Categories
Uncategorized

Belajar Phenomenology dari Max van Manen dan Clark Moustakas [02]

Seorang teman mahasiswa, sebut saja inisialnya FA, bertanya pertanyaan umum demikian: “Dalam hal apa saja fenomenologi dapat diterapkan?”

Jawab:

Pendekatan Fenomenologi untuk riset ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan (Ilmu Komunikasi termasuk di dalamnya) dapat diterapkan untuk cukup banyak bidang, sub-bidang dan kasus konkret. Misalnya, pendekatan Fenomenologi dalam bidang Pendidikan dapat digunakan untuk riset seputar keilmuan/praktik pedagogi, untuk pengembangan kompetensi belajar siswa ‘normal’ atau difabel (lih. Thurston, M. (2014). “They Think They Know What’s Best for Me”: An Interpretative Phenomenological Analysis of the Experience of Inclusion and Support in High School for Vision-impaired Students with Albinism. International Journal of Disability, Development and Education, Vol. 61(2), h. 108-118. DOI:10.1080/1034912X.2014.905054), bisa juga untuk pengembangan kurikulum pembelajaran yang berbasis pengalaman konkret [Sloan, A. & Bowe, B. (2014). Phenomenology and hermeneutic phenomenology: the philosophy, the methodologies, and using hermeneutic phenomenology to investigate lecturers’ experiences of curriculum design. Quality & Quantity, Vol. 48(3), h. 1291–1303. DOI:10.1007/s11135-013-9835-3; lih. juga Garcia, J. A. & Lewis, T. E. (2014). Getting a Grip on the Classroom: From Psychological to Phenomenological Curriculum Development in Teacher Education Programs. Curriculum Inquiry, Vol. 44(2), h. 141-168. DOI: 10.1111/curi.12042] atau kebutuhan khusus para siswa/peserta didik [Connolly, M. (2008). The Remarkable Logic of Autism: Developing and Describing an Embedded Curriculum Based in Semiotic Phenomenology. Sport, Ethics and Philosophy, Vol. 2(2), h. 234-256. DOI: 10.1080/17511320802223824; lih. juga Leach, D. P.(2015). A Phenomenological Study of the Experiences of Parents of a Child or Children Diagnosed with Deafness. (Doctoral dissertation submitted to College of Education, University of South Carolina, USA). Retrieved from https://scholarcommons.sc.edu/etd/3264].

Dalam konteks yang lebih informal, pendekatan fenomenologi dapat dijadikan materi pembahasan saat parenting workshop, dan masih banyak lagi bidang-bidang terkait langsung maupun tidak langsung dengan bidang pendidikan (formal, informal, non-formal) lainnya.

Sementara, pendekatan Fenomenologi dalam bidang psikologi dapat diterapkan pada bidang psikologi terapan, psikoterapi, keperluan HRD (Human Resource Development), atau untuk mengetahui lebih jauh kedalaman dimensi pengalaman manusia dengan aspek ketubuhannya (embodied experience), misalnya tentang rasa sedih karena kehilangan (grief) atau kecemasan (angst/anxiety) warga di tengah situasi Pandemik, juga dalam hal pencegahan kasus bunuh diri [Jacobs, J. (1967). A Phenomenological Study of Suicide Notes. Social Problems, Vol. 15(1), h. 60-72. DOI:10.2307/798870; lih. juga Gajwani, R., Larkin, M., Jackson, C. (2017). “What is the point of life?”: An interpretative phenomenological analysis of suicide in young men with first-episode psychosis. Early Intervention in Psychiatry, 2017/4, DOI: 0.1111/eip.12425], atau membantu dalam terapi untuk pecandu drugs [Shinebourne, P. & Smith, J. A. (2011). Images of addiction and recovery: An interpretative phenomenological analysis of the experience of addiction and recovery as expressed in visual images. Drugs Education, Prevention, and Policy, Vol. 18(5), h. 313-322; lih. Juga Moskalewicz, M. (2016). Lived Time Disturbances of Drug Addiction Therapy Newcomers. A Qualitative, Field Phenomenology Case Study at Monar-Markot Center in Poland. International Journal of Mental Health and Addiction, Vol. 14(6), h. 1023-1038.], dalam kasus-kasus kejahatan yang diperiksa/dianalisis dengan bantuan ilmu Kriminologi.

Teman mahasiswa yg lain lagi, inisialnya AS bertanya: “Adakah pengetahuan timbul dalam diri manusia ketika manusia tidak mengalami fenomena?”

Jawab:

Fenomena berasal dari bahasa Yunani: φαινόμενον, phainómenon, artinya (sederhananya): gejala atau hal yang tampak oleh indera manusia (bahasa Inggrisnya: observable fact or event). Pada dasarnya, hubungan antara Fenomena dengan Pengetahuan merupakan problem yang menarik sejak munculnya Epistemologi Modern yang “dirintis” filsuf René Descartes (1596-1650) dengan Cogito-nya. Kemudian oleh Immanuel Kant gagasan filosofis tentang fenomena (dan noumena) ini diangkat ke tataran pemikiran yang baru, lewat karyanya Die Kritik der reinen Vernunft (terbit 1781).

Kemudian, setelah filsuf Edmund Husserl menuliskan karyanya berjudul Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie. Erstes Buch: Allgemeine Einführung in die reine Phänomenologie (Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology) (terbit 1913) dan salah satu muridnya, Martin Heidegger, dengan karyanya Sein und Zeit (terbit 1927), fenomenologi sebagai gagasan kunci filosofis post-Hegel naik ke permukaan dan menjadi diskursus serius lintas keilmuan selama lebih dari seratus tahun terakhir ini.

Sejauh manusia mendapatkan pengetahuan lewat indera fisiknya (physical senses), maka sejauh itu juga fenomena adalah bahan dasar pengetahuan manusia [pengetahuan dalam arti empirisme, bukan rasionalisme: pandangan yang mengandaikan adanya pengetahuan apriori, innate ideas, yang terlepas dari penginderaan]. Jadi, manusia tidak pernah terlepas dari fenomena atau hal yang menampakkan diri padanya sejauh ia memiliki indera fisik (penglihatan, pendengaran, dst.) dan indera-indera fisik tersebut berfungsi normal.

By Hendar Putranto

I am a doctorate student in Communication Science, FISIP Universitas Indonesia, starting in 2019. Hope this blog fulfills my studious passion to communicate?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *