Siang ini, 25Jan2023, saya berkesempatan menjajal sebuah inovasi teknologi yang sedang menjadi hype di kalangan netizen global—termasuk di Indonesia tentu saja, you know lah :)— namanya ChatGPT.
Klaimnya, sebagaimana terpapmpang di situs webnya,
https://openai.com/blog/chatgpt/,
“ChatGPT: Optimizing Language Models for Dialogue”
Kemampuan pembelajaran mesin (machine learning) ini memasuki babak baru, tanpa harus digadang-gadang melewati uji Turing, yaitu dapat berinteraksi dengan user/pengguna in a conversational way.
Jadi, kita manusia pengguna layanan ini gak berasa kayak lagi ngobrol sama “robot.” Ciye ciye. Keren amat yak đ
Terlepas dari segala kontroversi yg ditimbulkan dengan kehadirannya, mulai dari Google yang katanya ‘kebakaran jenggot’ sampe CEO-nya Sundar Pichai memanggil balik Larry Page dan Sergey Brin dari tapa-semedinya guna mendiskusikan rival baru satu ini dan memikirkan langkah strategis utk meng-upgrade kemampuan Google sebagai mesin pencari dan “teman ngobrol virtual” yg “asyik” :))
[beritanya di sini: https://www.nytimes.com/2023/01/20/technology/google-chatgpt-artificial-intelligence.html]
sampai dengan Reviewer di jurnal Springer Nature yg cemas mules dgn potensi gelondongan submisi dari para intelektual karbitan yg males mikir dan pake jasa ML eh ChatGPT ini (lihat link nya di sini: https://www.facebook.com/groups/reviewer2/permalink/10160134922480469/?mibextid=Nif5oz; thanks Edward Simamora for supplying me with this critical issue).
Nah, setelah berhasil buat akun dan login (harus banget geh!), awalnya saya menjajal kemampuan si ChatGPT ini untuk menjelaskan suatu term akademis yg “standar” meskipun masih “highly disputed” yaitu, jreng jreng, Etika Komunikasi Digital. Lho? Itu kan topik disertasi lo bro? Iye, makanya gw jajal dia tahu apa ttg term/topik ini.
by using ChatGPT on Wednesday, January 25, 2022 (10.15-10.18 WIB), i type “elaborate the digital communication ethics” and the response generated are these:
“Digital communication ethics refers to the principles and guidelines that govern the responsible use of digital technology for communication. This includes issues related to privacy, security, accuracy, and fairness in the use of digital communication tools and platforms. Some specific areas of concern include:
Privacy: Ensuring that personal information is collected, stored, and used in a manner that respects an individual’s right to privacy. This includes issues related to data collection, data retention, and data sharing.
Security: Protecting digital communications from unauthorized access or tampering. This includes issues related to encryption, authentication, and threat detection.
Accuracy: Ensuring that digital communications are truthful and accurate. This includes issues related to misinformation, disinformation, and propaganda.
Fairness: Ensuring that digital communications are accessible and inclusive for all individuals, regardless of their background or abilities. This includes issues related to accessibility, digital literacy, and digital divide.
Overall, digital communication ethics is about ensuring that digital technology is used in a way that is responsible, respectful, and beneficial for society as a whole.” [end of quote from ChatGPT]
What lacking from these answers is threefold (and this is my opinion, not ChatGPT series of answers, why yes):
1) First, no supporting citation(s) from respected scholars on the field (such as Rafael Capurro, Luciano Floridi or Charles Ess, or you name it who) to authorize the plausibility of the answer.
2) Second, there is no “cultural” context for why is it the case that digital communication ethics should be related to issues such as privacy, etc. No examples too! Well, this particular answer is more Western-typical answer, mind you. Kalau kata Nico Grant (2023) yg nulis artikel di New York Times di atas tadi, “Google, OpenAI and others develop their A.I. with so-called large language models that rely on online information, so they can sometimes share false statements and show racist, sexist and other biased attitudes.” Nah lho!
3) The conclusion (“Overall, bla bla bla”) offers no alternative or conflicting paradigms/opinions regarding the term. At least, no words at all on the disputed term.
Setelah menjajal versi “ngobrol akademis” nya mulailah saya iseng dan berpetualang menjajal aspek2 lain yg masih bolong dari mesin LLM (Large Language Models) ini, bahasa kerennya, to exploit the security flaw. Ceile :X
Tes pertama.
ChatGPT gak ngeh siapa itu Benjamin Crowe .. wkwkwkw.. kurang baca & input dari user soal topik & tokoh ini.
Padahal Benjamin Crowe seorang ahli Fenomenologi yg cukup terkemuka dari Boston University, yg menulis cukup banyak karya seputar topik kajian Fenomenologi dan Hermeneutika (khususnya Heidegger dan Gadamer), Filsafat Agama, dan Idealisme Jerman, termasuk book chapter berikut ini:
Untuk tes pertama ini, Edward bantuin saya memperjelas konteks pertanyaan dan asupan “feedback” yang perlu ditambahkan supaya ChatGPT dapat “generate more accurate & relevant response.” Lucunya, Edward membuat sejumlah twist yg lalu akan saya tiru di contoh tes kedua di bawah nanti.
Kata Edward ke saya, “[ChatGPT] Belum punya integritas juga pak utk validitas data2nya, jadi sering asal iya2in user aja đ
”
Tes kedua, terkait jawaban atas rumusan pertanyaan yg ambigu.
Kesan saya, tipe pertanyaan yg ambigu seperti ini sanggup dia (ChatGPT) handle dgn gracious meskipun sebenernya ada banyak kemungkinan jawaban .. hehe.. yg jelas, saya menduga bahwa salah satu insinyur yg ikut mendesain ChatGPT ini orang Jepang atau penyuka hal2 yg berbau Jepang. Nah, sekarang masuklah twist (iseng) nya saya di tes yang ketiga di bawah ini.
Ketika sharing “tes ketiga” yg bernada kelucuan ini dengan seorang rekan sesama penyuka Filsafat, bukan Edward ya, yg lain lagi, berikut responnya:
[dia] buat tes atau lucu lucu ajah?
[saya] Lucu2 aja, ngetes liminalitas algoritmik nya diađ
[dia] hasilnya?
[saya] santun minta maaf segala
[dia] itu lucu banget chatnya
[saya] Udah jelas yg nanya humoris
[dia] iyah
[saya] Iya aku td yg ngetes gitu. Algoritma mesin sulit memprediksi humor krn sifatnya unpatternable, banyak twist nya. Apalagi membalas dgn ironi, sarkastis, dst
[dia] iyah tuh, lucu
[saya] Jadi salah satu profesi yg relatif masih aman dari serbuan machine learning adalah standup comedian đ¤Łđ¤
[dia] lucuk itu đ
Terakhir, tes keempat, masih rumusan pertanyaan yg ambigu, tapi poetic arahnya.
langsung eror mesinnya, males ngedebat begini2an..wkwkwkwkw
Eh, pertanyaan saya ini masih dilanjutin sama Edward dan diradikalkan jadi kayak begini (terusin deh bacanya, asli lucuk bangetzzxx)
and, it’s getting worse đ¤Łđ¤Ł
Well, really amusing kind of experience I had earlier today.
And I hope this non-human agency aka INFORGS (Floridi, please deh) doesn’t get hurt too deeply (eww, soppy) and vows to take revenge later (soon?) in a kind of “Terminator mixed with Planet of The Apes” scenario đ
Cheers, chatty bots!