Categories
Uncategorized

TikTok, Algoritma Media Sosial dan Candu Baru bagi Gen Z

Pada 22 Agustus yang lalu, pas sedang mengikuti PAWR (baca postingan saya sebelum2nya), saya mendapat kiriman link video dari seorang rekan seangkatan studi di UI, lewat WA (japri).

Berikut link videonya: https://youtu.be/A6ix5OFAvpE dan kenampakan skrinsyut-nya

Video tersebut, yang pertama kali di-posting pada 19 Agustus 2022, telah viral dan menjadi perbincangan di antara emak-emak yang punya anak sedang bersekolah di jenjang SD, SMP dan SMA (per 2022) karena “menakutkan prediksinya dan, jika benar terjadi seperti yang diprediksi, menyeramkan dampaknya buat anak-anak kita.”

Dalam video berdurasi 22 menit 37 detik yang sudah disaksikan lebih dari 700 ribu pemirsa (views), per 9 Oktober 2022, Dr. Indrawan Nugroho mendaku bahwa “TikTok sedang membangun senjata pemusnah massal yang akan meluluhlantakkan para pemain di berbagai industri. TikTok akan merevolusi konstelasi persaingan bisnis di masa depan.” Benarkah klaimnya ini?

Terlepas dari pro kontra truth-value konten yang disampaikan dan kesahihan metodologisnya sehingga pak Indrawan dapat menarik kesimpulan yang bernada seperti memprediksi masa depan (FYI: halo, siapa sih yang hari begini gak tergoda utk memprediksi masa depan?), saya memiliki beberapa catatan kritis maupun afirmatif terhadap video tersebut.

Pertama, saya tidak serta-merta percaya begitu saja apa yang disampaikan pak Indrawan “hanya dengan menonton video tersebut” kemudian menarik kesimpulan serba tergesa yang entah mengiyakan buta maupun menolak mentah-mentah tesisnya. Saya sudah terbiasa dan terlatih untuk melakukan triangulasi pandangan dengan mencari, membaca & meneliti sumber-sumber lain yang membahas topik yang sejenis, khususnya pandangan para pakar [dalam hal ini saya berseberangan dengan tesisnya Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why It Matters (Oxford University Press, 2017)]. Saya membandingkan klaim utama dalam video tersebut dengan pernyataan seorang ahli psikologi bernama Dr. Julie M. Albright, seorang Profesor di Universitas Southern California (USA) dan penulis buku Left to Their Own Devices: How Digital Natives Are Reshaping the American Dream (2019).

Menurutnya, “Dalam istilah psikologi, keberadaan platform media sosial [seperti Tiktok ini] disebut sebagai random reinforcement. Artinya, terkadang kita menang, kadang kalah. Seperti itulah platform2 media sosial ini didesain…mereka persis seperti mesin judi (slot machine). Yang kita tahu dari mesin judi adalah sifat adiktifnya. Kita juga tahu bahwa ada yang namanya kecanduan berjudi, kan? Tapi jarang kita mendiskusikan tentang bagaimana piranti teknologi yang kita genggam dan berbagai platform/apps yang kita install di dalamnya memiliki kualitas adiktif yang sama seperti mesin judi tadi.” [dikutip berdasarkan wawancara yang dilakukan kontributor senior, John Koetsier, dengan Dr. Julie M. Albright yang dimuat di majalah bisnis terkemuka, FORBES, pada 18 Jan. 2020 lalu. Judul artikelnya lumayan provokatif! Digital Crack Cocaine: The Science Behind TikTok’s Success. Link beritanya di sini: https://www.forbes.com/sites/johnkoetsier/2020/01/18/digital-crack-cocaine-the-science-behind-tiktoks-success/?sh=76f4768578be]

