Categories
Uncategorized

Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya: Sebuah Tanggapan

Menurut Armando (2020), ada “Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya.” Empat faktor tersebut saling terkait-menopang dan terdiri dari:

1. Faktor kekuatan Pemodal (terutama mereka, para pemilik studio film majors di USA, yang sebagian besarnya merupakan para pedagang keturunan Yahudi)
2. Faktor kekuatan Sutradara sebagai kreator (sehingga dari tangan mereka lahirlah karya-karya artistik yang sebagian melandaskan diri pada karya-karya sastra bermutu yang membahas isu-isu sosial. Para sutradara, atau biasa disebut The Intellectuals ini tidak ‘tunduk’ pada selera pasar dan resep film yang standardized dengan pesan yang homogen. Contohnya adalah film-film besutan sutradara Elia Kazan, Frank Capra, Stanley Kubrick, Oliver Stone, Martin Scorsese, dll.)
3. Faktor Taste Culture sebagai diversifikasi selera berbasis kelas sosio-ekonomi (yang merupakan inti dari kritik Gans terhadap gagasan Adorno tentang Industri Budaya)
4. Faktor kekuatan Teknologi (logika Long Tail, industri film berbasis Digital, layanan Streaming seperti Netflix, dst.)
Armando (2020, menit 34, detik 10) mengatakan bahwa “kombinasi dari berbagai faktor di atas itu menyebabkan kondisi industri perfilman (dan juga industri budaya lainnya) di AS tidak se-gloomy seperti yang dibayangkan Adorno.” Lantas, pertanyaan Armando (2020, menit 34, detik 25): “Apakah hal serupa bisa terjadi di Indonesia?” menarik dan mendesak untuk dijawab.

Berikut tanggapan singkat saya untuk poin faktor nomor 1 dan 2 di atas. Untuk poin faktor no. 1, jika di Hollywood kekuatan pemodal diwakili/direpresentasikan oleh para pedagang Yahudi, maka di dalam industri perfilman Indonesia kekuatan pemodal ini didominasi siapa? Keturunan Tionghoa (Barker, 2010), juga India (Raam Punjabi, dkk). Untuk poin faktor No. 2: kekuatan sutradara asli Indonesia yang membuat film-film dengan tidak ‘melulu’ mengikuti logika pasar itu dieksemplifikasikan siapa saja? Data yang berhasil dihimpun dari sejumlah sumber menunjukkan bahwa pertama-tama, tentu saja nama Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail, tokoh sineas kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat (dengan film-film seperti Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1956), Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962)), kemudian Sjumandjaja (Lewat Tengah Malam, Pengantin Remadja, Flambojan, Si Doel Anak Betawi Si Mamad, Pinangan, Laila Majenun, Yang Muda Yang Bercinta, dst.), lalu Misbach Jusa Biran [Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966)], Nya’ Abbas Acub, Asrul Sani, Teguh Karya, MT Risyaf [(Naga Bonar, 1986)], Chaerul Umam dan N. Riantiarno. Merekalah sosok sutradara yang bukan hanya menghasilkan karya-karya film artistik (estetis), yang berhasil menuai penghargaan piala Citra dalam ajang FFI, misalnya, tetapi juga karena sebagian besar film yang mereka ciptakan mendapat respon pasar yang positif (dalam arti ditonton banyak pemirsa) serta lolos dari gunting sensor Badan Sensor Film (BSF).

Saya juga mau menambahkan empat faktor penting yang menurut hemat saya perlu dimasukkan sebagai konsideran tambahan dari “Pembatal Pemiskinan dalam Industri Budaya.”

Pertama, peran pemerintah sebagai regulator industri perfilman (dan secara lebih luas lagi: Industri Budaya, Media dan Informasi). Perlu dibedakan antara peran pemerintah USA yang cenderung lebih liberal tapi tetap fair mendukung tumbuh-kembangnya industri film dengan pemerintah Indonesia, terutama pemerintah era Orde Baru yang cenderung lebih otoriter membatasi kebebasan berekspresi para sineas. Contoh film Si Mamad (1973) yang awalnya berjudul Matinya Seorang Pagawai Negeri, film Nyoman dan Presiden (1989), yang akhirnya bersalin judul menjadi Nyoman Cinta Merah Putih, dan film genre komedi yang awalnya berjudul Kiri Kanan OK (1989) pun terpaksa mengubah judulnya menjadi Kanan Kiri OK.

Kedua, analisis ekonomi-politik terhadap industri perfilman menunjukkan adanya logika luwes kapitalisme berbasis industri budaya yang tidak hanya terbatas spasio-temporal pada Hollywood (USA) tapi juga sudah berkembang di dan diikuti negara-negara lain. Penelitian Crane (2014) menunjukkan bahwa wajah pasar film global merupakan situs strategis untuk memeriksa pengaruh global dari budaya media Amerika (USA). Industri film merupakan bagian dari budaya media yang lebih besar (bdk. Wasko, 2005). Untuk menghasilkan analisis sosiologis yang berbasis data empiris yang kredibel, Crane menggunakan database yang dikompilasi lembaga bernama the European Audiovisual Observatory . Data menunjukkan bahwa pasar film global terdiri dari 34 negara yang memproduksi lebih dari 25 film per tahunnya, yang dikategorikan menjadi empat kriteria: Super Producers (empat negara), Major Producers (tujuh negara), Medium Producers (11 negara), dan Minor Producers (12 negara). Dari sejumlah daftar top 10 films yang ada di 34 negara ini, tampak bahwa film-film Amerika mendominasi, kemudian baru diikuti film-film produksi lokal. Meskipun ada sejumlah kebijakan budaya nasional yang diambil terkait dengan kebijakan perfilman, yang berkontribusi pada majunya industri film nasional (masing-masing negara), namun hal ini belum mampu membendung (mengimbangi) dominasi film-film produksi USA. Kebutuhan Hollywood agar filmnya sukses diterima (ditonton) di banyak negara (jadi, increasing revenues) telah mengubah resep box office global yang pada gilirannya mendorong sejumlah perubahan dalam konten film Hollywood menjadi lebih deculturized dan transnational, sebuah tren yang juga diikuti konten film produksi negara lain yang masuk daftar 34 negara produsen >25 film per tahun.

