Categories
Uncategorized

[Seri Renungan Akhir Tahun 2024] Menjadi terasing dalam keakraban (01 of 02)

The Stranger (L’Étranger) karya Albert Camus (1913-1960)

Untuk ulasan kritis tentang alih bahasa karya ini ke dalam bahasa Indonesia, lihat tulisan Rainy M.P. Hutabarat pada 16 Maret 2019 yang dimuat dalam kolom TEMPO. Berikut tautannya: https://www.tempo.co/kolom/orang-asing-881549

DESKRIPSI bacaan: bagian akhir dari The Stranger

Setelah setahun di penjara, persidangan Meursault akhirnya dimulai. Saat dia dibawa ke ruang sidang, dia terkejut dengan banyaknya orang yang hadir. Tanpa sepengetahuannya, kasusnya telah menjadi berita populer di koran-koran lokal. Dia juga terkejut dengan betapa panasnya ruangan itu.

Jendela-jendela ditutup, membuat udara terasa tebal dan menyesakkan. Saat dia duduk di dermaga, dikelilingi oleh mata yang ingin tahu, dia merasa seperti seorang penumpang trem yang penuh sesak yang sedang diteliti oleh orang asing. Saat persidangan dimulai, serangkaian saksi bersaksi, dan kita mendengar peristiwa di bagian pertama buku ini dimainkan sekali lagi, kali ini di bawah pengawasan ketat para pengacara. Direktur panti jompo ibunya melukiskan gambaran yang tidak menyenangkan tentang seorang anak yang acuh tak acuh yang tidak menangis atau menunjukkan penyesalan atas kepergian ibunya. Pengurus panti jompo, yang berbagi kopi dan rokok dengan Meursault, juga dihadirkan oleh jaksa penuntut untuk memberikan bukti ketidakpedulian terdakwa yang dingin. Kemudian Marie dibawa ke kursi saksi, dan disuruh menceritakan kegiatan mereka sehari setelah pemakaman ibu Meursault.

Pergi ke bioskop untuk menonton film komedi, dan kembali ke apartemennya setelah itu, digambarkan oleh jaksa penuntut sebagai bukti lebih lanjut dari kurangnya kesopanan Meursault. Marie memohon bahwa Meursault bukanlah orang jahat, tetapi tangisannya tidak didengar. Tetangganya, Salamano, bersaksi atas nama terdakwa, seperti halnya Raymond, tetapi jaksa penuntut melakukan pekerjaan yang meyakinkan untuk menggambarkan Raymond sebagai penjahat kecil yang memiliki reputasi buruk. Terlepas dari upaya pengacaranya untuk membelanya, tuduhan jaksa penuntut tetap menggantung di udara, menggambarkan Meursault sebagai orang yang dikuasai oleh kejahatan dan tidak memiliki moral. Jaksa penuntut bahkan mengatakan bahwa Meursault tidak memiliki jiwa dan berbahaya bagi masyarakat. Di sebagian besar persidangan, Meursault mengomentari absurditas menyaksikan orang-orang memperdebatkan karakternya tanpa ada masukan darinya.

Dia benar-benar menjadi saksi pasif atas nasibnya sendiri. Namun pada akhirnya, Meursault diberi kesempatan untuk berbicara, meskipun tidak berjalan dengan baik. Dia tampak tidak bersemangat saat dia mencoba menjelaskan tentang matahari dan panas pada saat penembakan. Usaha kerasnya untuk menjelaskan dirinya hanya menghasilkan ejekan dari ruang sidang. Ketika persidangan mencapai kesimpulannya, Meursault dinyatakan bersalah atas pembunuhan dan dijatuhi hukuman mati, eksekusi di depan umum dengan cara dipancung. Vonis yang tiba-tiba itu membuatnya tertegun, dan dia digiring pergi tanpa emosi atau protes.

Akhir buku ini ditandai dengan pertemuan antara Meursault dan kapelan. Sekali lagi, seorang pria lain mencoba menarik sisi spiritual yang tidak dimiliki oleh Meursault. Jika ada keraguan apakah narator kita mungkin mencari penghiburan di dalam Tuhan setelah dia dijatuhi hukuman mati, hal itu sepenuhnya ditepis. Seperti yang dia katakan, dia hanya memiliki sedikit waktu yang tersisa, dia tidak ingin menyia-nyiakannya untuk Tuhan. Dihadapkan dengan argumen yang terus menerus dari si kapelan, Meursault akhirnya meledak dalam kemarahan, yang merupakan pertama kalinya dia menunjukkan emosi seperti itu. Kapelan itu ingin mendoakan Meursault, dan dia ingin memaksakan kepastian dan makna agama pada situasi orang yang dikutuk itu.

Tapi Meursault sudah muak. Dia mencengkeram kerah baju si kapelan dan mengatakan kepadanya bahwa kepastiannya tidak ada gunanya. Dia percaya bahwa si kapelan adalah orang yang hidup seperti orang mati. Meursault sudah yakin akan hidup dan matinya, dan itu sudah cukup. Dia tidak lebih baik atau lebih buruk dari si kapelan, sama seperti anjing tua yang sudah tua dan tidak lebih baik atau lebih buruk dari pasangannya. Dia mengatakan kepadanya bahwa setiap orang telah dipilih untuk takdir yang sama, jadi tidak ada yang penting.

Ketika si kapelan akhirnya pergi, sang tahanan merasa damai. Dia memikirkan ibunya untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dia ingat bahwa ibunya telah memiliki tunangan baru tidak lama sebelum dia meninggal. Begitu dekat dengan kematian, dia juga pasti merasa bebas dan siap untuk hidup kembali. Tidak ada yang harus menangis karena hal itu. Meursault juga merasa bebas, tidak terbebani oleh harapan dan terbuka terhadap ketidakpedulian dunia. Dia berharap akan ada kerumunan besar di tiang gantungan, menyambutnya dengan teriakan kebencian.

ANALISIS bacaan

Ada beberapa tema yang dapat digali dari novel The Stranger karya Albert Camus (1942). The Stranger telah diteliti dan diperdebatkan banyak ahli sastra dan filsuf sejak pertama kali terbit. Dua tema terbesar yang cenderung menjadi pembahasan dan perdebatan adalah soal absurdisme dan eksistensialisme.

Eksistensialisme adalah paham yang mengeksplorasi rentang kemungkinan tentang makna, nilai, dan tujuan keberadaan manusia. Filsuf eksistensialis seperti Albert Camus, juga Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre, menunjukkan bahwa ada tingkat absurditas yang melekat pada eksistensi manusia karena pada dasarnya manusia memiliki hasrat bawaan untuk menemukan makna di dunia yang cenderung tidak peduli soal makna, apalagi makna yang ultim.

Ada sebuah perumpamaan yang cukup baik dan menarik untuk menggambarkan absurdisme, yaitu mitos Sisyphus, tokoh yang dikutuk untuk menggelindingkan batu besar ke atas bukit berulang kali tanpa tujuan yang nyata. Salah satu karya besar pertama Camus adalah esei berjudul The Myth of Sisyphus yang terbit tahun 1942, tahun yang sama dengan terbitnya The Stranger.

Dalam The Stranger, absurdisme terlihat jelas selama persidangan. Meursault telah membunuh seorang pria, dan dia bersedia membayar harga untuk perbuatannya, tetapi persidangannya justru berjalan untuk membahas karakternya dan bagaimana kepribadiannya tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakatnya.

Meursault tidak dihukum karena tindakan membunuh orang lain. Dia dikutuk karena orang lain menganggap perilakunya yang tidak menangis saat ibunya dimakamkan tidak dapat diterima. Betul bahwa nilai-nilai yang dianggap dapat diterima dan tidak dapat diterima oleh masyarakat berubah dari waktu ke waktu, dan dapat berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya.

Cara yang tampaknya sewenang-wenang dalam menentukan nilai-nilai ini, dan fakta bahwa kita terlalu bersedia untuk mengutuk atau mengucilkan mereka yang tidak mengikutinya, merupakan inti dari filosofi absurdisme Camus.

Meskipun Meursault pada akhirnya mengatakan kepada si kapelan yang melayani saat terakhirnya bahwa tidak ada satu hal pun yang penting, Camus bukanlah seorang nihilis.

