menempatkan diri secara proper dalam dinamika tersebut dengan lebih matang dan terukur.

(to be continued)

Categories
Uncategorized

Sweeping statement ini datangnya dari mana? (bagian 02 dari 02)

Catatan Dosen Pembimbing TA Track 02 tentang Laporan TA sebagai Naskah Akademik (lanjutan post sebelumnya)

Namun, supervisi tidak berhenti pada perumusan konsep. Secara sadar saya mendorong SC keluar dari jebakan ‘penyusunan TA sebagai laporan teknis kegiatan.’ Dalam satu momen, hal ini saya nyatakan secara eksplisit:

“Saya ada harapan bahwa SC, sebagai salah seorang bright student yang saya kenal, karena SC mahasiswa bimbingan akademik saya, sayang kalau (isi laporan TA) hanya membedakan apakah garisnya lurus atau bengkok, atau warna merah dengan merah jambu. Kan sayang ya? […] Minimal pada saat ujianlah. Minimal ketika nanti ada pertanyaan dari penguji yang perlu dicari rumusannya di dalam laporan TA, SC dapat menjelaskan semacam itu […] Tapi yang ditanya pertama oleh penguji kan SC duluan, bukan pembimbingnya. Makanya SC dulu yang harus berusaha menjelaskan apa sih maksudnya company profile di dalam rangka keilmuan komunikasi itu? Dia di mana tempatnya? […] Nah ini cara saya membimbing SC adalah bahwa SC nantinya dapat menjelaskan company profile itu bukan hanya sekedar pelaksanaan kerja teknis. Sebenarnya itu. That’s it. As simple as this (company profile) is not only about technical design. Bukan sekedar membedakan warna merah dengan merah jambu. Garis lurus dengan garis bengkok. Margin kanan kiri dua setengah atau tiga. Bukan hanya sekedar technical things yang dikerjakan SC. But more than that. You are going beyond that technical expertise.”

Mengacu pada verbatim di atas, dosen pembimbing menggarisbawahi disciplinary expertise minimum bagi seorang mahasiswa yang menyusun laporan TA tentang company profile. Yang diuji nanti bukan kecakapan desain atau kerapian dokumen, melainkan kemampuan reflektif untuk menjelaskan mengapa praktik komunikasi tersebut dilakukan dan apa implikasinya secara keilmuan. Inilah alasan mengapa laporan TA tidak boleh direduksi menjadi dokumentasi magang, meskipun acapkali berbasis pengalaman magang.

Aspek lain yang saya tekankan adalah disiplin akademik dalam penyajian data, khususnya terkait penggunaan verbatim quotes dari wawancara. Penekanan pada penggunaan verbatim dan parafrase ini tidak semata-mata bersifat teknis atau taat format (template) belaka, melainkan berakar pada persoalan etika representasi data. Sebagaimana ditegaskan dalam kajian sistematis Nii Laryeafio dan Ogbewe (2023), etika penelitian kualitatif tidak berhenti pada tahap pengumpulan data melalui wawancara, tetapi juga mencakup bagaimana data tersebut direpresentasikan, ditafsirkan, dan digunakan dalam laporan penelitian.

Penggunaan kutipan verbatim yang tidak proporsional, terlepas dari konteks, atau sekadar bersifat ornamental berpotensi mereduksi suara partisipan dan membuka ruang bagi misrepresentasi temuan. Dengan demikian, keputusan untuk menampilkan verbatim atau melakukan parafrase merupakan tindakan etis sekaligus analitis, yang menuntut tanggung jawab penulis terhadap integritas data dan posisi narasumber dalam teks akademik. Dalam sesi bimbingan, hal tersebut saya tegaskan sebagai berikut:

“Wawancara itu ada transkripnya. Transkrip itu yang disampaikan apa adanya oleh narasumber yang diwawancarai. Itu yang disebut sebagai verbatim quotes […] Keberadaan verbatim quotes yang ditaruh di dalam body text laporan itu justru menunjukkan authenticity (dari pernyataan narasumber). Jadi kalau hanya 1-2 baris, langsung parafrase saja. Nggak usah pakai verbatim quotes […] Wawancara itu kan data collection technique (atau) teknik pengumpulan data. Kalau verbatim quotes yang dikutip, dimasukkan ke dalam (body text laporan) ini, itu disebut sebagai data presentation (atau) teknik penyajian data. Beda ya? Data collection technique berbeda dengan data presentation technique.”

Pernyataan dosen pembimbing di atas menggarisbawahi pembedaan penting antara data collection techniques dan data presentation techniques. Busetto et al. (2020) membedakan antara tahap pengumpulan data kualitatif dan tahap analisis serta penyajiannya sekaligus menegaskan bahwa kutipan verbatim bukan sekadar salinan ucapan narasumber, melainkan hasil keputusan analitis yang mencerminkan posisi penulis dalam proses interpretasi data.

Seluruh proses supervisi ini bermuara pada satu tujuan utama: menjadikan laporan TA sebagai alat pertahanan epistemik bagi subjek pengetahuan saat menempuh ujian. Dalam konteks evaluasi dan ujian TA, epistemic agency inilah yang sesungguhnya sedang diuji. Jadi, bukan sekadar kepatuhan pada format atau kelengkapan teknis laporan, melainkan kemampuan mahasiswa mempertanggungjawabkan klaim, data, dan kerangka konseptualnya sebagai subjek pengetahuan. Kerangka konseptual bukan dekorasi standar untuk menebalkan bab II, melainkan fondasi argumentatif yang memungkinkan mahasiswa menjelaskan posisi karyanya dalam Ilmu Komunikasi. Tanpa fondasi ini, laporan TA akan tampak rapi secara teknis dan taat secara template, tetapi rapuh secara akademik.

