Categories
Uncategorized

[DAY135] Mengkomunikasikan Sains: Pegimane caranye?

Buku yg dirujuk:

[1] Daftar Isi

[2] Profil singkat penulis buku
Craig Cormick adalah seorang komunikator dan penulis buku-buku tentang Sains asal Australia. Sudah sekitar 30 buku fiksi dan non-fiksi dihasilkannya, dan belasan artikel di jurnal bereputasi. Terlibat aktif di the Canberra writing community, mengajar dan menyunting buku, beliau juga mengepalai Pusat Penulisan bernama the ACT Writers Centre sejak 2003 sampai 2008 dan pada 2006 diundang sebagai pengajar tamu di the University of Science (Penang, Malaysia).

[3] Bagaimana bunyi kutipan pendahuluan yang dianggap penting oleh sang penulis?
“…keseluruhan industri akademis mulai berkembang dan semestinya hasil dari kemajuan ini menginformasikan kepada para ilmuwan apa yang harus dikomunikasikan, bagaimana mengkomunikasikan dan atas alasan/landasan apa mengkomunikasikan (sains). Riset tentang isu ini sudah tersedia banyak, namun sayangnya hasil-hasilnya seringkali dipublikasikan di tempat yang tidak dikunjungi para ilmuwan serta menggunakan bahasa yang tidak dipahami para ilmuwan. Akibatnya, ada keterpisahan antara mereka yang mau terus mengkomunikasikan hasil2 temuan sains dan mereka yang mau memberitahukan kepada para ilmuwan bagaimana cara mengatakan hasil temuan2 sains tersebut untuk khalayak yang lebih luas.” (Professor Brigitte Nerlich dari Nottingham University, Inggris dalam tulisan di blognya yang berjudul ‘Science communication: What was it, what is it, and what should it be?’)

[4] Apa tesis yang mau dipertahankan dalam buku ini?
Masalah komunikasi sains sebenarnya bukan hanya terletak pada kontroversi isu yang diteliti dan potensi dampaknya bagi kehidupan orang banyak (misalnya, berapa lama bumi ini dapat bertahan sebelum berakhir atau yang biasa disebut ‘akhir zaman’), juga bukan soal kredibilitas sumber (pakar) yang dirujuk (yang tidak jarang saling mengkontradiksi pandangan satu sama lain ttg pokok isu yang sama), atau sederhana/tidaknya bahasa yang dipakai dalam komunikasi temuan sains tersebut agar mudah dipahami awam, namun lebih ke soal bagaimana para ilmuwan saintis dan ilmuwan praktisi dapat sama-sama berikhtiar mencari titik temu yang dapat menjembatani ketidaktahuan (‘prasangka’) dari masing-masing pihak tentang maksud kubu yang satunya sehingga dari perjumpaan (titik temu) tersebut, problem2 dan temuan2 sains dapat dikomunikasikan pada dan lalu dipahami oleh baik para pengambil kebijakan maupun khalayak luas (awam terdidik).

[5] Masalah-masalah apa yang diidentifikasi penulis dan bagaimana solusi atas masalah2 tersebut?
>> dapat dilihat di Daftar Isi
Bisa juga dilihat di screenshot berikut ini:

[6] Apa manfaat bagi mereka yang membaca buku ini?
Manfaat praktisnya ada dua, yaitu:
(6.1.) Penulis berhasil merumuskan secara sederhana tiga langkah untuk menjadi seorang komunikator sains yang efektif, yaitu:
• kenali audiensmu
• sampaikan pesan kunci dalam cerita (kisah) yang memikat
• miliki tujuan yang jelas

(6.2) Meskipun buku ini memuat cukup banyak informasi yang bermanfaat bagi pembaca (lihat daftar isi!) untuk digali lebih jauh, dan dapat dijadikan rujukan P3K bagi yang malas membaca traktat2 sains yang terdiri dari ratusan bahkan ribuan halaman, tujuan penulisan buku ini sederhana dan jelas: Penulis mau menunjukkan kepada pembaca bahwa ada begitu banyak (luas) riset yang bagus yang dilakukan di luar sana yang (dalam buku ini) dikemas dalam format yang lebih sederhana untuk dipahami.

