Categories
Uncategorized

Menyoal Biaya Pendidikan Anak yang Semakin Tinggi: Fair-kah jika hanya dilihat secara _ekonomis_

Berikut kutipan screenshot dari status WA saya di akhir Juli 2022 yang lalu sebagai tanggapan kritis singkat untuk JURNALISME Data Kompas yang mengangkat topik “Biaya Pendidikan untuk anak yang semakin tinggi dan memberatkan ortu”

Dari percakapan saya dengan seorang pengamat dan pakar pendidikan (kurikulum) sekaligus seorang dosen pengampu Matkul Critical and Creative Thinking pada sebuah universitas swasta terkemuka di bilangan LLDIKTI 3, saya mendapati bahwa data yang disajikan oleh KOMPAS kurang mengakomodasi baik perspektif maupun data tandingan yang dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

Contoh:
“yang return-nya cepat itu (alih-alih Ilmu Pendidikan) kedokteran dah hukum malahan”
“karena kita tahu dokter dan pengacara dapat pasang tarif praktik atau imbal jasa yang tinggi dibanding guru SD/SMP/SMA yang ada di kisaran 3-7 juta saja per bulannya di Jabodetabek” >> (ternyata gaji guru yang ada di kisaran ini guru PNS)
“jadi pembandingnya beda. Kalau honorer ya jauh”
“data guru honorer bahkan jauh lebih besar daripada guru tetap PNS atau sekolah swasta yg bonafide ya mas? artinya, guru yang dibayar di bawah 3 juta per bulan jauh lebih banyak? >> jutaan mas. ada lebih dari satu juta guru yang seperti ini (honorer)”
“riset di Belanda bahkan menunjukkan secara umum return of investment pendidikan itu 20 tahunan”
“selama kebijakan guru seperti ini yang masuk jadi calon guru sudah dipastikan nganggur mas”
“karena supply dan demand-nya jauh”
“Setiap tahun yang pensiun pns plus tambahan sekolah baru dan perlu guru baru ada 80 ribuan. yang wisuda prodi keguruan 250 ribuan setiap tahun.
Jadi, pasti nganggurlah atau bekerja yang di luar jalur (bukan sebagai guru di sekolah)”

Categories
Uncategorized

Dekonstruksi Imortalitas dalam kerangka Kritik terhadap Modernitas dan Pascamodernitas: Telaah Zygmunt Bauman

Tulisan ini sudah dimuat dalam jurnal filsafat Dekonstruksi, Vol. 7(1), halaman 53-92 (Juli – September 2022).

Abstract:
The fear of death and the longing for immortality have long been discussed in religion and philosophy.

Unfortunately, there are still very few cross-disciplinary and multi-perspective social sciences that examine both mortality and immortality in a single book (monograph).

Reflecting the views of Zygmunt Bauman in Mortality, Immortality, and Other Life Strategies (1992), the author offers a reconstruction of
Bauman’s thinking about the concept of modernity in relation to the issue of mortality and the concept of postmodernity in relation to the issue of immortality.

As modernity deconstructs the big issue of mortality into a number of problems that can be handled, so postmodernity deconstructs the issue of immortality into six problem-based models, such as the problem of fluid identity as a self-constitutional project, fame in fashion and celebrity, the idea of repetition and representation, games and spectacle, the ultimate chain of momentary pleasures, as a strategy of social stratification, and as an affirmation of identity and authority in the community.

The strategy of deconstruction of immortality emancipates the subject from the shackles of space-time (history, discourse, ideology, etc.), enables people to achieve what in principle impossible to reach here and now, but at the same time creates a new kind of for injustice, highlights the primacy of an ontic entity over an ethical one, and produces new group of victims.

In a more contemporary context, new ways to deconstruct immortality have shifted from the world of entertainment to the realm of technology, but the idea of immortality has been stripped of its sacred aura and is constantly being made profane and commodified.

Immortality is one of a number of objects of desire available in the market and can be purchased with money.

However, the desire to be immortal continues to be craved and strived to be realized here and now, whether with the help of an anti-aging serum, by uploading traces of identity and consciousness in a smart machine driven by personalized artificial intelligence, to record and digitize, or with cryonics technology, the opportunities and oppositions persist.

Keywords: deconstruction, modernity, postmodernity, mortality, immortality, history, identity, social theory.