Ketiga, jika salah satu tolok ukur suksesnya industri film adalah pemasukan (revenue, profit), kita tentu perlu memberi perhatian pada seberapa berpengaruh faktor lingkungan finansial ekonomi berskala nasional, regional dan global terhadap sukses tidaknya (flop) suatu film. Dalam buku yang ditulis De Vany (2014), dimunculkan pertanyaan berikut: Bagaimana sebaiknya para investor dan pembuat film berbisnis dalam lingkungan yang sedemikian penuh dengan ketidakpastian dan dinamika yang rumit yang dapat berujung pada sukses dan/atau kegagalan yang ekstrem? De Vany menjawab pertanyaan ini dengan menunjukkan bukti bahwa distribusi keuntungan dengan menggunakan hukum Pareto menggambarkan bukan hanya “revenue distributions, but profit distributions as well.” Selain itu, De Vany menyingkapkan fakta penelitian yang menarik tentang nilai finansial dari bintang film. Meskipun kehadiran seorang bintang film tidak selalu menjamin kesuksesan finansial sebuah film, tetapi kehadirannya dapat menjadi tiang pancang (prop) pada “the lower end of revenues and shift mass from the lower tail to the upper tail of the profit probability distribution” (De Vany dalam Chisholm, 2005, h. 235-236).

Keempat, kekuatan pemodal itu tidak seragam satu-wajah, artinya hanya terbatas pada satu golongan (etnis) pedagang tertentu, atau klas sosio-ekonomis tertentu saja, melainkan aglomerasi atau usaha patungan dari berbagai sumber pendanaan, bahkan, lintas negara. Ada peneliti yang menyebutnya dengan istilah Co-financing arrangements (Hofmann, 2013) . Tulisan Barker (2018) menyoroti aspek ini secara lebih mendetil.
Menurutnya, “Baik Marlina dan Aruna juga menandai tumbuhnya bentuk kolaborasi antarnegara yang bertujuan memasarkan film Indonesia ke luar negeri. Marlina adalah film yang diproduksi melibatkan banyak negara termasuk AstroShaw (Malaysia), HOOQ (Singapore), Purin Pictures (Thailand) dan Shasha & Co Production (France). Sementara itu, Aruna adalah film keenam yang diproduksi oleh perusahaan Korea Selatan, CJ Entertainment. Investasi tahap pertama CJ Entertainment di industri film nasional muncul dalam bentuk hibah sebesar US$10.000 yang diberikan kepada Joko Anwar untuk memproduksi A Copy of My Mind pada 2015. Lalu pada 2017, film horor Pengabdi Setan diproduksi oleh CJ bekerja sama dengan rumah produksi lokal Rapi Film. Melalui kerja sama tersebut, Pengabdi Setan yang tergolong sukses telah didistribusikan ke 40 negara.”

Bibliografi
Armando, A. (2020). Empat Faktor Yang Membatalkan Pemiskinan dalam Industri Budaya. Materi Kuliah PJJ Seminar Industri Budaya yang disampaikan pada Senin, 20 April 2020.
Barker, T. (2010). Historical Inheritance and Film Nasional in Post-Reformasi Indonesian Cinema. Asian Cinema, 21(2), 7-24. DOI: https://doi.org/10.1386/ac.21.2.7_1
Barker, T. (2018). “Mengukur potensi perfilman Indonesia setelah FFI 2018.” The Conversation. Diakses pada 22 April 2020, dari https://theconversation.com/mengukur-potensi-perfilman-indonesia-setelah-ffi-2018-108676
Chisholm, D. C. (2005). Book Review. Arthur De Vany: 2004, Hollywood Economics: How Extreme Uncertainty Shapes the Film Industry, Routledge, London, 448 pp., ISBN 0415312612. Journal of Cultural Economics, 29, 233–237.
Crane, D. (2014). Cultural globalization and the dominance of the American film industry: cultural policies, national film industries, and transnational film. International Journal of Cultural Policy, 20(4), 365-382. https://doi.org/10.1080/10286632.2013.832233
De Vany, A. (2004). Hollywood Economics: How Extreme Uncertainty Shapes the Film Industry, London: Routledge.
Hofmann, K. H. (2013). Co-Financing Hollywood Film Productions with Outside Investors: An Economic Analysis of Principal Agent Relationships in the U.S. Motion Picture Industry. Springer.
Wasko, J. (2005). Critiquing Hollywood: The Political Economy of Motion Pictures. Dalam C. Moul (Ed.), A Concise Handbook of Movie Industry Economics (h. 5-31). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9780511614422.002

Categories
Uncategorized

Apakah Pandemi Covid-19 membuat kita jadi lebih bijaksana? Berpikir bersama ŽIŽEK (2020)

Hegel pernah menulis bahwa hal satu-satunya yang dapat kita pelajari dari sejarah adalah kita tidak belajar apa-apa darinya, jadi saya, Žizek, ragu bahwa epidemi yang ada sekarang ini akan membuat kita jadi lebih bijaksana. Satu-satunya hal yang jelas terjadi sekarang adalah bahwa virus ini akan menghancurkan bongkah-bongkah pondasi hidup kita, menyebabkan bukan hanya penderitaan tak terperi namun juga kehancuran ekonomi yang lebih buruk daripada era Resesi Besar (1930-an). Tidak ada lagi namanya kembali ke hidup yang normal, ‘kenormalan’ yang baru haruslah dibangun dari reruntuhan dari hidup kita yang lawas, atau kita akan menemukan diri kita berada di dalam epos barbarisme baru yang tanda-tandanya sudah sedemikian mencolok mata.