Meursault menemukan kebebasan dalam ketidakberartian yang lebih besar dari kehidupan, dan bahwa seseorang akhirnya dapat benar-benar hidup ketika absurditas dari semua itu dirangkul.

Cara singkat dan ringkas yang digunakan Albert Camus untuk mengajukan semua pertanyaan memabukkan tentang eksistensi manusia inilah yang membuat The Stranger masih dianggap sebagai buku penting filosofis hingga saat ini.

REFLEKSI atas bacaan (to be continued)

Categories
Uncategorized

Dosen yg berinteraksi sama Gen Z tentang COPS (materi CCT asinkron) di grup WA

Dalam salah satu kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang materi CCT kepada beberapa rekan pengurus YRC yang kebingungan, khususnya pada pokok materi soal COPS, Hendar merespon berikut ini [WA group chats Pengurus Inti YRC]

Kejadiannya pada Senin malam, 16 Desember 2024 (19.12-21.07 WIB)

[mahasiswa A dan B bertanya]
A: Pak, saya mau tanya materi CCT asinkron bole ga? Saya mau tanya soal COPS. Saya masih kurang paham soal bedanya Opinion & Perspektif.
B: iya pak sama.. berhubung kmrn asinkron kita tonton video penjelasan pak hendar

[Dosen menanggapi 01]
Yg kamu tangkap apa & contohnya gmn? Ntar saya koreksi

[mahasiswa A menanggapi 01]
A: Hmm. Kalau dari yang saya kerjakan kemarin di asinkron, saya nangkapnya Opinion itu kek opini, pernyataan, argumentasi dari pihak yang terkait atau d tanya (kalau diberita narasumber)
Kalau perspektif itu, bagaimnaa kita pribadi (personal) memandang kejadian yang terjadi atau informasi yang ada gitu. Contohnya misal, Kasus korupsi yang dilakukan oleh pihak A
Narasumber yang di wawancara itu memberikan pernyataannya terkait apa yang mencurigakan atau apa yang dia alami, itu saya sebut opini.
Kalau perspektif dr kasusnya, saya memikirkan kayak, kok orang tega ya ngelakuin korupsi, padahal yang di korup juga sama sama manusia, kok pihak berwajib cuman kasih tindakan begini ya, seharusnya kan bisa ada penegakan hukum yang lebih matang dan sanksi denda yang jauh lebih berat sehingga orang merasa jera & takut untuk melakukan korupsi. Begitu pak (dari) saya.

[mahasiswa B menanggapi 01]
klo aku, opini itu kaya yg kt pelajarin di SMA, kalimat opini sama fakta wkwkwkwk
klo perspektif aku nangkepnya, berita ini diberitakan melalui perspektif siapa
misalnya aparat kepolisian, forensik atau perspektif warga setempat

[Dosen menjawab 01]
Kalau jawabanmu ini, saya akan beri nilai range 70-75. (berikut jawaban saya)

Pertama, definisi. Opinion beda sama perception. Persepsi lebih ke mental states (proses melihat & menilai sesuatu/fenomena) sso, sementara opinion lebih ke speech act dlm arti tindakan subjek bertutur & mengungkapkan isi pikiran, perasaan, kehendaknya.

Kedua, asal muasal terbentuknya.
Perception lebih dipengaruhi tradisi, latar belakang, sikap dasar (disposisi), kerangka nilai serta pengalaman yg membentuk cara sso melihat sesuatu.
Opinion lebih dipengaruhi lingkungan sekitar tempat org yg memiliki persepsi itu hidup, semacam norma dan aturan, bs juga political situation yg mendukung atau membatasi sso mengungkapkan opininya.

Ketiga, tujuan.
Perception lebih ke clarity apa yg dilihat dan angle melihat. The clearer the better.
Opinion lebih ke persuasi, truth-value dari hal yg dinyatakan. Semakin mendekati kebenaran (objektif), semakin baik nilai opinion tsb.

Keempat, bias2 yg terkait.
Perception lebih ke subjective biases, misalnya ilusi Müller-Lyer, cognitive bias sperti Halo effect.
Opinion lebih condong ke collective biases (contoh, ethnocentrism, racism, sexism) yg memengaruhi subjek shg menuturkan / beropini ttg A sbg XYZ dan bukan DEF (misalnya).

(adapun) kesamaan (antara) opinion dan perception adalah cenderung dilihat sbg hal yg *personal dan subjektif* lebih daripada hal yg kolektif-institusional. Jadi jarang sekali kita menyebut _persepsi lembaga_, adanya lebih sering disebutnya _persepsi diri_ Juga amat jarang disebut sebagai opini massa, opini negara, opini bangsa, lebih ke opini pribadi.
Okey B. Saya sdh jelaskan agak panjang * lebar ya di atas.

[mahasiswa B menanggapi 02]
waw, thanks alot ya pak hendar uda luangin malamnya untuk jelasin ini
(stiker senang)
(btw) sso itu apa ya pak?

[dosen menanggapi 02]
Sama2 B. Oia, penjelasan di atas berlaku utk kajian critical thinking ya, jadi bukan _opini hukum_ misalnya, atau _persepsi medis_ (klo ini sdh masuk ke disiplin keilmuan, ada sejumlah perbedaan menafsir krn ada tradisi keilmuan ttt yg memngaruhi definisi, scope, tujuan & bias2 yg mungkin)
Seseorang adalah someone.

[mahasiswa B menanggapi 03]
oh heheh; okayy noted pak, thankyou once again pak hendar; ku cerna ulang

[mahasiswa A menanggapi 02]
Saya juga lagi baca ulanh terus menerus nih pak; Masih mencerna; Tapi terimakasih pak sebelumnya, sudah menyempatkan waktu untuk menjawab [stiker senang]

[dosen menanggapi 03]
>> Sipph B. Sama2
Dikunyah2 (ruminatio) biar dapat sari2nya
>> Sama2 A. Mayan buat refreshing materi yg pernah saya ajarkan lewat video asinkron CCT

(lihat file)

Contoh gambar ilusi Müller-Lyer, manakah garis yg lebih panjang?

(lihat file)

[gambar ini] pernah viral di tahun 2015 ilusi blue or black stripes; white or gold?

[mahasiswa A menanggapi 03]
Ohh iya ini; Saya sampe skrg liatnya biru hitam pak [stiker senang]

[dosen menanggapi 04]
Ada pengaruh cahaya (lighting) juga sih klo ilusi stripes ini

(lihat file)

Ini juga contoh optical illusion yg sgt terkait dgn persepsi org yg melihatnya. Opini adalah momen saat orang menyatakan penilaiannya bahwa ini adalah perempuan muda karena begini dan begitu

[mahasiswa A menanggapi 04]
OOOO jadi perspektif itu proses untuk mengungkap opini
Opini adalah apa yang d ungkapkan dari perspektif yg kita punya, Ya.. pak?(stiker curious)
Ini ada di matkul Com & personal relationship.

[dosen menanggapi 05]
Optical illusion biasanya terjadi utk objek yg sederhana dan terbatas (dua dimensi sperti contoh gambar di atas). Kalau hal yg lebih kompleks dan multifaktor, misalnya perang antar etnis, genosida, climate change, tentu sulit utk dikatakan bahwa pemicunya adalah optical illusion
Yes ini gambar “standar” utk menjelaskan soal persepsi
Self-identification, self-perception, self-awareness, self-esteem >> ini semua menyumbang pada konsep yg lebih holistik namanya self-disclosure (khususnya dalam Social Penetration Theory).
Konsep2 ini sdg digarap dlm skripsi mahasiswa bimbingan saya Angk. 2020 yg tadi siang baru saja submit utk daftar sidang skripsi week 1 Januari 2025. Teori kupas bawang (analoginya atau penggunaan metafor yg mempermudah utk memahami sebuah teori tertentu).

[mahasiswa A menanggapi 05]
Wah iya ini ada d matkul nya juga pak

[dosen menanggapi 06]
Yes A, betul. Opini itu eksternalisasi persepsi (di antaranya, bukan satu2nya). Sementara, kalau dibalik logic-nya, persepsi itu internalisasi opini.

[mahasiswa C bertanya]
Pak jadi secara simple itu opini ttg pemdapat ya pak sdgkan perspektif cara lihat kitaa terhadap suatu kejadian/objek/lain² ya pak ?