Dengan demikian, sesi bimbingan penyusunan laporan TA sejatinya adalah proses pendewasaan epistemik. Mahasiswa didorong untuk melampaui kerja teknis dan memasuki wilayah refleksi konseptual. Meskipun mungkin jarang diartikulasikan secara eksplisit, laporan TA menemukan martabatnya: bukan hanya sebagai syarat kelulusan, tetapi sebagai naskah akademik versi panjang pertama yang menandai jejak kontribusi mahasiswa dalam komunitas keilmuan komunikasi pada jenjang Sarjana (S1).

Dalam konteks ini, supervisi Tugas Akhir tidak saya pahami sebagai relasi instruksional yang ‘memindahkan pengetahuan’ (knowledge transfer) dari dosen ke mahasiswa, melainkan sebagai relasi epistemik yang bersifat asimetris namun emansipatoris. Dosen pembimbing tidak mengambil posisi sebagai “pemilik kebenaran” yang harus dikutip atau direplikasi, melainkan sebagai epistemic scaffolding yang mendorong mahasiswa keluar dari zona nyaman laporan teknis menuju artikulasi akademik yang reflektif. Mahasiswa tetaplah subjek epistemik utama: ia yang menulis, ia yang menafsirkan, dan ia pula yang bertanggung jawab atas bangunan argumentasinya.

Dalam konteks pembelajaran akademik S1 semester lanjut (7 ke atas), stepping out of comfort zone justru menjadi indikator pedagogis yang sehat. Artinya, langkah ini menjadi penanda semantik bahwa mahasiswa sedang bergerak dari doing tasks menuju thinking academically. Dalam proses ini, laporan TA tidak lagi dipersepsi secara keliru sebagai comfort zone untuk bersembunyi di balik prosedur kerja, tetapi menjadi ruang latihan intelektual untuk mengambil posisi epistemik dan etis dalam keilmuan komunikasi secara sadar dan bertanggung jawab.

Referensi
Busetto, L., Wick, W., & Gumbinger, C. (2020). How to use and assess qualitative research methods. Neurological Research and Practice, 2, Article 14. https://doi.org/10.1186/s42466-020-00059-z
Cornelissen, J. (2020). Corporate communication: A guide to theory and practice (6th ed.). Sage.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing management (15th ed.). Pearson Education.
Nieminen, J. H., & Ketonen, L. (2024). Epistemic agency: A link between assessment, knowledge and society. Higher Education, 88, 777–794. https://doi.org/10.1007/s10734-023-01142-5
Nii Laryeafio, M., & Ogbewe, O. C. (2023). Ethical consideration dilemma: Systematic review of ethics in qualitative data collection through interviews. Journal of Ethics in Entrepreneurship and Technology, 3(2), 94–110. https://doi.org/10.1108/JEET-09-2022-0014

Categories
Uncategorized

Sweeping statement ini datangnya dari mana? (bagian 01 dari 02)

Catatan Dosen Pembimbing TA Track 02 tentang Laporan TA sebagai Naskah Akademik

Salah satu persoalan epistemik yang paling sering muncul dalam penulisan laporan Tugas Akhir (TA) Ilmu Komunikasi, yang berakar pada jalur magang industri, adalah reduksi laporan TA menjadi laporan kerja teknis. Mahasiswa cenderung berhenti pada pertanyaan apa yang dikerjakan dan bagaimana prosesnya, tanpa bergerak lebih jauh ke pertanyaan di mana posisi kerja tersebut dalam keilmuan komunikasi. Dalam sesi bimbingan laporan TA untuk SC [sebut saja mahasiswa ybs dengan inisial ini], problem ini muncul secara eksplisit dan menjadi titik pijak reflektif atas proses bimbingan.

Sejak awal, saya menegaskan bahwa laporan TA bukanlah laporan teknis yang netral secara epistemik. Laporan TA adalah naskah akademik, sehingga setiap klaim, relasi konsep, dan keputusan analitis harus dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam konteks ini, relasi antara marketing communication, company profile, brand guideline, corporate identity, dan corporate image tidak cukup dipahami sebagai urutan kerja praktis dalam bingkai paradigma keilmuan yang melulu pragmatis (get things done). Relasi tersebut harus dibingkai sebagai bangunan konseptual.

Dalam sesi bimbingan TA tambahan untuk SC pada Sabtu, 6 Desember 2025 yang lalu, guna memenuhi syarat minimum 8 kali menempuh sesi bimbingan agar SC boleh mendaftar maju ujian, hal ini saya tegaskan sebagai berikut:

Penafsiran (SC) perlu diperkuat dengan rujukan, karena ini kan landasan konseptual (laporan TA), bab dua. Karena ini bab dua, tentu ada ekspektasi dan itu sudah menjadi sebuah tuntutan akademik yang wajar, perlu adanya rujukan […] Statement seperti itu kan statement yang sweeping ya. Sweeping itu artinya kayak nyapu ya. Nah ketika itu sebuah statement yang sifatnya sweeping, yang menyapu, maka perlu ada rujukan […] Jadi (statement) perlu memuat sitasi. Kalau tidak ada sitasi, malah justru diragukan ini datangnya dari mana. Di zaman sekarang, orang langsung menduga, oh ini datangnya dari AI.