Categories
Uncategorized

On Rising above the Seemingly Nice but not Really (“PHP”)

Seorang rekan pejuang studi lanjut curhat ke aku berikut ini:
“Si kakting yg kmrn itu janji2 ke aku mw baca proposalku jg,tp lama2 aku malas,Php,kykna dia emang pelit ilmu,better aku diskusi sm XYZ, ada dosen [Prodi lain] yg alumni S3 kita (juga). Mungkin krn dia lulus dgn gemilang sih,jd agak gmn ya dimintain bantuan,antara sibuk dan gak mw bantu.”

Kemudian kutanggapi begini: “Iya mbak ya udah biarin aja mbak. Dia yg di atas angin, kita cari angin lain lagi aja. 😀 Situasi ketertekanan (stress) krn studi lanjut memang bagi bbrp orang membuat mereka malahan jadi sempit terkurung kayak masuk dalam clam shell lalu menutup diri utk berbagi dirinya dgn orang lain, apalagi membantu orang lain. Aku juga pernah ngalamin di-PHP-in gini tahun lalu pas mau sidang proposal. Ketika kuminta baca dan kasih masukan utk draf proposalku, eh dia menunda2 dan akhirnya tidak pernah kasih masukan apapun. di situlah aku kecewa berat sama dia dan aku berjanji sama diriku sendiri jika someday ada adik tingkat/teman angkatan/kakak tingkat yg meminta aku utk baca draf papernya / proposalnya / laporan hasil disertasinya, aku tidak akan pernah mengecewakannya dgn berlaku hal yg sama sperti yg dilakukan KaTing itu tadi. aku mau jadi lebih baik daripada dia dlm hal ini. menjadi sosok yg lebih etis gitu lah kurang lebih … lha iya dong, judul disertasiku aja ada ETIKA-nya mosok aku ndak berperilaku etis… hehe .. I wish waktu itu dia bilang terus terang gini ‘aku ndak mau / ndak sanggup / ndak bisa / ndak bersedia / ndak ada waktu utk membaca dan kasih masukan utk draf proposal mas Hendar’ mungkin aku tdk akan sekecewa ini skrg ini. tdk dalem2 kecewanya. But now I have transformed the disappointment of the past into a positive attitude to help others who ask me. Semakin ke sini aku semakin sadar bahwa studi lanjut itu suatu shared destination lebih daripada fierce competition, sharing vision and embodied practices alih-alih saling jegal dan sikut, enriching experiences rather than I don’t care about your plight.”

Categories
Uncategorized

Religio Duplex: Melacak sejarah dualitas moda beragama kini dan dulu [alamiah dan pewahyuan]

[Deskripsi singkat ini merupakan olahan Hendar Putranto dari buku Religio Duplex: Comment les Lumières ont réinventé la religion des Égyptiens—diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Perancis oleh Jean-Marc Tétaz—yang ditulis seorang ahli sejarah Mesir Purba dan antropolog agama dari Jerman, Jan Assmann (kelahiran 1938). Jan Assmann pernah dipercaya memegang kursi Profesor Egyptology di Universitas Heidelberg, Jerman sejak 1976-2003 dan sejak 2003 sampai sekarang beliau didapuk menjadi Profesor kehormatan untuk bidang Kajian Budaya di The University of Konstanz, Jerman.]

Berikut book cover dari Religio Duplex:

Sudah cukup lama kultus agama asli (natural religion) masyarakat Mesir purba memesona para pemikir Pencerahan (les Lumières).

Dengan mengolah sumber rujukan tertulis peninggalan peradaban Yunani akhir, sejumlah pakar sejarawan dan antropologi agama mendeteksi adanya jejak “agama ganda” pada masyarakat Mesir purba: di satu sisi suburnya agama politesitik yang memuja banyak dewa, di sisi lain hidupnya agama monoteistik yang dianut sejumlah elit.

Pada abad ke-18, masyarakat rahasia, khususnya Freemasons—yang gaya hidup pengkultusan akalbudinya terjepit di tengah-tengah iklim politik monarki absolut dan kekristenan ortodoks—menimba inspirasi dari kultus agama asli Mesir purba ini untuk diterapkan dalam organisasi mereka sendiri.

Dengan memusatkan analisisnya pada konsep agama yang berada pada dua moda dan tatanan, RELIGIO DUPLEX, Prof. Assmann menunjukkan kepiawaiannya menghubungkan jejak2 sejarah yang terus bertahan sampai sekarang.