Manfaat teoritisnya juga ada dua, yaitu:
(6.3) Komunikasi Sains itu ilmu yang kompleks dan teknik untuk mengkomunikasikan data dan temuan-temuannya perlu terus-menerus diasah sehingga tajam dan “titis”. Semakin baik pemahaman si komunikator sains tentang jenis riset apa yang sedang dikerjakan, semakin baik juga si komunikator akan menyadari cakupan data dan instrumen yang digunakan untuk mengkomunikasikannya dengan lebih baik.

(6.4) Tanpa disadari, dimaui dan dilanggengkan, selalu terbentang rongak antara “those who live in
the world of science communication practice and those who live in the world of science communication theory.” Meskipun sudah ada upaya2 konkret dan sistematis untuk menjembatani rongak ini, misalnya dengan penerbitan seri jurnal ilmiah populer, atau buku2 Sains dengan ilustrasi, juga seminar2 yg mengundang baik praktisi maupun teoritisi untuk mendialogkan temuan-temuan mereka, tidak terlalu banyak juga yang akhirnya berbahasa dengan fasih di kedua ranah ini, atau bergerak bolak-balik dari ranah yang satu ke ranah satunya lagi. Orang cenderung berada dan menetap di salah satu kubu saja (dan merasa diterima dengan lebih baik di situ, ‘krasan,’ dan terdorong utk berkontribusi lebih). Arus informasi antara periset dan praktisi memang diharapkan selalu lancar alirannya, tapi lebih sering kita saksikan tidak demikian. Teori mendarat di jurnal2 sains yang memang teoritis sifatnya sehingga tidak mudah diakses mereka yang berbicara dalam kosa-kata science practice; begitu juga, para praktisi sains tidak mengumpulkan data yang oleh para periset dianggap berguna untuk digunakan dalam desain penelitian mereka.

Sedikit kutipan dengan nada anekdotal yang menarik terkait rongak ini, “Now don’t get me wrong, academic papers have their place in the world – but they are not the whole world. I have published research papers in several journals, including those that belong to Nature and Cell, two of the most esteemed journals, with very high impact factors. But to tell you the truth, the sky didn’t become bluer, and the kids didn’t stop looking at their phones when I talk to them, and my wife didn’t put me up on a pedestal – and in fact I didn’t even notice people paying much attention to the research before I published it in places like The Conversation.”

Terus, pelajarannya apa? Ya gak usah nunggu orang seperti Cormick ini utk datang dan mengalihbahasakan riset Anda menjadi bahasa yang lebih mudah dipahami para praktisi Sains dan khalayak awam terdidik. Andalah yang harus berusaha menuliskan artikel-artikel ilmiah dalam format yang lebih sederhana dan bahasa yang lebih mudah dipahami, “write plain speak articles and blogs and tweets and any things else that science communication practitioners – and just anybody who cares about better communicating science – can read and understand.”

Berikut dicontohkan sejumlah bentuk/format untuk mengkomunikasikan Sains yang belum terlalu digarap Cormick dalam bukunya ini:
• visualisasi data dan (info-)grafis
• fotografi
• vidio dan animasi
• teknologi digital yang sedang berkembang (Podcast, misalnya)
• data mining
• teater dan performa panggung (fisikal maupun digital)
• seni instalasi (event staging)
• pembelajaran berbasis permainan
• jenis-jenis pendidikan informal dan non-formal (studio alam, misalnya)
• musium dan pusat2 pemajuan sains, seni dan budaya

Dalam arti yang terakhir ini, “terus pelajarannya apa?”, pokok-pokok yang disampaikan Cormick (2019) belum terlalu jauh berbeda dengan empat asumsi tentang komunikasi sains yang pernah disampaikan Silverstone (1991) dalam tulisannya berjudul “Communicating Science to the Public” yang dimuat di jurnal Science, Technology and Human Values (STHV) (V. 16, No. 1, h. 106-110) yang bertolak dari program riset tentang pemahaman publik akan sains, di Inggris, yang ternyata berbagi empat asumsi dasar berikut ini:

Pertama, tidak ada itu yang namanya THE communication of science. Baik sains maupun lingkungan media yang meliput dan memberitakannya bukanlah fenomena tunggal dan seragam. Para ilmuwan berbeda pendapat; beragam media menjelaskan dengan berbagai penjelasan; para penerima pesan (audiens) menafsirkan keragaman liputan tersebut secara berbeda-beda dan berujung pada ragam pemahaman yang “distinct, even disjointed.”

Kedua, tidak ada juga yang namanya the public. Ada banyak panggung/khalayak untuk sains, spesialis dan awam, yang berkepentingan dan tidak berkepentingan, yang berkuasa dan kurang berkuasa; muda dan tua; laki dan perempuan. Meskipun ada juga hal-hal bersama yang dibagikan segmen2 publik ini, mereka juga sama-sama dapat memahami atau salah paham, meningat atau lupa, dengan cara yg berbeda2.

Ketiga, dalam lingkungan komunikasi modern, sains tidak dapat mendaku status istimewa atau diistimewakan. Sains ya harus berebut perhatian dari macam-macam pihak, seperti produser acara, maupun penerima pesan (komunikasi) atau audiens, dengan keragaman dan (kontrol berupa remote control di tangan mereka). Juga dengan para pengiklan komersial. Klaim-klaim yang dibuat sains tidak selalu harus (kalau bukan karena kasus yg heboh banget atau kontroversial) muncul ke permukaan media dan menarik perhatian audiens, baik itu kalangan profesional maupun khalayak umum, karena masih ada pihak-pihak lain juga yang berkepentingan untuk memaknai peristiwa yang terjadi (kaum agamawan, misalnya).

4. Tesis kehadiran media yang ada di mana2 (the omnipresence of the media) tidak sejajar atau sebangun dengan tesis kekuasaan mereka yang ada di mana2 (omnipotence). Memang diakui bahwa media massa (harap diingat bahwa pada tahun 1991 belum ada media sosial atau SNS; penetrasi internet dalam kehidupan publik pun masih sangat terbatas) memiliki peranan yang besar untuk membawa hasil2 temuan sains ke khalayak luas. Tapi kan masih ada agensi berupa lembaga2 lain yang juga memperkenalkan pengetahuan sains pada audiens mereka, sekolah misalnya, dengan para guru dan pengajar, memperkenalkan wajah sains yg formal; atau TV dan musium, yang memperkenalkan pengetahuan (sains) informal. Mereka ini saling berkompetisi dan berebut pengaruh dalam memaknai versi sains yang mereka wartakan dan belum lagi ada sejumlah faktor lain yang juga melakukan fungsi menafsirkan, mengubah, atau menentang komunikasi saintifik, misalnya adat istiadat setempat (local wisdom, local knowledges), pemahaman praktis yg sifatnya turun-temurun maupun yg berbasis komunitas, atau wacana akal sehat.

Categories
Uncategorized

[DAY 132] Fenomenologi dan Etika dari Teknologi Informasi: Kelindan yang saling mengandaikan dan memperjelas

Berdasarkan tiga bacaan berikut ini:
(1) [Chapter 7]Ethics,Phenomenology&Ontology. In The SAGE Handbook of Digital Technology Research (2015)
(2) [Chapter 13] Phenomenology as a Research Method_In TheSAGEHandbookofQualitativeData Analysis(2013), dan
(3) [Review_of_Comm]In_defense_of_phenomenological_approaches_to_comm.stud_intellectual_history(JN.Sturgess,2018)

terkait aspek Metodologinya, ada tiga hal baru yg ditawarkan dari komparasi ketiga bacaan ini utk metode pengerjaan disertasi yang sedang kususun, yaitu:

1) Menurut Anna Kouppanou & Paul Standish (2015), teknologi bukan instrumen yang bebas nilai (not value-laden instruments). Etika sudah selalu tertanam dalam teknologi, baik pada saat perancangannya (desain), produksinya maupun penggunaannya. Karena itu, Etika bersifat konstitutif dalam proses transmisi terkait diskusi-diskusi yang menyangkut desain, produksi maupun penggunaan teknologi, dalam berbagai aspek dan contohnya, seperti (desain, produksi & penggunaan) energi nuklir, rekayasa genetika sampai kecerdasan buatan. Perdebatan soal isu ini tidak pernah jauh-jauh selalu berkutat pada persoalan siapakah manusia itu, apa kodrat teknologi dan apa kodrat dari alam (nature) itu sendiri. Perdebatan etis terkait isu teknologi selalu mendorong kita untuk bertanya dan mengevaluasi tentang dimensi ontologi, epistemologi maupun etika teknologi dan hubungannya dengan manusia.

Determinisme sosial dari teknologi di satu sisi (seperti disuarakan, di antaranya, oleh Langdon Winner dalam eseinya yang provokatif, “Do Artifacts Have Politics” (1980) yang di dalamnya ia mendaku bahwa “the machines, structures, and systems of modern material culture can be accurately judged…for the ways in which they can embody specific forms of power and authority,” dan “value-laden technology” seperti disuarakan Martin Heidegger (1977) “social determinism cannot be sustained because technology is inherently value-laden and for this reason implicated in ethical matters” sama-sama mendapatkan dukungan kuat dengan segambreng bukti-bukti dan argumentasi untuk mendukung masing-masing posisi.

Bagaimana dengan “tulisan” sebagai instrumen teknologi? Pandangan klasik (Plato, misalnya) cenderung curiga terhadap keberadaan tulisan, karena menjauhkan manusia dari daya mengingat (anamnesis) yang merupakan human faculty yang luar biasa, juga mengeksternalisasikan realitas, sekaligus menjauhkan manusia dari the truth of reality. Ringkasnya, ide tulisan sebagai teknologi (dikarenakan kodratnya yang memediasi dan bersifat tidak langsung) dan juga karena dampak2nya pada moda akses yang kita miliki terhadap dunia (epistemologinya), memunculkan sejumlah problem etis yang serius terkait apakah “tulisan sebagai teknologi” itu memang baik adanya dan dihasrati?

Merujuk pada pandangan Stiegler (2011) tentang teknologi digital dan ketertanaman diri kita di dalamnya dan itu mengubah bukan hanya cara pandang kita tentang dunia sekitar namun mengubah diri kita sendiri, menjadi datum dalam aliran datastream. Lengkapnya, “Digital representation, the grid and second-generation navigation techniques combine in this process of ‘geo-information’. Information, as the word begins to suggest, not only affects us as something external to ourselves, selves that remain intact, but forms us within: thus, they (in-)form our dwelling-place, the device-user becoming a datum in a constant datastream.”

Karena itu, Kouppanou & Standish (2015) mengajak kita untuk memperluas cara kita memahami intensionalitas yang inheren dalam teknologi. Hanya dengan memperluas cakrawala pandangan kitalah akan terlihat lebih jelas “its moral import” sekaligus ekologi digital hidup kita sekarang: ketertanaman diri (users) dan objek dalam lingkungan digital.

2) masih disusun wording-nya

3) sudah pernah dibaca dan dibuat resumenya, belum dituliskan kembali di sini.