Verbatim di atas menyoroti beberapa hal, salah satunya soal sweeping statement, yakni klaim konseptual yang merangkum hubungan antarkonsep. Sweeping statement bukan kesalahan metodologis selama ia ditopang oleh literatur yang relevan. Mahasiswa justru sedang melakukan kerja intelektual ketika merangkai berbagai rujukan menjadi satu kesatuan berpikir. Dalam posisi ini, mahasiswa bukan sekadar pelaksana teknis, melainkan subjek pengetahuan (epistemic agent), yakni subjek yang secara aktif mengevaluasi, memproduksi, menggunakan, dan mentransformasi pengetahuan.

Konsep epistemic agency, sebagaimana ditegaskan oleh Nieminen dan Ketonen (2024), tidak merujuk pada soft skill tambahan atau sekadar kemandirian belajar, melainkan pada relasi transformatif mahasiswa dengan pengetahuan itu sendiri. Mahasiswa diposisikan sebagai aktor yang bertanggung jawab secara epistemik atas klaim, rujukan, dan bangunan argumentasi yang ia susun. Dalam kerangka ini, penyusunan laporan TA bukanlah aktivitas administratif atau teknis, melainkan praktik awal pembentukan mahasiswa sebagai warga akademik yang mampu mempertanggungjawabkan pengetahuan di hadapan komunitas keilmuan dan masyarakat yang lebih luas.

Literatur seperti Kotler dan Keller (2016) memberikan dasar tentang fungsi komunikasi pemasaran dalam membangun persepsi dan nilai merek (brand), sementara Cornelissen (2020) menegaskan bahwa corporate identity merupakan prasyarat komunikatif bagi terbentuknya corporate image. Dengan kerangka ini, company profile tidak lagi dipahami sebagai produk desain visual semata, melainkan sebagai artefak komunikasi korporat, yaitu medium yang menjembatani identitas korporasi dengan persepsi publik tentangnya.

[to be continued with part 02]

Categories
Uncategorized

“Pak, yang ini boleh ditulis nggak?”

Refleksi Fenomenologis Dosen Pembimbing atas Proses Bimbingan Mahasiswa SC Peserta Program Social Initiatives Impact (SII), Gasal 2025-2026

“Pak, selain data engagement, hambatan selama ngerjain proyek itu perlu dimasukin nggak ke bagian evaluasi?” Pertanyaan semacam ini muncul di awal sesi bimbingan terakhir untuk mahasiswa peserta program Social Initiatives Impact (SII) pada semester Gasal 2025-2026, Kamis, 11 Des. 2025, 10.00-11.00 WIB. Sepintas pertanyaannya terdengar teknis. Tapi, secara fenomenologis, pertanyaan ini mengandung kegelisahan yang lebih dalam: apakah pengalaman menjumpai kesulitan di lapangan sah secara akademik, atau harus disembunyikan demi laporan yang terlihat lebih rapi? Dari titik inilah pedagogi pembimbingan SII bekerja: bukan sebagai koreksi administratif, melainkan sebagai proses menuntun dan membimbing mahasiswa untuk berani membaca dan menafsirkan pengalaman mereka sendiri.

Ada tiga mahasiswa Ilmu Komunikasi peserta SII yang saya bimbing pada semester ini: Keycia, Gabby dan Cheryl. Mereka bertugas di tiga loci sosial dengan karakter demografis dan isu ‘besar’ yang sangat berbeda: Kampung Gardu Timur, desa Situregen, Panggarangan, Bayah, Lebak Selatan dengan isu mitigasi bencana, disaster reduction, dan community resilience; Pasar Papringan di dusun Ngadiprono, desa Ngadimulyo, Kec. Kandangan, Kab. Temanggung dengan isu revitalisasi desa dan cultural resilience; serta kampung Sukagalih, desa Cipeuteuy, Kec. Kabandungan, Kab. Sukabumi yang masuk zona/kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), dengan isu social forestry dan eco tourism. Untuk locus pertama di Bayah, sudah masuk batch 7; locus kedua masuk batch kedua, dan locus terakhir, batch perdana.

Pada masing-masing locus (loci, bentuk jamaknya; pemilihan term locus memang disengaja; locus tidak identik dengan ‘tempat’ atau place, tapi lebih dari itu karena ada interaksi sosio-kultural-komunikatif multi pihak di dalamnya), mahasiswa tidak hanya “melaksanakan program KKN” (istilah yang pernah populer di zaman Orde Baru doeloe), tetapi MENGALAMI-nya secara langsung. Mereka tinggal bersama warga, belajar mengobservasi kehidupan di dusun yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota besar, serta terlibat dalam perikehidupan yang slow living and rich in meaning. Pada ketiga loci inilah bahasa lokal lebih mendominasi, tubuh urban yang tadinya canggung menjadi teremansipasi dalam lanskap sosio-demografis yang sparse sekaligus nguwongke, dan mereka pun masuk terlibat dalam relasi kuasa yang cair nuansa instrumental-transaksionalnya.