Dikutip dari buku terbaru ŽIŽEK (2020). PAN(DEM)IC! COVID-19 Shakes the World. New York dan London: O/R Books, h. 3.

Categories
Uncategorized

Jejak Pemikiran Adorno dalam The Culture Industry dan Dampaknya bagi Industri Budaya Kontemporer

Jika ada yg mau versi lengkapnya, tunggu terpublikasi dulu ya. 🙂

Categories
Uncategorized

Pendekatan Social Constructionism dalam Riset Ilmu Sosial

Menurut Vivien Burr dalam An Introduction to Social Constructionism (1995), selama periode 1980-1995 muncul sejumlah pendekatan alternatif untuk mempelajari manusia sebagai makhluk sosial. Ada yang menyebut pendekatan ini dengan istilah ‘psikologi kritis’, ‘analisis wacana’, ‘dekonstruksi’ dan ‘pasca-strukturalisme.’ Kesamaan dari sejumlah pendekatan dengan label yang bervariasi ini adalah payung teoritis bernama konstruksionisme sosial (KonSos).

Secara sederhana, KonSos dipahami sebagai “sebuah orientasi teoritis yang mewadahi semua pendekatan baru untuk mempelajari manusia sbg makhluk sosial, yang menawarkan alternatif radikal juga kritis dalam bidang psikologi dan psikologi sosial, sebagaimana dalam bidang2 ilmu lainnya di bawah payung besar ilmu2 Sosial-Humaniora.” (a theoretical orientation which to a greater or lesser degree underpins all of these newer approaches, which are currently offering radical and critical alternatives in psychology and social psychology, as well as in other disciplines in the social sciences and humanities).

Hibberd (2005) menggarisbawahi pengertian Burr tentang KonSos ini. Menurutnya, “KonSos memberikan tekanan pada karakter historisitas, kontekstualitas, dan sosio-linguistik dari semua hal yang melibatkan kegiatan manusia…dengan mengambil posisi bahwa semua fakta psiko-sosial itu dikonstruksi, artinya, dibentuk oleh tindakan2 manusia, misalnya: lewat sejumlah kegiatan sosio-linguistik seperti negosiasi dan retorika. Proses-proses sosial ini dipercaya memproduksi fakta dari sains sosial, dan, pada gilirannya, kesemua fakta ini dianggap fakta dari proses2 sosial dan lingkungan sosial.”

Burr menggunakan istilah ‘social constructionism’ alih-alih ‘constructivism’ dalam bukunya karena ia mengikuti rekomendasi Gergen (1985): konstruktivisme cukup sering merujuk ke teori perseptual dari Jean Piaget [Tokoh besar Ilmu Psikologi yang mengusulkan Teori Perkembangan Kognitif]. Hal ini dapat membingungkan jika tidak dibuat & digunakan istilah yang berbeda. Burr juga lebih menerapkan pendekatan KonSos ini untuk bidang ilmu Psikologi Sosial, meskipun diakuinya bahwa KonSos itu pendekatan yang multidisipliner, yang perkembangannya dipengaruhi kajian filsafat, sosiologi, dan linguistik. Burr mendefinisikan pendekatan KonSos dengan menggunakan model ‘kemiripan sebagai satu keluarga’ (family resemblance), dikarenakan tidak ada satu pun fitur yang sama dan ajeg untuk mengidentifikasi posisi KonSos.

Burr menjabarkan lima tipologi kemiripan keluarga dari pendekatan KonSos (mengikuti Gergen, 1985):
1. A critical stance towards taken-for-granted knowledge, termasuk positivisme dan empirisme dari sains tradisional, yang bertumpu pada asumsi bahwa kodrat dunia itu dapat diketahui dengan pengamatan; yang ada/nyata itu hasil dari persepsi kita. Contoh: apa yang membedakan musik pop dengan musik klasik? Dangdut dengan metal? Gender: lelaki dan perempuan? dst
2. Historical and cultural specificity, artinya, pengetahuan dan pembedaan kita tentang musik klasik dan pop, gender lelaki dan perempuan, dst tadi, tergantung pada waktu dan tempat, kapan dan di bagian mana dari dunia ini kita hidup dan bermukim. Contoh: gagasan tentang kanak-kanak (childhood) benar-benar sudah mengalami pergeseran dalam beberapa abad terakhir ini.
3. Knowledge is sustained by social processes: pengetahuan dan kebenaran merupakan hasil konstruksi banyak orang dalam interaksi sosial sehari-hari di antara mereka
4. Knowledge and social action go together: dengan keragaman pemahaman yang diusung pendekatan ini, maka ada numerous possible ‘social constructions’ of the world. Setiap konstruksi pengetahuan yang berbeda akan membawa atau menyertakan gugus tindakan atau perilaku yang berbeda pula. Contoh: ALKOHOLISME dulu dilihat sebagai kejahatan maka pelakunya perlu dihukum (dipenjara). Tapi, seiring perubahan waktu dan pemahaman orang, Alkoholisme sekarang lebih dilihat sebagai gejala kecanduan, suatu simtom penyakit, maka pelakunya (yang lalu dilihat sebagai korban) perlu diobati atau direhabilitasi.
5. Ringkasnya, dibandingkan pendekatan psikologi tradisional, KonSos menawarkan lima gugus semangat berikut ini: a) Anti-esensialisme, b) Anti-realisme, c) Pengetahuan itu tumbuh dan meletak secara spesifik dalam ruang waktu dan tradisi budaya yang berbeda, d) Memberi perhatian besar pada bahasa (sebagai pra-kondisi dari berpikir dan juga sebuah bentuk tindakan sosial), dan e) Elaborasi konseptual yang berfokus pada proses interaksi, apa yang orang lakukan bersama-sama, juga pada praktik sosial yang ada. Penjelasan atas pola perilaku tidak ditemukan dalam jiwa si individu atau dalam struktur2 sosial, tapi lebih pada proses interaktif antar orang yang berlangsung secara rutin.