Categories
Uncategorized

[Day 133] The Believing Brain: menggugat operasionalisasi prinsip di balik terbentuknya kepercayaan yg tidak ilmiah

Catatan kecil yg dapat saya petik dan renungkan setelah membaca buku The Believing Brain karya M. Shermer (2011) ini adalah:

(1) Ketika membaca buku ini untuk pertama kalinya, saya tercengang (kaget) dengan paparan data yang disampaikan Shermer pada bagian prolog bukunya, sub-section “The Demographics of Belief.” Dalam sebuah polling yang diadakan lembaga Harris pada 2009 yang lalu terhadap 2.303 orang dewasa Amerika (Yes, Amerika lho ini, salah satu negara maju dan terkemuka dalam kemajuan Sains-nya, bukan negara Sudan atau Afghanistan, atau negara-negara kecil dan developing lainnya), ditunjukkan bahwa lebih dari 50% partisipan polling percaya adanya “God, Miracles, Heaven, Jesus is God or the Son of God, Angels, Survival of the Soul after Death, The Resurrection of Jesus Christ, Hell, The virgin birth (of Jesus) dan Devil.” Lihat screenshot dari buku tsb di bawah ini untuk data lengkap hasil pollingnya.

Mengutip keheranan dari Shermer, “lebih banyak orang yang percaya akan keberadaan Malaikat dan Si Jahat daripada Teori Evolusi yang digagas Darwin.” Tentu saja keheranan Shermer ini tidak hanya didasarkan pada satu dua polling saja, tapi ada beberapa (mungkin ada belasan) polling sejenis yang dilakukan lintas negara (maju, seperti Inggris, dicontohkan dalam bukunya).

Adapun kesimpulan yang ditariknya dari sejumlah polling yang mengukur “kadar kepercayaan orang tentang entitas supernatural” ini adalah bahwa mayoritas orang percaya (berpegang pada) adanya fenomena paranormal atau supernatural, satu dan lain hal. Shermer tidak mau secara gampangan menyalahkan media (massa) [dalam konteks setelah 2010, kemungkinan besar Shermer juga akan menyebut “media sosial”] yang ikut membantu menyebarluaskan gugus kepercayaan terhadap fenomena paranormal atau supernatural ini sekaligus (pada sisi lain) lemah dalam mengkomunikasikan temuan-temuan sains.

Menurutnya, 70% orang Amerika yang percaya pada hal-hal paranormal/supernatural tsb kemungkinan tidak sungguh memahami cara bekerja sains (yang bertumpu pada metode eksperimental, prinsip2 pembuktian ilmiah, teori kementakan, dan uji hipotesis termasuk adanya prinsip falsifikasi dan bukan melulu verifikasi) dan (mereka) lebih terpaku pada apa-apa saja temuan (memukau) sains, sehingga mereka tidak sanggup untuk mengevaluasi benar tidaknya klaim-klaim sains semu (pseudoscientific) yang menjamur di sekeliling taman kehidupan mereka. Berikut coret-coretan saya dari pemikiran Shermer ttg proses terbentuknya prinsip kepercayaan yg dinamainya “belief dependent realism” tsb, dengan bertumpu pada dua proses yaitu patternicity dan agenticity.

(2) Ketika saya tarik ke aspek Metodologinya, saya menemukan dua hal refreshing yg ditawarkan Shermer agar saya dapat memahami dengan lebih akurat aspek “metode ilmiah” untuk disertasi yang sedang saya susun.

Pertama, belief-dependent realism is more real than cognition-dependent realism, for most people out there. Karena itu, tidak mengherankan jika yang namanya hoax, kabar bohong, misinformation, disinformation begitu mudah tersebar di ruang-ruang digital yang kita akses, gulati dan hidupi selama ini, entah itu bernama ruang media sosial (FB, Twitter, misalnya), ruang percakapan yang termediasi aplikasi (WhatsApp, misalnya), maupun ruang digital bertujuan pencarian informasi atau hiburan lainnya (digital broadcasting Over The Top seperti Netflix, podcast, dll.). Dalam ruang-ruang digital yang dihayati tersebut, sulit sekali untuk mengacu pada apalagi menegakkan prinsip-prinsip berpikir kritis dan ilmiah seperti yang dianjurkan Shermer di sini (dan yang sudah saya ajarkan kepada para mahasiswa saya sejak 2007 yang lalu dalam perkuliahan bertajuk Dasar-dasar Logika/Critical & Creative Thinking).