Seorang mahasiswa menceritakan bagaimana komunikasinya sering terhambat karena percakapan spontan warga berlangsung dalam bahasa Sunda yang tidak sepenuhnya ia kuasai (Keycia berasal dari Tegal). Kendala berbahasa ini tidak disebutnya sebagai “masalah besar”, tetapi ia “kadang bingung harus merespons bagaimana” obrolan yang tidak dimengertinya itu. Dalam perspektif dosen pembimbing, Keycia mengalami bahasa lebih dari sekadar alat transaksi informasi, tapi jembatan penghubung antar dunia kehidupan yang dialami dan dihidupi oleh multi spesies dengan keragaman moda komunikasinya (pengertian Umwelt dalam fenomenologi; lih. Brentari & Tønnessen, 2024)

Di sinilah intervensi pedagogis menjadi penting. Alih-alih mengafirmasi pengalaman itu sebagai sekadar “kendala” (Yunani: problēma, dari kata proballein ~ dilemparkan di depan), pembimbing menggeser kerangka berpikir mahasiswa: ini bukan keluhan personal, tetapi data komunikasi. Code-switching, peran supervisor lapangan sebagai mediator bahasa & worldview, dan frekuensi berkomunikasi dengan warga bukan aksesoris tambahan untuk mempercantik laporan. Ini semua inti evaluasi strategis dalam kerangka keilmuan komunikasi. Seorang ahli bahasa pernah mengatakan bahwa “batas bahasaku adalah batas duniaku [Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt (proposisi 5.6. dalam Tractatus Logico-Philosophicus karya filsuf analitik, Ludwig Wittgenstein, tahun 1921/1922)]. Pengalaman keterasingan bahasa yang semula dirasakan si mahasiswa sebagai aspek kekurangan diri perlahan digeser menjadi objek refleksi akademik yang presisi dan bahan evaluasi.

Di Pasar Papringan, Ngadiprono, Gabby menghadapi konteks yang berbeda: ruang sosial yang sarat interaksi, simbol dan nilai keberlanjutan ekologis. Salah satu mahasiswa menulis evaluasi yang panjang, penuh tabel, dan poin-poin bertanda strip. Saat ditanya, ia berkata dengan jujur, “Soalnya poinnya banyak, Pak. Takut kelewat.” Kekhawatiran ini menjadi simtom atas ketakutan gagal menjelaskan pengalaman secara utuh. Di sini, pembimbingan mengambil bentuk yang sangat konkret: penomoran ilmiah, keterlacakan argumen, dan kesiapan acuan teks untuk “ditunjuk” secara persis lokasinya di mana saat ujian nanti. Bukan demi aspek estetika semata ‘bulit’ ini diangkat, tetapi agar pengalaman lapangan tidak larut menjadi narasi yang nglantur atau sekadar check-list.

Di Kampung Sukagalih, Sukabumi, refleksi Cheryl bergerak ke wilayah yang lebih embodied. Mahasiswa ybs berasal dari kota Duri, Kab. Bengkalis, Prov. Riau dan dia sedikit merasa canggung ketika harus berinteraksi secara intensif dengan komunitas warga kampung yang notabene berbahasa Sunda, dalam rentang waktu yang amat terbatas. Bahkan, masa observasi awal yang seharusnya 10 hari terpotong jadi hanya enam hari karena gempa cukup besar terjadi di hari kelima (21 Sept. 2025; lih. https://content.bmkg.go.id/wp-content/uploads/Ulasan-Guncangan-Gempa-Sukabumi_21september2025.pdf) sehingga di hari berikutnya mereka terpaksa dievakuasi kembali ke kampus.

Proyeknya dimulai dengan masa induksi awal untuk membangun rapport dengan warga yang cut short. Ketika ditanya apakah perasaan itu relevan untuk ditulis, muncul keraguan: apakah ini terlalu subjektif? Jawaban pedagogisnya justru membuka ruang inklusi: jika pengalaman dialami, diamati, dan direfleksikan, ia sah sebagai temuan. Pengalaman cemas, kikuk, atau merasa “canggung” bukanlah materi curhat biasa; ia dapat menjadi pintu masuk untuk membahas cultural barriers dan relasi gender dalam komunikasi berskala komunitas.

Pendekatan fenomenologis mencapai artikulasi yang lebih eksplisit ketika Keycia menggunakan kerangka evaluasi berbasis teori (Bennett model). Ia menjelaskan dengan hati-hati, seolah meminta izin, bahwa ia tidak ingin evaluasinya sekadar opini. Respons pembimbing tidak hanya mengoreksi penempatan metodologis—bahwa metode evaluasi harus berada di bab metode, dan bukan kerangka teori—tetapi juga memberi legitimasi: ini bukan overthinking, ini justru kerja akademik yang matang. Pada simpul masukan ini, mahasiswa dibebaskan: ia belajar bahwa teori bukan dekorasi intelektual pemanis ruangan, melainkan alat untuk menata dan membaca pengalaman agar koheren.