[dosen menanggapi 07]
Perception & perspective agak beda ya meskipun mirip2 nulisnya. Perspective itu akumulasi persepsi over time, artinya sudah menjadi semacam lensa utk meneropong dunia dan memahaminya.
Jadi, kalau pertanyaan di level Magister atau Doktoral, biasanya yg muncul dari penguji begini, tulisanmu ini atau apa yg kamu teliti ini, perspektif komunikasinya di mana?
Jadi, bukan persepsi komunikasinya krn persepsi itu sifatnya lebih segera (immediate, first-hand experience). Ya kalau simple diartikan satu dua kata (opini = pendapat pribadi; perspektif = cara melihat) bisa juga cuman klo buat jawaban UAS kan gak mungkin sependek ini ya, C.

[mahasiswa C menanggapi 01]
Iyaa pak

[mahasiswa A menanggapi 06]
Oke saya sudah mendapat titik cerahnya ni
Alhamdullilah (stiker). Makasih banyak pak akhirnya paham (stiker senang)

[dosen menanggapi 08]
Ya syukurlah A kalau sudah semakin paham dlm kuliah singkat asinkron malam ini

[mahasiswa C bertanya 02]
Terus pak semisal kita melihat tapi kt jg membeti pendapat ttg apa yg kita lihat itu trmksdnya apa pak perspektif opini apa gmn pak ?

[dosen menanggapi 09]
Kan di atas tadi udh saya jelaskan, C?

[mahasiswa C menanggapi 02]
Mgkin tertimpa ya pak wkwkwk; Nanti saya scroll lagi deh pak (stiker senang); Terima kasih Pak Hendar

[dosen menanggapi 10]
>> terjadilah pertukaran pesan yg diwakili beberapa stiker yg menunjukkan ekspresi senang, gemes & have fun gess. Stiker tersebut misalnya sbb.:

(lihat file)

trit utk di-post di blog Hendar

Categories
Uncategorized

Belajar cara belajar: Sharing insights & experiences amongst Gen Z

Setelah malang-melintang menjadi dosen selama 20 tahun terakhir dalam hidupku (2003-2024), sudah layak dan sepantasnya diriku berbagi pengalaman dan wawasan yang dapat mendorong dan menginspirasi rekan-rekan muda Gen Z (mostly kelahiran 2006 dan sebagian kecilnya kelahiran 2007) yang kebetulan mereka juga first year students (freshmen/freshwomen) at Strategic Communication, UMN.

Dalam kesempatan berbagi ini, diriku menekankan pentingnya belajar cara belajar di Universitas yang memberi ruang pengembangan pada tiga hal kunci berikut ini, yaitu:
1) kecakapan beradaptasi
2) kemampuan belajar secara mandiri, dan
3) mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah.

Belajar cara belajar untuk menjadi pembelajar seumur hidup

Tentu saja, ada sejumlah catatan yang menarik yang menempatkan momen berbagi ini menjadi lebih kontekstual dan relatable.

Pertama, pada konteks makro, sebulan terakhir ini sedang terjadi kontroversi pemberian gelar Doktor pada salah seorang menteri yang juga merangkap ketua umum partai yg paling eksis di negeri ini, you know who I mean. Kontroversinya bukan hanya pada durasi si menteri menyelesaikan program doktoralnya yg di bawah 2 tahun, tapi juga proses akademis yg tidak “biasa” (anomali) yg ditempuhnya sampai ke sidang promosi (tuduhan plagiarisme, dikerjakan pasukan seabreg-abreg, sampai penggunaan joki utk menyelesaikan draf disertasinya). Juga, tidak menambah kalah seru kontroversinya, pemberian gelar Doktor ini dilakukan oleh sebuah kampus yang konon katanya paling mentereng, kesohor, dan terbaek di Indonesia (dari segi ranking bla bla bla).

Berikut salah satu foto/tangkapan layar yg menampilkan kontroversinya:

Sumber foto dari kompas.com: https://www.kompas.com/tren/image/2024/10/17/143000965/bahlil-lulus-doktor-1-tahun-8-bulan-berapa-lama-umumnya-masa-studi-s3-?page=1

Kedua, pada konteks meso, sejauh saya ingat, baru inilah selama 17 tahun eksistensinya, Fakultas Ilmu Komunikasi UMN mengadakan seminar motivasi belajar yg ditujukan (target peserta) mahasiswa semester 1 DAN yang mengundang seorang dosen senior FIKOM serta dua mahasiswa aktif (masih belum lulus, tapi sudah di semester2 akhir perkuliahan) sebagai narasumbernya. Moderatornya juga seorang mahasiswa aktif (junior year) yg merupakan seorang pengurus I’m KOM, organisasi resmi mahasiswa SC tingkat Fakultas. Penyelenggara seminar motivasi belajar ini pun merupakan ajang unjuk gigi-eksistensi Foundation Year SC UMN, sebuah kekordinatoran baru di tingkat Prodi Ilmu Komunikasi sejak 2022 lalu, yang per Agustus 2024 dipimpin oleh Dr. Kristina Nurhayati, M. I. Kom.

Berikut flyer kegiatan seminar motivasi belajar bertajuk Learn like a pro, shine everywhere yg sudah tayang sejak awal November di megatron eh tronton eh videotron di lobby utama UMN.

Ketiga, pada konteks mikro, keberadaan YRC (Komunitas peneliti belia FIKOM UMN) juga baru pertama kalinya diperkenalkan secara publik setelah pengurusnya dilantik pada awal November yang lalu dalam sebuah workshop dengan peserta terbatas. Keberadaan YRC bukan hanya digadang-gadang harum namanya, tapi mereka sendiri sudah mulai ikut membantu kelancaran terselenggaranya acara ini in specific roles dgn menjadi operator, dirigen, dan distributor info kegiatan ke angkatannya.

Berikut pantun “spontan” yg saya susun & bacakan utk menutup kegiatan ini (dari sisi saya sbg salah seorang pembicara).

Ini videonya (pas saya membacakan pantun):

Semoga sharing ini bermanfaat, yes.

Categories
Uncategorized

[Blinkist] Seculosity: Pendar pesona sekularitas gantikan “baju” agama, the zealous search for enoughness

Seculosity: How Career, Parenting, Technology, Food, Politics, and Romance Became Our New Religion And What To Do About It

Author: David Zahl (Fortress Press, April 2019).

Short resume
“Modern society often conflates busyness and performance with personal value, leading to a relentless pursuit of enoughness that impacts identities, relationships, and societies. This pursuit, driven by social pressures to achieve, creates widespread anxiety and isolation, particularly among young people in competitive environments. What we really need to experience contentment isn’t worldly success. It’s enoughness, human connection, and unconditional acceptance that ultimately matter.”

Longer resume described five anchored ideas, including:
(1) Religiosity isn’t in decline, but it has changed its face.
(2) The secular search for completeness answers a religious need.
(3) Enoughness or righteousness can divide us and make us cruel.
(4) Our obsession with status is making us sick.
(5) True self-worth is forged in the acceptance of others’ love.

Berikut uraiannya:

Acapkali saya merasa dan menilai sudah cukup banyak hal yang saya capai selama menjalani “usia produktif” sejak 25 tahun lalu sampai hari ini. Tapi kok, ketika dipikir-pikir lagi, rasanya semua itu masih belum CUKUP, ya? Pernahkah Anda merasa bahwa tidak peduli seberapa banyak yang telah Anda capai, tapi itu semua tidak cukup? Jika ya, Anda tidak sendirian.

Tekanan untuk berprestasi bukan hanya dialami para murid di sekolah, tapi juga karyawan di kantor, para pebisnis yang sedang menjalani usahanya, para seniman yang sedang mencari wadah ekspresi baru dan ruang-ruang kurasi serta ekshibisi selanjutnya, para penulis yang merasa masih kurang produktif menghasilkan tulisan, dan masih banyak lagi. Tekanan “masih terus kurang” itu sedikit banyak membawa sengsara dan kepedihan. Kita becermin dan berbisik pada diri sendiri bahwa kita harus menjadi orang tua yang sempurna, karyawan yang hebat, dan mitra yang sempurna. Bahkan hal-hal kecil dalam hidup pun menjadi bahan penilaian: makanan yang kita makan, di mana kita berlibur, seberapa sering pergi ke gym, apakah work-outs sudah dicatat dan menunjukkan progress. Metriks kegiatan tunduk pada pencarian kompulsif akan kesempurnaan; praxis yang empiris menggulung pendar idealis dan ceruk ontologis.
Pertanyaannya: mengapa kita menuntut diri sendiri dan orang lain dengan standar yang (hampir-hampir) mustahil?

