Categories
Uncategorized

Menilik Kemungkinan Moralitas Mesin dan Etika AI sebagai legitimate ethical discourse

Bertolak dari paper yang ditulis David J. Gunkel dan Joanna Bryson yang dimuat di jurnal Philosophy & Technology pada 2014 yang lalu, berikut screenshot tulisan yang saya maksud:

saya merasa tertarik untuk menelusuri (“mengeksplikasi”) potensi ontologis dari sub-kajian garda depan dari lanskap diskursus Etika kontemporer bernama Moralitas Mesin (Machine Morality) dan/atau Etika Kecerdasan Buatan (AI Ethics).

Tentu saja hal ini tidak terlepas dari penelusuran teoritis untuk bab 2 (Kerangka Teori) disertasi saya, seputar Etika Informasi dan Etika Komunikasi Digital. Di sini, saya merasa perlu untuk membedakan dan memilah-milah apakah MM/AIE ini subsider dari scope Etika Informasi atau bukan.

Sudah ada cukup banyak penelitian yang terpublikasi yang membahas tentang topik Machine Morality maupun AI Ethics. Di antaranya artikel yang saya rujuk di atas. Selain itu, ada juga traktat yang ditulis filsuf favorit saya, Luciano Floridi, berjudul Etica dell’intelligenza artificiale. Sviluppi, opportunità, sfide (2022) yang sampai hari ini masih belum ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Hasil awal penelusuran saya atas topik di atas menghasilkan jejak renungan dan pemahaman sebagai berikut:

Dalam buku The Machine Question: Critical perspectives on AI, Robots, and Ethics (MIT Press, 2012), filsuf teknologi David J. Gunkel mengeksplikasi awal mula munculnya pertanyaan tentang mesin dan status moral-etis yang kini dilekatkan padanya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan filsafat modern yang dipelopori Rene Descartes dan dikembangkan secara radikal dan menyeluruh oleh Immanuel Kant yang sama-sama mendaulat manusia sebagai agen rasional yang menjadi titik tolak pertimbangan etis dan nilai melekat kebaikan. Belum ada 60 tahun terakhir disiplin filsafat mulai berkembang dan memberi perhatian pada hewan (nonhuman animals) sebagai subjek pertimbangan moral yang sah.

Gunkel mengutip karya filsuf Tom Regan, dalam The Case for Animal Rights (University of California Press, 2004), yang berhasil mengidentifikasi titik balik pandangan ini dalam sebuah karya monumental yang terbit pada 1971. Tiga orang filsuf dari Oxford University bernama Roslind dan Stanley Godlovitch, asal Kanada, dan John Harris, asal Inggris, menerbitkan sekumpulan esei yang mereka sunting dan beri tajuk, Animals, Men and Morals: An Inquiry into the Maltreatment of Non-humans.

Inilah pertama kalinya para filsuf berkolaborasi menulis buku yang berhubungan dengan status moral hewan bukan manusia atau biasa disebut dengan istilah “nonhuman animals” (Regan 1999, xi).

Menurut Regan, publikasi ini mencuatkan “pertanyaan tentang binatang” (animal question) dalam diskursus etika secara luas sekaligus menginisiasi subdisiplin filsafat moral yang di dalamnya binatang dianggap sebagai subjek penyelidikan etis yang sah. Saat ini, para filsuf dari mazhab analitik dan kontinental memiliki alasan untuk peduli dengan hewan, dan penelitian yang membahas masalah-masalah seperti perlakuan etis terhadap hewan, hak hewan, dan etika lingkungan tumbuh pesat.

Categories
Uncategorized

[Diskusi IKAD] Menggugat Antroposentrisme dalam Epos Anthropocene/Capitalocene

Dalam makalah berjudul “Ethics and Politics in the Anthropocene” yang dimuat di jurnal Philosophy and Social Criticism, Maeve Cooke (2020) menyatakan bahwa tantangan paling fundamental yang dihadapi manusia sekarang adalah “kehancuran yang akan segera terjadi pada ekosistem yang menghasilkan kehidupan dan menopang kehidupan yang membentuk planet Bumi.”