Benang merah dari seluruh sesi ini kira-kira dapat dirumuskan demikian: mahasiswa belajar bahwa pengalaman tidak otomatis menjadi pengetahuan. Pengalaman harus diolah, dipilah, dan ditempatkan dalam kerangka yang tepat, atau, menggunakan model yang saya kembangkan dalam disertasi (Putranto, 2025), tiga momen sikap: alamiah, fenomenologis, dan etis. Dari hal-ihwal yang tadinya taken for granted, setelah diabstraksikan dan dikonsepkan (fenomenologis) lewat pelbagai saringan (epoché), kemudian dicari dan ditemukan nilai-nilai etisnya atau direfleksikan secara empatik (double hermeneutics). Dalam proses itu, saya berperan sebagai dosen pembimbing yang hadir bukan sebagai juru catat atau penyelesai sengketa, melainkan pendamping refleksi—authorized person untuk sesekali menahan, sesekali mendorong, sesekali ngegas, agar mahasiswa tidak terjebak dalam kelindan kubangan romantisasi pengalaman, overthinking, dan kabut realisme naif.

Dalam klaster makna yang sudah saya tuturkan di atas, pedagogi pembimbingan mahasiswa peserta SII adalah pedagogy in motion: bukan hanya mahasiswa bergerak dari tidak tahu menjadi tahu dan cukup tahu menjadi lebih tahu (cognitive aspect dari Benjamin Bloom), tapi lebih dari itu. Pedagogy in motion mendorong mahasiswa bergerak dari melihat menuju bertindak, dari mengalami menuju memahami, dari melakukan menuju merefleksikan. Acap kali, proses menulis pengalaman dan hasil observasi dimulai bukan dari konsep yang njlimet dengan dipandu grand theory, tapi dari pertanyaan sederhana: “Pak, yang ini boleh ditulis nggak di bab 4?”

References
Brentari, C. & Tønnessen, M. (2024). Introduction to the Special Issue ‘Umwelt Theory and Phenomenology’. Biosemiotics 17, 265–272. https://doi.org/10.1007/s12304-024-09583-w
Patton, M. Q. (2011). Developmental evaluation: Applying complexity concepts to enhance innovation and use. The Guilford Press.
Putranto, H. (2025, 27 Juni). [Disertasi FISIP UI] Etika Komunikasi dalam Produksi Pengetahuan. Retrieved from https://fisip.ui.ac.id/doktor-ilmu-komunikasi-ui-meneliti-etika-komunikasi-dalam-produksi-pengetahuan/
Rockwell, K., & Bennett, C. (2004). Targeting Outcomes of Programs: A Hierarchy for Targeting Outcomes and Evaluating Their Achievement. DigitalCommons@University of Nebraska – Lincoln. Retrieved from https://digitalcommons.unl.edu/aglecfacpub/48

Categories
Uncategorized

“Pak, Saya Layak Maju Ujian Nggak?”

Refleksi fenomenologis dosen pembimbing atas sesi akhir bimbingan skripsi periode Gasal 2025-2026

“Ini saya sudah delapan kali bimbingan, Pak… berarti saya bisa maju sidang ya?” Pertanyaan semacam ini muncul hampir bersamaan ketika sesi bimbingan Social Initiatives Impact ditutup dan sesi bimbingan skripsi dimulai, sekitar pukul sebelas siang. Nada pertanyaannya terdengar administratif, bahkan prosedural. Namun secara fenomenologis, ia menyimpan kegelisahan yang jauh lebih eksistensial: apakah kehadiran formal cukup untuk menjamin kelayakan akademik? Apakah “sudah delapan kali bimbingan” identik dengan siap diuji?

Pada sesi ini hadir empat mahasiswa skripsi: Gaga, Ganang, Dino, dan Matthew. Penyebutan nama satu per satu bukan sekadar pencatatan kehadiran. Ia menandai perubahan rezim relasi pedagogis. Tidak lagi ada pembicaraan tentang “mengembangkan ide” atau “mengeksplorasi kemungkinan”. Yang dipertaruhkan kini adalah kelayakan—bukan kelayakan personal, melainkan kelayakan epistemik dan institusional untuk maju ujian.

Pada nexus inilah sebuah kalimat, yang mungkin terdengar keras jika dipotong dari konteksnya, muncul: “Saya tidak bisa menolong orang yang tidak menolong dirinya sendiri.” Kalimat ini bukan ekspresi emosi, apalagi frustrasi. Ia adalah batas pedagogis. Sebuah penanda bahwa peran pembimbing telah bergeser: bukan lagi fasilitator kemungkinan, melainkan penjaga agar proses akademik tetap sah, adil, dan tidak memanipulasi standar. Humor ringan sesekali diselipkan, bukan untuk melunakkan pesan, melainkan agar pesan dapat diterima tanpa defensif berlebihan.

Fase paling intens dari sesi ini terjadi ketika membahas skripsi Gaga. Pada draf skripsinya muncul nama-nama pemikir kaliber kelas dunia seperti Luciano Floridi, Rosi Braidotti, dan Shoshana Zuboff. Di permukaan, penyebutan nama-nama ini tampak keren sebagai ambisi intelektual. Tapi, ketika Gaga ditanya lebih lanjut, apakah teks-teks primer itu sungguh kamu baca dan pahami? jawaban ragunya membuka lapisan persoalan lain: ketegangan antara klaim akademik dan pengalaman intelektual yang sebenarnya.

Di sinilah pedagogi bimbingan berubah secara kualitatif menjadi epistemic gatekeeping. Kritik tidak diarahkan pada niat, melainkan pada klaim pengetahuan. Mahasiswa diarahkan untuk belajar epistemic humility: mengakui batas bacaan, menyederhanakan kerangka teori, dan menyesuaikan kedalaman konseptual dengan level skripsi S1. Semiotika Barthes, misalnya, ditegaskan DosPem sebagai metode, bukan teori; teori cukup satu payung representasi yang kokoh: representasi dari Stuart Hall. Kesalahan di titik ini bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan epistemic loophole yang dapat mengganjal tahap kelulusan.