Konsep Seculosity yang disampaikan David Zahl, penggabungan dari kata “sekuler” dan “religiusitas,” menawarkan sebuah jawaban. Zahl melihat alasan kita untuk bertekun dalam diet atau mengoptimalkan waktu melakukan ini dan itu dengan begitu bersemangat adalah karena hal tersebut tak lain tak bukan adalah perilaku religius.

Ketika agama dengan huruf A peran dan signifikansinya telah menurun, sekarang kita menemukan padanan sekuler yang menjawab kebutuhan manusia yang mendalam. Semua aktivitas sekuler yang kita lakukan kini dianggap dapat memberi kita rasa kebenaran (righteousness) dan rasa memiliki, yang bertujuan untuk memenuhi keinginan kita akan harapan, tujuan, dan yang paling penting, perasaan cukup (enoughness). Akibatnya, ranah sekuler dalam kehidupan kita telah menjadi platform tempat kita mencari keselamatan dan pembenaran diri. Masalahnya bukan hanya karena pencarian ini membuat kita menjadi neurotik, tetapi juga karena aktivitas pengganti ini tidak menjawab kebutuhan kita akan kelengkapan (completeness).


(Sumber gambar: https://i.pinimg.com/736x/aa/f7/03/aaf703ee6d8868db9e1e82246264e87d.jpg)

Beberapa waktu lalu, sebuah meme komikal beredar di media sosial dan percakapan, yang menampilkan tokoh rekaan Disney, Cruella DeVille, dengan mata liar dan rambut acak-acakan saat mengendarai mobilnya. Meme ini dilabeli “tugas sehari-hari yang luar biasa dalam kehidupan modern: unggul dalam pekerjaan, menjaga hubungan sosial, dan tetap sehat.” Di bawah foto tersebut, pengguna dari berbagai kalangan menulis, “nasib harian,” dan ucapan-ucapan afirmatif lainnya seperti Amin, Oh Yeah, Yes, Yep, Mantaaaab, Alamaaaak, dll.

Inilah potret perjuangan sehari-hari yang tampaknya berkelindan dengan laju kesibukan rutinitas harian. Dkl., kita semua diliputi oleh kesibukan. Tapi, apakah kesibukan yang terus menerus ini benar-benar memuaskan? Dalam masyarakat kita, kesibukan sering disamakan dengan “menjadi orang penting.” Seolah-olah nilai dan bahkan keselamatan kita bergantung pada produktivitas dan seberapa banyak yang bisa kita lakukan sekaligus (untuk pandangan berbeda, lihat tulisan Paul Atchley, 2010, berikut ini https://hbr.org/2010/12/you-cant-multi-task-so-stop-tr). Kesibukan yang tiada henti ini telah berubah menjadi bentuk religiusitas baru, religiusitas sekuler yang tidak didorong oleh kepercayaan spiritual tradisional, tetapi oleh ritual kesibukan sehari-hari.

Pergeseran ini tidak berarti bahwa dorongan religius telah berkurang, melainkan telah berubah dan menemukan ekspresi baru. Banyak yang beranggapan bahwa dengan menurunnya jumlah pengunjung gereja, orang-orang semakin menjauh dari keyakinan agama. Tapi ini bukan keseluruhan ceritanya. Alih-alih menghilang, dorongan agama justru dialihkan ke kegiatan sekuler; ‘agama baru’ dengan label “kesibukan sehari-hari” membawa seperangkat keyakinan dan ritualnya sendiri, yang jauuuh tertanam dalam kehidupan kita. Jadi, letaknya bukan lagi pada evaluasi atas apa yang sudah kita lakukan, melainkan siapa diri kita dan ini memengaruhi cara kita memandang diri sendiri dan nilai kita di dunia.

Ritual kita di zaman modern, baik itu memeriksa ponsel, mengurasi profil media sosial, atau mengoptimalkan rutinitas, semuanya memiliki fungsi yang sama dengan praktik keagamaan di masa lalu. Ritual-ritual tersebut memberikan struktur dan menawarkan narasi yang dapat digunakan untuk memahami kehidupan dan dunia kita. Intinya, meskipun masyarakat kita mungkin tampak lebih sekuler, pencarian manusia akan makna, tujuan, dan komunitas tetap sama kuatnya seperti sebelumnya. Hanya saja, sekarang, unsur-unsur ini sering kali dikejar melalui jalan sekuler.

Pengejaran enoughness mendominasi kehidupan kita sehari-hari, yang terwujud dalam keinginan kita untuk menjadi sukses, bahagia, bugar, kaya, berpengaruh, dan diterima. Pengejaran ini didorong tekanan sosial (dan media sosial) dan bercirikan tak kunjung usai untuk meraihnya. Pengejaran ini melahirkan kecemasan dan kesepian yang meluas, tetapi juga mengungkapkan aspek bawaan yang lebih dalam dari kodrat manusia yaitu obsesi akan kebenaran, yang dalam konteks teologis mengacu pada konsep self-justification.

Ironi dari enoughness adalah bahwa meskipun rasa cukup menyatukan kita dalam keinginan manusia yang sama untuk melintasi berbagai batasan, seperti politik, kebangsaan, jenis kelamin, ras, dan usia, enoughness juga dapat memecah-belah. Kerinduan akan kecukupan dapat memperkuat kelompok-kelompok, menumbuhkan rasa kebersamaan dan altruisme yang kuat. Namun, kerinduan ini juga secara tajam mendefinisikan kelompok-kelompok yang berbeda, menciptakan perpecahan dan mendorong penilaian yang dapat merendahkan martabat manusia. Akhirnya, tantangannya meletak pada bagaimana kita dapat “mengatasi” masalah-masalah kemanusiaan yang abadi ini di dunia yang di dalamnya struktur-struktur tradisional (seperti agama, ras, sukubangsa, komunitas primordial, keluarga nuklir, dll.) tidak lagi memadai.

Categories
Uncategorized

Wisdom starts with the child’s sense of wonder and astonishment

[Jumat, 11 Okt. 2024]
To Be In Awe – WISDOM from a 96 year old
Host: Reflections of Life (Aug 10, 2024)
https://youtu.be/r-rHc8tm5_c?si=fxdnPumKJTYaTvzD

Teman-teman peneliti belia, menutup perjalanan akademis minggu ini, kita diajak untuk belajar kebijaksanaan hidup dan semangat perpetua discipulo dari grandma Dot Fisher-Smith.

Beliau seorang seniman, fasilitator kelompok, tetua komunitas, aktivis sosial yang gigih memperjuangkan perdamaian dan keadilan, sejak melancarkan protes stop perang Vietnam pada tahun 1967.

Selama 35 tahun terakhir hidupnya, grandma menjadi pembelajar dan praktisi Soto Zen Buddhism.

Grandma mulai menulis jurnal (personal) sejak 1968 dan berpuisi merupakan minatnya sekarang: T.S. Eliot, pujangga kesukaannya.

Saya pribadi merasa tersentuh dengan refleksi grandma yang ini:

I’m happy for whatever I have;
I’m living as fully as I can with what I have.
I want to be a child of wonder and astonishment
We shall not cease from exploration.’
‘And the end of all our exploring’
‘will be to arrive where we started’
‘and to know the place for the first time.

Ketika menonton video pendek ini sampai selesai, separo viewing saja saya sudah meneteskan air mata. Yes, crying, there’s no shame in that.

Saya membayangkan pada umur 95 jalan 96 (dan umur saya baru separuhnya umur grandma Dot Fisher-Smith), beliau terlihat begitu joyful, simple & wise.

I want to be like her, God permits, when reaching that age. Do you?

To all the grandmas in the world, those who already departed, those who suffer and bedridden, and those who still live and breathe. We pay homage and learn from them.

Begin with the End in Mind (from 7 Habits of Highly Effective People by Stephen R. Covey, 2006): that’s why, let us start our conscious journey with the elderly’s wisdom while we’re still young and inexperienced.