Prof. Assman juga berhasil merajut kemungkinan untuk mengartikulasikan agama dalam dua modanya: tradisi2 religius yang partikular dengan seruan agama yang universal.

Dalam Religio Duplex, Prof. Assman scr terampil dan mendalam merefleksikan akar budaya modern Barat yang dalam banyak cara dan scr tdk langsung merujuk jauh sampai ke peradaban Mesir purba.

Pada salah satu adegan kunci dalam sejarah “Pencerahan Barat,” tercatat bahwa Blaise Pascal, ahli Matematika sekaligus rohaniwan Katolik terkemuka, akhirnya menyerah kalah dalam “pertaruhan” (Le Pari): ia akhirnya memilih untuk menyerahkan dirinya ke dalam pelukan Bapa (konsep Trinitas dalam agama Katolik Roma) alih-alih meneruskan telaah rasionalnya dan (dapat berdampak pada) mengiyakan Tuhan para filsuf dan cendekia Abad Pencerahan.

Adegan kedua terjadi 126 tahun kemudian pada Juli 1870 di Wolfenbüttel, bertempat di rumah Gotthold Ephraim Lessing, seorang penganut Freemason.

Suatu hari Lessing dikunjungi Friedrich Heinrich Jacobi, pedagang muda dan penulis berhaluan Freemason.

Lessing menyodorkan puisi Goethe, “Prometheus” *) kepada Jacobi untuk dibaca.

Penasaran dengan isinya, Jacobi mencoba berdialog dengan Lessing tentang topik “ketuhanan” di Abad Pencerahan.

Lessing mengakui bahwa “Konsep ketuhanan ortodoks tidak lagi dapat kupegang dan kupercayai. Hen kai Pan (Ἓν καὶ Πᾶν)! [Satu dan Semua] Setelah kubaca puisi Goethe ini aku menyukainya dan isinya menyiratkan apa yang sekarang kupercaya.”

Jacobi menukas, “Kalau begitu dirimu setuju dengan (pandangan tentang ketuhanan yang diajukan) Spinoza, dong?”

Lessing berkata, “Jika ada satu orang yang pandangannya kusetujui tentang ketuhanan, Spinozalah orangnya.”

Dari penggalan percakapan ini, tampak bahwa Lessing menolak ide “Tuhan sebagai Bapa” sejauh kita dapat mengidentifikasi dan menafsirkan ucapan “konsep ketuhanan ortodoks”-nya sebagai sama dan sebangun dengan ide Tuhan (kekristenan) dan, karenanya, dirinya mendaku sebagai pengikut pandangan Tuhan para Filsuf.

Konflik batin dan tegangan disposisional sensus religiosus yang dialami para tokoh Pencerahan di atas, yang diruap dengan pandangan dikotomis “ini-atau-itu” tentang Ketuhanan, antara agama alamiah dan agama pewahyuan, meninggalkan bekas yang mendalam sepanjang bergulirnya sejarah pemahaman agama versi Barat Pencerahan.

*) Salah satu bait dari puisi Prometheus karya Goethe tersebut berbunyi sbb.:
Ich dich ehren? Wofür? [Aku menghormati-Mu dan mengapa?]
Hast du die Schmerzen gelindert [Pernahkah Engkau meringankan kesedihan]
Je des Beladenen? [mereka yang berbeban berat?]
Hast du die Tränen gestillet [Pernahkah Engkau menyeka]
Je des Geängsteten? [tangis mereka yang berduka?]
Hat nicht mich zum Manne geschmiedet [Tidakkah aku dilahirkan dan dibentuk menjadi manusia]
Die allmächtige Zeit [dalam tempaan Waktu abadi]
Und das ewige Schicksal, [dan oleh Nasib yang juga abadi]
Meine Herrn und deine? [menjadi Tu(h)an atas diriku dan Engkau?]

Categories
Uncategorized

Namanya bukan provokator, tapi tukang berpolemik

Belakangan ini “ruang publik” [dalam arti Res Publica sekaligus political affairs] di Indonesia kembali diramaikan oleh sejumlah isu politik yg mengerucut pada soal “bagi-bagi kue,” “pemanjangan periode kekuasaan,” dan “ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan berunjuk rasa.”

Ada tokoh-tokoh yg menjadi center of gravity terkait isu politik di atas, sebagian sudah kita kenali sebagai politisi (praktisi), sebagian lagi aktivis (HAM, sosial, dan lainnya), sebagian lainnya merupakan pengamat/komentator politik (akademisi). Ada segelintir yg boundaries-crossing: akademisi cum aktivis (media) sosial, misalnya.

Dari sejumlah berita yg saya baca dan cermati, termasuk komentar2 yg dimuat utk menanggapi berita2 tersebut, saya menangkap kesan bahwa khalayak pembaca, khususnya netizen, cenderung passing judgment “tukang membuat gaduh” bagi siapapun yg terlibat dan dimuat media massa/media sosial/menjadi viral berkenaan dgn isu politik di atas.

Khalayak tampaknya mengalami kesulitan utk membedakan antara provokator (qua demagogue) dengan tukang berpolemik. Bagi sebagian besar netizen, tukang membuat gaduh sama dengan provokator. That’s it. Tidak ada elaborasi distingtif tentang dua kategori ini. Mungkin karena isunya sudah jenuh dan polarisasi semakin terasa menebal (lagi).

Bagi saya, yang lebih sering tinggal di menara gading studi alih-alih turun langsung ke jalan utk berdemonstrasi dan menyuarakan aksi-aksi perubahan, ini suatu hal yg menarik utk direfleksikan. Dari pembacaan ringkas saya atas situasi dan rujukan teks, provokator mungkin lebih berkonotasi negatif (dan destruktif) daripada tukang berpolemik. Polemik lebih menyiratkan makna diskursus yg serius dan terbatas (secara spasial maupun jumlah partisipannya) alih-alih provokator yang dipersepsi sebagai teriak-teriak yang tidak jelas juntrungannya, yang memancing emosi massa-posting dan massa-aksi utk melakukan perisakan (dlm arti daring) maupun perusakan (dalam arti luring).

Upon further reflection, benarkah pandangan ini?

Berikut saya ajukan satu pemikiran yg mengkarakterisasi tukang berpolemik. Mudah2an pandangan ini dapat menjernihkan satu bilik berpikir dan tidak sekadar menjadi “echo chamber” sbg dampaknya. Saya memberikan tajuk pemikiran di bawah ini sebagai “Apa itu polemik dan siapakah tukang berpolemik (polemicist)?”

Menurut Prof. Paul Rabinow dari University of California at Berkeley—yang membaca dan membuat scathing review atas Postmodernism, Reason & Religion karya Ernest Gellner (1992)—kita dapat mengartikan polemik sebagai perbantahan yang tidak fair tapi terus menggelinding tanpa ujung-pangkal.

Menyitir pandangan Michel Foucault, Rabinow menggarisbawahi karakteristik tukang berpolemik sebagai berikut:

“Tukang berpolemik adalah mereka yang senengnya memandang diri secara istimewa/privilese dan mengajukan pokok-pokok kasus/isu di awal namun menolak untuk dipertanyakan. Pada prinsipnya, si tukang berpolemik merasa punya hak untuk memulai perang dan menjadi petarung sebagai alasan yang dapat dibenarkan; orang-orang yang diserang si tukang berpolemik ini tidak dianggapnya sebagai mitra pencari kebenaran, namun musuh bebuyutan yang keliru, berbahaya dan mengancam. Bagi si tukang berpolemik, arena permainan tidak menyertakan syarat untuk mengakui lawannya sebagai subjek yang memiliki hak untuk berbicara, namun musuh yang harus ditaklukkan dengan segala cara, interlokutor yang harus dibasmi dan jangan sampai dia berkesempatan memulai dialog. Tujuan akhir pertarungannya bukanlah sampai pada kebenaran sedekat mungkin, betapapun sulit jalan menuju ke sana, namun bersorak-sorai atas kemenangan yang premis dasar dan alasan pembenarnya sudah ia ajukan sejak awal mula … Berurusan dengan si tukang polemik tidak memunculkan ide baru bagi kita.”

Dalam terang pengertian di atas, demikian Rabinow, tidak mengherankan jika tukang berpolemik acapkali disebut sebagai barisan Enlightenment Fundamentalists yang gemar membuat kutipan-kutipan ciamik untuk meyakinkan lawan bicaranya, namun dirinya emoh terlibat dalam argumentasi rasional.

(to be continued)

Categories
Uncategorized

[Kolokium MFI 4 April 2022] Filsafat Komunikasi Pendidikan di Masa PJJ: Peluang atau Ancaman?

Materi disampaikan oleh Dr. Ririt Yuniar, S. Sos., M. Hum., seorang dosen Prodi Ilmu Komunikasi di Universitas Pancasila yang mengampu mata kuliah (di antaranya) Filsafat dan Etika Komunikasi. Mbak Ririt, demikian beliau biasa dipanggil, merupakan alumnus Program S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 2011 dengan disertasi yang dipertahankan berjudul “REPRODUKSI REALITAS POLITIK DALAM FOTO JURNALISTIK PADA KAMPANYE PEMILIHAN PRESIDEN 2009 DI INDONESIA.” Promotor disertasi mbak Ririt adalah Prof. Dr. Irwan Abdullah. Mbak Ririt juga seorang alumnus PPRA 48 Lemhannas RI 2012.

Dalam kolokium ini, saya berperan sebagai Moderator dan rekan diskusi dari Narasumber beberapa hari sebelum hari-H pelaksanaan Kolokium.

Berikut flyer dan deskripsi singkat topik yang dibawakan Narasumber:

Filsafat Komunikasi Pendidikan di Masa PJJ: Peluang atau Ancaman?

Dunia pendidikan global diguncang digitalisasi dan Pandemi Covid-19. PJJ dan belajar daring menjadi mantra baru proses belajar-mengajar menggantikan tatap-muka dan interaksi langsung di ruang kelas. Pendidik (guru dan orangtua) dan peserta didik mau tidak mau harus beradaptasi dengan situasi ‘kelaziman baru’ ini dengan susah-payah dan penuh perjuangan. Dalam bukunya yang terbaru Race, Politics, and Pandemic Pedagogy: Education in a Time of Crisis (Bloomsbury Academic, 2021), tokoh pendidikan kritis terkemuka Henry A. Giroux menyatakan bahwa munculnya krisis Covid-19 berarti krisis pendidikan di mana orang mulai memikirkan kembali sifat dasar politik dan kekuasaan sekaligus menandakan keruntuhan ekonomi yang mengungkapkan tingkat kemiskinan dan penderitaan massal yang sebelumnya tersembunyi di bawah retorika kapitalisme liberal. Pendidikan jadi tersandera karena para guru diminta untuk mempertaruhkan nyawa mereka dan nyawa siswa mereka untuk menjaga roda ekonomi tetap bergulir dengan menafikan peringatan dari para ahli kesehatan.

Pandemi Covid-19 menghasilkan zaman ketidakpastian, fragmentasi, keputusasaan, dan firasat buruk tentang masa depan. Kepastian telah digantikan oleh ketakutan bersama. Jika salah satu tujuan pendidikan adalah membebaskan manusia dari kelindan tri-matra belenggu ketakutan, kebodohan, dan kemiskinan, Covid-19 membawa gerbong pendidikan semakin mendekati jurang keputusasaan. Pedagogi pandemi bekerja secara tidak sadar sebagai mode afektif dari sabotase diri yang melegitimasi bahasa kebencian dalam percakapan sehari-hari, merendahkan orang kulit berwarna, mempromosikan kesembronoan melalui budaya selebritas di mana-mana, dan menghasilkan serangkaian praktik pedagogis otoriter yang berfungsi untuk mengeksploitasi, mendominasi, dan mendepolitisasi kita.

Pedagogi pandemi yang berlandaskan ketakutan dan kebencian seyogianya ditangkal dengan pedagogi kritis yang menjembatani interaksi sosial, keterlibatan dalam ruang publik, sekaligus praktik politik untuk memahami lebih jauh hubungan antara bagaimana belajar dan bagaimana bertindak sebagai agen individu dan sosial. Ini berarti merefleksikan secara tajam bukan hanya bagaimana individu belajar berpikir kritis tetapi juga bagaimana mereka menegaskan rasa tanggung jawab individu dan sosial sehingga litani ratapan dapat menjadi tabur harapan.

Dengan demikian, pedagogi kritis tidak hanya berhenti pada analisis tentang keadaan pikiran status quo dan inventarisasi masalah melainkan gugus praktik pemberdayaan yang berkelanjutan: suatu conditio sine qua non bagi perubahan sosial dan upaya transformatif tentang cara orang memandang diri mereka sendiri dan orang lain untuk kepentingan yang lebih besar, menjadi generasi yang cerdas berkarakter.

Dalam kolokium MFI kali ini, Dr. Ririt Yuniar menyulam analisis teoritis tentang pedagogi kritis sekaligus mengomunikasikan sejumlah rancang Kebijakan, Strategi, dan Upaya yang kontekstual guna menunjukkan arah Optimalisasi PJJ pada Era Kelaziman Baru untuk mencapai Hasil Didik yang Berkarakter. Selamat menyimak dan berpartisipasi!

(credit for flyer goes to Edward Daniel Simamora, Medical Interpreter at Propio Language Services & tutor at EF English First Makasar)

Berikut disampaikan tiga buah tangkapan layar saat mbak Ririt presentasi:

Adapun rekaman Kolokium di atas dapat ditonton kembali pada akun YouTube Masyarakat Filsafat Indonesia berikut ini:

Semoga Kolokium ini boleh menginspirasi para pembaca & pemirsa semua untuk menjadi Pendidik yang berani, bertanggungjawab, kritis dan kreatif!

Tabik!

Hendar Putranto

Categories
Uncategorized

Menguak Penyakit-penyakit Sosial (Laten) Masyarakat lewat Fenomenologi Kritis

Berikut Fenomenanya (dalam gambar):

Berikut Definisinya dan State of the Art persoalan:

Fenomenologi Kritis (FK) adalah cabang dari pendekatan fenomenologi yang merespon masalah-masalah yang sama yang dihadapi fenomenologi klasik sambil tetap mempertahankan fokus pada subjektivitas dan perbedaan sosial (Kinkaid, 2020). Sementara Sara Ahmed, salah seorang pemikir generasi awal dari FK dalam bukunya Queer Phenomenology Orientations, Objects, Others (2006), melihat bahwa FK berhutang budi pada jejak pemikiran dan tulisan para cendekia feminis, queer dan anti-rasis yang secara kreatif dan kritis bergulat dengan tradisi Fenomenologis. Di antaranya para filsuf feminis yang mengaji secara mendalam tentang tubuh & subjektivitas seperti Sandra Battky (1990), Iris Marion Young (1990, 2005), Rosalyn Diprose (1994. 2002), Judith Butler (1997a), dan Gail Weiss (1999), juga fenomenolog perempuan seperti Edith Stein (1989) dan Simone de Beauvoir (1997), fenomenolog queer seperti (Fryer 2003) dan fenomenolog ras seperti Frantz Fanon (1986), Lewis R. Gordon (1985), dan Linda Akoff (1999). Mereka berhasil menunjukkan kepada kita bahwa gugus perbedaan sosial merupakan dampak dari bagaimana tubuh memukimi ruang bersama-yang-lain dan bagaimana mereka memproblematisasi aspek interkorporeal dari ‘kebermukiman tubuh’ (bodily dwelling).

Mengambil inspirasi dari tulisan dan pengalaman Frantz Fanon, Lisa Guenther dalam Solitary confinement: social death and its afterlives (2013) mendefinisikan FK sebagai berikut: “Fenomenologi Kritis bergerak melampaui fenomenologi klasik dengan merefleksikan struktur2 sosial yang kuasi-transendental yang membuat pengalaman kita akan dunia menjadi mungkin dan bermakna. FK juga melibatkan diri dalam praktik material menstrukturkan ulang dunia agar dapat menghasilkan dunia yang lebih terbuka bagi pengalaman dan eksistensi bermakna. Karenanya, FK merupakan cara berfilsafat sekaligus aktivisme politik. Tujuan akhir dari FK—menggemakan suara kenabian Marx—bukan hanya menafsirkan dunia namun juga mengubahnya” (Guenther, 2013: 15-16).

Secara lebih filosofis, Marder dalam Phenomena—critique—logos: The project of critical phenomenology (2014) menyitir pandangan fenomenolog awal yang cenderung memandang berpikir kritis sebagai spekulasi abstrak dan kosong, ikhtiar ontologis dari selayang-pandang mata elang, pendekatan yang tidak mau repot-repot memerhatikan detil halus kesadaran manusia, eksistensi dan relasinya dengan dunia. Dus, FK merupakan triangulasi dari kritik dengan fenomena dan logos, sebuah ikhtiar menjembatani ketiganya. Kesatuan absolut dari fenomena dan logos hadir dalam deklarasi apophainesthai ta phainomena, atau “membiarkan ia yang menampakkan dirinya dilihat dari dirinya sendiri dengan cara sepersis-persisnya ia menampakkan dirinya dari dirinya.”