Dampak buruk dari tindakan kolektif manusia selama 100 tahun terakhir ini mewujud dalam gejala pemanasan atmosfir, kumulasi gas CO2 dan emisi lainnya, polusi tanah, udara, dan laut, punahnya aneka sumberdaya alami, degradasi tanah dan hilangnya biodiversitas.

Mentasnya epos ketidakstabilan eko-sistem yang menunjang Bumi ini biasa didiskursuskan dengan istilah Anthropocene, sementara sebagian pakar lain menyebutnya Capitalocene, juga Neganthropocene.

Klaim besar yang diusung diskursus tematis ini adalah bahwa Anthropocene merupakan ancaman eksistensial bagi eksistensi manusia dan biosfir (Stiegler, 2018).

Karenanya, perubahan iklim yang antropogenik menuntut perubahan kategori berpikir kita pada dua tataran.

Pertama, tentang peran manusia dan ide kemanusiaan dalam sistem Bumi (Dryzek & Pickering, 2019).

Kedua, redefinisi kategori etis dan politis yang dapat menjawab tantangan ini (Cooke, 2020).

Cooke mengajukan postulat etis yang non-antroposentris (“an ethically non-anthropocentric ethics”) dengan bertolak dari kajian para pemikir Mazhab Frankfurt, juga Habermas, sekaligus melampaui pemikiran mereka.

Terkait topik ini, ada sejumlah GUGUS pertanyaan menarik untuk didiskusikan bersama sidang pembaca/pemirsa:

Pertama, apa itu epistemological anthropocentrism dan epistemological ignorance yang biasanya dilekatkan pada diskursus soal antroposentrisme dan Anthropocene? Bagaimana cara kita memitigasi epistemological anthropocentrism ini? Paralel dengan pertanyaan tersebut, apa itu ethical anthropocentrism dan bagaimana cara memitigasinya? Tidakkah selama ini manusia dan peradaban yang dikembangkannya tidak kekurangan kerangka berpikir konseptual yang cukup luwes untuk membingkai integritas hal yang dihancurkan(-nya) dengan menggunakan penalaran instrumental (kritik Habermas terhadap kritik Adorno dan Horkheimer terkait penalaran instrumental), lalu mengapa epos Anthropocene sebagai gugus percepatan kerusakan lingkungan berskala global, runtuhnya peradaban, dan merosotnya kelestarian bumi ini malah semakin menjadi-jadi? Apakah kita sedang mengalami defisit akut konsep ontologis relasional yang dapat secara memadai menjembatani paham manusia-teknologi-alam ciptaan & alam semesta?

Kedua, dalam arti apa diskursus seputar Anthropocene/Capitalocene dapat menjembatani perbedaan metode keilmuan natural/social science, sehingga sidang pembaca/permirsa yang masuk dan berinteraksi tentang topik ini dapat memahami bukan hanya genealogi peristiwa dan terms acuannya tapi juga status questionis dan quo vadis-nya secara lebih holistik sekaligus heuristic? Apa syarat-syarat kemungkinan yang harus dimajukan, dan sebagiannya mungkin ditangguhkan, agar perbincangan kita tentang topik ini menjadi produktif dan transformatif alih-alih katalismik dan chaotic?

Ketiga, sudahkah kita sungguh-sungguh merdeka atau justru sekarang kita sedang jinjit di tepi jurang kehancuran yang lebih dalam? Dalam arti apa kita dapat memahami status batas/limitasi kemerdekaan sebuah bangsa di tengah kepungan kerusakan/perusakan lingkungan yang tak terelakkan pada tataran global yang mengondisikan Ibu Bumi bersenandung balada “sedang bersusah-hati & airmatanya berlinang”? Bagaimana kita, Anda dan saya, yang bermukim di bumi Indonesia ini, memberi makna pada 77 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, dalam gelimang tantangan dan raupan keprihatinan yang meruap di tengah arus kegalauan laku hidup post-Pandemic new normal?

Daftar Rujukan

Berikut flyer kegiatan diskusinya [designed by Gabriel Abdi Susanto (c) 2022]

Sampai jumpa di ruang diskusi virtual nanti!

Categories
Uncategorized

Towards Rearticulating the Principles of Digital Comm Ethics based on Information Ethics

Topik di atas disampaikan oleh Hendar Putranto [Ph. D. (Cand.) dalam Program Doktoral Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia]
dalam ajang Directions & Destinations Research Symposium 2022 yang diselenggarakan oleh
School of Media, Creative Arts and Social Inquiry, Curtin University, Perth, Australia
pada hari Jumat, 9 September 2022, pukul 09.00 – 16.00 AWST

Berikut flyer untuk Call for Paper (CfP) nya yg tersirkulasi sejak akhir Juli (kalo ndak salah inget)

Mbak Dr. Indah S. Pratidina (saya memanggilnya mbak Dina), Sekprodi Pasca Komunikasi UI, yang menggawangi project ini sekaligus menghubungkan kami dengan pihak Curtin University, mengusulkan title berikut untuk sesi panelis 1: Digital Communication in Indonesia: Revisiting Ethics and Practices

Saya tentu saja menyetujui dan senang dengan usulan di atas (karena ada Etika-nya 🙂

Berikut abstrak yang saya ajukan untuk membahas topik di atas:
The current digital disruption changes the patterns of communication interaction across generations and consequently creates some moral problems and ethical tensions. In these contexts, there is a growing need to re-articulate current ethical principles—seemingly rooted in “dominant Western approaches to communication study and practice,” which prioritize some values and marginalize others—by formulating Digital Communication Ethics (DCE) based on Information Ethics. Here, the author will critically examine them in the context of Indonesia’s rich cultural diversity. The novelty of the DCE is to reaffirm the legacy of culturally sensitive moral patients and to deepen the ethical agent’s moral responsivity amidst challenges.

Keywords: digital disruption; moral problems and ethical tensions; Digital Communication Ethics; Information Ethics; culturally sensitive moral patients

Berikut snapshot momen ketika saya dan rekan2 panelis dari UI (mbak Kicky dosen Ilmu Komunikasi UI, S3 Angk. 2016, dan Andari Karina Anom, dosen Binus, S3 Angk. 2021) melakukan presentasi secara daring menggunakan apps Webex. Urutan majunya, mbak Kicky dulu, saya baru Karin. Karin berbaik hati karena menggabungkan jadi satu file keseluruhan salindia pemaparan yang sudah kami siapkan masing2 dan juga berperan selaku juru screenshare (makasih banyak ya utk totalitas bantuannya, Karin!). Berkat bantuannya tersebut, kami jadi tidak tergopoh2 utk switch sharescreen dari laptop masing2 (which will certainly take time in-between).

MCASI 2022, (c) Curtin University

Kesan setelah mengikuti kegiatan ini adalah:
1) Senang dan bangga karena boleh “mewakili” Universitas Indonesia, khususnya Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi untuk berdialog keilmuan dan tukar pikiran terkait state of the art keilmuan Komunikasi dan Riset Media dengan kolega2 di SMCASI, Curtin University
2) Agak gundah dengan kualitas koneksi internet (mungkin juga kualitas presentasi daring menggunakan Webex, padahal kami terbiasanya menggunakan Zoom dan GMeet selama PJJ dua-tiga tahun kemarin di Indonesia.. hehe) yang tidak dapat dikatakan optimal sehingga masukan dan tanggapan dari floor (termasuk dari Dr. Thor Kerr yang menjadi chair panel sesi kami untuk presentasiku) tidak terlalu jelas terdengar.
3) Rasanya waktu yang disediakan selama 50 menit saja tidak terlalu leluasa bagi kami untuk menyampaikan pemaparan, mengeksplorasi gagasan apalagi sampai ke perdebatan teoritis yang berujung pada kontribusi kebaruan utk keilmuan/riset disertasi kami.

Yah, mudah2an tahun depan kami masih bisa berkontribusi dalam ajang ini secara LANGSUNG alias tatap muka, pergi ke Perth! (sekalian halan-halan tentunya 😀 )

cheers, mate!

Hendar

Categories
Uncategorized

Disertasi sebagai Jalan Sunyi sarat Agoni

PhDs: the tortuous truth (Woolston, 2019)
Nature’s survey of more than 6,000 graduate students reveals the turbulent nature of doctoral research.
Retrieved from: https://media.nature.com/original/magazine-assets/d41586-019-03459-7/d41586-019-03459-7.pdf
Nature, Vol 575, 14 November 2019, pp. 403-406

Semangat ya para pejuang disertasi!
Jangan ragu dan gentar memasuki pematang sunyi perenungan teori, metodologi dan akhirnya, jati diri, yang tidak jarang kualami, dia, mereka juga mengalami, sarat agoni.
Semoga logos ethos dan pathos kita terus terasah dalam menempuh perjalanan sunyi di pematang agoni ini.
I pray for you, brethren.

Hendar

Categories
Uncategorized

Amok Ignorance (a poem)

Who says that “Ignorance is bliss”?
In another context, ignorance is a curse and we must fight on two frontiers: “being ignorant” and the impact of ignorance on daily social lives.

To aggravate further the latter, the “ignorantes” wreak havoc on their surroundings using brute force and necessary tools while claiming to profess their stubbornness in upholding their so-called “faith.”

Categories
Uncategorized

On Machine Translation (MT)

Definisi standar (dari lingohub.com):
“Machine Translation is computer generated translation, based on specific algorithm sets. Usually fast and simple to use, MT engines represent a quick and easy, although not always the best solution for translation.”

Acuan yang dipakai MT biasanya ada tiga atau empat: rule based, atau statistikal, atau neural; bisa juga hybrid (campuran) dari satu atau beberapa sistem ini.

MT yang mungkin paling dikenal dan digunakan luas oleh khalayak pengguna adalah Google Translate.

Nah, sekarang mari kita lihat hasil MT ini dalam beberapa contoh pengerjaan terjemahan yang pernah saya gunakan (dan sudah saya cek akurasi hasilnya).

Jadi, ada tiga kekurangan mencolok yg saya perhatikan dari observasi dan eksperimen terbatas menguji efikasi MT ini:
1) MT tidak bekerja optimal ketika ada suara (sources) yang bertumpuk, atau multiple voices case
2) MT juga tidak bekerja secara optimal ketika dia tidak memiliki reliable source database, biasanya dari source origin yang tidak terlalu dikenal luas, misalnya bahasa daerah tertentu
3) MT juga tidak dapat bekerja secara optimal ketika pengguna melakukan code switching atau gonta-ganti bahasa rujukan dalam satu kalimat tutur (misalnya bahasa Jawa dicampur aduk dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris)

Adakah teman2 sekalian yang mengalami hal serupa di atas?

Categories
Uncategorized

Menyoal Biaya Pendidikan Anak yang Semakin Tinggi: Fair-kah jika hanya dilihat secara _ekonomis_

Berikut kutipan screenshot dari status WA saya di akhir Juli 2022 yang lalu sebagai tanggapan kritis singkat untuk JURNALISME Data Kompas yang mengangkat topik “Biaya Pendidikan untuk anak yang semakin tinggi dan memberatkan ortu”

Dari percakapan saya dengan seorang pengamat dan pakar pendidikan (kurikulum) sekaligus seorang dosen pengampu Matkul Critical and Creative Thinking pada sebuah universitas swasta terkemuka di bilangan LLDIKTI 3, saya mendapati bahwa data yang disajikan oleh KOMPAS kurang mengakomodasi baik perspektif maupun data tandingan yang dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

Contoh:
“yang return-nya cepat itu (alih-alih Ilmu Pendidikan) kedokteran dah hukum malahan”
“karena kita tahu dokter dan pengacara dapat pasang tarif praktik atau imbal jasa yang tinggi dibanding guru SD/SMP/SMA yang ada di kisaran 3-7 juta saja per bulannya di Jabodetabek” >> (ternyata gaji guru yang ada di kisaran ini guru PNS)
“jadi pembandingnya beda. Kalau honorer ya jauh”
“data guru honorer bahkan jauh lebih besar daripada guru tetap PNS atau sekolah swasta yg bonafide ya mas? artinya, guru yang dibayar di bawah 3 juta per bulan jauh lebih banyak? >> jutaan mas. ada lebih dari satu juta guru yang seperti ini (honorer)”
“riset di Belanda bahkan menunjukkan secara umum return of investment pendidikan itu 20 tahunan”
“selama kebijakan guru seperti ini yang masuk jadi calon guru sudah dipastikan nganggur mas”
“karena supply dan demand-nya jauh”
“Setiap tahun yang pensiun pns plus tambahan sekolah baru dan perlu guru baru ada 80 ribuan. yang wisuda prodi keguruan 250 ribuan setiap tahun.
Jadi, pasti nganggurlah atau bekerja yang di luar jalur (bukan sebagai guru di sekolah)”

Categories
Uncategorized

Dekonstruksi Imortalitas dalam kerangka Kritik terhadap Modernitas dan Pascamodernitas: Telaah Zygmunt Bauman

Tulisan ini sudah dimuat dalam jurnal filsafat Dekonstruksi, Vol. 7(1), halaman 53-92 (Juli – September 2022).

Abstract:
The fear of death and the longing for immortality have long been discussed in religion and philosophy.

Unfortunately, there are still very few cross-disciplinary and multi-perspective social sciences that examine both mortality and immortality in a single book (monograph).

Reflecting the views of Zygmunt Bauman in Mortality, Immortality, and Other Life Strategies (1992), the author offers a reconstruction of
Bauman’s thinking about the concept of modernity in relation to the issue of mortality and the concept of postmodernity in relation to the issue of immortality.

As modernity deconstructs the big issue of mortality into a number of problems that can be handled, so postmodernity deconstructs the issue of immortality into six problem-based models, such as the problem of fluid identity as a self-constitutional project, fame in fashion and celebrity, the idea of repetition and representation, games and spectacle, the ultimate chain of momentary pleasures, as a strategy of social stratification, and as an affirmation of identity and authority in the community.

The strategy of deconstruction of immortality emancipates the subject from the shackles of space-time (history, discourse, ideology, etc.), enables people to achieve what in principle impossible to reach here and now, but at the same time creates a new kind of for injustice, highlights the primacy of an ontic entity over an ethical one, and produces new group of victims.

In a more contemporary context, new ways to deconstruct immortality have shifted from the world of entertainment to the realm of technology, but the idea of immortality has been stripped of its sacred aura and is constantly being made profane and commodified.

Immortality is one of a number of objects of desire available in the market and can be purchased with money.

However, the desire to be immortal continues to be craved and strived to be realized here and now, whether with the help of an anti-aging serum, by uploading traces of identity and consciousness in a smart machine driven by personalized artificial intelligence, to record and digitize, or with cryonics technology, the opportunities and oppositions persist.

Keywords: deconstruction, modernity, postmodernity, mortality, immortality, history, identity, social theory.

Categories
Uncategorized

On Rising above the Seemingly Nice but not Really (“PHP”)

Seorang rekan pejuang studi lanjut curhat ke aku berikut ini:
“Si kakting yg kmrn itu janji2 ke aku mw baca proposalku jg,tp lama2 aku malas,Php,kykna dia emang pelit ilmu,better aku diskusi sm XYZ, ada dosen [Prodi lain] yg alumni S3 kita (juga). Mungkin krn dia lulus dgn gemilang sih,jd agak gmn ya dimintain bantuan,antara sibuk dan gak mw bantu.”

Kemudian kutanggapi begini: “Iya mbak ya udah biarin aja mbak. Dia yg di atas angin, kita cari angin lain lagi aja. 😀 Situasi ketertekanan (stress) krn studi lanjut memang bagi bbrp orang membuat mereka malahan jadi sempit terkurung kayak masuk dalam clam shell lalu menutup diri utk berbagi dirinya dgn orang lain, apalagi membantu orang lain. Aku juga pernah ngalamin di-PHP-in gini tahun lalu pas mau sidang proposal. Ketika kuminta baca dan kasih masukan utk draf proposalku, eh dia menunda2 dan akhirnya tidak pernah kasih masukan apapun. di situlah aku kecewa berat sama dia dan aku berjanji sama diriku sendiri jika someday ada adik tingkat/teman angkatan/kakak tingkat yg meminta aku utk baca draf papernya / proposalnya / laporan hasil disertasinya, aku tidak akan pernah mengecewakannya dgn berlaku hal yg sama sperti yg dilakukan KaTing itu tadi. aku mau jadi lebih baik daripada dia dlm hal ini. menjadi sosok yg lebih etis gitu lah kurang lebih … lha iya dong, judul disertasiku aja ada ETIKA-nya mosok aku ndak berperilaku etis… hehe .. I wish waktu itu dia bilang terus terang gini ‘aku ndak mau / ndak sanggup / ndak bisa / ndak bersedia / ndak ada waktu utk membaca dan kasih masukan utk draf proposal mas Hendar’ mungkin aku tdk akan sekecewa ini skrg ini. tdk dalem2 kecewanya. But now I have transformed the disappointment of the past into a positive attitude to help others who ask me. Semakin ke sini aku semakin sadar bahwa studi lanjut itu suatu shared destination lebih daripada fierce competition, sharing vision and embodied practices alih-alih saling jegal dan sikut, enriching experiences rather than I don’t care about your plight.”

Categories
Uncategorized

Religio Duplex: Melacak sejarah dualitas moda beragama kini dan dulu [alamiah dan pewahyuan]

[Deskripsi singkat ini merupakan olahan Hendar Putranto dari buku Religio Duplex: Comment les Lumières ont réinventé la religion des Égyptiens—diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Perancis oleh Jean-Marc Tétaz—yang ditulis seorang ahli sejarah Mesir Purba dan antropolog agama dari Jerman, Jan Assmann (kelahiran 1938). Jan Assmann pernah dipercaya memegang kursi Profesor Egyptology di Universitas Heidelberg, Jerman sejak 1976-2003 dan sejak 2003 sampai sekarang beliau didapuk menjadi Profesor kehormatan untuk bidang Kajian Budaya di The University of Konstanz, Jerman.]

Berikut book cover dari Religio Duplex:

Sudah cukup lama kultus agama asli (natural religion) masyarakat Mesir purba memesona para pemikir Pencerahan (les Lumières).

Dengan mengolah sumber rujukan tertulis peninggalan peradaban Yunani akhir, sejumlah pakar sejarawan dan antropologi agama mendeteksi adanya jejak “agama ganda” pada masyarakat Mesir purba: di satu sisi suburnya agama politesitik yang memuja banyak dewa, di sisi lain hidupnya agama monoteistik yang dianut sejumlah elit.

Pada abad ke-18, masyarakat rahasia, khususnya Freemasons—yang gaya hidup pengkultusan akalbudinya terjepit di tengah-tengah iklim politik monarki absolut dan kekristenan ortodoks—menimba inspirasi dari kultus agama asli Mesir purba ini untuk diterapkan dalam organisasi mereka sendiri.

Dengan memusatkan analisisnya pada konsep agama yang berada pada dua moda dan tatanan, RELIGIO DUPLEX, Prof. Assmann menunjukkan kepiawaiannya menghubungkan jejak2 sejarah yang terus bertahan sampai sekarang.