Categories
Uncategorized

Workshop Perdana & Pelantikan Pengurus Komunitas Peneliti Belia FIKOM-UMN

Preambule Anggaran Dasar Komunitas Peneliti Belia FIKOM-UMN yang disahkan pada Rabu, 9 Oktober 2024 yang lalu menyatakan bahwa:

“Pembentukan komunitas peneliti belia yang terdiri dari mahasiswa tahun pertama sebuah fakultas dalam lingkup Perguruan Tinggi yang didedikasikan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa melakukan penelitian secara mandiri maupun kolaboratif merupakan inisiatif sadar dan bertujuan guna mewujudkan praktik terbaik dalam tata kelola komunitas penelitian akademik serta menjamin keberlanjutannya selama fakultas terus ada. Bertolak dari keprihatinan atas langkanya keberadaan peneliti belia dari kalangan mahasiswa sekaligus minimnya komunitas yang mewadahi minat penelitian mahasiswa yang didampingi secara intensif oleh dosen tetap fakultas dalam lingkup Perguruan Tinggi untuk menunjang pelaksanaan TriDharma Perguruan Tinggi yang sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya butir penyelenggaraan penelitian sebagai “kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah alasan keberadaan yang utama (raison d’être) dari pembentukan YRC.”

Berikut snapshot penyelenggaraan acaranya yang bertempat di R. Sumbawa, Gedung C Lantai 5.

Dalam kata sambutan, pak Dekan memberikan selamat kepada para mahasiswa baru Angk. 2024 yang sudah berani mengikrarkan diri sebagai dan berkomitmen untuk berproses menjadi peneliti belia, terkhusus kepada 13 orang pengurus YRC.

Dengan mengutip rumusan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pak Dekan menyinggung peran sentral sivitas akademika di perguruan tinggi yang terikat oleh TriDharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.

Secara khusus, terkait pilar TriDharma yang penelitian, pak Dekan berpesan bahwa jika perguruan tinggi tidak menaruh perhatian besar pada penyelenggaraan dan suksesnya penelitian, maka ia akan mandeg dan jalannya begitu-begitu saja, tidak ada inovasi yang berarti yang propel towards and prepare for the future’s challenges.

Karenanya, mahasiswa sebagai bagian inti dari sivitas akademika (selain dosen), perlu memiliki kemampuan berikut ini:

1. kapabilitas artinya kemampuan menguasai proses ilmiah, secara diffuse & focused (Oakley) atau secara konvergen & divergen; juga berpikir secara filosofis (sophia), scr teoritis (theoria) & berpikir scr praktis.
2. produktivitas: menghasilkan proposal riset & buku (Monograf)
3. daya sustainable: minat riset yang berkelanjutan, tidak putus dan menclak-menclok tanpa kedalaman
4. menjunjung reputasi komunitas, prodi, fakultas, serta kampus secara baik.

Untuk mencapai kemampuan dan keterampilan tersebut di atas, YRC dan FIKOM UMN perlu “fostering a culture of lifelong learning” yang terdiri dari tiga aspek substantif berikut ini:

(1) Shared learning & communal knowledge: Create spaces for knowledge sharing and mentorship.

(2) Embrace technology with critical mindset: Utilize online platforms and digital tools to facilitate learning.

(3) Perpetua Discipulo: a Lifelong learning is a journey with no boundaries (therefore) we need companies & clear guidance to move forward.

Semoga komunitas peneliti belia FIKOM UMN dapat terus hidup dan menghidupi sesama dan lingkungan akademis tempat ia berasal, bertumbuh, dan mekar berbuah.

Terimakasih atas kerja keras dan kerja cerdas dari semua panitia pelaksana dan peran serta juga dukungannya, terutama:
1) Dr. Kristina Nurhayati, M. I. Kom. selaku SC Foundation Year Coordinator dan Co-Founder YRC
2) Bapak Irwan Fakhruddin, Sekprodi Ilmu Komunikasi UMN
3) Dr. Rismi Juliadi, M. Si., Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UMN

Categories
Uncategorized

[Blinkist] Learning from Failure: An Acute Learning Opportunity

Based on a book titled Right Kind of Wrong: The Science of Failing Well (Amy Edmondson, 2023)

(*) Amy C. Edmondson is the Novartis Professor of Leadership and Management at the Harvard Business School, where she has taught since 1996. She is the author of several influential books, including Teaming and The Fearless Organization. (lihat CV versi yg lebih lengkap di sini https://www.hbs.edu/faculty/Pages/profile.aspx?facId=6451)

Berdasarkan resume kecil dari buku ini

yang berbunyi sbb.: “Embracing failure as a learning opportunity requires a shift in mindset, but the benefits are well worth the effort. Every failure, no matter how small or seemingly insignificant, holds the potential for growth and improvement. By learning to view failures as stepping stones rather than stumbling blocks, you can unlock the full potential of your organization and achieve greater success than you ever thought possible (creating a culture) where psychological safety is key”

[tonton penjelasan yg menarik dari Prof. Amy berikut ini https://youtu.be/LhoLuui9gX8?si=1tRUe7aT5JgQENC8 : Building a psychologically safe workplace by Amy Edmondson, TEDx Talks, May 4, 2014]

Beberapa waktu terakhir ini, saya menyaksikan sejumlah kecil mahasiswa yg saya rekrut dan dorong untuk menjadi anggota komunitas FIKOM-YRC mengundurkan diri sebelum komunitas ini menjalankan program “resmi”-nya karena sejumlah alasan yg dua di antaranya adalah: (1) takut tidak bisa membagi waktu (dgn aneka kegiatan lain), dan (2) merasa tidak tertarik untuk menulis. Kedua motif alasan yang diajukan oleh rekan-rekan mahasiswa yang mengundurkan diri ini saya antisipasi dalam sapaan pagi di grup WA FIKOM-YRC supaya moril komunitas yg baru saja terbentuk tidak ikut terbawa suasana “ketakutan dan rasa tidak tertarik (to do something essential for this community)”.

Berikut sapaan pagi yg saya post di grup, yg isinya kira2 senada dgn topik “embracing failure as a learning opportunity” yg dibahas oleh Prof. Amy Edmondson dalam bukunya tersebut.

Persoalan pertama yg biasanya mendera sebuah organisasi atau komunitas yg baru berdiri adalah: apakah *ada visi atau idealisme* yang jelas dari founder komunitas, mau dibawa ke mana komunitas yg baru berdiri ini? _Corolarry_ dari persoalan pertama adalah siapa yg menghidupkan dan mengelola idealisme ini agar tetap menyemangati (menganimasi) komunitas yg baru didirikan? Adakah pembagian tugas yg oke di antara founder dgn anggota?

Persoalan kedua biasanya terkait dengan dana: apakah ada *sumber pendanaan yg cukup* utk menopang kelangsungan hidup komunitas ini? Jika ada, bgmn mesin revenue ini bekerja utk menopang idealisme pendirian komunitas, termasuk operasionalisasi kegiatan dan event yg diadakan komunitas ini.

Persoalan ketiga adalah kurangnya peluang *Mentoring dan Berjejaring.* Kurangnya program mentoring dan jejaring yang mapan dapat menghalangi anggota komunitas (atau sekurang2nya meredupkan semangat awal anggota komunitas) untuk mendapatkan bimbingan, dukungan, serta koneksi yg berharga guna mengembangkan idealisme dan mengasah kolaborasi internal ataupun eksternal (dengan komunitas lain yg sejenis).

Saya memahami bahwa jiwa (korsa) sebuah komunitas itu perlu dibentuk dari dua dorongan yg perlu seimbang: idealisme dari pendiri DAN animo atau kerelaan (_voluntary_) anggota untuk mencari dan menemukan dirinya dalam komunitas tsb., khususnya di sini saya bicara FIKOM-YRC.

Pada masa di mana atensi digelontorkan dan diperebutkan medsos dan seabreg2 kegiatan dalam kampus maupun di luar kampus, mudah dibayangkan dan dapat dipahami bahwa rekan2 sekalian mungkin merasa gundah dan bertanya2: cocokkah saya masuk ke FIKOM-YRC? Dapatkah saya bertahan sampai _proyek_ ini selesai di Juli tahun depan? Saya dapat berkontribusi apa utk komunitas ini? Apakah kontribusi saya dihargai dan suara saya didengarkan? dst dsb

Pencarian akan jati diri sbg mahasiswa dan bahkan sbg manusia, kadang dicari dan ditemukan pada suatu momen garis finish tertentu yg definitif, tapi kadang juga tidak begitu, apalagi jika prinsip yg dipegang adalah _hidup itu mengalir aja_. Jadi, pemaknaan dapat diletakkan pada _proses perjalanan pencariannya_ dan bisa juga pada saat _tujuan yg definitif sudah tercapai_ (sudah melewati garis finish).