Kedua, saya mengobservasi dan kemudian berasumsi bahwa orang-orang muda yang dibesarkan dengan Internet, telepon pintar, dan media sosial dengan cepat mengubah kebiasaan, nilai, perilaku, dan norma lama menjadi kenangan yang jauh—menciptakan kesenjangan generasi terbesar dalam sejarah. Dalam buku Left to Their Own Devices ini, Albright dengan jeli melihat sejumlah cara yang di dalamnya orang-orang muda, yang difasilitasi oleh teknologi, “tidak terikat” dari aspirasi dan cita-cita tradisional, dan lalu bertanya: Apa efek dari terputusnya hubungan dari gugus tradisional yang sifatnya menstabilkan struktur sosial seperti gereja, pernikahan, partai politik, dan pekerjaan jangka panjang? Apa artinya menjadi manusia ketika ikatan seseorang dengan orang, tempat, pekerjaan, dan institusi sosial melemah atau rusak, tergeser oleh hiperkonektivitas digital? Bagaimana seyogianya gagasan tentang menjadi manusia yang terhubung secara digital (lewat media sosial, misalnya) sekaligus terhubung secara tradisional (lewat perjumpaan dan interaksi tatap muka, misalnya)? Apa plus minus-nya?

Ketiga, saya mengapresiasi pandangan yang disampaikan Prof. Albright dan juga video yang di-posting pak Indrawan tadi guna memahami fenomena saturasi media sosial dalam hidup sehari-hari, khususnya betapa media sosial itu begitu besar dampaknya untuk mengubah bukan hanya cara pandang, tapi juga cara mengada Gen. Z (dan generasi berikutnya), seperti yang cukup sering digosipin oleh sebagian besar emak-emak penjemput anak di sekolah dan yang acapkali memunculkan rasa khawatir yang akut dalam diri kaum cerdik-cendekia dan para penjaga moral masyarakat bahwa, jika tidak diintervensi secara tegas dan proper, anak2 kita akan “rusak kepribadiannya” karena bentukan apps seperti TikTok dan cara MENGADA, termasuk di dalamnya cara berbahasa dan berinteraksi dengan orang lain, yang selalu terhubung secara digital (always on).

Cf: Dua buku berikut ini, (1) Always On: Language in an Online and Mobile World (Naomi S. Baron, 2008) dan (2) Always On: Hope and Fear in the Social Smartphone Era (Rory Cellan-Jones, 2021)

to be continued with
The Negative Impact of Social Media on Youth Mental Health: Do we have to really worry about this?
in my next post.

Categories
Uncategorized

Post-Covid Friendship: More Loneliness or More Interconnectedness?

For the last few days, I’ve been thinking about the meaning of friendship, before, during, and after the Covid-19 era. Some insights come from the television series I’ve been watching on Netflix (Never Have I Ever and Fate: The Winx Saga), some come from books (one of them I will post below), and mostly from my own experience and what some people tell me about their own experiences on friendship.

My first big assumption is that people will get lonely when they are isolated (forced isolation for sure due to virus contraction, fear of being infected, and because of the government’s restriction on mobility) and kept their face-to-face interaction at a very minimum level.

But here, after reading this book, Friendship in The Age of Loneliness: An Optimist’s Guide to Connection, authored by Adam Smiley Poswolsky, and Published by Running Press [an imprint of Perseus Books, LLC, a subsidiary of Hachette Book Group, Inc.; first edition May 2021]

especially referring to these three quotations:

1) “Being forced into isolation has made it abundantly clear how much we mean to each other, and how much we need each other,” observed Kat Vellos, friendship expert and author of We Should Get Together. “People are reaching out and offering support to each other in ways that would never have just spontaneously happened while everyone was rushing around living their normal lives. What is emerging now are: openness, generosity, slowing down, valuing each other, and valuing life.”

2) The pandemic demonstrated the true power of friendship to sustain us through everything life throws at us. We bore witness to why human interaction is essential to our health and well-being. During quarantine, I often heard people say, “I see more of my friends’ faces now than before quarantine. We really should have these reunions more often when non-Zoom life resumes.”

3) Contrary to expectations that COVID-19 would make us even lonelier, a comprehensive study published in the journal American Psychologist actually found that social distancing protocols and stay-at-home orders did not lead to an increase in loneliness among Americans. Researchers found resilience, not loneliness, in their nationwide research. “Contrary to this fear, we found that overall loneliness did not increase,” said Martina Luchetti, an assistant professor at the Florida State University College of Medicine and lead author of the study. “Instead, people felt more supported by others than before the pandemic. Even while physically isolated, the feeling of increased social support and of being in this together may help limit increases in loneliness.” The legacy of COVID-19 will certainly include an incalculable loss of human life, a strain on public health, widespread economic hardship, and an awakening to the deep structural inequalities in our society. However, I’m hopeful that this time will also serve as a reminder of what matters most: our interconnectedness. That we can’t afford to take our people or our planet for granted. That our existence is not guaranteed. That we won’t survive without looking out for one another.