Kedua, Science and the burden of proof. Sekali lagi, pokok epilog dari Shermer ini menunjukkan bahwa, berbeda dengan cara orang “awam” mendukung keyakinannya, Sains justru tidak boleh dengan gegabah mengatakan bahwa hal yang belum dapat dijelaskannya (karena kurangnya data penunjang misalnya, atau belum tersedianya peralatan yang canggih untuk memverifikasi temuan-temuan sementara yang masih diperdebatkan para ahli) berarti keliru dan hal yang dapat dijelaskan (dengan gejala-gejala alamiah saja) berarti benar. Sila disimak screenshot berikut ini untuk penjelasan the burden of proof yang seringkali ditembakkan kepada para ilmuwan (padahal ini seharusnya dilakukan oleh mereka yang melemparkan klaim/mendaku).

Categories
Uncategorized

[DAY134] Homo Culinarius instead of Homo Sapiens: For real?

Homo culinarius lebih tepat menggambarkan diri kita alih-alih Homo sapiens? Benarkah demikian? Atas dasar apa klaim ini?

Dalam sebuah riset yang dilakukan ahli antropologi purba (paleoanthropologist) bernama Daniel E. Lieberman bersama tim riset dari Harvard University pada 2016, ditemukan fakta bahwa memodifikasi makanan sebelum disantap—dkl, dimasak dulu alih2 dimakan mentah—justru meningkatkan asupan energi bagi manusia yg memakannya.

Tim riset yang dipimpin Lieberman ini sudah melakukan serangkaian percobaan termasuk di antaranya meminta para partisipan riset untuk mengunyah daging kambing mentah, kemudian percobaan lain yg menunjukkan teknologi yang digunakan manusia purba zaman doeloe (Paleolithic) seperti pisau yang dibuat dari batu untuk memotong dan mememarkan daging, ternyata mengubah makanan sedemikian rupa sehingga daging kambing (olahan) tersebut menjadi lebih kaya energi dan lebih mudah dikunyah. Karena waktu yang digunakan untuk mengunyah makanan daging hasil olahan tersebut jadi lebih singkat, maka manusia purba dapat menggunakan waktunya untuk melakukan kegiatan lain yang lebih bermakna secara sosial dan budaya, seperti “menulis di dinding gua”, menemukan inovasi dan teknologi yang memudahkan kehidupan mereka, dll.

Sederhananya begini: para nenek moyang kita, dan memang hanya nenek moyang spesies manusialah, yang memasak.

Saya (Herculano-Houzel) lebih cenderung menyebut mereka sebagai Homo culinarius dan bukan Homo sapiens, karena menurut saya penyebutan istilah Homo culinarius lebih menggambarkan keadaan riil mereka pada zaman doeloe itu (dan juga pada zaman modern sekarang) daripada istilah yang agak sumir, sombong dan kurang nyata yaitu sapiens. Istilah sapiens sepertinya lebih menyiratkan nuansa hanya spesies manusialah yang dapat berpikir dan mengetahui, sementara spesies primata yang lain tidak (sombong banget kan?)

Padahal, penelitian yang dilakukan ahli Primatologi dari Harvard, seperti Richard Wrangham, juga menunjukkan temuan yang sama yaitu bahwa memasak dengan menggunakan api merupakan terobosan besar dalam sejarah evolusi manusia.

Sumber rujukan:
Herculano-Houzel, S. (2017). The Remarkable (But Not Extraordinary) Human Brain. Scientific American Mind, March-April 2017 Edition, pp. 36-41.

Pertanyaan riset:
Bagaimana menanggapi hasil temuan Herculano-Houzel (2017) ini dengan membaca dan membandingkannya dengan Homo Sapiens karya Yuval Noah Harari, misalnya?

Categories
Uncategorized

[DAY129] Moral Minds: Asal-usul Kesadaran Moral Manusia (Insting Bahasa & Biologis)

Belajar dari buku Moral Minds: How Nature Designed Our Universal Sense of Right and Wrong karya Marc D. Hauser (Ecco/HarperCollins Publishers, 2006).

Ide pokok (tesis) yang ditawarkan dan dipertahankan Hauser dalam buku ini relatif sederhana:

Naluri moral yang kita miliki itu bertumbuh kembang secara alamiah sejak kecil sampai dewasa sehingga (sampai pada titik di man) kita dapat dengan cepat memutuskan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan “unconscious grammar of action” (berikutnya akan disingkat dengan UnGrAct).

Dari mana asalnya UnGrAct ini? sebagiannya lewat proses seleksi alamiah seperti diajukan teori Darwin, sebagian lagi ditambahkan belakangan lewat sejarah evolusioner yang melekat khas pada spesies manusia, dan terutama lewat sebuah naluri purba yang (sayangnya jarang dibahas) bernama bahasa.

Ada dua pemikir dan karya yang dijadikan rujukan ketika membahas peran bahasa dalam evolusi kesadaran moral manusia ini. Pertama karya2 Noam Chomsky pada sekitar tahun 1950-an, kedua karya Steven Pinker dalam The Language Instinct (1994). Alih-alih memahami bahasa sebagai produk sosial yang bervariasi antar budaya, maupun peran pengalaman dalam mempelajari sebuah bahasa (kajian psikologi belajar), Hauser menyarankan agar kita mengikuti tradisi ilmu biologi yang melihat bahasa sebagai sebuah alat (organ) yang didesain secara khusus dan menjadi fitur khas pikiran manusia yang berlaku secara universal.

Menurut pandangan biologi evolusioner, bahasa memiliki gramatika yang bersifat universal dan tersembunyi di dalam setiap spesies yang memampukan kita untuk menyusun sendiri bahasa-bahasa yang lebih khusus (spesifik). Sekalinya kita menangkap (menguasai) bahasa ibu kita, kita lalu dapat berbicara dan memahami apa yang orang lain katakan tanpa harus ribet-ribet menalar atau dengan sadar mengakses prinsip2 yg mendasari bahasa ibu tsb. Sejajar dengan premis ini, secara analog Hauser berargumen bahwa kesadaran moral kita juga bekerja seperti itu, “our moral faculty is equipped with a universal moral grammar, a toolkit for building specific moral systems.”

Sekalinya kita memperoleh (menguasai) norma-norma moral spesifik yang hidup (jadi tradisi) dalam budaya kita sendiri, maka dengan cepat (nyaris spontan tanpa pikir panjang) kita dapat membedakan dan memutuskan mana tindakan yang dibolehkan, diwajibkan, terlarang, tanpa harus ribet-ribet mealar atau mengenali prinsip-prinsip yang mendasari tradisi/aturan/norma tersebut.

Jadi, ringkasnya, dalam buku ini Hauser menawarkan cara berpikir yang organis (biologis) + esensialis tentang landasan moral kita dengan menggunakan analogi dari temuan2 terbaru riset ilmu biologi evolusioner alih-alih mencantelkan landasan moralitas (mewarisi) prinsip moral tersebut dari dua sumber yg dianggap dominan selama ini yaitu norma2 agama (juga filsafat) maupun dari aturan2 penguasa (pemerintah), termasuk lewat jenjang pendidikan formal yang dikurikulumkan.

Berikut Epilog dari buku ini dalam bentuk screenshot:


Hendar Putranto (c) 2020

Categories
Uncategorized

[DAY127] Seri Webinar Etika Politik versi INSPECTUS: Edisi Kedua, 29Agt2020

Berikut screenshot kehadiran peserta:

Berikut screenshot resumenya:

Berikut link YouTube Webinarnya:
https://youtu.be/rpz80vD6Lvw

Semoga Webinar ini dapat mencerahkan para peserta dan juga para pengambil keputusan terkait isu Governance, Kesehatan Masyarakat dan Demokratisasi.

cheers,

Hendar Putranto

Categories
Uncategorized

[DAY126] Tahap Persiapan Seri Webinar INSPECTUS Sesi Kedua_RiskComm&Infodemics_29Agt2020