Komunitas Peneliti Belia FIKOM (FIKOM-YRC) dibentuk dengan pertimbangan dasar bahwa setiap mahasiswa baru yg masuk ke kampus UMN perlu mendapatkan pendampingan yg memadai untuk mengenali budaya kampus (pendidikan tinggi), mengakrabi budaya tsb shg menjadi bagian dari identitasnya, serta bagaimana berperilaku yg wajar dan sehat sbg mahasiswa, sosok pencari dan penuntut ilmu.

Kami sebagai dosen pendamping komunitas ini tidak menawarkan sebuah tujuan definitif atau garis finish yg heboh penuh hingar-bingar dan selebrasi semprot sampanye😄. Tapi kami menawarkan pendampingan yg cukup intensif dalam proses perjalanan pencarian jati diri kalian, syukur2 _bentuk sementaranya_ dapat kalian temukan dalam kurun waktu setahun ke depan. Ini tawaran yg kami percaya tidak disediakan oleh medsos apapun namanya, juga tidak ditemukan dengan cara _scrolling_ layar hape kalian sampe kuku jari menghitam dan kulit jempol jadi kapalan (_callous_)🙃, bahkan mungkin (dan diharapkan serta diarahkan agar) pendampingan ini, karena sifat lintas generasinya (_intergenerational assistance_), dapat memperkaya dan memperdalam pengalaman hayati kalian sekaligus upaya memberi makna atas hidup yg sedang kalian jalani. ✌🏽️

Beberapa waktu lalu pernah sharing ke Ms. K seperti ini: jika saja dulu pas masuk program S1 ada komunitas _young researchers_ seperti ini, saya mau menukar waktu2 yg saya gunakan utk mencari2 _jati diri saya_ dlm aneka bentuk organisasi dan komunitas lainnya yg pernah saya jalani, yg tidak semuanya menghasilkan kontribusi yg signifikan utk mempertebal _self-understanding_ dan meningkatkan _self-awareness_ saya, utk masuk ke komunitas _Young Researchers_ (apapun penamaannya)

Semoga sapaan pagi di atas dan “payung konseptual”-nya yg ditemukan (salah satunya) dalam “Right Kind of Wrong” dapat mendorong, encourage, para mahasiswa baru (freshmen & freshwomen) yg baru saja mau mulai menapaki jalan menjadi pembelajar seumur hidup, perpetua discipulo.

Jangan takut ya nak, dek, gaess!

Kita melangkah bersama dalam komunitas peneliti belia ini!

Vamos!

Forza!

Come on!

Allez!

Categories
Uncategorized

[parenting] Kecakapan yang perlu dikembangkan untuk menyongsong Abad XXI

Sidang pembaca yang budiman,

Tempo hari ketika sedang menyiapkan materi untuk dibagikan ke grup WA FIKOM-YRC, saya terantuk dan langsung terpesona dengan penjelasan yang diberikan Dr. Laura A. Jana, ahli pediatrik, pendidik, penulis buku dan komunikator kesehatan yang handal. (see her personal/professional website here: http://www.drlaurajana.com/)

Materi yang dibawakannya dalam sesi TEDxChandigarh [rilis pertama: 28 Maret 2018] merupakan intisari dari buku yang ditulisnya, yang berjudul The Toddler Brain: Nurture the Skills Today that Will Shape Your Child’s Tomorrow [Da Capo Lifelong Books, 2017].

Video presentasi beliau dapat diakses di sini https://youtu.be/z_1Zv_ECy0g?si=JlF7wf-NaSSXn3PY

Berikut transkrip dari materi yang ada dalam video presentasi tersebut (dalam bahasa Inggris; saya hanya merapikannya saja supaya lebih mudah dibaca)

Semoga sharing beliau ini bermanfaat untuk kita pahami dan lalu aplikasikan dalam ikhtiar pengasuhan sebagai orangtua (parenting) pada era digital ini.

Skills Every Child Will Need to Succeed in 21st Century

Around the world everyone from governments and business leaders and economists to parents teachers and pediatricians are all asking the same question what skills will our children need to succeed. Now you may think you know the answer to the question but consider this: It has been estimated that two-thirds of children today will work in jobs that don’t currently exist now. What skills do you want them to have?

In 2016, the World Economic Forum released a list that every parent and quite honestly anyone who cares about our children’s future needs.

It’s a list of the 21st century skills most valued in today’s complex globalized and rapidly changing world. A third of these skills are the traditional hard skills (such as) reading, writing and arithmetic that I call IQ skills.

More notable however are the other skills (called) social and creative skills like creativity, curiosity, communication, collaboration, and critical thinking, along with grit leadership and adaptability;

It is these so-called soft non-cognitive and other skills that are gaining prominence in playrooms, classrooms, and boardrooms around the world;

Now I feel the need to point out that calling these skills soft doesn’t do them justice and referring to them as non-cognitive is just wrong given that they involve complex functioning of the brain that leaves us with “other,”

As somebody who has spent decades translating facts and figures into practical information, I can assure you that if you ever want to convince somebody that something’s really important don’t call it other;

So I’d like to propose that we call these other skills key skills spelled Qi;

Now the fact that it sounds like the word key as in ke-Y fits because these skills are certainly key to future success;

It also reflects the fact that they are the complement to the IQ skills;

IQ and Qi and finally the word key sometimes also pronounced has been used across cultures and centuries to represent a positive life force that you can be born with but they can also be developed;

And that brings us to perhaps the most important insight based on the science of early brain and child development;

We now know that these key skills can be developed far earlier than most people realize with 85% of brain growth thought to occur by age 3 and up to a million new neural connections forming per second during the first 5 years;

That we have a unique opportunity to more intentionally build babies brains and to assemble this toolkit of skills we know they’ll need to succeed, that help you better understand why these early years are so critical;

I find it helpful to use the analogy of comparing the electrical wiring of the brain to that of a house: it is entirely possible to rewire an old house;

It just always takes longer costs more and never turns out quite as good as when the wiring goes in before the walls go up

With respect to the wiring of baby’s brains, caring responsive adults are (people) that play the role as (babies’) chief architects neurons;

(babies) don’t just connect and don’t just learn what they need to know all on their own;

Unlocking children’s early learning potential is deeply dependent on social interactions which explains why cultivating the key skills involves a whole lot of talking, cooing, singing, playing, and reading books to babies;

With that in mind, allow me to introduce you to the seven key skills:

The first of the key skills is our me skills, defined by self-awareness, self-control, or impulse control along with focus and attention;

In other words, me skills are what allow us to be in control of our own thoughts, feelings, and actions;

Now, to put me skills into a bigger picture perspective, just think about how often these days we hear about everything from mindfulness apps and mindful breathing to the introduction of chief mindfulness officers into corporate culture;

Even renowned business visionary Peter Drucker (1909-2005) predicted that while the 20th century was the era of business management, the 21st century is going to be the era of self management, right, and a good self management day in the life of a toddler is when no one bites their friends;

That’s because the ability to resist one’s impulses or their urges is really dependent on impulse control which happens to be one of the three defining features of what neuroscientists call executive function skills;

What research now tells us about these all-important executive function skills is that they develop most rapidly between the ages of 3 & 5;

After me skills come we skills;

We skills are people skills, the relationship skills, like communication, collaboration, teamwork, active listening, empathy and perspective taking: all needed to play well with others;

We skills are especially valuable in a world where it’s become as important to be able to read other people as it is to read

Now, given that I don’t ever have to actually convince anybody that these skills are worth developing, allow me instead to translate put your listening ears on use your words learn to play nice with others and in the same sandbox;

The fact of the matter is that these highly coveted social-emotional skills are preschool skills and they can be developed of very early;

Toddlers can be taught to understand other people’s perspectives: 9 month olds begin to show signs of empathy and even very young infants are sensitive emotion detectors able to sense others emotions even before they can walk or talk;

Now, before moving on, I should point out that it is the combination of me skills and we skills that fit the formal definition of emotional intelligence described not only as two of the hottest words in corporate America but recognized around the world as absolutely critical to thrive in all aspects of 21st century life;

Next to the Y skills which obviously include asking the question why, but more broadly include exploration, curiosity, inquisitiveness, and asking all sorts of questions to better understand how the world works fueled by technology the Information Age has now put so many answers right at our collective fingertips that it is no wonder that the ability to ask good questions has become so much more valued than simply knowing the right answer;

As Albert Einstein put it, the important thing is to never stop questioning

Now think about some of the corporate training programs like the five why’s that train business leaders to better get to the root of a problem by repeatedly asking why implemented by some of the top companies in the world;

These formal questioning and training techniques ironically leave one fundamental question unanswered why should we have to go to such great lengths to train adults to do something that comes so naturally to two and three-year-olds?