I come to realize some insightful ideas on friendship as I am living up to today.

My own commentary on the above quotations runs as simple as this:
Now, when we are no longer shrouded in fear of getting Covid and dying instantly, thanks to vaccines and many other shields we got about how to deal with the virus, the “call for WFO” speaks louder than our lame excuse on staying WFH, do we get back to our old habits of “bossing around,” always in a hurry and seemingly out of reach (sok sibuk), toying around with the instrumental reason (friends with benefits and friends incurring loss) when interacting with and treating our friends, and stick to budget and own plan rather than generously sharing our time and optimism with others less fortunate?

My suggestion is this: Let’s keep the Covid-bonding-friendship experience alive!

Categories
Uncategorized

[Sharing Session] Academic Writing and Manuscript Publication in Sinta 2-indexed journal

Background:

1. Pada 19 September 2022, lewat WA japri, saya diundang oleh dosen pengampu Mata Kuliah Seminar Proposal di Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FIKOM-UMN, Dr. Bherta Sri Eko, untuk mengisi salah satu sesi perkuliahan yang beliau ampu dengan topik “penulisan jurnal ilmiah.” Beliau sendiri sudah lama mengenal saya karena kami bersahabat baik dan sering melakukan kolaborasi riset, penulisan artikel jurnal maupun buku ajar.

2. Belum lama, tepatnya pada 23 September 2022, saya menerima surat LoA (Letter of Acceptance) dari Editor jurnal Humaniora, UGM, untuk manuskrip yang sudah lama saya submit ke jurnal tersebut. [see: https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/index] Manuskrip yang saya tulis tersebut berjudul “Criticizing Female Genital Mutilation Practice from Feminist Standpoint Theory: A View from Communication Science Perspective.” LoA ini akhirnya saya terima setelah berproses selama kurleb 1 tahun 3 bulan sejak saya terseleksi (bersama 41 partisipan lainnya) untuk mengikuti workshop penulisan naskah untuk submisi ke Jurnal Humaniora yang diadakan pada 17 Juni 2021 dan yang berujung pada submit draf pertama naskahnya pada 30 Juli 2021 pukul 17.32 WIB.

3. Bagi saya pribadi, inilah pengalaman pertama saya: a) membuat naskah conceptual review (bukan field research & original article), b) naskahnya dinyatakan layak terbit (“Accepted”) oleh Editor jurnal terindeks Sinta 2 dan DOAJ (!), c) mengolah paper UAS MatKul pas dulu Program matrikulasi yang tembus ke jurnal bereputasi nasional & internasional, d) makan waktu selama ini (more than 1 calendar year!) untuk menjalani proses penerbitan sebuah naskah, e) sharing success story tentang penulisan artikel ilmiah dan tahapan publikasinya dalam sebuah sesi perkuliahan untuk mahasiswa level S2.

4) Lessons to learn: don’t underestimate your exam-oriented paper. One day, it might be your life-saver & image-booster; it is hard to reduce the number of words to comply with the word-limitation rule of the journal, but harder still to beat your ego when doing this; don’t get your hopes up too high [to be approved by the reviewers] when offering “theoretical contribution” in your manuscript’s title; I have to maintain my emotional health and sanity amidst waves of revisions by consulting my trusted colleagues on the subject-matter.

All in all, I am proud of the grit I have properly shown during the review process and the bliss I experience when sharing this fabulous story of grit with young master program students. Hope they get inspired and brave themselves to do the research, write their own manuscripts and SUBMIT!

Categories
Uncategorized

Towards New Paradigm in Ethics: Moral Patience & Informational Agency

more on this topic later after finish reading Floridi (2013, 2022), Gunkel (2021) & Coeckelbergh (2022)

Categories
Uncategorized

Dilema Moral Menjadi Admin (banyak) grup WhatsApp

Bertolak dari pengalaman menjadi administrator dari sejumlah grup WhatsApp, baik yang sifatnya Umum dan Inklusif (seperti grup WA Serikat Dosen Indonesia, Ikatan Alumni Driyarkara, Masyarakat Filsafat Indonesia, Karyawan dan Dosen di tempat saya bekerja, Lingkungan, RW di kompleks perumahan saya, dll.) maupun yang khusus terbatas (seperti grup WA Hibah Internal 2022 & Hibah PDUPT 2018-2020, 2020-2022; Grup WA PAWR; Grup WA Angkatan 2019 S3 UI; Grup WA Perkumpulan/Ormas tertentu) dengan jumlah anggota berkisar dari hanya 3 orang saja sampai yg jumlah anggotanya lebih dari 200 orang, berikut refleksi singkat dan abstrak yang pernah saya posting di status WA saya sendiri pada minggu lalu:

Saya mengacu pengertian dilema moral sebagai berikut: Menurut Terrance McConnell (2018) dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy edisi musim Gugur 2018 [https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/moral-dilemmas/] yang dimaksud dengan dilema moral adalah “hal-ihwal kejadian atau peristiwa yang melibatkan adanya konflik di antara sejumlah prasyarat moral” [“Moral dilemmas, at the very least, involve conflicts between moral requirements.”] Fitur krusial dari adanya dilema moral tersebut sebagai berikut: 1) si agen moral diminta/disyaratkan untuk melakukan salah satu dari dua (atau lebih) tindakan; 2) pada dasarnya, si agen moral mampu melakukan masing2 tindakan yang diminta tersebut; 3) tapi si agen moral tidak dapat melakukan kedua-duanya (atau semuanya) sekaligus. Si agen moral ini dengan demikian seperti “dikutuk untuk mengalami gagal moral” (“condemned to moral failure”), tidak peduli apapun yang ia pilih untuk lakukan, ia akan melakukannya secara keliru/salah (atau gagal melakukan hal yang semestinya ia lakukan). Agar suatu peristiwa menjadi dilema moral yang sejati (genuine), maka tidak hanya ia harus berupa tarikan konfliktual, tapi juga bahwa “tidak ada satupun dari opsi konfliktual yang tersedia itu saling menindih” (“neither of the conflicting requirements is overridden”) mengacu ke pandangan Sinnott-Armstrong (1988).

Situasinya seperti ini:
Ketika menjadi “hanya” anggota dari banyak grup WA (ada lebih dari 50 grup WA yg saya ikuti di 3 nomor hape saya), peran dan partisipasi saya untuk posting/sharing info relatif terbatas dan tidak mengikat, apalagi memaksa (misalnya, dengan sanksi kalau tidak posting/sharing), tetapi ketika saya menjadi seorang admin (atau bagian dari Tim Admin Grup WA), maka di situ muncul peran “tambahan dan melekat” saya utk melakukan moderasi postingan.

Biasanya postingan2 yg dianggap “bermasalah” di sejumlah besar grup WA yg saya ikuti adalah:
1) Jualan (unsolicited ads)
2) bermuatan rasis/diskriminatif
3) isinya bersifat menghina/merendahkan orang/kelompok lain, atau bermuatan hoax (unverified information)
4) yg diposting tidak nyambung dgn tujuan eksistensi grup tersebut dibuat (misalnya, di sebuah grup Filsafat, eh ada yg posting secara berkala renungan2 pribadi yg bernada dakwah atau sekedar curhat pribadi yg tidak memuat referensi filosofis yg memadai)

Inilah maksud dari postingan “refleksi singkat dan abstrak” yg saya muat di atas.

Semoga mencerahkan,

tabik!

Hendar

Categories
Uncategorized

Filsafat Kematian dalam Kerangka Berpikir Modernitas

Sebuah Ikhtiar Hermeneutika bersama Zygmunt Bauman
Disampaikan dalam kesempatan sharing Filsafat bersama mahasiswa Semester VII, STT Bethel Indonesia
pada Senin, 12 September 2022, pukul 19.50 – 21.30 WIB, secara daring
atas undangan yang disampaikan oleh dosen pengampu kuliah Filsafat & Teologi, Sdr. Yulius Aris, M. Fil.