Dilihat secara Epistemologis, akar dari pendekatan KonSos terletak dalam bingkai besar Epistemologi Pascamodern karena KonSos tertarik menggali kisah2 pribadi meskipun tetap menyadari bahwa kisah2 dominan dalam masyarakat yang lebih luas dapat jadi mendominasi pengalaman2 individu tsb. Selain itu, KonSos berbagi kepercayaan dengan pendekatan konstruktivis bahwa ada lebih dari satu realitas atau lebih dari satu penjelasan tentang realitas yang eksis. Meski demikian, KonSos berpegangan pada premis pascamodern bahwa semua penjelasan tentang realitas itu tidak sama nilainya (validitasnya) (Lih. Bab 3, Epistemologi dari Konstruksionisme Sosial, h. 71 dst).

Ada sejumlah tokoh yang dirujuk Burr sebagai pionir dalam pengembangan pendekatan KonSos. Di antaranya Gergen dan Gergen (1984, 1986), Sarbin (1986) dan Shotter (1993a, 1993b). Gergen dan Sarbin menaruh perhatian khusus pada bagaimana orang berupaya menjelaskan diri mereka sebagai hasil konstruksi ‘cerita atau kisah’, sementara Shotter lebih berfokus pada proses konstruksi antar-pribadi yang dinamis yang disebutnya dengan istilah ‘joint action’ (Shotter, 1993a, 1993b).

ISU2 YANG DIGULATI PARA PENGGIAT KONSOS (Burr, 1995, h. 10-11)
Pada bab 1, Burr menanggapi penolakan terhadap esensialisme dan pertanyaan awam tentang cara-cara memahami manusia dengan menggunakan sarana (menjawab) yaitu ide ‘kepribadian’. Mempertanyakan cara2 psikologi tradisional memahami manusia berarti membuka ruang untuk penjelasan alternatif, yaitu KonSos. Jika esensialisme ditolak, lantas bagaimana kita dapat menjelaskan perilaku dan pengalaman manusia? Para penggiat KonSos mengalihkan perhatiannya pada isu bahasa. Ini pembahasan Burr pada bab 2, bahwa bahasa berperan penting dalam (mengatur) cara kita berpikir dan melihat diri sendiri sebagai ‘pribadi.’ Burr lalu melanjutkan telusur soal bahasa ini pada bab 3 ketika ia membahas gagasan tentang ‘wacana’ (bentuk jamak) dan perannya dalam mengkonstruksi kehidupan sosial. Wacana yg berbeda mengkonstruksi fenomena sosial yang berbeda pula dan membuka ruang kemungkinan yang beragam untuk tindakan manusia. Pertanyaan kritisnya lalu: mengapa sejumlah wacana (sebagai ‘cara merepresentasikan dunia’) tampaknya mendapatkan label ‘kebenaran’ atau ‘masuk akal’? Pertanyaan ini mengangkat isu soal relasi kekuasaan, karena sejumlah cara merepresentasikan dunia tampaknya memiliki dampak yang represif atau membatasi sejumlah kelompok dalam masyarakat. Jadi, pada bab 4 dibahas hubungan antara wacana dan kekuasaan serta masalah2 yang muncul dari hubungan ini bagi KonSos.

Persoalannya, jika KonSos melupakan ide ‘kebenaran’ & realitas yang dapat secara langsung ‘ditangkap’ manusia, bagaimana membenarkan pernyataan bahwa sejumlah orang dalam suatu masyarakat itu ‘benar2’ ditindas? Tidakkah ‘penindasan’ sebuah wacana saja, suatu cara lain melihat dunia? Rongak antara realitas dan pemahaman orang biasa sehari2 dan tempat/letak mereka di dalamnya seringkali dibincang dalam istilah ‘ideologi.’ Gagasan tentang ‘status realitas dan peranan yg mungkin dari konsep ideologi dalam KonSos’ merupakan pokok bahasan bab 5. Tidak sedikit orang percaya bahwa tujuan akhir dari sains sosial adalah, atau seharusnya, mendorong perubahan sosial. Dalam kerangka pikir KonSos, kemungkinan2 perubahan sosial seperti apa? Dapatkah seorang individu membuat perubahan (dalam masyarakat) atau si individu tersebut harus terlebih dulu mengubah struktur masyarakat? Sebuah model menjawab pertanyaan ini tergantung pada bagaimana Anda mengkonsepkan hubungan antara individu dengan masyarakat, yang merupakan gagasan sentral bab 6. Juga dibhas gagasan ‘individu’ seperti apa yang masih tersisa? Apakah individu masih memiliki ‘agensi’? Pertanyaan2 ini dimasuki KonSos karena pandangan psikologi tradisional tidak lagi memadai untuk menjelaskan konsep kedirian atau ‘subjektivitas’. Pada bab 7, 8 dan 9, Burr melihat tiga konsep diri (pribadi) yang berbeda2 dalam pendekatan KonSos. Akhirnya, para peneliti sains sosial harus bertanya seperti apa mempraktikkan sains sosial dalam kerangka KonSos? Pada bab 10, Burr melihat bahwa teori memberikan input (atau should inform) praktik riset dan juga memberikan contoh2 jenis riset yang sudah pernah dipraktekkan dalam kerangka KonSos (misalnya, analisis wacana), juga panduan praktis bagaimana melakukan Analisis Wacana.