The answer I’m afraid is that we train this skill out of children while it is natural for young children to question the world around them;

Making sure that they continue to see the world as a question mark very much depends on our commitment to encouraging rather than squelching their natural sense of wonder

When I think of will skills I’m reminded of when my own three children first began school and they became members of a club called the can-do Club, which recognized young students not just for their grades but for their drive and determination, both key aspects of will skills

Will is also about grit and perseverance and it’s evident in people with get the job done and stick with it attitudes: at the heart of will is motivation;

Now there are actually two types of motivation: the first extrinsic motivation involves rewards and punishments.

While this approach may work in the short run and for relatively simple tasks the complex challenges of the 21st century are going to demand a lot more from our children simply relying on rewards has been shown to all but kill creativity and in the long run actually decrease motivation;

Intrinsic or self motivation is what we’re really after the kind of motivation that comes from within to foster this kind of self-motivation;

We perhaps need to rethink how we parent in the earliest years when even the most routine tasks (such as) brushing teeth and peeing in the potty are all too often rewarded with sweets and treats rather than with praise and pride

Now, you may not be accustomed to thinking of wiggling as a skill but the best way to understand wiggle skills is to recognize that physical and intellectual restlessness go hand in hand

Just think about how we commonly describe successful adults as movers and shakers and go-getters who set stretch goals spring into action and reach for the stars: they’re all about action;

If you read the innovation literature you’ll find that innovators are almost always described as physically restless and at work you’re more likely to see walking meetings and treadmill desks and manipulatives on tables;

All meant more actively enhance our ability to think create and innovate;

Now think about the words that we use to describe active young children: fidgety, antsy, restless.

I can honestly say that in all my years working with children, I’ve never heard any of those words used in a positive sense;

Whether out of fear for their safety or for our own convenience, we tend to favor the calm, quiet child who doesn’t reach, touch, grab, or poker get into things instead of giving young children the wiggle room they need, we strap them in, we insist they sit still and we tell them to look but don’t touch;

All of us but most especially young children learn about the world by physically interacting with it instead of working their wiggles out;

What our children really need is for us to help them learn how to put their wiggles to work;

After wiggle comes wobble: a set of skills defined by agility and adaptability and the ability to face overcome and learn from failure

The word wobble comes from a phrase “weebles wobble but they don’t fall down,” a reference to a very popular classic toy called weebles;

Their eggs shaped with weight at the bottom so they could wobble back and forth but ultimately remain standing;

As skills needed to adapt to a very rapidly changing world, wobble skills have gained special prominence college applications and job interviewers routinely ask when have you failed and what did you do about it

Silicon Valley’s unofficial motto is said to be fail early, fail often, and fail forward: a motto that we really should be applying to how we raise young children;

On that note, I want you to think for a moment what might be earliest developmental milestones for wobble look like, but, don’t think too hard, because there are none!

The fact of the matter is that milestones only represent successes not failures;

If we want to raise resilient children we need to get in the habit of celebrating not just their milestone moments but their ability to fall down, brush themselves off and get right back up again;

The combination of the key skills are what if skills or what I think of as possibilities skills defined by innovation, imagination, creativity and out-of-the-box thinking;

It’s the what if skills that give us the ability to imagine the world not just as it is but as how it could be;

In a global survey of over 1,500 CEOs, creativity was identified as the single most important factor for future success;

Our world clearly rewards those who can imagine the world they want to live in and then create it;

Young children excel at imagining new worlds from make-believe and superheroes to imaginary friends and fanciful stories: Young children really are as futurist

Peter H. Diamandis, the founder and executive chairman of the XPRIZE Foundation, puts it (this way): young children are some of the most imaginative humans around;

But, it has also been said that the creative adult is the child that survived;

In our efforts to teach our children how we see the world we run the very real risk of convincing them that there’s only one right way to do or see things;

We must therefore ask ourselves the question raised by developmental psychologist Jean Piaget “are we forming children capable of only learning that which is already known or should we try to develop creative and innovative minds capable of discovery throughout life?”

I’m here to tell you the answer is the latter!

Giving children the best is about maximizing their potential, not their possessions; It’s about cultivating their sense of purpose and passion, not subjecting them to unnecessary pressure, and it’s about caring responsive adults and starting early;

We now know that what happens in early childhood does not stay in early childhood.

By applying what we now know about all of the key skills and applying it early me, we, Y, will, wiggle, wobble, and what if, I believe that we can achieve success in our shared goal of giving all children access to a world of possibilities

Thank you

Dr. Laura A. Jana

@sagarpaudel1188 (resumes the speech)

Seven Qi (Ke-Y) skills for thriving in the 21st Century
1) Me skills : Self Control
2) We skills : Social skills
Me skills + We skills = Emotional Intelligence
3) Why skills : Exploration, Curiosity
4) Will skills : Drive, Determination, Perseverance
5) Wiggle skills : Physical and Intellectual restlessness
6) Wobble skills : Agility, Adaptability, Ability to face, overcome and learn from failure
7) What If Skills (Possibility Skills) : Innovation, Imagination, Creativity, Out-of-the-box Thinking

Categories
Uncategorized

Pushing the boundaries, establishing the connection, & striving towards life-long learner: Constructing Young Researchers’ Community

[Sabtu, 31 Agustus 2024]
Selamat siang, teman-teman calon FIKOM young researchers.
Dalam rangka persiapan menuju tes tertulis pada 18 September nanti, juga untuk menyiapkan diri menjadi pembelajar seumur hidup (lifelong learner), ada baiknya kita mempersiapkan disposisi berpikir dan belajar yang tepat-guna. Era digital ditandai adanya keberlimpahan informasi (information overload). Hal ini berarti butuh kecakapan tersendiri untuk membedakan mana jenis informasi yang berguna untuk membentuk pondasi pengetahuan yg esensial dan yg praktis, serta mana informasi yang hanya numpang lewat saja . Seperti pernah disampaikan esayis dari Inggris, Samuel Johnson,

Knowledge is of two kinds. We know a subject ourselves, or we know where we can find information upon it

Berikut salah satu video inspiratif yg disampaikan Luis von Ahn (designer Duolingo apps) ttg bagaimana menjadi pembelajar yg sukses di era digital bahkan membuat ‘belajar itu jadi seperti kecanduan bersosmed.’ Semoga bermanfaat.
https://youtu.be/P6FORpg0KVo?si=kmfvzHkOU-mlvvKs
How to Make Learning as Addictive as Social Media
by Luis Von Ahn [https://en.wikipedia.org/wiki/Luis_von_Ahn]

[Senin, 2 Sept. 2024]

Selamat pagi, teman-teman 🙌🏻🙌🏻

Saya ingin berbagi sebuah video yang sangat menginspirasi tentang “Cipta, Rasa, Karsa Manusia Indonesia” oleh Karlina Supelli.
Karlina Supelli: Cipta, Rasa, Karsa Manusia Indonesia
Endgame #141 (Luminaries)
Host: Gita Wirjawan
https://youtu.be/Io40wI5Abac?si=8dXaPxCJplxZ9nFN

Saya yakin video ini akan memberikan banyak inspirasi dan motivasi bagi kita semua.Selamat menyaksikan 🫶🏻

Hendar merespon:
Terimakasih Ms. Kristina untuk sharing video inspiratif ini. Ibu Karlina Supelli adalah astronom perempuan pertama Indonesia. Gelar Doktor Astronomi diperoleh Bu Karlina dari University College of London (UCL), Inggris. Tapi beliau malah lebih terpanggil untuk menekuni kajian Filsafat, khususnya Metafisika, Filsafat Sains & Kosmologi. Gelar doktor filsafat diperoleh beliau dari UI tahun 1997 dengan judul disertasi Wajah-Wajah Alam Semesta, Suatu Kosmologi Empiris Konstruktif
Promotor beliau Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie & Prof. Toeti Herati R.
Saya merasa beruntung pernah mengenyam dua semester diajar beliau pas menempuh S2 Filsafat di STF Driyarkara, back in 2005-2008.
Salah satu mata kuliah yg paling mengesan yg pernah beliau ajar & saya jadi murid beliau adalah Kosmologi (Filsafat tentang Cosmos/Alam Semesta). Nanti akan saya share link salah satu tulisan yg pernah saya submit sebagai paper UAS pas ikut mata kuliah Kosmologi.🤩👍🏽

Teman2 sekalian, kami berdua terpanggil untuk mempersiapkan kalian menjadi peneliti belia. Salah satu concern yg dapat kami lakukan dlm rangka persiapan ini adalah dgn berbagi video2 inspiratif yg membuka wawasan berpikir kalian sehingga nantinya lebih siap bukan hanya utk menghadapi tes tertulis tgl 18 Sept nanti tapi lebih jauh dari itu. Sekurang2nya sampai periode FIKOM-YRC Batch 1 ini berakhir di bulan Juli 2025.

Bulan Agustus 2025 nanti, kami akan mempersiapkan Batch 2 utk para MaBa FIKOM Angk. 2025.
Kalian semua akan menjadi alumni Batch 1 & kakak senior utk Batch 2.🫶🏽😊

[Rabu, 4 Sept. 2024]
Berbahasa menjadi jendela untuk berpikir dan menjelajahi dunia.

Batas-batas bahasaku berarti batas-batas duniaku

demikian pernyataan dari filsuf bahasa dari Austria, Ludwig Wittgenstein (1922).

Gita Wirjawan, mantan Menteri perdagangan RI (2011-2014) sekaligus polyglot alumnus dari Universitas Harvard, University of Texas di Austin, Universitas Baylor, dan Sekolah Pemerintahan John F. Kennedy, berbagi pengalamannya menjelajahi penguasaan bahasa yang berbeda-beda sebagai modalnya sebagai pembelajar seumur hidup. Bagaimana denganmu? Bahasa apa yang sudah kamu kenali dan kuasai sekarang? Bahasa baru apa yang sedang kamu pelajari? Sudahkah kualitas hidupmu sebagai pembelajar seumur hidup meningkat seiring dengan penguasaan bahasa-bahasa yang kamu sedang/sudah/mau pelajari?

Selamat berpikir merdeka, berkomunikasi, dan menjelajahi dunia lewat berbahasa!

Gita Wirjawan: Semakin Bisa Berkomunikasi, Semakin Bisa Meningkatkan Produktivitas di
Masa Depan
Host: CAKAP
https://youtu.be/fAgHCEGkeF4?si=vxcvHJ5JqnkoarvC

[Jumat, 6 Sept. 2024]
Selamat pagi, teman-teman 🙌🏻

Kali ini kami ingin berbagi video yang sangat menginspirasi tentang
“Iman Usman: Good Enough is Not Enough”
Endgame S2E07
Host: Gita Wirjawan
https://youtu.be/bD9CCXtQ72E?si=XtvGr7vrPu4n1P6R

Kami yakin video ini akan memberikan inspirasi dan motivasi bagi kita semua. Selamat menyaksikan 🙌🏻

Hendar merespon postingan dari Ms. K ini dengan mengatakan bahwa “Salah satu kekhawatiran terkait “nasib” pendidikan di masa depan adalah bahwa skill yg kita miliki sekarang bs jadi sudah obsolete (usang) ketika kita memasuki dunia kerja. Itulah sebabnya mengapa penting utk terus meng-upgrade skill kita (dlm konteks life-long learning) agar kita tetap terhubung dengan & kecakapan kita tetap relevan dgn kebutuhan pasar tenaga kerja di masa depan. Automation tidak otomatis menggantikan human skill meskipun sebagian pekerjaan dapat digantikan oleh mesin (AI). Mari kita terus mengasah life skills bukan hanya utk survive tapi jg thrive!” 

Berikut sejumlah kutipan terkait “masa depan pendidikan dalam lanskap Pendidikan Tinggi” sebagaimana dirangkum dan tertulis dalam The Chronicle of Higher Education:

“College students who attend fully-online classes are more likely to suffer more mental-health issues than those who don’t.”

“The Class of 2030’s students will prefer hybrid learning to other types. Only 1 percent say students would prefer an all-virtual experience. Only 8 percent say that students would prefer a program made up entirely of face-to-face learning.”

“The students of the class of 2030 have experienced historic educational disruption and social turmoil at a vulnerable age, and the impact of those experiences will continue to linger. Higher-education institutions will need to prepare carefully and thoroughly to help them succeed.”

Source: https://connect.chronicle.com/rs/931-EKA-218/images/TheClassOf2030_Zomm_reasearchBrief.pdf

Dalam konteks inilah, kata-kata yang disampaikan Iman Usman beberapa tahun lalu ketika ia berproses menulis buku Masih Belajar menjadi semacam refren harapan yang dapat menyemangati Gen Z utk tidak takut jatuh, gagal, mengalami penolakan, embracing the failures, dalam aras proses menjadi peneliti dan penulis belia.

“gue belajar banyak tentang diri gue; gue belajar selama ini untuk bisa sampai di titik di mana gue berada sekarang gue melalui banyak hal, dan perjalanan itu adalah perjalanan yang sama sekali tidak sempurna. Jadi kalo tadinya gue nyari topik yang sempurna, nyari tema yg sempurna, ya gue salah, karena hidup gue aja tuh gak sempurna. Ada banyak kegagalan, ada banyak perjuangan, ada banyak penolakan, meskipun juga ada banyak cerita-cerita seru, harapan, mimpi, cita-cita. Dan itulah yang mau gue sampaikan lewat buku ini…”

Lihat videonya di sini: https://youtu.be/T1v727Z-p0I?si=0WAkNuFht2ONnZoV

Categories
Uncategorized

Madhang, medhang & mudheng: a satirical case of chat-GPT poetry making

This morning, after a routine walk, I stumbled upon a bright and interesting coffee stall located in Ps. Modern Paramount Serpong.

Looking at the menu, I simply ordered Americano.

Here’s the picture of the artsy coffee, a poetry in motion with almost phoenix-like bird silhouette (Kudos to the barista!)

While sipping the coffee, I happened to hear a conversation between Engkoh2 sitting next to me with the so-called waitress-cum-barista, highlighting their recent hearsay regarding a mysterious case of “stolen Americano” from the common fridge typically used by the sellers and tenants to store their collectible and whatnot items.

In a most caricatural way, the Engkoh2 bantered with the waitress regarding the case, with outbourst of laughters and hiccups, leaving some traces of Pseudobulbar affect.

And here’s the poetry making of the said case to capture my imaginary landscape on such a lively exchange of subtle meanings of “who·dun·it” between the seller and the customer:

[ChatGPT poetry making version with a slight moderation to emphasize the lively nature of the witty banter]

“The Great Americano Scandal”

In the fridge, it sat, so dark and bold,
An unclaimed cup, both hot and cold.
The bossy Master of Disguise, coffee in hand,
Declared his territory, took his stand.

“My Americano! Who dared to sip?”
He scowled, as his ego began to drip.
“You cross my line, you break my trust—
Respect my brew, it’s a must!”

The sellers looked up, confused and bemused,
Who touched his cup? They all refused.
“For it was unlabelled,” one dared to say,
“But now we’re all suspects, come what may.”

“Boundaries, people! Know your place!”
He texted with fury, red in the face.
“This sacred cup is mine alone,
Don’t touch what’s not yours, or you’ll atone.”

In WhatsApp, his message made rounds,
A rant that echoed with empty sounds.
But all could see what he forgot—
It’s just some coffee, not a sacred plot!

Next time, dear Master of Disguise, label it clear,
And no one will touch your treasured gear.
For in this world of Agora’s talk,
A cup unmarked invites a gawk!


The supplement of context: This version shifts the focus but maintains the satirical tone and playfully criticizing the overreaction to such a small issue.