Dalam alur pengertian ini, epistemic gatekeeping bukanlah mekanisme eksklusi sewenang-wenang, melainkan praktik normatif untuk menjaga kualitas klaim ilmiah. Akan tetapi, praktik ini selalu berada dalam ketegangan: jika dilakukan tanpa refleksi, ia berisiko berubah menjadi bias epistemik atau bahkan epistemic injustice—sebagaimana ditunjukkan dalam studi tentang editorial bias (Ajani et al., 2025) dan kegagalan relasi mentoring (Fackler, 2025). Di sinilah gatekeeping menuntut bukan hanya ketegasan (being assertive), tetapi lebih condong pada tumbuhnya kesadaran etis (Brooks, 2025).

Berbeda dengan dinamika yang dialami Gaga, bimbingan untuk Ganang berlangsung singkat dan nyaris tanpa elaborasi. Fokusnya satu: hasil kuesioner dan analisisnya. Tidak ada ruang untuk diskusi panjang. Justru dalam keringnya percakapan ini, pesan pedagogisnya jelas: pada fase akhir skripsi, niat dan rencana tidak lagi relevan. Yang dinilai adalah data yang sudah terkunci dan kemampuan membaca data tersebut. Absennya kritik yang panjang menjadi tanda bahwa waktu eksplorasi telah lewat.

Pada titik ini perlu diberikan klarifikasi penting terkait Dino, karena pengalamannya tidak berhenti pada sesi kolektif tersebut. Memang benar bahwa pada sesi ke-7 ia masih berada di ambang pemenuhan syarat formal. Namun dua hari kemudian, Dino secara mandiri meminta sesi tambahan (sesi ke-8) pada Sabtu siang. Pertemuan kedelapan justru mengubah secara signifikan makna pedagogis dari kasusnya.

Berbeda dari kesan awal yang muncul pada sesi kolektif, pengalaman Dino dalam sesi tambahan ini memperlihatkan dinamika yang lain sama sekali. Ia datang bukan dengan permintaan dispensasi, melainkan dengan naskah yang sudah diolah, transkrip wawancara yang siap dibedah, serta kerangka pemikiran yang terbuka untuk dikritisi dan dimaknai ulang. Diskusi berlangsung intens dan sepenuhnya berorientasi pada substansi. Pembahasan bergerak dari prinsip data-driven phenomenology—bahwa pengalaman hidup narasumber adalah inti teori—hingga pemetaan berlapis mikro–meso–makro, sebuah capaian yang jarang muncul pada level skripsi S1.

Yang paling menonjol dari sesi ini adalah kesediaan Dino untuk belajar dari koreksi secara langsung: menata ulang kerangka pemikiran agar benar-benar berangkat dari lived experience, mengaitkan kompetensi komunikasi interpersonal (trust, appropriateness, effectiveness) secara konseptual tanpa berlebihan, serta memusatkan kontribusi teoretisnya pada level meso melalui dinamika small group communication (Linabary, 2019). Usaha ini tidak hanya tampak pada respons verbalnya, tetapi juga pada kesiapan teknis berupa penataan bab, proporsi halaman, hingga visualisasi konseptual. Ini semua menunjukkan bahwa sesi bimbingan tidak berhenti sebagai ajang pemberian nasihat-nasihat saleh, melainkan diterjemahkan menjadi kerja akademik konkret.

Dalam konteks ini, kepuasan pembimbing tidak muncul karena kerapian administratif-prosedural semata, melainkan karena terlihat jelas korespondensi antara usaha mahasiswa dan intensitas bimbingan yang diberikan. Ketika mahasiswa memilih untuk mengejar ketertinggalan secara serius, dosen secara etis berkewajiban merespons dengan memberi lebih. Bukan dalam bentuk kelonggaran standar, tetapi dalam bentuk pendampingan intelektual yang sungguh-sungguh. Kasus Dino memperlihatkan bahwa keterlambatan tidak selalu identik dengan kegagalan; yang menentukan justru apakah mahasiswa ybs memilih berhenti, atau berusaha mengejar ketertinggalannya dengan penuh tanggung jawab.

Sementara itu, bimbingan untuk Matthew bergerak dalam mode yang berbeda: damage control. Dengan progres sekitar lima puluh persen, target tidak lagi diarahkan pada kualitas ideal, melainkan kelulusan minimal. Pernyataan bahwa nilai C tetap lulus bukan ajakan untuk berpuas diri dengan hasil seadanya (mediocre), melainkan pengakuan jujur atas keterlambatan pace penyerapan materi dan pengolahan data yang dilakukan mahasiswa dan sudah telanjur terjadi. Di sini, pembimbing hadir sebagai buffer terakhir antara mahasiswa dan gatot, alias gagal total.

Sesi bimbingan terakhir ditutup dengan pengalihan tanggung jawab yang tegas: catatan tertulis akan diberikan sejauh waktu memungkinkan, tetapi kesalahan yang tersisa di ruang ujian bukan lagi tanggung jawab pembimbing. Momen ini sering disalahpahami sebagai ketidaksediaan membantu. Padahal, secara pedagogis, inilah bentuk let them (Baca: The Let Them Theory karya Mel Robbins, 2024) yang perlu, yaitu saat mahasiswa harus berdiri sendiri di hadapan argumen, pilihan dan konsekuensi atas pilihan-pilihannya menjelang (penjadwalan) sidang pertanggungjawaban skripsinya.