Contoh Riset Aplikatif yang menggunakan Pendekatan KonSos: Isu Seksualitas
Klostermann dan Forstadt (2016) menggunakan pendekatan KonSos untuk mengeksplorasi konstruksi sosial dari isu seksualitas. Telaahnya dimulai dari Abad Pertengahan yang memandang ekspresi seksualitas melulu dari kacamata agama (Katolik Roma & Protestan) sehingga muncullah label ‘hasrat seksual’ sebagai “dosa kedagingan.” Pada Abad ke-20, terjadi pergeseran cara pandang (KonSos) terhadap isu seksualitas, dari yang tadinya didominasi agama & moralitas menjadi deskripsi seksualitas yang lebih empiris-ilmiah. Seksualitas misalnya dipahami sebagai “kekuatan alamiah yang berseberangan dengan peradaban, budaya, atau masyarakat.” Selama 1960-an, paradigma ilmiah yang berlaku belum berhasil secara penuh mendeskripsikan aspek2 seksualitas sehingga hal ini justru memicu sejumlah pakar riset sosial dan para aktivis gay dan lesbian untuk mengoreksi arah paradigma seksual. Hasilnya, selama 1970-an dan 1980-an, muncul dan berkembang perspektif tentang seksualitas sebagai konstruksi sosial, budaya dan historis (Plummer 1984; Parker 2009). Secara khusus, seorang ahli isu seksualitas mengatakan bahwa seksualitas itu dipahami “bukan sebagai hasil dari perilaku manusia yang irreversible, namun produk dari kelindan proses sosial, budaya dan historis.” (Parker 2009). Perspektif baru tentang seksualitas semacam ini berfokus pada pengalaman antarpribadi yang mendefinisikan makna seksual dan pengintegrasian dari makna ini pada keseluruhan kolektif masyarakat. Salah satu akibatnya adalah bahwa “memahami perilaku individu tidak lebih penting daripada memahami konteks interaksi seksual manusia” (Parker 2009). Lebih jauh lagi, Parker menunjukkan dua hal penting berikut ini: “Pertama, kategori2 seksualitas seperti homoseksualitas, prostitusi, maskulinitas, dan femininitas bisa jadi bervariasi dalam sejumlah setting sosial dan budaya yang berbeda-beda dan tidak semuanya masuk (cocok) dalam kategori yang didesain alam berpikir dan praktik Sains Barat, dan kedua, pengertian tentang lelaki, perempuan maskulin atau feminin, dalam konteks sosio-budaya yang berbeda bisa jadi amat bervariasi dan identitas gender tidak bisa direduksi begitu saja pada dikotomi biologis yang (selama ini kerap dianggap) mendasarinya” (Parker, 2009).

Pertanyaan pendalaman sekaligus aplikasi pendekatan KonSos untuk peristiwa aktual, relevan, dan sehari2:
Berilah contoh penggunaan pendekatan KonSos dalam riset Ilmu Komunikasi untuk ‘melihat’ (menganalisis) kasus global Wabah Penyakit Covid-19 pada tahun 2020 ini!

Bibliography
Burr, V. (1995). An Introduction to Social Constructionism. London dan New York: Routledge.

Hibberd, F. J. (2005). Unfolding Social Constructionism. Springer.

Klostermann, K. dan Forstadt, D. (2016). Dalam Naples, N. A., Editor. The Wiley Blackwell Encyclopedia of Gender and Sexuality Studies, Edisi Pertama. John Wiley & Sons, Ltd. DOI: 10.1002/9781118663219.wbegss567

Parker, R. G. (2009). Sexuality, Culture and Society: Shifting Paradigms in Sexuality Research. Culture, Health & Sexuality, Vol. 11(3), pp. 251–266. DOI: 10.1080/13691050701606941

Categories
Uncategorized

Fenomenologi Jemur Pagi #lawanCovid-19

Selamat pagi sidang pembaca.

Kemarin pagi, sambil berjemur saya merenung dan mengingat kembali gelontoran informasi tentang Pandemic Covid-19 yang semakin menghebohkan hari-hari ini.

Dalam perenungan tersebut, saya dibimbing pada kesadaran bahwasanya inti dari nilai kemanusiaan adalah home bagi majunya peradaban.

Ketika home sebagai jangkar peradaban digulung oleh logika kerja dan ekonomi, pertarungan dan kompetisi, terjadilah reduksi makna kemanusiaan itu sendiri pada instrumentalisasi: alat dan nilai guna, cost and benefit analysis, yang kemudian memotong bagian lain yang seharusnya ada dan dijaga dalam home, yaitu trust & intimacy.

Sayangnya, dua nilai ini cukup sering dianggap sebagai redundant factors dalam logika kerja dan ekonomi.

Meskipun di luar sana sedang digalakkan social distancing, dan saya pribadi mendukung himbauan pemerintah dan para ahli kesehatan untuk melakukan ini guna mengurangi potensi penularan virus Covid-19 pada orang lain, tapi saya menemukan (mengalami) proses personal intensifying dalam home dengan keluarga.