Berikut flyer kegiatannya:

Berikut Profil Narsumnya:

Berikut TOR yg disiapkan utk Narsumnya:

Semoga kegiatan Webinar Edisi Kedua ini bermanfaat yah bagi para peserta utk memahami lebih jauh dan lebih dalam hubungan antara Etika Politik, Komunikasi Krisis/Risiko dan Isu Infodemics.

cheers,

Hendar Putranto
Salah satu Founders Inspectus

Categories
Uncategorized

[DAY124] Rapid Test, PCR & Keraguan akan Validitasnya

1) Belajar dari kasus klaim temuan obat Covid-19 versi UNAIR berikut ini

2) yg lalu memunculkan praduga: ada perang kepentingan apa di balik klaim UNAIR yg diragukan banyak ahli Epidemiolog ini? Apakah ada unsur komersialisasi? kepentingan keamanan nasional?

3) Apa yg seharusnya dilakukan (junior) researchers ketika hrs meneliti isu Covid-19 ini? Tetap harus mementingkan kaidah ilmiah dgn segala rigoritasnya meskipun mengetahui bahwa tingkat urgensi menemukan “obat/vaksin” utk Covid-19 ini sedemikian tinggi dan prestisius (breakthrough)

Categories
Uncategorized

[DAY_ONEHUNDREDTWENTYTHREE] Termarjinalkannya kaum perempuan dari dunia komputasi dan tren digitalisasi pada level global

Belajar dari buku
Cracking the Digital Ceiling: Women in Computing around the World
Tim Editor: Carol Frieze dan Jeria L. Quesenberry
Penerbit: Cambridge University Press, 2019

Apakah persoalan komputer (dan komputasi) itu urusan laki-laki saja? Benarkah perempuan itu tidak “berbakat” dalam hal dan “keliru kalau memilih karir” di bidang komputer? Kumpulan tulisan (ada lebih dari 15 tulisan dalam buku ini) dalam buku ini mencoba menantang asumsi dominan yang biasanya luas tersebar di dunia Barat (dan lalu sering dijadikan pembenaran) bahwasanya partisipasi perempuan dalam bidang komputasi itu rendah. Hampir semua tulisan yang terkompilasi dalam buku ini berpijak pada pengalaman perempuan yang khas, dalam bidang pendidikan, industri TI, dan administrasi (pemerintahan), dengan keragaman konteks sosio-budaya-geografisnya, dengan tujuan untuk memahami dengan lebih utuh level partisipasi perempuan dalam urusan perkomputeran (komputasi, TI, data processing, dll.). Faktor-faktor lingkungan ternyata lebih berperan menentukan “rendahnya” angka partisipasi perempuan dalam urusan perkomputeran alih-alih alasan “kurangnya bakat dan keterampilan bawaan.”

… more to come …

Sedikit biografi tentang Kontributor dan Tim Penyunting buku ini (dikutip dari https://www.barnesandnoble.com/w/cracking-the-digital-ceiling-carol-frieze/1130935055)

Carol Frieze works on diversity and inclusion in Carnegie Mellon’s School of Computer Science. She focuses on culture and broadening participation in computing. She is co-author of Kicking Butt in Computer Science: Women in Computing at Carnegie Mellon University (2015). Frieze is winner of the 2016 AccessComputing Capacity Building Award and the 2017 winner of the Computing Research Association’s A. Nico Habermann Award.

Jeria L. Quesenberry is an associate teaching professor of information systems at Carnegie Mellon University. Her research interests include cultural influences on IT students and professionals, social inclusion, and broadening participation. She is co-author of Kicking Butt in Computer Science: Women in Computing at Carnegie Mellon University (2015).

Categories
Uncategorized

[DAY_ONEHUNDREDTWENTY] Sosok Bu Tejo yg lagi viral itu (dari film pendek TILIK, 2018)

Link untuk menonton film pendek yg viral ini:

Produksi: Ravacana Films bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY.

Ini dua tanggapan singkat saya dalam bentuk status WhatsApp: