Categories
Uncategorized

[DAY 138] Mengulik Arkeologi Media

What is Media Archeology? (Jussi Parikka, 2012)
Cambridge (UK) & Malden, MA (USA): Polity Press.

Daftar Isi

1 Pengantar: Kartografi dari Yang Lama dan Yang Baru 1
2 Arkeologi Media terkait Rerasa: Audiovisual, Afektif, Algoritma 19
3 Media Imajiner: Memetakan Objek-objek yang Aneh 41
4 Teori Media dan Materialisme Baru 63
5 Memetakan Suara Berisik dan Hal-hal Cilaka 90
6 Dinamika Pengarsipan: Budaya Piranti Lunak dan Warisan Digital 113
7 Mempraktekkan Arkeologi Media: Metodologi Kreatif untuk Remediasi 136
Kesimpulan: Arkeologi Media dalam Budaya Digital

Pertanyaan mendasar dari kajian arkeologi media seperti menggemakan pertanyaan Foucault dalam karyanya Arkeologi Pengetahuan: kondisi-kondisi eksistensi seperti apa sampai bisa muncul barang yang ini, pernyataan yang itu, wacana yang ini dan kemajemukan praktik yang termediatisasi yang di dalamnya kita hidup? Pertanyaan semacam ini membidik aspek politis, etis, ekonomis, teknologis, ilmiah dan lainnya dan jangan sampai ada aspek yang dilewati pembahasannya (h. 18).

Manajemen objek “pengarsipan” biasanya tidak gamblang dilihat para pengunjung museum. Tapi sekarang, dengan mentasnya budaya digital, terjadi tren digitalisasi dari pengarsipan dengan menggunakan, misalnya RFID (Radio Frequency Identification). Pengarsipan digital merujuk pada sebuah dunia fantasi yang di dalamnya setiap objek dapat disematkan chip penanda (taggable), dapat dilacak, dan dapat dikelola. Dunia fantasi ini lantas menjadi gudang penyimpanan yang super besar: gudang arsip, database (h. 159).

Jangan berpikir bahwa media arkeologi itu cuman urusan kajian media atau kajian film di kampus. Arkeologi media dapat ditemukan di dalam dan di luar lembaga, orang-perorangan pun bisa. Misalnya di studio seni, di museum, gerobak sampah atau di TPA, lintas batas geografis dan institusi akademis yang berbasis negara-bangsa, dari Amerika Utara sampai Eropa, dari Amerika Latin sampai ke Australia, Jepang, Indonesia, dll. Dari wacana akademis ndakik-ndakik di Amerika Utara sampai ke puing-puing ideologi budaya teknologi bekas negara adidaya Uni Soviet di negara-negara satelitnya di Eropa Timur, sampai ke gunungan sampah elektronik di China, para seniman yang mendaur ulang ide-ide tentang hal usang dan budaya teknis di Berlin; ada beragam praktik yang dibahas, dengan berfokus pada praktik-praktik yang dilakukan kaum marjinal di periferi; lembaga-lembaga konkret yang berkelindan dengan agenda kaum intelektual dan aktivis kritis nlekutis. Ringkasnya, arkeologi media itu berkelana alias jalan-jalan (h. 160).

Buku Arkeologi Media ini bukan hanya membahas soal sejarah munculnya media lama dan media baru yang berkelindan dengan gugus praktik, aparatus (piranti/gawai) dan ide-ide yang datang dan pergi, namun juga bicara tentang sejarah, tentang waktu, dan tentang perngarsipan yang merupakan konsep kunci dalam budaya digital. Nah, yang namanya konsep juga berkelana lho. Terkait pengarsipan, ia bukan hanya berupa tumpukan kertas di dalam lemari-lemari besi, namun juga pengarsipan yang ada di awan (clouds) untuk menyimpan ratusan giga foto liburan; juga pengarsipan yang merupakan agregat dari platform medsos yang kita gunakan untuk mejeng, pamer dan belanja, perilaku daring pengguna yang diekstrak lewat datamining (kunci dari model bisnis dalam budaya jejaring); pengarsipan juga berlangsung di dalam mikrochip yang berfungsi memproses kerjanya komputer dan telpon pintar kita untuk jangka waktu yang sangat singkat, penyimpanan sementara yang biasa disebut RAM.

Karena itu, terkait media arkeologi yang lintas keilmuan serta batas ruang dan waktu seperti ini, pantas ditanyakan hal berikut: bagaimana cara agar kita tetap menjaga api semangat ‘kepo’ transdisipliner dan radikalitas berpikir dalam situasi terkini di mana gelar-gelar pemberian universitas tereduksi sedemikian rupa sehingga menjadi ‘syarat administratif’ (kualifikasi) saja untuk melamar pekerjaan? (h. 161)

Memberi tekanan pada TINDAKAN/PERILAKU/AKTIVITAS
Dalam buku ini saya menekankan kamu bisa apa/ngapain dengan arkeologi media, bukan cuman ngerti artinya apa. Sean Cubitt (2004: 11) menulis dalam majalah Cinema Effect: ‘Tugas teori sekarang bukan lagi negatif (menelanjangi kekuasaan, misalnya), apalagi tugas teori media, seharusnya ia memampukan: mengekstrak dari kumpulan teori yg ada dan bagaimana mendaur ulang ide-ide yang ada yang belum begitu dikembangkan dan cara-cara baru untuk memberdayakan ide-ide tersebut.’ Cara pandang seperti ini mendorong para media theorists untuk memetakan gugus potensi untuk masa depan alih-alih menggali-gali kubangan sejarah (doang). Dalam arti ini, arkeologi media dapat dipahami sebagai sebuah proyek politis karena ia membuka ruang eksplorasi tentang pengetahuan praktis (apa yang bisa dilakukan?)

Saya cenderung menghindari penggunaan model kritik ilmu-ilmu kemanusiaan tradisional dan lebih bertumpu pada penggunaan analisis media yang diusung Deleuze & Guattari untuk mengupas lapis-lapis terbentuknya sejarah media, suatu ‘sedentary point of view’ (Deleuze & Guattari, 2004: 25) yang dalam arti tertentu justru menghambat letupan-letupan kreatif dan kebaruan gagasan, sebuah metode yang disebut nomadologi: menelusuri dari dekat hal-hal yang terlihat kecil (fleeting, minor) tapi ternyata memiliki dampak besar, sebuah moda pengetahuan dan produksi pengetahuan yang menekankan terbentuknya hubungan-hubungan baru yang bukan melulu mereproduksi gagasan/hubungan/moda produksi yang lama atau yang sudah ada, tapi memproduksi “new modes of existing, thinking and creating.” Model kartografi pengetahuan secara nomadik yang diajukan Deleuze dan Guattari, juga Rosi Braidotti (2002) untuk telaah kajian kemanusiaan berjender abad ke-21, merupakan eksperimentasi yang menekankan pada ‘keterhubungan antara ranah’ (fields) sekaligus menyemenkan dimensi-dimensi baru telusur gagasan termasuk transformasi dan perubahan yang meletak di inti cipta-karya pengetahuan. Model berpikir seperti ini penting bagi pembentukan masa depan arkeologi media.

Yang saya lakukan dalam buku ini lebih dekat dengan yang disampaikan ahli media dari Jerman bernama Zielinski yang mendorong saya untuk menemukan aspek yang baru dalam artefak lama, juga hubungan-hubungan baru dari piranti media lama dalam kaitannya dengan praktik-praktik budaya; kebaruan itu juga muncul lewat pertanyaan: mau dibawa ke mana arkeologi media dan bagaimana membuat kajian ini tetap menarik lebih dari sekadar sub-bagian dari sejarah media? Media arkeologi dengan demikian bergerak dari telaah media lawas menuju “media baru” seperti kajian piranti lunak, aplikasi dan platform serta pokok-pokok perdebatan lain dalam budaya digital.

Memberi tekanan pada MATERI
Arkeologi media yang berparadigmakan konstruksionis-sosial di antaranya muncul dalam pandangan ahli media Lisa Gitelman yang mengatakan bahwa media adalah “socially realized structures of communication, where structures include both technological forms and their associated protocols, and where communication is a cultural practice, a ritualized collocation of different people on the same mental map, sharing or engaged with popular ontologies of representation” (2006: 7).

Persoalan media sebagai representasi tidak bisa dengan gampangnya direduksi sebagai obsesi pada kajian material media itu sendiri (medium is the message), namun perlu diperiksa lebih luas lagi, budaya media dan praktik desainnya, materi seperti apa yang disertakan dalam rancang prototipnya, telusur sejarah dan arkeologi mana yang bermakna sehingga menghasilkan wujud teknologi media tertentu, sekaligus konteks ilmiah, teknologis, artistik, sosial, ekonomis, termasuk pasar tenaga kerja dan alamiah/ekologis yang melingkupi kajian media, seni dan komunikasi.

Ulasan singkat:
Kekuatan buku ini terletak pada:
1) Kebaruan paradigma yang ditawarkan untuk memahami sejarah media yang tidak menggunakan paradigma positivistik, tapi lebih ke social constructionism dan ini mengubah lanskap pemahaman pembaca tentang sejarah dan unsur-unsur konstitutif penyusunnya.
2) Parikka berhasil menghubungkan aspek-aspek lama perkembangan sejarah media ke dalam wujud-wujudnya yang baru (disebut New Media) dan melacak jejak perkembangan teknologi media tersebut ke aspek kontekstualnya (disebut: conditions of existence). Terlihat bahwa pertarungan ideologi (makro), organisasi/kelembagaan (meso) dan orang-perorangan (sosok genius penemu, misalnya)
3) Pengarsipan bukanlah hal sederhana dalam budaya digital. Ada potensi preservasi warisan tapi ada juga unsur kehilangan aura dan eksklusivitas akses (terhadap warisan tersebut) membuat penghargaan pengguna terhadap karya-karya klasik sama nilainya dengan, katakanlah, membaca koran digital.

Hendar Putranto (c) 2020

Categories
Uncategorized

[DAY140] The Medium is The Meta-Message: Sebuah Analisis Wacana Kritis telaah pesan kenaikan angka kasus Covid-19

Seminggu dua minggu terakhir ini (Agustus akhir sampai 11 Sept 2020 sekarang) kita dipenuhi kecemasan, was-was, karena angka kasus Covid-19 naik lagi—terutama di DKI Jakarta dan daerah di sekitarnya—, moda penularan yg sudah dominan mengarah ke klaster keluarga dan antar-warga, juga gejala ketika banyak orang yang nekat dan sabodo teuing pake masker atau tidak ketika keluar rumah berkelana ke ruang-ruang publik.

Rencana penerapan PSBB ketat pada Senin 14 September 2020 minggu depan di DKI Jakarta sudah mulai meresahkan banyak pihak, terutama mereka yang selama beberapa bulan terakhir hidupnya (penghasilan dan penafkahan) empot-empotan.

Membaca pesan tersirat “angka kasus Covid-19 nasional” naik lagi [ada datanya, silakan cek di https://covid19.go.id/ atau di https://kawalcovid19.id/] perlu dipahami maknanya bukan hanya pada “pesan” (message) yang tersurat, yang dikatakan, dituliskan, atau ditayangkan (media), namun juga pada pesan yang tersirat, meta-messages.

Menurut Tannen (2013), ada sejumlah besar pengaruh budaya yang melatari/mengkontekskan pesan secara tersirat, namun ada lima faktor primer yang lebih berpengaruh, yaitu etnisitas, latar-belakang geografis, umur, klas, dan gender.

Selain kelima faktor primer budaya tersebut pun, dalam analisis terhadap ‘gaya percakapan,’ kita masih harus memperhatikan sejumlah fenomena linguistik yang terkait dengan tuturan pesan, misalnya “pitch, amplitude, length of pauses, rate of speech, intonational contours, relative directness versus indirectness, discourse structure, and humor,” juga orientasi seksual dan profesi.

Jika kombinasi dari kedua kategori besar (faktor budaya dan faktor fenomena linguistik) ini digabungkan, akan terlihat bahwa pesan tidak bermakna tunggal, melainkan sarat nuansa dan terbuka untuk ditafsirkan (pendengar/audiens) tergantung aspek mana yang lebih ditonjolkan (salient) dan aspek mana yang lebih dikesampingkan.

Contoh, jika pihak yang menyampaikan “angka kasus Covid-19 naik lagi” ini seorang pejabat publik seperti Gubernur atau Bupati, tentu akan berbeda gaya, nuansa, konteks maupun dampak dari penyampaian pesannya daripada jika yang menyampaikannya seorang dokter dari sebuah Rumah Sakit Pemerintah.

Sayangnya, pemahaman tentang kekayaan nuansa yang tersirat yang mengkontekskan suatu pesan ini acapkali diabaikan dan audiens hanya terpaku pada atau makna (tunggal dari) pesan yang tersurat atau salah satu/dua aspek saja dari faktor budaya dan/atau fenomena linguistik yang tersirat.

Ketakutan dan kecemasan audiens yang berlebih (dalam suatu setting kedaruratan) memang dapat mereduksi kekayaan penafsirannya atau penafsiran mereka terhadap pesan yang disampaikan sehingga alih-alih membawa kelegaan dan menawarkan solusi, justru nambah-nambahi beban pikiran tak terperi (“bikin kusut hati”).

Rujukan: Tannen, D. (2013). The Medium Is the Metamessage: Conversational Style in New Media Interaction. In Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Editors. DISCOURSE 2.0: Language and New Media(pp. 99-117). Washington, DC: Georgetown University Press.

Categories
Uncategorized

[DAY137] Filsafat Ilmu-ilmu Sosial: Peluang & Tantangannya sekarang

Semoga bermanfaat yes

Rujukan utama:
Rosenberg, A. (2016). Philosophy of social science. Fifth edition. Boulder, CO: Westview Press.

Categories
Uncategorized

[DAY136] BookNotes: Science on the Ropes oleh Carlos Elias (Springer-Nature, 2019)

[Resume buku]
Elías, C. (2019). Science on the Ropes: Decline of Scientific Culture in the Era of Fake News. Springer-Nature.

Latar belakang penulis buku ini:
Carlos Elías adalah seorang Profesor Kajian Jurnalistik di Universidad Carlos III de Madrid (Getafe, Spanyol) yang sebelumnya berlatar keilmuan Kimia dan Ilmu Informasi dari the University of La Laguna, Spanyol, kemudian mendapatkan gelar Doktornya juga dari Universitas yang sama. Spesialisasi risetnya adalah soal Jurnalisme, Teknologi dan Ruang Publik dan beliau pernah menjadi dosen terbang di LSE (Inggris) dan Harvard (USA). Sebelum berfokus pada dunia Pendidikan Tinggi, beliau mempraktikkan kompetensi jurnalismenya di Agencia Efe dan El Mundo. Buku terbaru yang ditulisnya berjudul Science on the Ropes: Decline of Scientific Culture in the era of Fake News (Penerbit: Springer-Nature, 2019). Sekarang beliau dipercaya menjadi Direktur Program Magister Corporate Communication di UC3M. Peta perjalanan risetnya meliputi isu big data dan jurnalisme (2013-2017) dan sekarang soal isu Fake News dan algoritma deteksi kebohongan/hoax (2019-2021).

RESUME:

Di tengah ancaman merebaknya kabar bohong dan sains palsu (Pseudoscience), Carlos Elías menuliskan buku ini. Bertolak dari pertanyaan hipotetis kontroversial, “Benarkah cengkeraman Dunia Barat terhadap Sains yang didasarkan pada cara berpikir rasional dan berbasis bukti empiris mulai mengenderu? Jika ya, apa bukti2nya? Lalu, siapa/negara-negara mana yg menggantikan peran AS menjaga ‘rasionalitas’ Sains?” Elías mendaku bahwa Asia mengalami apa yang dialami Barat pada abad ke-16 dan 17, kemajuan saintifik dan teknologi yang pesat. Elías juga membahas dalam bukunya ini mengapa negara-negara Barat, utamanya Amerika, mulai kehilangan gairah pada subjek/kajian STEM dan lebih “menyukai” post-truths, alternative facts dan, tidak jarang, irrationality. (**)

Berikut kutipan langsung dari buku yang ditulisnya, “This book is the result of trying to answer two questions that, I believe, are related: why irrationality is emerging in the media and in society; and why there is a decrease in the number of vocations using the most rational degrees: science, technology, engineering and mathematics” (Elías, 2020: 3).

Dalam era yang lebih didominasi budaya media sosial, Elías mengamati bahwa lebih banyak mahasiswa Barat yang sekrang membanjiri studi-studi ilmu kemanusiaan dan meninggalkan obsesinya pada studi-studi STEM. Fenomena ini dibandingkannya dengan yang dialami Spanyol pada era Konter-Reformasi (abad ke-17), ketika para Yesuit dan Gereja Katolik memelopori “contempt and an intolerance of science and technological development” yang berdampak pada, salah satunya, merosotnya kekuasaan imperial (baca: hasrat kolonialisme/penjajahan) Spanyol.

Selain itu, juga terlihat jelas bahwa universitas dan pengaruhnya terhadap media justru malah menempatkan (memuja) emosi di atas kemampuan rasional sehingga menyuburkan berkembangnya (kultus) budaya selebritis.

[Pertanyaannya: apakah perbandingan ini valid atau tidak jika ditinjau dari aspek hermeneutika sejarah dan budaya? Ini pokok yang masih harus diuji lagi lintas negara dan dokumentasi rujukan]

Saya, Hendar Putranto, akan mengutip secara agak panjang dari buku Elías (2020: 174-175) kisah tentang “beberapa ilmuwan alam yang berhasil melucuti tembok-tembok jargon yang diusung jurnal sains sosial dan budaya” berikut ini.

Kejadiannya belum lama ya ini, baru tahun 2018 lalu.

Pada 2018, tiga orang ilmuwan bernama James Lindsay, Helen Pluckrose, dan Peter Boghossian (*) menulis duapuluh (ya, 20!) artikel ngawur dengan menggunakan jargon-jargon yang sedang ngetren dan menyusun argumen yang berujung pada sejumlah kesimpulan yang ngaco & menggelikan, kemudian berusaha memublikasikan artikel-artikel tersebut di jurnal bereputasi internasional, termasuk yang mengusung nama “cultural studies.” Meskipun kemudian mereka bertiga mengakui “eksperimen gila” mereka tersebut ke muka publik sebelum tuntas, dan ini sudah diinvestigasi media terkemuka, Wall Street Journal, tingkat kesuksesan artikel mereka untuk tembus di jurnal relatif tinggi. Pada Oktober 2018, tujuh dari belasan artikel yang sudah mereka kirimkan dinyatakan “DITERIMA” untuk dimuat di jurnal-jurnal serius (peer-reviewed journals). Padahal, mereka sendiri menyatakan bahwa artikel-artikel yang mereka tulis ini ‘shoddy, absurd, unethical and politically-biased’. Tujuh artikel lagi masih menempuh proses review dan hanya enam artikel yang ditolak.

“Dengan sengaja, untuk mengetes rigoritas akademis yang diberlakukan di kanon jurnal akademis, kami membuat ‘artikel-artikel palsu’ ini bukan dengan tujuan produksi pengetahuan tapi sophistry (mengecoh dengan menggunakan kata-kata yang terlihat canggih)”

Ada satu makalah yang ditulis yang membahas tentang budaya pemerkosaan yang terjadi di dog parks (penulis mengaku sudah memeriksa alat kelamin sekitar 10 ribu anjing sambil menanyai para pemilik anjing tentang jenis kelamin anjing-anjing mereka) mendapatkan penghargaan sebagai salah satu dari 12 karya tulis terbaik dalam kajian geografi feminis oleh jurnal terkemuka Gender, Place and Culture, yang memublikasikan makalah tersebut.

Pada sebuah artikel yang dimuat di Majalah Areo berjudul ‘Academic Grievance Studies and the Corruption of Scholarship,’ penulis menyatakan hal menarik berikut ini:

“Ada yang salah di universitas, khususnya di sejumlah disiplin keilmuan bernama Ilmu Kemanusiaan. Kesarjanaan (kepakaran) justru tidak lagi didasarkan pada upaya mencari dan menemukan kebenaran (ilmiah) melainkan pada memberi perhatian terhadap aspek-aspek yang disebut ketidakberesan sosial (social grievances), dan ini semakin menjadi cara-pandang yang dominan dalam bidang-bidang keilmuan tersebut, padahal cara pandang ini tidak ilmiah dan tidak rigor (dalam metodologi). Karena alasan inilah maka kami bertiga (Lindsay, Pluckrose & Boghossian) menghabiskan waktu satu tahun untuk melihat dari dalam apa penyebab dari masalah ini. Kami menulis sejumlah makalah ‘ilmiah’ yang lalu kami kirimkan ke sejumlah jurnal ilmiah bereputasi yang berlabel “cultural studies” atau “identity studies” (misalnya, kajian gender) atau “teori kritis” karena bidang-bidang kajian ini berakar pada ‘teori’ pascamodern yang mulai muncul di akhir tahun 1960-an. Kami menyebut bidang-bidang ilmu baru ini dengan nama “grievance studies” karena tujuan keberadaan ilmu-ilmu baru ini adalah memproblematisasi aspek-aspek budaya dengan sedetil-detilnya untuk menunjukkan (diagnosis) adanya ketimpangan kekuasaan dan penindasan yang berakar pada identitas.”

Menurut pandangan Elías, letak kurang seriusnya para peneliti ilmu2 sosial adalah ketika mereka memilih untuk memublikasikan hasil survey/penelitian mereka di media massa alih-alih di jurnal bergengsi, atau di buku yang mereka tulis, sunting, dan danai sendiri menggunakan dana penelitian mereka, alih-alih mengirimkan data dan temuan penelitian mereka untuk diperiksa (di-review) oleh para sejawat mereka dalam sistem yang “rigorous, blind evaluations.” Di sinilah letak kendornya keilmiahan dari temuan para ilmuwan sosial, selain pembuktian soal “kedodoran” rigoritas jurnal-jurnal ilmiah sosial yang sudah dibuktikan Lindsay, Pluckrose & Boghossian pada 2018 lalu.

Berikut saya kutipkan (dengan cara mengalih-bahasakan) bab per bab dari buku yang ditulis oleh Carlos Elías (sumber rujukan dari https://www.springer.com/gp/book/9783030129774)

Bab 1. Pengantar
Ada dua arus mengkhawatirkan yang sekarang menerpa Barat: muncul dan meruapnya kabar bohong (hoax) dan merosotnya ketertarikan para (maha-)siswa untuk mempelajari dan masuk kuliah ambil jurusan ilmu-ilmu STEM (science, technology, engineering and mathematics).

Bab 2. Sains pada Abad XXI
Paradoks yang mewarnai dunia akhir-akhir ini kira-kira dapat digambarkan sebagai berikut: Semakin hari itu kita semakin tergantung pada sains dan teknologi; setiap hari juga, sains mengetahui lebih banyak tentang hal-hal yang terjadi di dunia dan sains dapat menjelaskan dunia dengan lebih baik pada kita; tapi, anehnya, semakin hari orang semakin kurang percaya dan kurang menghargai (temuan dan penjelasan) sains tsb.

Sila lihat link di atas untuk lengkapnya resume setiap bab dalam buku ini.

Rujukan lain:
(*) What an Audacious Hoax Reveals About Academia: Three scholars wrote 20 fake papers using fashionable jargon to argue for ridiculous conclusions.
OCTOBER 5, 2018
Yascha Mounk (Contributing writer at The Atlantic)
Dikutip dari https://www.theatlantic.com/ideas/archive/2018/10/new-sokal-hoax/572212/

**) Is Western culture balancing on a tightrope between science and humanities?
oleh Springer
https://phys.org/news/2019-09-western-culture-tightrope-science-humanities.html

Categories
Uncategorized

[DAY135] Mengkomunikasikan Sains: Pegimane caranye?

Buku yg dirujuk:

[1] Daftar Isi

[2] Profil singkat penulis buku
Craig Cormick adalah seorang komunikator dan penulis buku-buku tentang Sains asal Australia. Sudah sekitar 30 buku fiksi dan non-fiksi dihasilkannya, dan belasan artikel di jurnal bereputasi. Terlibat aktif di the Canberra writing community, mengajar dan menyunting buku, beliau juga mengepalai Pusat Penulisan bernama the ACT Writers Centre sejak 2003 sampai 2008 dan pada 2006 diundang sebagai pengajar tamu di the University of Science (Penang, Malaysia).

[3] Bagaimana bunyi kutipan pendahuluan yang dianggap penting oleh sang penulis?
“…keseluruhan industri akademis mulai berkembang dan semestinya hasil dari kemajuan ini menginformasikan kepada para ilmuwan apa yang harus dikomunikasikan, bagaimana mengkomunikasikan dan atas alasan/landasan apa mengkomunikasikan (sains). Riset tentang isu ini sudah tersedia banyak, namun sayangnya hasil-hasilnya seringkali dipublikasikan di tempat yang tidak dikunjungi para ilmuwan serta menggunakan bahasa yang tidak dipahami para ilmuwan. Akibatnya, ada keterpisahan antara mereka yang mau terus mengkomunikasikan hasil2 temuan sains dan mereka yang mau memberitahukan kepada para ilmuwan bagaimana cara mengatakan hasil temuan2 sains tersebut untuk khalayak yang lebih luas.” (Professor Brigitte Nerlich dari Nottingham University, Inggris dalam tulisan di blognya yang berjudul ‘Science communication: What was it, what is it, and what should it be?’)

[4] Apa tesis yang mau dipertahankan dalam buku ini?
Masalah komunikasi sains sebenarnya bukan hanya terletak pada kontroversi isu yang diteliti dan potensi dampaknya bagi kehidupan orang banyak (misalnya, berapa lama bumi ini dapat bertahan sebelum berakhir atau yang biasa disebut ‘akhir zaman’), juga bukan soal kredibilitas sumber (pakar) yang dirujuk (yang tidak jarang saling mengkontradiksi pandangan satu sama lain ttg pokok isu yang sama), atau sederhana/tidaknya bahasa yang dipakai dalam komunikasi temuan sains tersebut agar mudah dipahami awam, namun lebih ke soal bagaimana para ilmuwan saintis dan ilmuwan praktisi dapat sama-sama berikhtiar mencari titik temu yang dapat menjembatani ketidaktahuan (‘prasangka’) dari masing-masing pihak tentang maksud kubu yang satunya sehingga dari perjumpaan (titik temu) tersebut, problem2 dan temuan2 sains dapat dikomunikasikan pada dan lalu dipahami oleh baik para pengambil kebijakan maupun khalayak luas (awam terdidik).

[5] Masalah-masalah apa yang diidentifikasi penulis dan bagaimana solusi atas masalah2 tersebut?
>> dapat dilihat di Daftar Isi
Bisa juga dilihat di screenshot berikut ini:

[6] Apa manfaat bagi mereka yang membaca buku ini?
Manfaat praktisnya ada dua, yaitu:
(6.1.) Penulis berhasil merumuskan secara sederhana tiga langkah untuk menjadi seorang komunikator sains yang efektif, yaitu:
• kenali audiensmu
• sampaikan pesan kunci dalam cerita (kisah) yang memikat
• miliki tujuan yang jelas

(6.2) Meskipun buku ini memuat cukup banyak informasi yang bermanfaat bagi pembaca (lihat daftar isi!) untuk digali lebih jauh, dan dapat dijadikan rujukan P3K bagi yang malas membaca traktat2 sains yang terdiri dari ratusan bahkan ribuan halaman, tujuan penulisan buku ini sederhana dan jelas: Penulis mau menunjukkan kepada pembaca bahwa ada begitu banyak (luas) riset yang bagus yang dilakukan di luar sana yang (dalam buku ini) dikemas dalam format yang lebih sederhana untuk dipahami.

Manfaat teoritisnya juga ada dua, yaitu:
(6.3) Komunikasi Sains itu ilmu yang kompleks dan teknik untuk mengkomunikasikan data dan temuan-temuannya perlu terus-menerus diasah sehingga tajam dan “titis”. Semakin baik pemahaman si komunikator sains tentang jenis riset apa yang sedang dikerjakan, semakin baik juga si komunikator akan menyadari cakupan data dan instrumen yang digunakan untuk mengkomunikasikannya dengan lebih baik.

(6.4) Tanpa disadari, dimaui dan dilanggengkan, selalu terbentang rongak antara “those who live in
the world of science communication practice and those who live in the world of science communication theory.” Meskipun sudah ada upaya2 konkret dan sistematis untuk menjembatani rongak ini, misalnya dengan penerbitan seri jurnal ilmiah populer, atau buku2 Sains dengan ilustrasi, juga seminar2 yg mengundang baik praktisi maupun teoritisi untuk mendialogkan temuan-temuan mereka, tidak terlalu banyak juga yang akhirnya berbahasa dengan fasih di kedua ranah ini, atau bergerak bolak-balik dari ranah yang satu ke ranah satunya lagi. Orang cenderung berada dan menetap di salah satu kubu saja (dan merasa diterima dengan lebih baik di situ, ‘krasan,’ dan terdorong utk berkontribusi lebih). Arus informasi antara periset dan praktisi memang diharapkan selalu lancar alirannya, tapi lebih sering kita saksikan tidak demikian. Teori mendarat di jurnal2 sains yang memang teoritis sifatnya sehingga tidak mudah diakses mereka yang berbicara dalam kosa-kata science practice; begitu juga, para praktisi sains tidak mengumpulkan data yang oleh para periset dianggap berguna untuk digunakan dalam desain penelitian mereka.

Sedikit kutipan dengan nada anekdotal yang menarik terkait rongak ini, “Now don’t get me wrong, academic papers have their place in the world – but they are not the whole world. I have published research papers in several journals, including those that belong to Nature and Cell, two of the most esteemed journals, with very high impact factors. But to tell you the truth, the sky didn’t become bluer, and the kids didn’t stop looking at their phones when I talk to them, and my wife didn’t put me up on a pedestal – and in fact I didn’t even notice people paying much attention to the research before I published it in places like The Conversation.”

Terus, pelajarannya apa? Ya gak usah nunggu orang seperti Cormick ini utk datang dan mengalihbahasakan riset Anda menjadi bahasa yang lebih mudah dipahami para praktisi Sains dan khalayak awam terdidik. Andalah yang harus berusaha menuliskan artikel-artikel ilmiah dalam format yang lebih sederhana dan bahasa yang lebih mudah dipahami, “write plain speak articles and blogs and tweets and any things else that science communication practitioners – and just anybody who cares about better communicating science – can read and understand.”

Berikut dicontohkan sejumlah bentuk/format untuk mengkomunikasikan Sains yang belum terlalu digarap Cormick dalam bukunya ini:
• visualisasi data dan (info-)grafis
• fotografi
• vidio dan animasi
• teknologi digital yang sedang berkembang (Podcast, misalnya)
• data mining
• teater dan performa panggung (fisikal maupun digital)
• seni instalasi (event staging)
• pembelajaran berbasis permainan
• jenis-jenis pendidikan informal dan non-formal (studio alam, misalnya)
• musium dan pusat2 pemajuan sains, seni dan budaya

Dalam arti yang terakhir ini, “terus pelajarannya apa?”, pokok-pokok yang disampaikan Cormick (2019) belum terlalu jauh berbeda dengan empat asumsi tentang komunikasi sains yang pernah disampaikan Silverstone (1991) dalam tulisannya berjudul “Communicating Science to the Public” yang dimuat di jurnal Science, Technology and Human Values (STHV) (V. 16, No. 1, h. 106-110) yang bertolak dari program riset tentang pemahaman publik akan sains, di Inggris, yang ternyata berbagi empat asumsi dasar berikut ini:

Pertama, tidak ada itu yang namanya THE communication of science. Baik sains maupun lingkungan media yang meliput dan memberitakannya bukanlah fenomena tunggal dan seragam. Para ilmuwan berbeda pendapat; beragam media menjelaskan dengan berbagai penjelasan; para penerima pesan (audiens) menafsirkan keragaman liputan tersebut secara berbeda-beda dan berujung pada ragam pemahaman yang “distinct, even disjointed.”

Kedua, tidak ada juga yang namanya the public. Ada banyak panggung/khalayak untuk sains, spesialis dan awam, yang berkepentingan dan tidak berkepentingan, yang berkuasa dan kurang berkuasa; muda dan tua; laki dan perempuan. Meskipun ada juga hal-hal bersama yang dibagikan segmen2 publik ini, mereka juga sama-sama dapat memahami atau salah paham, meningat atau lupa, dengan cara yg berbeda2.

Ketiga, dalam lingkungan komunikasi modern, sains tidak dapat mendaku status istimewa atau diistimewakan. Sains ya harus berebut perhatian dari macam-macam pihak, seperti produser acara, maupun penerima pesan (komunikasi) atau audiens, dengan keragaman dan (kontrol berupa remote control di tangan mereka). Juga dengan para pengiklan komersial. Klaim-klaim yang dibuat sains tidak selalu harus (kalau bukan karena kasus yg heboh banget atau kontroversial) muncul ke permukaan media dan menarik perhatian audiens, baik itu kalangan profesional maupun khalayak umum, karena masih ada pihak-pihak lain juga yang berkepentingan untuk memaknai peristiwa yang terjadi (kaum agamawan, misalnya).

4. Tesis kehadiran media yang ada di mana2 (the omnipresence of the media) tidak sejajar atau sebangun dengan tesis kekuasaan mereka yang ada di mana2 (omnipotence). Memang diakui bahwa media massa (harap diingat bahwa pada tahun 1991 belum ada media sosial atau SNS; penetrasi internet dalam kehidupan publik pun masih sangat terbatas) memiliki peranan yang besar untuk membawa hasil2 temuan sains ke khalayak luas. Tapi kan masih ada agensi berupa lembaga2 lain yang juga memperkenalkan pengetahuan sains pada audiens mereka, sekolah misalnya, dengan para guru dan pengajar, memperkenalkan wajah sains yg formal; atau TV dan musium, yang memperkenalkan pengetahuan (sains) informal. Mereka ini saling berkompetisi dan berebut pengaruh dalam memaknai versi sains yang mereka wartakan dan belum lagi ada sejumlah faktor lain yang juga melakukan fungsi menafsirkan, mengubah, atau menentang komunikasi saintifik, misalnya adat istiadat setempat (local wisdom, local knowledges), pemahaman praktis yg sifatnya turun-temurun maupun yg berbasis komunitas, atau wacana akal sehat.

Categories
Uncategorized

[DAY 132] Fenomenologi dan Etika dari Teknologi Informasi: Kelindan yang saling mengandaikan dan memperjelas

Berdasarkan tiga bacaan berikut ini:
(1) [Chapter 7]Ethics,Phenomenology&Ontology. In The SAGE Handbook of Digital Technology Research (2015)
(2) [Chapter 13] Phenomenology as a Research Method_In TheSAGEHandbookofQualitativeData Analysis(2013), dan
(3) [Review_of_Comm]In_defense_of_phenomenological_approaches_to_comm.stud_intellectual_history(JN.Sturgess,2018)

terkait aspek Metodologinya, ada tiga hal baru yg ditawarkan dari komparasi ketiga bacaan ini utk metode pengerjaan disertasi yang sedang kususun, yaitu:

1) Menurut Anna Kouppanou & Paul Standish (2015), teknologi bukan instrumen yang bebas nilai (not value-laden instruments). Etika sudah selalu tertanam dalam teknologi, baik pada saat perancangannya (desain), produksinya maupun penggunaannya. Karena itu, Etika bersifat konstitutif dalam proses transmisi terkait diskusi-diskusi yang menyangkut desain, produksi maupun penggunaan teknologi, dalam berbagai aspek dan contohnya, seperti (desain, produksi & penggunaan) energi nuklir, rekayasa genetika sampai kecerdasan buatan. Perdebatan soal isu ini tidak pernah jauh-jauh selalu berkutat pada persoalan siapakah manusia itu, apa kodrat teknologi dan apa kodrat dari alam (nature) itu sendiri. Perdebatan etis terkait isu teknologi selalu mendorong kita untuk bertanya dan mengevaluasi tentang dimensi ontologi, epistemologi maupun etika teknologi dan hubungannya dengan manusia.

Determinisme sosial dari teknologi di satu sisi (seperti disuarakan, di antaranya, oleh Langdon Winner dalam eseinya yang provokatif, “Do Artifacts Have Politics” (1980) yang di dalamnya ia mendaku bahwa “the machines, structures, and systems of modern material culture can be accurately judged…for the ways in which they can embody specific forms of power and authority,” dan “value-laden technology” seperti disuarakan Martin Heidegger (1977) “social determinism cannot be sustained because technology is inherently value-laden and for this reason implicated in ethical matters” sama-sama mendapatkan dukungan kuat dengan segambreng bukti-bukti dan argumentasi untuk mendukung masing-masing posisi.

Bagaimana dengan “tulisan” sebagai instrumen teknologi? Pandangan klasik (Plato, misalnya) cenderung curiga terhadap keberadaan tulisan, karena menjauhkan manusia dari daya mengingat (anamnesis) yang merupakan human faculty yang luar biasa, juga mengeksternalisasikan realitas, sekaligus menjauhkan manusia dari the truth of reality. Ringkasnya, ide tulisan sebagai teknologi (dikarenakan kodratnya yang memediasi dan bersifat tidak langsung) dan juga karena dampak2nya pada moda akses yang kita miliki terhadap dunia (epistemologinya), memunculkan sejumlah problem etis yang serius terkait apakah “tulisan sebagai teknologi” itu memang baik adanya dan dihasrati?

Merujuk pada pandangan Stiegler (2011) tentang teknologi digital dan ketertanaman diri kita di dalamnya dan itu mengubah bukan hanya cara pandang kita tentang dunia sekitar namun mengubah diri kita sendiri, menjadi datum dalam aliran datastream. Lengkapnya, “Digital representation, the grid and second-generation navigation techniques combine in this process of ‘geo-information’. Information, as the word begins to suggest, not only affects us as something external to ourselves, selves that remain intact, but forms us within: thus, they (in-)form our dwelling-place, the device-user becoming a datum in a constant datastream.”

Karena itu, Kouppanou & Standish (2015) mengajak kita untuk memperluas cara kita memahami intensionalitas yang inheren dalam teknologi. Hanya dengan memperluas cakrawala pandangan kitalah akan terlihat lebih jelas “its moral import” sekaligus ekologi digital hidup kita sekarang: ketertanaman diri (users) dan objek dalam lingkungan digital.

2) masih disusun wording-nya

3) sudah pernah dibaca dan dibuat resumenya, belum dituliskan kembali di sini.

Categories
Uncategorized

[Day 133] The Believing Brain: menggugat operasionalisasi prinsip di balik terbentuknya kepercayaan yg tidak ilmiah

Catatan kecil yg dapat saya petik dan renungkan setelah membaca buku The Believing Brain karya M. Shermer (2011) ini adalah:

(1) Ketika membaca buku ini untuk pertama kalinya, saya tercengang (kaget) dengan paparan data yang disampaikan Shermer pada bagian prolog bukunya, sub-section “The Demographics of Belief.” Dalam sebuah polling yang diadakan lembaga Harris pada 2009 yang lalu terhadap 2.303 orang dewasa Amerika (Yes, Amerika lho ini, salah satu negara maju dan terkemuka dalam kemajuan Sains-nya, bukan negara Sudan atau Afghanistan, atau negara-negara kecil dan developing lainnya), ditunjukkan bahwa lebih dari 50% partisipan polling percaya adanya “God, Miracles, Heaven, Jesus is God or the Son of God, Angels, Survival of the Soul after Death, The Resurrection of Jesus Christ, Hell, The virgin birth (of Jesus) dan Devil.” Lihat screenshot dari buku tsb di bawah ini untuk data lengkap hasil pollingnya.

Mengutip keheranan dari Shermer, “lebih banyak orang yang percaya akan keberadaan Malaikat dan Si Jahat daripada Teori Evolusi yang digagas Darwin.” Tentu saja keheranan Shermer ini tidak hanya didasarkan pada satu dua polling saja, tapi ada beberapa (mungkin ada belasan) polling sejenis yang dilakukan lintas negara (maju, seperti Inggris, dicontohkan dalam bukunya).

Adapun kesimpulan yang ditariknya dari sejumlah polling yang mengukur “kadar kepercayaan orang tentang entitas supernatural” ini adalah bahwa mayoritas orang percaya (berpegang pada) adanya fenomena paranormal atau supernatural, satu dan lain hal. Shermer tidak mau secara gampangan menyalahkan media (massa) [dalam konteks setelah 2010, kemungkinan besar Shermer juga akan menyebut “media sosial”] yang ikut membantu menyebarluaskan gugus kepercayaan terhadap fenomena paranormal atau supernatural ini sekaligus (pada sisi lain) lemah dalam mengkomunikasikan temuan-temuan sains.

Menurutnya, 70% orang Amerika yang percaya pada hal-hal paranormal/supernatural tsb kemungkinan tidak sungguh memahami cara bekerja sains (yang bertumpu pada metode eksperimental, prinsip2 pembuktian ilmiah, teori kementakan, dan uji hipotesis termasuk adanya prinsip falsifikasi dan bukan melulu verifikasi) dan (mereka) lebih terpaku pada apa-apa saja temuan (memukau) sains, sehingga mereka tidak sanggup untuk mengevaluasi benar tidaknya klaim-klaim sains semu (pseudoscientific) yang menjamur di sekeliling taman kehidupan mereka. Berikut coret-coretan saya dari pemikiran Shermer ttg proses terbentuknya prinsip kepercayaan yg dinamainya “belief dependent realism” tsb, dengan bertumpu pada dua proses yaitu patternicity dan agenticity.

(2) Ketika saya tarik ke aspek Metodologinya, saya menemukan dua hal refreshing yg ditawarkan Shermer agar saya dapat memahami dengan lebih akurat aspek “metode ilmiah” untuk disertasi yang sedang saya susun.

Pertama, belief-dependent realism is more real than cognition-dependent realism, for most people out there. Karena itu, tidak mengherankan jika yang namanya hoax, kabar bohong, misinformation, disinformation begitu mudah tersebar di ruang-ruang digital yang kita akses, gulati dan hidupi selama ini, entah itu bernama ruang media sosial (FB, Twitter, misalnya), ruang percakapan yang termediasi aplikasi (WhatsApp, misalnya), maupun ruang digital bertujuan pencarian informasi atau hiburan lainnya (digital broadcasting Over The Top seperti Netflix, podcast, dll.). Dalam ruang-ruang digital yang dihayati tersebut, sulit sekali untuk mengacu pada apalagi menegakkan prinsip-prinsip berpikir kritis dan ilmiah seperti yang dianjurkan Shermer di sini (dan yang sudah saya ajarkan kepada para mahasiswa saya sejak 2007 yang lalu dalam perkuliahan bertajuk Dasar-dasar Logika/Critical & Creative Thinking).

Kedua, Science and the burden of proof. Sekali lagi, pokok epilog dari Shermer ini menunjukkan bahwa, berbeda dengan cara orang “awam” mendukung keyakinannya, Sains justru tidak boleh dengan gegabah mengatakan bahwa hal yang belum dapat dijelaskannya (karena kurangnya data penunjang misalnya, atau belum tersedianya peralatan yang canggih untuk memverifikasi temuan-temuan sementara yang masih diperdebatkan para ahli) berarti keliru dan hal yang dapat dijelaskan (dengan gejala-gejala alamiah saja) berarti benar. Sila disimak screenshot berikut ini untuk penjelasan the burden of proof yang seringkali ditembakkan kepada para ilmuwan (padahal ini seharusnya dilakukan oleh mereka yang melemparkan klaim/mendaku).

Categories
Uncategorized

[DAY134] Homo Culinarius instead of Homo Sapiens: For real?

Homo culinarius lebih tepat menggambarkan diri kita alih-alih Homo sapiens? Benarkah demikian? Atas dasar apa klaim ini?

Dalam sebuah riset yang dilakukan ahli antropologi purba (paleoanthropologist) bernama Daniel E. Lieberman bersama tim riset dari Harvard University pada 2016, ditemukan fakta bahwa memodifikasi makanan sebelum disantap—dkl, dimasak dulu alih2 dimakan mentah—justru meningkatkan asupan energi bagi manusia yg memakannya.

Tim riset yang dipimpin Lieberman ini sudah melakukan serangkaian percobaan termasuk di antaranya meminta para partisipan riset untuk mengunyah daging kambing mentah, kemudian percobaan lain yg menunjukkan teknologi yang digunakan manusia purba zaman doeloe (Paleolithic) seperti pisau yang dibuat dari batu untuk memotong dan mememarkan daging, ternyata mengubah makanan sedemikian rupa sehingga daging kambing (olahan) tersebut menjadi lebih kaya energi dan lebih mudah dikunyah. Karena waktu yang digunakan untuk mengunyah makanan daging hasil olahan tersebut jadi lebih singkat, maka manusia purba dapat menggunakan waktunya untuk melakukan kegiatan lain yang lebih bermakna secara sosial dan budaya, seperti “menulis di dinding gua”, menemukan inovasi dan teknologi yang memudahkan kehidupan mereka, dll.

Sederhananya begini: para nenek moyang kita, dan memang hanya nenek moyang spesies manusialah, yang memasak.

Saya (Herculano-Houzel) lebih cenderung menyebut mereka sebagai Homo culinarius dan bukan Homo sapiens, karena menurut saya penyebutan istilah Homo culinarius lebih menggambarkan keadaan riil mereka pada zaman doeloe itu (dan juga pada zaman modern sekarang) daripada istilah yang agak sumir, sombong dan kurang nyata yaitu sapiens. Istilah sapiens sepertinya lebih menyiratkan nuansa hanya spesies manusialah yang dapat berpikir dan mengetahui, sementara spesies primata yang lain tidak (sombong banget kan?)

Padahal, penelitian yang dilakukan ahli Primatologi dari Harvard, seperti Richard Wrangham, juga menunjukkan temuan yang sama yaitu bahwa memasak dengan menggunakan api merupakan terobosan besar dalam sejarah evolusi manusia.

Sumber rujukan:
Herculano-Houzel, S. (2017). The Remarkable (But Not Extraordinary) Human Brain. Scientific American Mind, March-April 2017 Edition, pp. 36-41.

Pertanyaan riset:
Bagaimana menanggapi hasil temuan Herculano-Houzel (2017) ini dengan membaca dan membandingkannya dengan Homo Sapiens karya Yuval Noah Harari, misalnya?

Categories
Uncategorized

[DAY129] Moral Minds: Asal-usul Kesadaran Moral Manusia (Insting Bahasa & Biologis)

Belajar dari buku Moral Minds: How Nature Designed Our Universal Sense of Right and Wrong karya Marc D. Hauser (Ecco/HarperCollins Publishers, 2006).

Ide pokok (tesis) yang ditawarkan dan dipertahankan Hauser dalam buku ini relatif sederhana:

Naluri moral yang kita miliki itu bertumbuh kembang secara alamiah sejak kecil sampai dewasa sehingga (sampai pada titik di man) kita dapat dengan cepat memutuskan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan “unconscious grammar of action” (berikutnya akan disingkat dengan UnGrAct).

Dari mana asalnya UnGrAct ini? sebagiannya lewat proses seleksi alamiah seperti diajukan teori Darwin, sebagian lagi ditambahkan belakangan lewat sejarah evolusioner yang melekat khas pada spesies manusia, dan terutama lewat sebuah naluri purba yang (sayangnya jarang dibahas) bernama bahasa.

Ada dua pemikir dan karya yang dijadikan rujukan ketika membahas peran bahasa dalam evolusi kesadaran moral manusia ini. Pertama karya2 Noam Chomsky pada sekitar tahun 1950-an, kedua karya Steven Pinker dalam The Language Instinct (1994). Alih-alih memahami bahasa sebagai produk sosial yang bervariasi antar budaya, maupun peran pengalaman dalam mempelajari sebuah bahasa (kajian psikologi belajar), Hauser menyarankan agar kita mengikuti tradisi ilmu biologi yang melihat bahasa sebagai sebuah alat (organ) yang didesain secara khusus dan menjadi fitur khas pikiran manusia yang berlaku secara universal.

Menurut pandangan biologi evolusioner, bahasa memiliki gramatika yang bersifat universal dan tersembunyi di dalam setiap spesies yang memampukan kita untuk menyusun sendiri bahasa-bahasa yang lebih khusus (spesifik). Sekalinya kita menangkap (menguasai) bahasa ibu kita, kita lalu dapat berbicara dan memahami apa yang orang lain katakan tanpa harus ribet-ribet menalar atau dengan sadar mengakses prinsip2 yg mendasari bahasa ibu tsb. Sejajar dengan premis ini, secara analog Hauser berargumen bahwa kesadaran moral kita juga bekerja seperti itu, “our moral faculty is equipped with a universal moral grammar, a toolkit for building specific moral systems.”

Sekalinya kita memperoleh (menguasai) norma-norma moral spesifik yang hidup (jadi tradisi) dalam budaya kita sendiri, maka dengan cepat (nyaris spontan tanpa pikir panjang) kita dapat membedakan dan memutuskan mana tindakan yang dibolehkan, diwajibkan, terlarang, tanpa harus ribet-ribet mealar atau mengenali prinsip-prinsip yang mendasari tradisi/aturan/norma tersebut.

Jadi, ringkasnya, dalam buku ini Hauser menawarkan cara berpikir yang organis (biologis) + esensialis tentang landasan moral kita dengan menggunakan analogi dari temuan2 terbaru riset ilmu biologi evolusioner alih-alih mencantelkan landasan moralitas (mewarisi) prinsip moral tersebut dari dua sumber yg dianggap dominan selama ini yaitu norma2 agama (juga filsafat) maupun dari aturan2 penguasa (pemerintah), termasuk lewat jenjang pendidikan formal yang dikurikulumkan.

Berikut Epilog dari buku ini dalam bentuk screenshot:


Hendar Putranto (c) 2020

Categories
Uncategorized

[DAY127] Seri Webinar Etika Politik versi INSPECTUS: Edisi Kedua, 29Agt2020

Berikut screenshot kehadiran peserta:

Berikut screenshot resumenya:

Berikut link YouTube Webinarnya:
https://youtu.be/rpz80vD6Lvw

Semoga Webinar ini dapat mencerahkan para peserta dan juga para pengambil keputusan terkait isu Governance, Kesehatan Masyarakat dan Demokratisasi.

cheers,

Hendar Putranto