Beberapa hari terakhir ini, semenjak dianjurkan WFH/SFH, saya menikmati bermain bersama anak dan istri. Saya mengalami kembali arti homo ludens, yang meneguhkan pentingnya nilai-nilai kebebasan, kepercayaan, dan keintiman untuk maju dan tumbuh bersama dalam tindak kerjasama (cooperation bukan cooptation atau competition) guna mewujudkan cita-cita dan keluhuran martabat manusia.

Sidang pembaca, percayalah bahwa kita dapat keluar dari musibah ini bersama-sama lewat disiplin social distancing sekaligus personal intensifying yang terukur karena kita tidak mau mencederai hak atas “kebebasan, kepercayaan, dan keintiman” diri sendiri dan orang lain yang justru akan terkorosi ketika (sebagian dari) kita abai dan acuh pada protokol kesehatan yang sudah disampaikan pemerintah dan para ahli kesehatan global untuk melawan Pandemic Covid-19 ini.

Semoga!

Categories
Uncategorized

Menyibak Operasi Kuasa/Pengetahuan bersama Michel Foucault

Tulisan ini merupakan saduran dan penafsiran kembali tulisan dari Downing, L. (2008). The Cambridge Introduction to Michel Foucault. Cambridge University Press, h. vii-x; kemudian didialogkan dengan tulisan Romo Haryatmoko tentang Foucault dan dilengkapi penjelasan tentang Foucault dalam kuliah daring “Seminar Media dan Pascamodernisme,” sesi ketujuh, Kamis, 19 Maret 2020

Refleksi dibuat oleh Hendar Putranto

1) Inti argumen Foucault tentang pengetahuan: Semua bentuk pengetahuan itu sifatnya relatif dan kontingen secara historis dan tidak dapat dipisahkan dari kerja-kerja (pengaturan) kekuasaan.

2) Dengan gugus karyanya, Foucault menggoyang kemapanan berpikir dan klaim-klaim pengetahuan (Epistemologi) Dunia Barat. Secara efektif, Foucault menelanjangi fungsi-fungsi relasi kekuasaan yang tersembunyi di balik beragam klaim pengetahuan dan body of knowledge.

3) Metode ‘demistifikasi’ yang dipakai Foucault dalam karya-karyanya ini menyibak suatu cara melihat dan memahami yang berbeda tentang bahasa, struktur sosial dan lembaga medis/kedokteran, disiplin keilmuan yang terlembaga dalam universitas-universitas, juga tindakan-tindakan seksual dan identitas.

4) Yang dilakukan Foucault—yang juga dikenal sebagai ahli sejarah yang handal—dengan ‘menggoyang kemapanan berpikir Dunia Barat” ini bukan hanya sekadar menawarkan teori alternatif tentang pokok-pokok di atas (nomor 3), namun lebih dari itu. Foucault mengajak pembacanya untuk menyadari medan magnet kekuasaan dan pengaruh yang membuat masing-masing domain kekuasaan ini eksis dan menghasilkan gugus makna yang khas, yang menjadi ciri penanda mereka masing-masing, dalam konteks sejarah dan budaya yang berbeda-beda.

5) Cara memahami pengetahuan & kekuasaan yang ditawarkan Foucault ini sedemikian berbeda (dibanding para pemikir sebelumnya) sehingga sidang pembaca yang tidak akrab dengan [secara umum] pemikiran pasca-strukturalis kontinental, apalagi dengan [secara khusus] konteks muncul dan lahirnya pemikiran Foucault, akan bersusah-payah memahami metode arkeologi dan genealogi-nya yang rigor.

dst (1011 kata), you may ask me the complete version of this reflection by sending me request via email

Categories
Uncategorized

Belajar Phenomenology dari Max van Manen dan Clark Moustakas [02]

Seorang teman mahasiswa, sebut saja inisialnya FA, bertanya pertanyaan umum demikian: “Dalam hal apa saja fenomenologi dapat diterapkan?”

Jawab:

Pendekatan Fenomenologi untuk riset ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan (Ilmu Komunikasi termasuk di dalamnya) dapat diterapkan untuk cukup banyak bidang, sub-bidang dan kasus konkret. Misalnya, pendekatan Fenomenologi dalam bidang Pendidikan dapat digunakan untuk riset seputar keilmuan/praktik pedagogi, untuk pengembangan kompetensi belajar siswa ‘normal’ atau difabel (lih. Thurston, M. (2014). “They Think They Know What’s Best for Me”: An Interpretative Phenomenological Analysis of the Experience of Inclusion and Support in High School for Vision-impaired Students with Albinism. International Journal of Disability, Development and Education, Vol. 61(2), h. 108-118. DOI:10.1080/1034912X.2014.905054), bisa juga untuk pengembangan kurikulum pembelajaran yang berbasis pengalaman konkret [Sloan, A. & Bowe, B. (2014). Phenomenology and hermeneutic phenomenology: the philosophy, the methodologies, and using hermeneutic phenomenology to investigate lecturers’ experiences of curriculum design. Quality & Quantity, Vol. 48(3), h. 1291–1303. DOI:10.1007/s11135-013-9835-3; lih. juga Garcia, J. A. & Lewis, T. E. (2014). Getting a Grip on the Classroom: From Psychological to Phenomenological Curriculum Development in Teacher Education Programs. Curriculum Inquiry, Vol. 44(2), h. 141-168. DOI: 10.1111/curi.12042] atau kebutuhan khusus para siswa/peserta didik [Connolly, M. (2008). The Remarkable Logic of Autism: Developing and Describing an Embedded Curriculum Based in Semiotic Phenomenology. Sport, Ethics and Philosophy, Vol. 2(2), h. 234-256. DOI: 10.1080/17511320802223824; lih. juga Leach, D. P.(2015). A Phenomenological Study of the Experiences of Parents of a Child or Children Diagnosed with Deafness. (Doctoral dissertation submitted to College of Education, University of South Carolina, USA). Retrieved from https://scholarcommons.sc.edu/etd/3264].