Prof. Assman juga berhasil merajut kemungkinan untuk mengartikulasikan agama dalam dua modanya: tradisi2 religius yang partikular dengan seruan agama yang universal.

Dalam Religio Duplex, Prof. Assman scr terampil dan mendalam merefleksikan akar budaya modern Barat yang dalam banyak cara dan scr tdk langsung merujuk jauh sampai ke peradaban Mesir purba.

Pada salah satu adegan kunci dalam sejarah “Pencerahan Barat,” tercatat bahwa Blaise Pascal, ahli Matematika sekaligus rohaniwan Katolik terkemuka, akhirnya menyerah kalah dalam “pertaruhan” (Le Pari): ia akhirnya memilih untuk menyerahkan dirinya ke dalam pelukan Bapa (konsep Trinitas dalam agama Katolik Roma) alih-alih meneruskan telaah rasionalnya dan (dapat berdampak pada) mengiyakan Tuhan para filsuf dan cendekia Abad Pencerahan.

Adegan kedua terjadi 126 tahun kemudian pada Juli 1870 di Wolfenbüttel, bertempat di rumah Gotthold Ephraim Lessing, seorang penganut Freemason.

Suatu hari Lessing dikunjungi Friedrich Heinrich Jacobi, pedagang muda dan penulis berhaluan Freemason.

Lessing menyodorkan puisi Goethe, “Prometheus” *) kepada Jacobi untuk dibaca.

Penasaran dengan isinya, Jacobi mencoba berdialog dengan Lessing tentang topik “ketuhanan” di Abad Pencerahan.

Lessing mengakui bahwa “Konsep ketuhanan ortodoks tidak lagi dapat kupegang dan kupercayai. Hen kai Pan (Ἓν καὶ Πᾶν)! [Satu dan Semua] Setelah kubaca puisi Goethe ini aku menyukainya dan isinya menyiratkan apa yang sekarang kupercaya.”

Jacobi menukas, “Kalau begitu dirimu setuju dengan (pandangan tentang ketuhanan yang diajukan) Spinoza, dong?”

Lessing berkata, “Jika ada satu orang yang pandangannya kusetujui tentang ketuhanan, Spinozalah orangnya.”

Dari penggalan percakapan ini, tampak bahwa Lessing menolak ide “Tuhan sebagai Bapa” sejauh kita dapat mengidentifikasi dan menafsirkan ucapan “konsep ketuhanan ortodoks”-nya sebagai sama dan sebangun dengan ide Tuhan (kekristenan) dan, karenanya, dirinya mendaku sebagai pengikut pandangan Tuhan para Filsuf.

Konflik batin dan tegangan disposisional sensus religiosus yang dialami para tokoh Pencerahan di atas, yang diruap dengan pandangan dikotomis “ini-atau-itu” tentang Ketuhanan, antara agama alamiah dan agama pewahyuan, meninggalkan bekas yang mendalam sepanjang bergulirnya sejarah pemahaman agama versi Barat Pencerahan.

*) Salah satu bait dari puisi Prometheus karya Goethe tersebut berbunyi sbb.:
Ich dich ehren? Wofür? [Aku menghormati-Mu dan mengapa?]
Hast du die Schmerzen gelindert [Pernahkah Engkau meringankan kesedihan]
Je des Beladenen? [mereka yang berbeban berat?]
Hast du die Tränen gestillet [Pernahkah Engkau menyeka]
Je des Geängsteten? [tangis mereka yang berduka?]
Hat nicht mich zum Manne geschmiedet [Tidakkah aku dilahirkan dan dibentuk menjadi manusia]
Die allmächtige Zeit [dalam tempaan Waktu abadi]
Und das ewige Schicksal, [dan oleh Nasib yang juga abadi]
Meine Herrn und deine? [menjadi Tu(h)an atas diriku dan Engkau?]