Tiga pertanyaan pemantik diskusi:
1) Benarkah fenomena kematian massal & global dikarenakan Covid-19  banalitas kematian  membentuk sikap apatis (sebodo amat) terhadap kematian?
2) Sudahkah kita bertambah bijaksana dalam menyikapi fenomena kematian?
3) Kerangka berpikir seperti apa yang dapat membantu kita untuk memahami “fenomena kematian” dengan lebih “seimbang”?

When Death seems so familiar, but is that so?

What is “familiarly known” is not properly known, just for the reason that it is “familiar”. When engaged in the process of knowing, it is the commonest form of self-deception, and a deception of other people as well, to assume something to be familiar and give assent to it on that very account.
[GWF Hegel, The Phenomenology of Mind, PREFACE, On scientific knowledge, par. 31]
Quotation source: https://www.marxists.org/reference/archive/hegel/works/ph/phprefac.htm)

Das Bekannte überhaupt ist darum, weil es bekannt ist, nicht erkannt. Es ist die gewöhnlichste Selbsttäuschung wie Täuschung anderer, beim Erkennen etwas als bekannt vorauszusetzen, und es sich ebenso gefallen zu lassen; mit allem Hin- und Herreden kommt solches Wissen, ohne zu wissen, wie ihm geschieht, nicht von der Stelle.
(GWF Hegel, Phänomenologie des Geistes, 1807; Vorrede, par. 31)

“When repeated often enough, things tend to become familiar and the familiar becomes self-explanatory; it enables us to navigate our ways through the world, presents no problems and so may arouse little curiosity. Questions are not asked if people are satisfied that “things are as they are” for reasons that are not open to scrutiny and, should they be questioned, resistance to such intrusion may easily follow.
To this extent, familiarity, and inquisitiveness can be in tension. The familiar world has the power to confirm established beliefs leaving sociology viewed as an irritant whose credibility is then to be questioned…defamiliarization has benefits. It opens up new and previously unsuspected possibilities of living one’s life with more self-awareness, understanding of others, and comprehension of our surroundings in terms of greater knowledge and, with that, perhaps more freedom and control.”
(Bauman & May, Thinking Sociologically, 3rd Ed., 2019: 8-9)

Simpulan sementara:
1) Memahami fenomena “kematian” dalam konteks Pandemi Covid-19: sedemikian “luarbiasa” sehingga kita menjadi tergagap dan tergugup. Masihkah artikulasi rasio berperan mengurai kekusutan pemahaman?
2) Protokolisasi kematian, medikalisasi kematian dan numerikalisasi/stratifikasi kematian >> contoh2 penerapan Strategi Modernitas untuk “menahan” laju ‘Kematian’ sebagai “Yang Besar, Magna Mortalitas, yang tak terpahami dan tidak dapat ditundukkan.”
3) Ikhtiar di atas menyisakan gugus pencarian makna: apakah kembali ke tradisi (Agama, Budaya), Rasio (Filsafat & Ilmu-ilmu lainnya, termasuk SAINS), affective turn (lewat sentimentalisme yg ditawarkan social media), komunitas terdekat (keluarga, persahabatan), atau justru non-rational practices?
4) The COVID-19 challenges to public policies: lockdown, 3T (testing, tracing, treatment), vaccination & infodemics, trust in government, public health system, global poverty, the future of work & education post-Pandemic, etc.

Categories
Uncategorized

Menilik Kemungkinan Moralitas Mesin dan Etika AI sebagai legitimate ethical discourse

Bertolak dari paper yang ditulis David J. Gunkel dan Joanna Bryson yang dimuat di jurnal Philosophy & Technology pada 2014 yang lalu, berikut screenshot tulisan yang saya maksud:

saya merasa tertarik untuk menelusuri (“mengeksplikasi”) potensi ontologis dari sub-kajian garda depan dari lanskap diskursus Etika kontemporer bernama Moralitas Mesin (Machine Morality) dan/atau Etika Kecerdasan Buatan (AI Ethics).

Tentu saja hal ini tidak terlepas dari penelusuran teoritis untuk bab 2 (Kerangka Teori) disertasi saya, seputar Etika Informasi dan Etika Komunikasi Digital. Di sini, saya merasa perlu untuk membedakan dan memilah-milah apakah MM/AIE ini subsider dari scope Etika Informasi atau bukan.

Sudah ada cukup banyak penelitian yang terpublikasi yang membahas tentang topik Machine Morality maupun AI Ethics. Di antaranya artikel yang saya rujuk di atas. Selain itu, ada juga traktat yang ditulis filsuf favorit saya, Luciano Floridi, berjudul Etica dell’intelligenza artificiale. Sviluppi, opportunità, sfide (2022) yang sampai hari ini masih belum ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Hasil awal penelusuran saya atas topik di atas menghasilkan jejak renungan dan pemahaman sebagai berikut:

Dalam buku The Machine Question: Critical perspectives on AI, Robots, and Ethics (MIT Press, 2012), filsuf teknologi David J. Gunkel mengeksplikasi awal mula munculnya pertanyaan tentang mesin dan status moral-etis yang kini dilekatkan padanya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan filsafat modern yang dipelopori Rene Descartes dan dikembangkan secara radikal dan menyeluruh oleh Immanuel Kant yang sama-sama mendaulat manusia sebagai agen rasional yang menjadi titik tolak pertimbangan etis dan nilai melekat kebaikan. Belum ada 60 tahun terakhir disiplin filsafat mulai berkembang dan memberi perhatian pada hewan (nonhuman animals) sebagai subjek pertimbangan moral yang sah.

Gunkel mengutip karya filsuf Tom Regan, dalam The Case for Animal Rights (University of California Press, 2004), yang berhasil mengidentifikasi titik balik pandangan ini dalam sebuah karya monumental yang terbit pada 1971. Tiga orang filsuf dari Oxford University bernama Roslind dan Stanley Godlovitch, asal Kanada, dan John Harris, asal Inggris, menerbitkan sekumpulan esei yang mereka sunting dan beri tajuk, Animals, Men and Morals: An Inquiry into the Maltreatment of Non-humans.

Inilah pertama kalinya para filsuf berkolaborasi menulis buku yang berhubungan dengan status moral hewan bukan manusia atau biasa disebut dengan istilah “nonhuman animals” (Regan 1999, xi).

Menurut Regan, publikasi ini mencuatkan “pertanyaan tentang binatang” (animal question) dalam diskursus etika secara luas sekaligus menginisiasi subdisiplin filsafat moral yang di dalamnya binatang dianggap sebagai subjek penyelidikan etis yang sah. Saat ini, para filsuf dari mazhab analitik dan kontinental memiliki alasan untuk peduli dengan hewan, dan penelitian yang membahas masalah-masalah seperti perlakuan etis terhadap hewan, hak hewan, dan etika lingkungan tumbuh pesat.

Categories
Uncategorized

[Diskusi IKAD] Menggugat Antroposentrisme dalam Epos Anthropocene/Capitalocene

Dalam makalah berjudul “Ethics and Politics in the Anthropocene” yang dimuat di jurnal Philosophy and Social Criticism, Maeve Cooke (2020) menyatakan bahwa tantangan paling fundamental yang dihadapi manusia sekarang adalah “kehancuran yang akan segera terjadi pada ekosistem yang menghasilkan kehidupan dan menopang kehidupan yang membentuk planet Bumi.”

Dampak buruk dari tindakan kolektif manusia selama 100 tahun terakhir ini mewujud dalam gejala pemanasan atmosfir, kumulasi gas CO2 dan emisi lainnya, polusi tanah, udara, dan laut, punahnya aneka sumberdaya alami, degradasi tanah dan hilangnya biodiversitas.

Mentasnya epos ketidakstabilan eko-sistem yang menunjang Bumi ini biasa didiskursuskan dengan istilah Anthropocene, sementara sebagian pakar lain menyebutnya Capitalocene, juga Neganthropocene.

Klaim besar yang diusung diskursus tematis ini adalah bahwa Anthropocene merupakan ancaman eksistensial bagi eksistensi manusia dan biosfir (Stiegler, 2018).

Karenanya, perubahan iklim yang antropogenik menuntut perubahan kategori berpikir kita pada dua tataran.

Pertama, tentang peran manusia dan ide kemanusiaan dalam sistem Bumi (Dryzek & Pickering, 2019).

Kedua, redefinisi kategori etis dan politis yang dapat menjawab tantangan ini (Cooke, 2020).

Cooke mengajukan postulat etis yang non-antroposentris (“an ethically non-anthropocentric ethics”) dengan bertolak dari kajian para pemikir Mazhab Frankfurt, juga Habermas, sekaligus melampaui pemikiran mereka.

Terkait topik ini, ada sejumlah GUGUS pertanyaan menarik untuk didiskusikan bersama sidang pembaca/pemirsa:

Pertama, apa itu epistemological anthropocentrism dan epistemological ignorance yang biasanya dilekatkan pada diskursus soal antroposentrisme dan Anthropocene? Bagaimana cara kita memitigasi epistemological anthropocentrism ini? Paralel dengan pertanyaan tersebut, apa itu ethical anthropocentrism dan bagaimana cara memitigasinya? Tidakkah selama ini manusia dan peradaban yang dikembangkannya tidak kekurangan kerangka berpikir konseptual yang cukup luwes untuk membingkai integritas hal yang dihancurkan(-nya) dengan menggunakan penalaran instrumental (kritik Habermas terhadap kritik Adorno dan Horkheimer terkait penalaran instrumental), lalu mengapa epos Anthropocene sebagai gugus percepatan kerusakan lingkungan berskala global, runtuhnya peradaban, dan merosotnya kelestarian bumi ini malah semakin menjadi-jadi? Apakah kita sedang mengalami defisit akut konsep ontologis relasional yang dapat secara memadai menjembatani paham manusia-teknologi-alam ciptaan & alam semesta?

Kedua, dalam arti apa diskursus seputar Anthropocene/Capitalocene dapat menjembatani perbedaan metode keilmuan natural/social science, sehingga sidang pembaca/permirsa yang masuk dan berinteraksi tentang topik ini dapat memahami bukan hanya genealogi peristiwa dan terms acuannya tapi juga status questionis dan quo vadis-nya secara lebih holistik sekaligus heuristic? Apa syarat-syarat kemungkinan yang harus dimajukan, dan sebagiannya mungkin ditangguhkan, agar perbincangan kita tentang topik ini menjadi produktif dan transformatif alih-alih katalismik dan chaotic?

Ketiga, sudahkah kita sungguh-sungguh merdeka atau justru sekarang kita sedang jinjit di tepi jurang kehancuran yang lebih dalam? Dalam arti apa kita dapat memahami status batas/limitasi kemerdekaan sebuah bangsa di tengah kepungan kerusakan/perusakan lingkungan yang tak terelakkan pada tataran global yang mengondisikan Ibu Bumi bersenandung balada “sedang bersusah-hati & airmatanya berlinang”? Bagaimana kita, Anda dan saya, yang bermukim di bumi Indonesia ini, memberi makna pada 77 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, dalam gelimang tantangan dan raupan keprihatinan yang meruap di tengah arus kegalauan laku hidup post-Pandemic new normal?

Daftar Rujukan

Berikut flyer kegiatan diskusinya [designed by Gabriel Abdi Susanto (c) 2022]

Sampai jumpa di ruang diskusi virtual nanti!

Categories
Uncategorized

Towards Rearticulating the Principles of Digital Comm Ethics based on Information Ethics

Topik di atas disampaikan oleh Hendar Putranto [Ph. D. (Cand.) dalam Program Doktoral Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia]
dalam ajang Directions & Destinations Research Symposium 2022 yang diselenggarakan oleh
School of Media, Creative Arts and Social Inquiry, Curtin University, Perth, Australia
pada hari Jumat, 9 September 2022, pukul 09.00 – 16.00 AWST

Berikut flyer untuk Call for Paper (CfP) nya yg tersirkulasi sejak akhir Juli (kalo ndak salah inget)

Mbak Dr. Indah S. Pratidina (saya memanggilnya mbak Dina), Sekprodi Pasca Komunikasi UI, yang menggawangi project ini sekaligus menghubungkan kami dengan pihak Curtin University, mengusulkan title berikut untuk sesi panelis 1: Digital Communication in Indonesia: Revisiting Ethics and Practices

Saya tentu saja menyetujui dan senang dengan usulan di atas (karena ada Etika-nya 🙂

Berikut abstrak yang saya ajukan untuk membahas topik di atas:
The current digital disruption changes the patterns of communication interaction across generations and consequently creates some moral problems and ethical tensions. In these contexts, there is a growing need to re-articulate current ethical principles—seemingly rooted in “dominant Western approaches to communication study and practice,” which prioritize some values and marginalize others—by formulating Digital Communication Ethics (DCE) based on Information Ethics. Here, the author will critically examine them in the context of Indonesia’s rich cultural diversity. The novelty of the DCE is to reaffirm the legacy of culturally sensitive moral patients and to deepen the ethical agent’s moral responsivity amidst challenges.

Keywords: digital disruption; moral problems and ethical tensions; Digital Communication Ethics; Information Ethics; culturally sensitive moral patients

Berikut snapshot momen ketika saya dan rekan2 panelis dari UI (mbak Kicky dosen Ilmu Komunikasi UI, S3 Angk. 2016, dan Andari Karina Anom, dosen Binus, S3 Angk. 2021) melakukan presentasi secara daring menggunakan apps Webex. Urutan majunya, mbak Kicky dulu, saya baru Karin. Karin berbaik hati karena menggabungkan jadi satu file keseluruhan salindia pemaparan yang sudah kami siapkan masing2 dan juga berperan selaku juru screenshare (makasih banyak ya utk totalitas bantuannya, Karin!). Berkat bantuannya tersebut, kami jadi tidak tergopoh2 utk switch sharescreen dari laptop masing2 (which will certainly take time in-between).

MCASI 2022, (c) Curtin University

Kesan setelah mengikuti kegiatan ini adalah:
1) Senang dan bangga karena boleh “mewakili” Universitas Indonesia, khususnya Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi untuk berdialog keilmuan dan tukar pikiran terkait state of the art keilmuan Komunikasi dan Riset Media dengan kolega2 di SMCASI, Curtin University
2) Agak gundah dengan kualitas koneksi internet (mungkin juga kualitas presentasi daring menggunakan Webex, padahal kami terbiasanya menggunakan Zoom dan GMeet selama PJJ dua-tiga tahun kemarin di Indonesia.. hehe) yang tidak dapat dikatakan optimal sehingga masukan dan tanggapan dari floor (termasuk dari Dr. Thor Kerr yang menjadi chair panel sesi kami untuk presentasiku) tidak terlalu jelas terdengar.
3) Rasanya waktu yang disediakan selama 50 menit saja tidak terlalu leluasa bagi kami untuk menyampaikan pemaparan, mengeksplorasi gagasan apalagi sampai ke perdebatan teoritis yang berujung pada kontribusi kebaruan utk keilmuan/riset disertasi kami.

Yah, mudah2an tahun depan kami masih bisa berkontribusi dalam ajang ini secara LANGSUNG alias tatap muka, pergi ke Perth! (sekalian halan-halan tentunya 😀 )

cheers, mate!

Hendar

Categories
Uncategorized

Disertasi sebagai Jalan Sunyi sarat Agoni

PhDs: the tortuous truth (Woolston, 2019)
Nature’s survey of more than 6,000 graduate students reveals the turbulent nature of doctoral research.
Retrieved from: https://media.nature.com/original/magazine-assets/d41586-019-03459-7/d41586-019-03459-7.pdf
Nature, Vol 575, 14 November 2019, pp. 403-406

Semangat ya para pejuang disertasi!
Jangan ragu dan gentar memasuki pematang sunyi perenungan teori, metodologi dan akhirnya, jati diri, yang tidak jarang kualami, dia, mereka juga mengalami, sarat agoni.
Semoga logos ethos dan pathos kita terus terasah dalam menempuh perjalanan sunyi di pematang agoni ini.
I pray for you, brethren.

Hendar