Dalam konteks yang lebih informal, pendekatan fenomenologi dapat dijadikan materi pembahasan saat parenting workshop, dan masih banyak lagi bidang-bidang terkait langsung maupun tidak langsung dengan bidang pendidikan (formal, informal, non-formal) lainnya.

Sementara, pendekatan Fenomenologi dalam bidang psikologi dapat diterapkan pada bidang psikologi terapan, psikoterapi, keperluan HRD (Human Resource Development), atau untuk mengetahui lebih jauh kedalaman dimensi pengalaman manusia dengan aspek ketubuhannya (embodied experience), misalnya tentang rasa sedih karena kehilangan (grief) atau kecemasan (angst/anxiety) warga di tengah situasi Pandemik, juga dalam hal pencegahan kasus bunuh diri [Jacobs, J. (1967). A Phenomenological Study of Suicide Notes. Social Problems, Vol. 15(1), h. 60-72. DOI:10.2307/798870; lih. juga Gajwani, R., Larkin, M., Jackson, C. (2017). “What is the point of life?”: An interpretative phenomenological analysis of suicide in young men with first-episode psychosis. Early Intervention in Psychiatry, 2017/4, DOI: 0.1111/eip.12425], atau membantu dalam terapi untuk pecandu drugs [Shinebourne, P. & Smith, J. A. (2011). Images of addiction and recovery: An interpretative phenomenological analysis of the experience of addiction and recovery as expressed in visual images. Drugs Education, Prevention, and Policy, Vol. 18(5), h. 313-322; lih. Juga Moskalewicz, M. (2016). Lived Time Disturbances of Drug Addiction Therapy Newcomers. A Qualitative, Field Phenomenology Case Study at Monar-Markot Center in Poland. International Journal of Mental Health and Addiction, Vol. 14(6), h. 1023-1038.], dalam kasus-kasus kejahatan yang diperiksa/dianalisis dengan bantuan ilmu Kriminologi.

Teman mahasiswa yg lain lagi, inisialnya AS bertanya: “Adakah pengetahuan timbul dalam diri manusia ketika manusia tidak mengalami fenomena?”

Jawab:

Fenomena berasal dari bahasa Yunani: φαινόμενον, phainómenon, artinya (sederhananya): gejala atau hal yang tampak oleh indera manusia (bahasa Inggrisnya: observable fact or event). Pada dasarnya, hubungan antara Fenomena dengan Pengetahuan merupakan problem yang menarik sejak munculnya Epistemologi Modern yang “dirintis” filsuf René Descartes (1596-1650) dengan Cogito-nya. Kemudian oleh Immanuel Kant gagasan filosofis tentang fenomena (dan noumena) ini diangkat ke tataran pemikiran yang baru, lewat karyanya Die Kritik der reinen Vernunft (terbit 1781).

Kemudian, setelah filsuf Edmund Husserl menuliskan karyanya berjudul Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie. Erstes Buch: Allgemeine Einführung in die reine Phänomenologie (Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology) (terbit 1913) dan salah satu muridnya, Martin Heidegger, dengan karyanya Sein und Zeit (terbit 1927), fenomenologi sebagai gagasan kunci filosofis post-Hegel naik ke permukaan dan menjadi diskursus serius lintas keilmuan selama lebih dari seratus tahun terakhir ini.

Sejauh manusia mendapatkan pengetahuan lewat indera fisiknya (physical senses), maka sejauh itu juga fenomena adalah bahan dasar pengetahuan manusia [pengetahuan dalam arti empirisme, bukan rasionalisme: pandangan yang mengandaikan adanya pengetahuan apriori, innate ideas, yang terlepas dari penginderaan]. Jadi, manusia tidak pernah terlepas dari fenomena atau hal yang menampakkan diri padanya sejauh ia memiliki indera fisik (penglihatan, pendengaran, dst.) dan indera-indera fisik tersebut berfungsi normal.

Categories
Uncategorized

Belajar Phenomenology dari Max van Manen dan Clark Moustakas [01]

Fenomenologi dalam bidang Pedagogi dan Psikologi

[Mekanisme Pembelajaran Jarak Jauh alias online class yah ini gegara Pandemic Covid-19]

Setelah menyimak paparan presentasi di atas, seorang teman kuliah bertanya, sebut saja inisialnya NT, sebagai berikut: “Dalam paparan tertulis keterbatasan studi pendekatan fenomenologi versi van Manen dengan Moustakas salah satunya adalah belum terlihat mengakomodasi bahasa non-text seperti sign-language dan body-language dalam tahap analisis data dan refleksi fenomenologis. Ini maksudnya bagaimana ya? Apakah jika kita menggunakan pendekatan salah satu dari mereka saat melakukan penelitian fenomenologi, kita tidak perlu menganalisa bahasa non-text nya?”

Jawab:
Sejauh terpantau dalam buku van Manen (1990) dan Moustakas (1994), analisis data dalam pendekatan Fenomenologis bertumpu pada hasil transkrip wawancara mendalam dengan partisipan atau co-researcher(s). Dari transkrip itulah, yang didominasi oleh bahasa verbal (verbalized language), peneliti pengguna pendekatan fenomenologi membuat refleksi pedagogis (van Manen) atau deskripsi tekstural dan struktural (Moustakas).