Tokoh kunci lain dari FK, Gayle Salamon, dalam artikel yang dimuat khusus dalam Puncta, Journal of Critical Phenomenology (2018) melacak asal-muasal FK dengan “bertolak dari hasil pertemuan tahunan Masyarakat Filsafat Fenomenologi dan Eksistensial pada 1984 dan 1985. Donn Welton dan Hugh Silverman kemudian memublikasikan buku Critical and Dialectical Phenomenology (1987) yang menjadi resume dari pertemuan tahunan tersebut. Istilah FK muncul sekali dalam buku ini dan membaharui pengertian fenomenologi klasik secara khusus yaitu Fenomenologi yang lebih dialektis dan kritis yang berakar pada tradisi fenomenologi klasik sekaligus bergerak melampaui batas-batasnya dalam hal konten, metode atau disiplin.”

Konteks kelahiran FK didedah Rasmus Dyring (2020), tokoh antropolog FK, dengan mengatakan bahwa semenjak pergantian Milenium ketiga, FK telah berkembang secara paralel dengan filsafat dan antropologi yang di dalamnya terjadi penyerbukan-silang. Sebagai aliran filsafat, fokus Fenomenologi meletak pada upaya menyingkap struktur transendental dari subjektivitas yang mengondisikan pengalaman yang dihayati secara konkrit, sementara FK mengombinasikan sensitivitas fenomenologi klasik ini secara lebih kritis dengan melihat bagaimana subjektivitas dibentuk di bawah kondisi2 sosiokultural dan ekonomi yang kuasi-transendental—-experientially accessible and ethico-politically mutable. Baik dalam filsafat maupun antropologi, FK terinspirasi dan diprovokasi oleh pemikiran feminis dan teori queer, dengan bertolak dari duniakehidupan kaum marjinal, mereka yang berada di pinggiran masyarakat, misalnya: orang kulit berwarna, LGBT, pecandu obat-obatan terlarang, tunawisma, serta mereka yang dianggap lali jiwa.

Beberapa buku “kanon” dalam tradisi FK:
1) Sara Ahmed (2006). Queer Phenomenology: Orientations, Objects, Others. Durham: Duke University Press.
2) Lisa Guenther. (2013). Solitary confinement: social death and its afterlives. Minneapolis, MN: the University of Minnesota Press.
3) Michael Marder (2014). Phenomena—critique—logos: The project of critical phenomenology. New York: Rowman & Little.
4) J. Aaron Simmons & J. Edward Hackett. Tim Penyunting. (2016). Phenomenology for the Twenty-First Century. London: Palgrave-Macmillan.
5) Mariana Ortega. (2016). In-Between: Latina Feminist Phenomenology, Multiplicity, and the Self. Albany: State University of New York Press.
6) Gayle Salamon. (2018). The Life and Death of Latisha King: A Critical Phenomenology of Transphobia. New York: New York University Press.
7) Gail Weiss, Ann V. Murphy, Gayle Salamon. Tim Penyunting. (2020). 50 concepts for a critical phenomenology. Northwestern University Press.
8) Kirsten Simonsen & Lasse Koefoed (2020). Geographies of Embodiment: Critical Phenomenology and the World of Strangers. London, Thousand Oaks, CA, New Delhi & Singapore: SAGE Publications.

Berikut Flyer acara yang membahasnya (JLS: Jangan Lupa Selasa)

Credit goes to Kang Alfathri Adlin for the flyer design

Berikut Screenshot Momen Pembahasannya:

Berikut 4 quotes penguat pentingnya menggunakan teropong Fenomenologi Kritis utk membahas penyakit2 sosial dalam masyarakat kontemporer:

Berikut link YouTube-nya untuk menonton (kembali) presentasi saya tentang topik ini secara menyeluruh:
Sesi Pemaparan (Part I): https://youtu.be/0G4gClXBYU8
Sesi Tanya Jawab (Part II): https://youtu.be/j6_Njs7-ui0

Semoga pengantar tentang Fenomenologi Kritis ini dapat membuka wawasan kita tentang kait-kelindan keragaman topik, pendekatan, perhatian, kajian dan dinamika pergumulan kekuasaan-dalam-perbedaan dan perbedaan kekuasaan di atas!

(Hendar Putranto, © 2022)

Categories
Uncategorized

Quid quæritis? Apa yang kamu cari? (sebuah renungan)

Generasi muda yang bersemangat, apa yang sedang kamu cari dalam hidup ini? Apakah harta kekayaan yg berlimpah-limpah sampai tujuh turunan tidak habis-habis? Menjadi crazy rich yang mengundang decak kagum dan memikat jutaan followers? Jadi Sultan yg dipuja-puji krn naik jet pribadi dan petantang-petenteng naik Lamborghini sambil nenggak Martini?

Saya mau berbagi skrinsyut deretan kisah kontroversial dari para “Crazy Rich” berikut ini yang mungkin dapat kamu jadikan kaca benggala sebelum melanjutkan “pencarian”-mu.

Saran-saran yg diberikan Prof. Rhenald Kasali berikut ini mungkin baik disimak sebagai guidance how to proceed in times of turbulence & uncertainty:

Kalau masih nekat juga, mungkin ada baiknya berdoa saja Doa Ketenangan Batin seperti di bawah ini:

Categories
Uncategorized

Gairah akan Kesempurnaan: Refleksi Michael J. Hyde dalam buku Perfection (2018)

Tuhan, alam, keindahan, dan keheningan secara harmonis bekerjasama menstimulasi pengalaman akan kesempurnaan.
Pengalaman ini amat indah dan menyenangkan.
Perasaan syahdu yang menyertai pengalaman ini membantu menumbuhkan gairah akan kesempurnaan.
Gairah ini memainkan peran mendasar bagi kita untuk menjalani hidup sosial dan politik terutama ketika kita berikhtiar untuk mempertahankan dan memajukan perjuangan untuk bertahan hidup, memahami dunia, menjadi orang yang lebih baik, dan menjalani hidup yang baik.
Gairah akan kesempurnaan itu hal yang patut dipuji;
ia mendefinisikan diri kita sebagai makhluk metafisik, ciptaan yang memiliki kerinduan, nostalgia, akan rasa aman, nyaman dan kepenuhan hidup.

refleksi Michael J. Hyde (Filsuf Komunikasi dan Ahli Retorika)
dalam buku terbarunya, Perfection: Coming to Terms with Being Human (Baylor University Press, 2018)

Berikut cover bukunya kalau Anda berminat mencari dan membacanya sendiri dan (moga2) mengalami pencerahan batin setelah membacanya.

salam,

Hendar

Categories
Uncategorized

Valentine, Feb. 14, 2022: Is LOVE blind? Or is it hatred that “blind”?

Seems like we have to revise the popular tagline surrounding “love” in Valentine’s Day commemoration this year: “LOVE is blind” 🙂

Moga2 aja penggalan quote dari saya ini (lumayan) mencerahkan, meskipun tidak ada jaminan bahwa pesannya akan dijalankan/diadopsi sebagai pandangan hidup 😀

Oia, satu lagi. Perayaan Valentine yg “bener & pener” dlm arti mencintai perbedaan dan bukan malahan “menghabisi”/”meniadakan” perbedaan juga perlu lebih dibudidayakan dalam masyarakat kita yah.
Soalnya tuh aku sedih banget pas baca buku di bawah ini:


Salamon, G. (2018). The Life and Death of Latisha King: A Critical Phenomenology of Transphobia. New York: New York University Press.

dan mengetahui fakta pilu bernama transphobic di negara (yg dianggap banyak orang) keren, maju (advanced) & demokratis kayak USA (FYI: peristiwa ditembaknya Latisha King sama temen sekolahnya sendiri terjadi di USA pada 12 Februari 2008, pas lagi jam pelajaran komputer … duuuuh).

Klo mau dapat gambaran kronologis peristiwanya cek di sini dulu yah gaess: https://en.wikipedia.org/wiki/Murder_of_Larry_King


(pas searching di google kemaren aku tuh nemu fakta bahwa transphobic & homophobic ini jd perhatian dan agenda global, PBB pun ngasih perhatian khusus utk fenomena ini)

Rest in peace Latisha King, may your “coming out” & “staying cool” amidst waves of hatred & transphobic culture quench our sensitivity and loving gaze towards “differences” (whatever that entails)

Hendar Putranto (c) 2022