Jika pada sesi bimbingan mahasiswa peserta SII sebelumnya pedagogi diperlihatkan sebagai movement—dari mengalami menuju merefleksikan—, dalam sesi bimbingan skripsi ini pedagogi diperlihatkan sebagai ambang batas moral akademis (academic moral threshold). Di ambang ini, pembimbing tidak lagi sibuk nyuruh ini itu, atau memfasilitasi sejumlah skenario kemungkinan triangulasi, melainkan menjaga legitimasi akademik. Ketegasan, yang mewujud dalam penggunaan assertive tone, bukan pertanda runtuhnya pedagogi, melainkan ekspresi tanggung jawab moral dan etis pembimbing terhadap integritas disiplin keilmuan maupun ‘nasib’ mahasiswa itu sendiri. Pembimbing yang baik dan bertanggungjawab tidak akan membiarkan mahasiswanya terkatung-katung pada decisive moment dalam tahap studinya.

Dalam arti ini, bimbingan skripsi bukan sekadar proses akademik, melainkan latihan kedewasaan intelektual: belajar bahwa tidak semua yang ingin ditulis layak dipertahankan, dan tidak semua ambisi konseptual relevan (penggunaan kerangka konseptual yang ndakik-ndakik) untuk tahap yang sedang dijalani. Mungkin pada simpul refleksi inilah pendidikan tinggi bekerja paling jujur: ketika dosen tidak lagi menyamarkan peran gatekeeping sebagai kegagalan empati, melainkan mengakuinya secara terbuka sebagai tanggung jawab etis yang harus terus diseimbangkan dengan langkah pendampingan dan pembelajaran.

“Gatekeeping is part of what instructors do”, tapi ia bukan prinsip utama penilaian, melainkan “a contrary force to be balanced with pedagogical approaches that enable learning” (Sonnenmoser, 2009). Di sinilah pendulumnya berayun: ketika disadari, dampak tegangan dari gatekeeping justru menjaga integritas akademik sekaligus denyut kemanusiaan dari proses pendidikan di perguruan tinggi, khususnya dalam sesi bimbingan skripsi yang intens.

Epistemic gatekeeping berbeda secara prinsipil dari epistemic violence: yang pertama bertujuan menjaga validitas klaim pengetahuan melalui koreksi yang dapat dipertanggungjawabkan (misalnya: ada bukti rekaman dan transkripnya), sementara yang kedua terjadi ketika koreksi tersebut berubah menjadi penyangkalan terhadap kapasitas subjek sebagai know-er, sehingga menghasilkan epistemic injustice—baik dalam bentuk testimonial injustice yaitu ketika suara mahasiswa tidak dipercaya secara apriori maupun hermeneutical injustice yaitu ketika pengalaman belajarnya tidak diberi kerangka makna yang adil. Pokok seperti ini mirip dengan yang diingatkan Fricker (2007).

Reference
Ajani, Y. A., Akin-Fakorede, O. O., Ama-Abasi, R. D., Onanuga, A. O., Ilori, O. O., Egbe, I. M., Oladokun, B. D., & Otun, M. O. (2025). A phenomenological study of acclaimed editorial bias in academic publishing among library and information science scholars. Performance Measurement and Metrics, 26(4), 268–284. https://doi.org/10.1108/PMM-06-2025-0036
Brooks, P. (2025). How bad gatekeepers undermine good science. Synthese, 206, 267. https://doi.org/10.1007/s11229-025-05346-3
Fackler, A. K. (2025). Mentoring that fell apart: Using an epistemic injustice lens to (re)construct a doctoral mentoring dyad in science education. Journal of Diversity in Higher Education. Advance online publication. https://doi.org/10.1037/dhe0000678
Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.
Sonnenmoser, R. (2009). The gatekeeping impulse and Professor X: An exploration. Assessing Writing, 14(2), 76–87. https://doi.org/10.1016/j.asw.2009.04.003

Categories
Uncategorized

Ketika ruang percakapan yang tadinya ramai eh mendadak sunyi

Digital Silence dan Inhibisi Komunikasi di WA Grup Profesional

Dalam sebuah asosiasi profesional tempat saya bergiat, terdapat cukup banyak grup WhatsApp yang menjadi arena kolaborasi lintas generasi. Kalau saya tidak salah hitung, ada 45 grup WA yang saya masuki/dimasukin (di-add). Salah satu grup WA tersebut terdiri dari para anggota senior dengan jam terbang panjang serta anggota muda yang sedang menapaki jalur awal profesi. Grup ini memfasilitasi koordinasi kegiatan, pertukaran informasi, dan penguatan jaringan. Namun ada pola yang menarik: ketika pesan yang muncul terlalu panjang, reflektif, atau filosofis, percakapan kerap berhenti seketika. Sebuah “hening digital” muncul, bukan karena ketidaksetujuan, tetapi karena dinamika ruang itu sendiri.

Fenomena ini mendorong saya menelaahnya melalui lensa dua riset media kontemporer: studi “inhibition in digital public spaces” oleh Sakariassen & Meijer (2021) dan gagasan “digital silence” dari Thomas & Manalil (2025). Keduanya memberi kerangka analitis yang sangat relevan untuk memahami mengapa ruang digital yang tampak cair dan egaliter justru sering menjadi tempat diam kolektif.