Berikut contohnya:
The experience of “really feeling understood” is a perceptual-emotional Gestalt: A subject, perceiving that a person co-experiences what things mean to the subject and accepts him, feels, initially, relief from experiential loneliness, and, gradually, safe experiential communion with that person and with that which the subject perceives this person to represent, (Van Kaam, 1966, h. 325–326 dalam Moustakas, 1994, h. 12)

Tidak tampak dalam tutur refleksi atas data fenomenologis yang dilakukan Van Kaam di atas disebutkan secara eksplisit bahasa tubuh atau sign-language yang muncul dari partisipan penelitiannya.

Pada van Manen, memang disarankan langkah-langkah verbal untuk mendeskripsikan lived experience (van Manen, 1990, h. 64-65), sebagai berikut:

(1) You need to describe the experience as you live(d) through it. Avoid as much as possible causal explanations, generalizations, or abstract interpretations. For example, it does not help to state what caused your illness, why you like swimming so much, or why you feel that children tend to like to play outdoors more than indoors.
(2) Describe the experience from the inside, as it were; almost like a state of mind: the feelings, the mood, the emotions, etc.
(3) Focus on a particular example or incident of the object of experience: describe specific events, an adventure, a happening, a particular experience.
(4) Try to focus on an example of the experience which stands out for its vividness, or as it was the first time.
(5) Attend to how the body feels, how things smell( ed), how they sound( ed), etc.
(6) Avoid trying to beautify your account with fancy phrases or flowery terminology.

Van Manen bahkan menambahkan/menandaskan bahwasanya the primacy of (descriptive) writing di atas non-textual atau body-language/sign-language dengan mengatakan bahwa “It is important to realize that it is not of great concern whether a certain experience actually happened in exactly that way. We are less concerned with the factual accuracy of an account than with the plausibility of an account-whether it is true to our living sense of it. Once we know what a lived-experience description looks like, we can go about obtaining such descriptions of individuals who have the experiences that we wish to study. To gain access to other people’s experiences, we request them to write about a personal experience. We ask: Please write a direct account of a personal experience as you lived through it. [cetak miring dari van Manen sendiri]

Akan tetapi, penelitian terbaru (tesis di Universitas Lancashire, UK) tentang “A PHENOMENOLOGICAL STUDY INTO BRITISH SIGN LANGUAGE USERS’ EXPERIENCES OF PSYCHOLOGICAL THERAPIES: yang menginvestigasi hubungan para pengguna BSL dengan terapis mereka dengan cara mengeksplorasi pengalaman mereka therapy alliance dalam sesi Deaf/Deaf therapy dan Hearing/Deaf/Interpreter therapy.” (Hulme, 2016) [lihat: BRITISH SIGN LANGUAGE USERS’ EXPERIENCES OF PSYCHO-THERAPY] menemukan hasil temuan yang menarik yaitu bahwa para pengguna BSL mengalami sejumlah problem yaitu ‘problem terjemahan dan mereka melihat pihak penerjemah kurang memiliki kompetensi budaya yang cukup akan bahasa tanda yang mereka gunakan sehingga para penerjemah tersebut tidak menangkap esensi penyingkapan makna diri mereka.”

Dengan demikian, melampaui hal yang mungkin belum disampaikan secara eksplisit oleh van Manen (1990) dan Moustakas (1994), sangat dimungkinkan menggunakan pendekatan Fenomenologi dalam penelitian tentang sign-language atau body language karena 1) sejauh memang ada pengalaman yang dihayati (lived experience) tentang defisiensi inderawi, dan ini memang banyak kita temukan dalam ruang kehidupan kita, dan 2) sejauh ada literatur pembanding yang memadai sebagai bahan komparasi (dan sudah cukup banyak buku yang ditulis yang membahas tentang sign-language atau body-language). Bukankah komunikasi verbal dan non-verbal (anekdotnya) lebih menyingkapkan intensi si penutur lebih besar pada bahasa yang non-verbal (30%:70%)? Pada titik ini, ada harapan bahwa para ahli Fenomenologi yang menekuni bidang Ilmu Komunikasi dapat masuk mengisi kekosongan celah penelitian 🙂

Selamat belajar Fenomenologi!

Tabik!

Categories
Uncategorized

Fenomenologi Kepanikan (01)

Ketika hampir semua sekolah dan Perguruan Tinggi di beberapa daerah terdampak Covid-19 diliburkan dan kemudian diganti dengan cara belajar “non-tatap muka”, semua hidup dan mengada para pembelajar dan pendidik ‘diarahkan’ pada orientasi futuristik yang sudah diantisipasi sejak beberapa tahun yang lalu yaitu distant learning.

Semoga model distant learning ini memang darurat dan situasional saja, tidak menjadi state of permanency karena bagaimanapun juga efektivitas pembentukan nilai dan karakter para peserta didik masih perlu diupayakan dan diperjuangkan dalam kerangka perjumpaan yang menubuh, juga lewat beragam cara pendisiplinan tubuh dengan segala pertimbangan dan konsekuensinya?

Categories
Uncategorized

Menanti Phaenomenon

menunggu KRL merupakan penantian yg berujung, sebentar lagi dia tiba sesuai jadwal ketibaannya. Kadangkala ada penantian yg tak berujung, yaitu ketika harapan mulai hilang bahwa besok masih ada kebaikan tiba dan hadir di dunia, di antaranya lewat diri kita, Anda dan saya. Inilah penantian sebagai lived experience, siapapun manusianya dan di manapun dia berada mengalami penantian 🙂