Inhibition sebagai Mekanisme Sunyi di Ruang Digital

Studi Sakariassen & Meijer (2021) menunjukkan bahwa mayoritas pengguna media sosial mengalami apa yang mereka sebut sebagai inhibition: dorongan untuk ikut bersuara yang terhambat oleh kekhawatiran sosial dan dinamika platform. Menariknya, hampir 90% responden dalam studi mereka menyatakan pernah merasa terhambat untuk berkomentar, berbagi, atau bersuara, meski ingin melakukannya. Fenomena ini mereka sebut sebagai “in-between concept” antara partisipasi dan non-partisipasi: orang hadir, membaca, memperhatikan, tetapi memilih tidak tampil.

Jika kita terapkan pada WA grup profesional, terlihat jelas bahwa:

Pengguna muda merasa perlu menjaga citra diri di hadapan anggota senior, sebagaimana temuan bahwa identitas digital sangat memengaruhi kecenderungan untuk bersuara (Goffmanian identity management dalam Sakariassen & Meijer). Akibatnya, pesan panjang yang berbobot sering menciptakan tekanan: bagaimana merespons tanpa tampak kurang cerdas atau kurang relevan?

Kekhawatiran akan salah tafsir dan kritik (faktor social discomfort dalam studi tersebut) membuat orang memilih diam daripada berisiko.

Dalam grup beranggotakan lintas usia dan hierarki profesional, efek ini semakin kuat.

WA bukan ruang diskursif, melainkan ruang phatic—berfungsi menjaga ritme relasional secara ringan. Ketika seseorang tiba-tiba mengirim refleksi filosofis panjang, sebagian anggota cenderung berhenti, bukan menolak, tetapi tidak siap berpindah register wacana secara tiba-tiba.

Dengan demikian, “diam” bukan berarti tak peduli; ia adalah bentuk inhibition yang lahir dari kalkulasi sosial digital.

Digital Silence sebagai Pengalaman Afektif

Artikel Thomas & Manalil (2025) menawarkan konsep yang lebih psikologis: digital silence. Mereka membahasnya dalam konteks shadow banning, tetapi gagasannya relevan untuk memahami dinamika respons dalam grup profesional. Intinya, digital silence merupakan “sebuah pengalaman subjektif ketika pesan kita tidak mendapatkan pantulan sosial dari lingkungan digital.” (Thomas & Manalil, 2025)

Meski WA grup bukan platform berbasis algoritma yang menyembunyikan konten, dampak afektif “pesan tanpa balasan” mirip dengan mekanisme digital silence. Misalnya, tidak adanya feedback sosial memunculkan perasaan ragu: apakah pesan saya terlalu berat? tidak tepat? mengganggu suasana? Cuatan ini selaras dengan temuan bahwa ketiadaan respons memicu cognitive dissonance dan refleksi negatif terhadap diri. Pengirim merasa ‘berbicara ke ruang hampa’, padahal sesungguhnya orang membaca tetapi tidak menjawab.

Sakariassen & Meijer menyebut ini sebagai non-participation yang aktif—listening in yang tidak tampak. Ruang digital seperti grup WA memproduksi “invisible audience”, sehingga batas antara perhatian, apresiasi, dan keengganan merespons menjadi kabur.

Keduanya menunjukkan bahwa kesunyian digital adalah fenomena sosial yang kompleks, bukan sekadar ketiadaan minat.

Ketika Pesan Mendalam “Membekukan” Grup

Jika digabungkan, kedua studi ini menunjukkan bahwa (a) Pesan berat atau reflektif mengubah “mode komunikasi” grup, (b) anggota berpindah dari phatic mode ke evaluative mode, (c) lalu mayoritas memilih diam, bukan karena kontennya salah, tetapi karena ruang digital itu sendiri tidak mendukung kedalaman spontan.

Dengan demikian, bukan pesannya yang keliru, tetapi arenanya yang kurang tepat.

WA grup profesional bekerja lebih baik dengan respon singkat, emoji, stiker, atau apresiasi ringan, karena jenis respons itu menjaga ritme relasional dan menghindari beban kognitif tak perlu.

Belajar Mengeja Ritme Ruang Digital

Diam di ruang digital bukan berarti abai. Dalam banyak kasus, diam justru menjadi tanda perhatian, bentuk self-restraint, atau strategi menjaga identitas dan harmoni sosial.

Dengan membaca fenomena ini melalui riset mutakhir tentang inhibition dan digital silence, kami dapat memahami bahwa komunikasi digital menuntut kecerdasan kontekstual: kedalaman tetap penting, tetapi harus ditempatkan di medium yang tepat. Blog, catatan refleksi, atau forum diskusi formal adalah tempat ideal untuk wacana filosofis yang bernas—bukan WA grup yang dirancang untuk ritme cepat dan interaksi ringan.

Daftar Pustaka

Sakariassen, H., & Costera Meijer, I. (2021). Why so quiet? Exploring inhibition in digital public spaces. European Journal of Communication, 36(5), 494–510.

Thomas, S., & Manalil, P. (2025). Digital silence: The psychological impact of being shadow banned on mental health and self-perception. Frontiers in Psychology, 16, Article 1659272.